Jika kebanyakan orang melihat matahari terbit di balik keelokan Gunung Bromo, Mas G dan saya memutuskan melakukan hal yang sedikit berbeda dengan menyaksikan awal sebuah hari di sebuah Warisan Kebudayaan Dunia, UNESCO World Heritage, Candi Borobudur. Candi elok yang juga digunakan masyarakat Budha untuk beribadah serta merayakan hari kelahiran Budha, Waisak.
Perjalanan mengejar matahari dimulai dengan mengayuh sepeda dari tempat kami menginap, Rumah Dharma menuju Borobudur. Jalanan masih gelap, tak ada lampu, bahkan burung-burung pun masih beada di dalam peraduannya. Hari boleh saja masih gelap, tapi udara saat itu sangatlah segar. Jauh berbeda dengan udara di Jakarta. Kendati hari gelap, saya sangat cerah karena saya mengenakan pakaian berwarna terang, sesuai permintaan Mas G. Ia begitu cemas dengan urusan keselamatan, karena ketidakadaan jaket keselamatan warna kuning, berbeda dengan Dublin.
Sesampainya di Hotel Manohara, kami memarkirkan sepeda di bawah pohon Maja, tanpa digembok. Aman katanya. Di lobby hotel, identitas kami diminta sebagai bagian dari prosedur. Saya tak punya kebiasaan membawa KTP dan saat itu hanya membawa identitas kantor. Untung mereka mau menerima identitas saya. Sayangnya biarpun kantor tempat saya bekerja punya project konservasi warisan kebudayaan dunia di Borobudur saya tak bisa dapat gratisan. Bagus sih, berarti orang tak bisa semena-mena asal minta gratisan.
Seperti biasa, mas G yang tak membawa identitas boleh masuk begitu saja setelah membayar, power of bule. Setelah selesai mengurus registrasi dan membayar, masing-masing dari kami diberi senter dan sarung Borobudur. Di tengah kegelapan pagi, diterangi sinar bulan serta remangnya senter kami pun mulai menunduk, menaiki satu-satu tanggal Borobudur yang megah itu. Ketika kami sampai di puncak, ternyata sudah banyak wisatawan mancanegara yang duduk di berbagai sudut candi. Kebanyakan dari mereka dari Jepang dan mereka sangatlah tertib, tidak berisik. Sayangnya, penantian kami semua tak terlalu berbuah manis karena hari itu matahari malu-malu. Tak dapat matahari cantik bukanlah masalah karena kami bisa mendapatkan kesempatan indah untuk mengelilingi relief candi tanpa perlu terbakar panasnya matahari. Tentunya kami juga tak perlu terganggu dengan payung-payung yang menutupi relief-relief serta turis yang sibuk berselfie ria.
Tapi nampaknya kebahagiaan itu hanya sementara karena tak lama dari kejauhan saya melihat ratusan titik-titik hitam seperti semut yang mendekat ke arah candi. Rupanya, rombongan pelajar telah tiba di Borobudur, padahal waktu baru menunjukkan sekitar pukul 7 pagi. Naluri saya mengatakan, ini saatnya untuk segera kabur. Saya malas kalau harus berurusan dengan pelajar yang mengerubuti meminta foto. Pengalaman itu pernah terjadi beberapa tahun lalu ketika ada seorang orang asing di dalam grup kami. Waktu jalan-jalan molor karena banyaknya permintaan foto.
Secepat-cepatnya kami kabur, mas G tetap ‘tertangkap’ orang Indonesia yang minta foto. Untungnya hanya segelintir orang yang meminta foto. Candaan mas G, mungkin mereka mau pamer kalau sudah foto dengan white Budha dari Irlandia.
Setelah dicegat rombongan pelajar ini kami bergegas keluar melalui pintu Manohara, ternyata muncul cegatan lainnya, rombongan pedagang souvenir. Wah padahal hari masih pagi, tapi pedagang sudah agresif menawarkan patung Budha. Well, early birds get the worms, jadi kalau mau untung banyak mesti rajin-rajin kerja. Pedagang-pedagang yang berjajar di pintu menuju Mahorara menawarkan patung-patung Budha mini. Harganya dibandrol seharga 100k, padahal patung itu tak sampai 10 cm. Pak pedagang ngotot menjual dagangannya kepada pasangan saya, bukan kepada saya. Tapi biarpun harga iturunkan, dari 100 ribu ke 80 ribu, 60 ribu, 50 ribu, hingga 20ribu, kami tetap tak berminat. Pasangan saya secara konsisten menggelengkan kepalanya sambil berkata: matur nuwun, matur nuwun.
Di dekat gerbang Manohara kami disambut petugas yang mengumpulkan sarung. Senternya sendiri dikumpulkan di meja khusus. Sebagai kenang-kenangan, masing-masing dari kami kami mendapatkan dua buah tas kertas mungil bergambarkan matahari di Borobudur dan bertuliskan: Borobudur Sunrise. Tas kertas itu ternyata berisi syal kecil batik bergambar Borobudur.
Bagian akhir dari tour adalah sarapan. Jangan ngarep sarapan sehat buah-buahan a la food combining. Sarapan yang disajikan merupakan sarapan khas Indonesia, teh atau kopi, gorengan dan satu buah roti bolu. Menikmati makanan khas Indonesia di dengan alunan gamelan sambil memandang Borobudur di pagi hati sungguhlah romantis, cocok kalau dinikmati bersama pasangan hati.
Tiket Borobudur Sunrise bisa didapatkan di lobby Manohara pukul 4.30 pagi. Untuk turis lokasi harga tiket masuk IDR 250k, sedangkan untuk turis asing harganya IDR 380k. Untuk memaksimalkan keromantisan, sebaiknya datang saat bulan purnama.
Tahukah kamu kalau setiap tahun Borobudur bergeser?
Pingback: Jejak Richard Gere di Borobudur | Ailtje Bini Bule
Mas Bule justru jadi objek wisata utama selain Borobudurnya sendiri..
Syabar ya Say..