Bagi teman-teman Muslim, bulan ini menjadi bulan yang sakral, dimana semua pahala dilipatgandakan, sehingga semua orang berbondong-bondong berbuat kebaikan (yang bikin pengemis membanjiri Jakarta demi kebaikan Ramadan). Semoga kebaikannya gak pas bulan puasa saja, tapi setiap ada kesempatan. Saking baiknya teman-teman saya, bulan ini saya jarang sekali makan di rumah karena banyaknya undangan buka bersama. Saya mencetak rekor dengan menerima empat undangan sekaligus dalam satu hari yang sama, walaupun akhirnya cuma menghadiri 3 undangan.
Terus terang buat saya, bulan ini saya melihat yang namanya makanan berlimpah ruah dalam setiap kesempatan. Asal ada buka bersama, makanan pasti akan bersisa (dan sebagai anak kos sejati saya pun selalu membungkus makanan dan berakhir di satpam depan). Orang selalu mengatakan Alhamdullilah berkah Ramadan, sungguh half full. Tapi nuwun sewu, saya kali ini mau half empty, bagi saya banyak sekali makanan yang terbuang percuma bulan ini. Kalau boleh lancang mengkritik, sepertinya esensi puasa menahan diri dari lapar jadi hilang, karena setelah waktu berbuka tiba saatnya kalap makan sebanyak-banyaknya, berbagai rupa makanan disuguhkan. Yang puasa pun juga memasukkan semua macam makanan layaknya orang yang takut kelaparan. Buntutnya gak semua makanan bisa dimakan, sebagian berakhir dengan tragis di tempat sampah, syukur-syukur kalau bisa dibagikan ke yang tidak mampu.
Saya pernah sedikit ngomel sama teman tentang berat badan orang-orang, banyak yang mengeluh berat badannya justru naik setelah Ramadhan. Ya gak heran karena nggak satu orang pun yang takut santan, takut gula, karena sebagian pada takut lapar dan akhirnya makan dengan jumlah di atas biasanya. Pada hari normal kalori yang dimakan 2000, energi yang dikeluarkan 2000, eh pas puasa kalori yang dimakan 4000, yang dikeluarkan paling banter 1000, karena alasan lagi puasa, gak mau ngerjain ini itu, gak mau ngadain meeting ini itu, panas lah, mending tidur siang di Masjid aja. Coba silahkan tengok bagaimana trend kegiatan pada saat bulan Ramadhan, pasti menurun drastis. Eh angka ilustrasi di atas ngaco lho ya, jangan dijadikan referensi.
Tak hanya makanan yang berlimpah ruah, sehari sebelum puasa tiba, swalayan juga penuh, diserbu manusia yang berlomba-lomba berbelanja bahan makanan. Takut kelaparan atau takut kehabisan persediaan makanan? Harga pangan meningkat tajam, bahkan di Aceh harga satu kilo daging sapi mencapai 120.000. Maka tak heran bulan ini inflasi selalu tertinggi karena menurut pendapat saya, ini sekali lagi karena terjadi perubahan kebiasaan makan, dari yang sederhana menjadi complicated. Dari yang sedikit menjadi berlimpah (dan saya ulang lagi, sayangnya terbuang-buang).
Selain berbagi makanan, semangat berbagi di bulan ini juga direfleksikan dalam bentuk THR, Tunjangan Hari Raya. Dari kantor kepada pegawainya, dari yang kaya kepada yang kurang beruntung, sampai di kost juga ada pengumpulan THR. Suatu malam saya dibuntuti dan disodori permintaan sumbangan untuk THR. Tak hanya saya, semua penghuni kost yang berjumlah 52 orang tak ada yang kelewatan, mau Katolik, Kristen, Hindu bahkan Budha; semua kena todong. Konsep THR ini seharusnya dari pemberi kerja kepada penerima kerja, tetapi karena inti bulan ini berbagi, maka semua orang pun, apapun latar belakang agamanya, berbagi kepada yang merayakan. Syukurnya nggak ada pertumpahan darah dari urusan permintaan THR ini, semuanya mengerti bahwa umat Muslim merayakan hari besarnya dan mereka pun (semoga) dengan iklas berbagi. Indahnya kalau teori berbagi ini bisa diterapkan oleh para ektrimist, asal gak berbagi kekerasan dan kebrutalan aja.
Sekian renungan setengah ngomel à la saya, semoga bisa jadi bahan pemikiran dan tahun depan tidak banyak lagi makanan yang terbuang percuma.
Selamat Hari Raya Idul Fitri untuk teman-teman yang merayakan. Mohon maaf lahir dan batin.