Weekend lalu saya jalan-jalan ke Cirebon untuk cari batik. Macam orang kaya aja, belanjanya ke luar kota, padahal aslinya mau cari batik yang murah meriah sambil refreshing dari bisingnya Jakarta. Berangkat dari Jakarta, saya dan rombongan naik kereta Cirebon Express yang biasa juga disingkat Cirex. Perjalanan yang harusnya tiga jam jadi molor karena AC kereta rusak dan harus dibetulkan. Panas dan keringat bagi saya bukanlah masalah, bisa di lap. Yang masalah adalah polusi suara dari teriakan beberapa anak kecil yang bermain. Duh berisiknya nggak tahan…
Di akhir perjalanan saya mengambil kesimpulan kalau anak kecil ternyata bukanlah makluk yang berbahaya, mereka memang berteriak-teriak sambil bermain, mungkin belum diajarkan untuk tak teriak terlalu kencang, mungkin juga lupa. Ya namanya anak-anak masih belajar. Yang mengerikan bagi saya ternyata segerombolan ibu-ibu yang bertingkah seperti anak kecil dan lupa kalau tata krama dan berlaku seperti kereta ini milik mereka.
Alkisah, sekembalinya dari Cirebon, saya mendapatkan kursi single di dekat pintu keluar. Ruang gerak kaki di kursi ini lowong banget, kalau ada makluk setinggi dua meter duduk disini pasti girang karena bisa selonjoran. Tapi Ibu-ibu rempong dengan bawaan segambreng gak suka dong lihat saya dapat ruang gerak yang lebih luas, jadi si Ibu Yanti ini dengan semena-mena meletakkan dua buah kresek besar di area itu ketika saya belum datang. Ketika saya datang, tentu saja buntelan itu saya singkirkan. Reaksi alami saya emang gak mau deket-deket dengan barang orang lain, takut kalau ada apa-apa, seperti bom misalnya.
Si Ibu muncul di depan saya sambil bilang ini punya saya sambil merapikan kreseknya dan berkata titip ya, lucunya pas ngomong titip, dia membelakangi saya. Jadi ya saya ogah dititipi, Cuma salahnya, saya nggak langsung komplain gak boleh titip. Tak lama, datanglah teman saya dan kami ngobrol, termasuk mengobrolkan dua buntelan kresek itu. Saya pun berkomentar “Tahu nih punya siapa pakai dititipin ke guwe lagi”.
Ibu Yanti yang namanya terpampang jelas di kresek itu rupanya dengar *padahal saya nggak bermaksud menyindir* dan langsung ngomel menggelegar, pakai bawa-bawa penyesalan karena nitip ke saya, lalu nuduh-nuduh ini kereta punya saya. Agak lucu juga dia nuduh ini kereta punya saya, tapi dia naruh barang di depan saya dan berlagak seperti dia yang punya kereta. Panjang banget omelannya dan setelah ngomel panjang lebar, si Ibu tetep nggak mau mindahin buntelan berharganya. Saya, males nanggepin tapi ngegerundel panjang. Sementara mbak-mbak di seberang udah mengademkan saya dan berbisik ‘sabar-sabar’.
Kesabaran saya emang lagi diuji. Nggak lama teman bu Yanti ini datang, bongkar kresek itu (pakai gigi sodara-sodara, how very elegant!) ditemani seorang bapak-bapak yang nungging di depan saya *duh sumpah gak tahu negurnya gimana*. Lalu berpesta poralah mereka dengan oncom, pisang goreng, tahu isi dan aneka rupa gorengan lain yang dilengkapi dengan sambal! Dari mana saya tahunya? Dari teriakannya dong bow, persis pedagang gorengan di kereta ekonomi jaman dulu kala!
Keriuhan nggak cukup di gerbong itu tapi juga di gerbong depan, karena ibu-ibu ini wira-wiri macam setrikaan, buka tutup (dan sering kali lupa tutup) pintu kereta. Saya cuma bisa manyun mendengarkan semua keriuhan yang memekakkan telinga, gerbong pun jadi bau nggak jelas karena makanan-makanan yang dibagikan. Mbak-mbak yang nyuruh saya sabar pun ikutan manyun, hahahaha manyun bareng deh.
Selalu ada pelajaran dalam setiap kejadian. Saya nggak suka dengan reaksi saya ke Ibu Yanti itu, harusnya langsung saya samperin sambil bilang kalau area itu adalah area dan ruang gerak saya. Kalau perlu tutupin aneka rupa tas. Kalau ruang saya lebih lowong, bukan berarti orang lain berhak menjajah dengan buntelannya. Rumus ini juga sama dengan trotoar, kalau trotoar lowong bukan berarti gerobak dan abang ojek berhak mangkal disana dan merampas hak pejalan kaki.
Ini sebenernya juga masalah keselamatan. Kresek itu emang cuma berisi gorengan nggak sehat dan sambal, tapi kalau tumpah aja, pasti saya kena getahnya minyaknya. Walaupun lebay banget, tapi perlu juga dipikirkan kemungkinan kresek itu adalah bom atau hal-hal lain yang terlarang. At least bom kolesterol lah ya. Kalau-kalau ada pemeriksaan dan itu kresek berisi rumput terlarang, pasti saya juga yang kena getahnya. Jadi waspadalah!
Kita seringkali pergi dalam rombongan besar, menggunakan transportasi umum. Kalau sudah dalam grup besar gini biasanya cekakan dan rumpian yang memekakan telinga nggak terhindarkan. Dari perilaku Ibu Yanti dan gengnya ini saya jadi belajar dan berkaca pada diri sendiri, lalu bercita-cita untuk jadi manusia yang lebih beradab, apalagi kalau sudah berumur. Semoga saya bisa belajar mengurangi volume suara saya dan belajar menghargai telinga orang lain, biar lebih elegan, lebih beradab dan tentunya biar nggak disumpahin sama orang yang kupingnya terganggu.
Buat para Ibu-ibu disana, berkacalah pada anaknya cucunya masing-masing, baca: jangan bertingkah sama dengan cucunya yang baru belajar ngomong, malu atuh, udah tua harusnya jadi role model!
Tjetje.
Belajar biar nggak berisik di ruang publik. !
Weekend lalu saya jalan-jalan ke Cirebon untuk cari batik. Macam orang kaya aja, belanjanya ke luar kota, padahal aslinya mau cari batik yang murah meriah sambil refreshing dari bisingnya Jakarta. Berangkat dari Jakarta, saya dan rombongan naik kereta Cirebon Express yang biasa juga disingkat Cirex. Perjalanan yang harusnya tiga jam jadi molor karena AC kereta rusak dan harus dibetulkan. Panas dan keringat bagi saya bukanlah masalah, bisa di lap. Yang masalah adalah polusi suara dari teriakan beberapa anak kecil yang bermain. Duh berisiknya nggak tahan…
Di akhir perjalanan saya mengambil kesimpulan kalau anak kecil ternyata bukanlah makluk yang berbahaya, mereka memang berteriak-teriak sambil bermain, mungkin belum diajarkan untuk tak teriak terlalu kencang, mungkin juga lupa. Ya namanya anak-anak masih belajar. Yang mengerikan bagi saya ternyata segerombolan ibu-ibu yang bertingkah seperti anak kecil dan lupa kalau tata krama dan berlaku seperti kereta ini milik mereka.
Alkisah, sekembalinya dari Cirebon, saya mendapatkan kursi single di dekat pintu keluar. Ruang gerak kaki di kursi ini lowong banget, kalau ada makluk setinggi dua meter duduk disini pasti girang karena bisa selonjoran. Tapi Ibu-ibu rempong dengan bawaan segambreng gak suka dong lihat saya dapat ruang gerak yang lebih luas, jadi si Ibu Yanti ini dengan semena-mena meletakkan dua buah kresek besar di area itu ketika saya belum datang. Ketika saya datang, tentu saja buntelan itu saya singkirkan. Reaksi alami saya emang gak mau deket-deket dengan barang orang lain, takut kalau ada apa-apa, seperti bom misalnya.
Si Ibu muncul di depan saya sambil bilang ini punya saya sambil merapikan kreseknya dan berkata titip ya, lucunya pas ngomong titip, dia membelakangi saya. Jadi ya saya ogah dititipi, Cuma salahnya, saya nggak langsung komplain gak boleh titip. Tak lama, datanglah teman saya dan kami ngobrol, termasuk mengobrolkan dua buntelan kresek itu. Saya pun berkomentar “Tahu nih punya siapa pakai dititipin ke guwe lagi”.
Ibu Yanti yang namanya terpampang jelas di kresek itu rupanya dengar *padahal saya nggak bermaksud menyindir* dan langsung ngomel menggelegar, pakai bawa-bawa penyesalan karena nitip ke saya, lalu nuduh-nuduh ini kereta punya saya. Agak lucu juga dia nuduh ini kereta punya saya, tapi dia naruh barang di depan saya dan berlagak seperti dia yang punya kereta. Panjang banget omelannya dan setelah ngomel panjang lebar, si Ibu tetep nggak mau mindahin buntelan berharganya. Saya, males nanggepin tapi ngegerundel panjang. Sementara mbak-mbak di seberang udah mengademkan saya dan berbisik ‘sabar-sabar’.
Kesabaran saya emang lagi diuji. Nggak lama teman bu Yanti ini datang, bongkar kresek itu (pakai gigi sodara-sodara, how very elegant!) ditemani seorang bapak-bapak yang nungging di depan saya *duh sumpah gak tahu negurnya gimana*. Lalu berpesta poralah mereka dengan oncom, pisang goreng, tahu isi dan aneka rupa gorengan lain yang dilengkapi dengan sambal! Dari mana saya tahunya? Dari teriakannya dong bow, persis pedagang gorengan di kereta ekonomi jaman dulu kala!
Keriuhan nggak cukup di gerbong itu tapi juga di gerbong depan, karena ibu-ibu ini wira-wiri macam setrikaan, buka tutup (dan sering kali lupa tutup) pintu kereta. Saya cuma bisa manyun mendengarkan semua keriuhan yang memekakkan telinga, gerbong pun jadi bau nggak jelas karena makanan-makanan yang dibagikan. Mbak-mbak yang nyuruh saya sabar pun ikutan manyun, hahahaha manyun bareng deh.
Selalu ada pelajaran dalam setiap kejadian. Saya nggak suka dengan reaksi saya ke Ibu Yanti itu, harusnya langsung saya samperin sambil bilang kalau area itu adalah area dan ruang gerak saya. Kalau perlu tutupin aneka rupa tas. Kalau ruang saya lebih lowong, bukan berarti orang lain berhak menjajah dengan buntelannya. Rumus ini juga sama dengan trotoar, kalau trotoar lowong bukan berarti gerobak dan abang ojek berhak mangkal disana dan merampas hak pejalan kaki.
Ini sebenernya juga masalah keselamatan. Kresek itu emang cuma berisi gorengan nggak sehat dan sambal, tapi kalau tumpah aja, pasti saya kena getahnya minyaknya. Walaupun lebay banget, tapi perlu juga dipikirkan kemungkinan kresek itu adalah bom atau hal-hal lain yang terlarang. At least bom kolesterol lah ya. Kalau-kalau ada pemeriksaan dan itu kresek berisi rumput terlarang, pasti saya juga yang kena getahnya. Jadi waspadalah!
Kita seringkali pergi dalam rombongan besar, menggunakan transportasi umum. Kalau sudah dalam grup besar gini biasanya cekakan dan rumpian yang memekakan telinga nggak terhindarkan. Dari perilaku Ibu Yanti dan gengnya ini saya jadi belajar dan berkaca pada diri sendiri, lalu bercita-cita untuk jadi manusia yang lebih beradab, apalagi kalau sudah berumur. Semoga saya bisa belajar mengurangi volume suara saya dan belajar menghargai telinga orang lain, biar lebih elegan, lebih beradab dan tentunya biar nggak disumpahin sama orang yang kupingnya terganggu.
Buat para Ibu-ibu disana, berkacalah pada anaknya cucunya masing-masing, baca: jangan bertingkah sama dengan cucunya yang baru belajar ngomong, malu atuh, udah tua harusnya jadi role model!
Tjetje.
Belajar biar nggak berisik di ruang publik
Butuh berapa lama biar orang2 kita yg katanya ramah (mungkin terlalu ramah kali ya) ini bisa lebih beradab. Iihh gemes baca ceritanya. Btw malang bagian mana mbak? Saya juga dr sana
Butuh lama mungkin, tapi yang jelas bisa dimulai dari diri sendiri. Aku juga bukan orang paling beradab, tapi setidaknya setiap kejadian memberi pelajaran biar lebih baik.
Aku Malangnya di Tlogomas, kamu Malangnya mana?
Kalau aku tahu berisik gitu aku langsung aja pakai Hansfree dengerin lagu terus tidur masa bodoh dengan sekitar 😀
Aku cuma pakai headset buat lari, di luar lari nggak mau. Kasian kuping.
Oke dech sist, saat nya belajar menjadi lebih elegant..
Kadang kalo udah bergrup atau ber geng gtu suka ngerasa tempat milik sendiri, dan yang lain cuma numpang *koq berasa jadi istilah orang pacaran* :p
Aku perlu ketemu ibu2 reseh dulu buat ngeh kalau berisik itu nggak cool.
hiks merasa bersalah niih… kemaren pergi berombongan ber 5, dan sepanjang perjalanan ada aja yang bikin kita ketawa 😦
Cuma berlima, ini di gerbong yang kemaren aku tumpangi ada 10, gimana ga bahaya. Di gerbong depan juga ada. Saking rempongnya ibu2 ini, kadang pun tumpah berserakan di Stasiun.
Iyaa kadang kalo kita berbanyak suka lupa hak orang lain.
Revisi: kacang bukan kadang
Aku pengen ketawa (miris) tapi gimana ya… 😀
Sama, sering sebel kalo ada rombongan yang ribut bener dan naroh barang sembaranan. Ah, lu tau deh kisah di Madura duluuuuu. 😉
Btw ditunggu cerita Cirebonnya yaaaa, sekilas liat di Path keknya menarik.
Hahaha itu nostalgia Madura bisa jadi tulisan sendiri deh! Mabok Mega mendung gue ke Cirebon!!!!!
Gak minta bagian gorengannya aja Ai hahah
ditawarin sih, tapi tak kasih manyun aja. Abis tangannya enak aja nangkring di atas kursiku, terus ngomongnya teriak-teriak di deket kuping. Oh ibu-ibu….
Hadeuuhh!!
Biar rame ceritanya ^_^
Hahaha mestinya kmu skalian buka lapak aja dsitu…
Dimarahin sama PJKA, kan udah nggak boleh jualan di kereta
Ailsaaaa…anak-anak tuh emang kebanyakan gt..lari-lari oke lha dikereta, tapi klo teriak-teriak umur berapa emang? klo kaya anak gw sie klo bosen di kereta bisa jalan-jalan biar ga bete apalagi klo nangis..yaa wassalam.. hanya bisa senyum kecut ke org lain yang mukanya bete karena anak gw nangis keras..
Piska, aku nakal, kalau ada anak teriak2 suka aku pelototin!
Orang Indonesia dan orang dari bangsa dengan kultur Kami (semua punya bersama kapan pun dimanapun) memang ngga ngerti konsep ruang publik dan ruang pribadi Tje. Ya contohnya seperti kamu tulis diatas itu. Memang ngeselin banget ya ngga menghargai orang lain.
Mbak maafkan, baru scroll lagi komen2, ternyata yg ini belum kebales. Indeed, di Indonesia itu budaya kaminya kuat banget. Di satu sisi bisa menyenangkan sih tapi kalau kondisinya kayak gini nggak mengenakkan banget.
Eh tapi di Irlandia hal yang sama juga sering terjadi, bedanya bukan ibu-ibu, tapi remaja. Kayaknya remaja bermasalah gitu, tapi ya gak ada yang berani negur.
Jadi ibu yanti ini siapanya Dinda ya? Sodari atau mungkin ibu kandung Dinda? LOL
Hahahaha…. Ibu Yanti mungkin temennya Dinda, dari satu perguruan. Perguruan Pengguna Kereta Reseh!
Beghhhh gw bacanye jd nyolot!
kenapa kaga ente jutekin, teriakin ajeee..
udeh tau orang Indonesia sebagian besar msh uncivilised.
Mo dikasih secanggih apapun public transport bakal ga awet!
Liat tuh busway.. oh yg teranyar kereta penghubung dri medan ke bandara kuala namu yg gress dooong udeh bau pesing, kotor etc ewwwwwwwwwww
Gue masih agak jengah karena orang tuwa2, tapi besok2 gue akan langsung nyolot. Eh tapi jangan sampai ketemu lagi sama golongan reseh gini.