Lima tahun lalu di Gili Trawangan saya bersumpah jika kembali lagi tak akan mau naik Cidomo. Ketika itu, kuda kecil yang disewa oleh penyelenggara jalan-jalan, harus mengangkut beberapa orang melintasi beberapa sudut pulau yang tertutup pasir. Jalan di atas pasir itu susah, apalagi menarik manusia. Cidomo sangat populer tak hanya di Lombok, tapi juga di Gili Air, Meno dan Trawangan yang tak punya kendaraan umum. Pengunjung Gili, yang kebanyakan turis asing, biasanya berkeliling pulau dengan berjalan kaki atau naik sepeda. Hanya orang Indonesia yang rajin keliling naik Cidomo, mungkin malas jalan. Sementara orang lokal menggunakan sepeda listrik sebagai alat transportasi.
Akhir tahun kemarin, saya kembali ke Gili, kali ini Gili Air. Statistik menunjukkan Gili Air memiliki kepadatan penduduk lebih tinggi ketimbang Gili Trawangan, tapi faktanya, Gili Air jauh lebih tenang dari Gili Trawangan. Seperti Gili Trawangan, Gili Air juga memiliki masalah dengan listrik dan air bersih. Listrik di pulau ini rajin mati. Jalanannya pun masih banyak yang gelap tak tersentuh lampu, tak heran banyak turis berjalan-jalan dengan lampu di kepalanya. Di siang hari sumber listrik dari daerah ini berasal pembangkit tenaga surya sedangkan di malam hari dipasok dari Lombok.
Berbicara tentang air, air di kamar mandi dan di kolam renang hotel yang saya tempati rasanya asin. Bahkan, air kolam renang yang asin ini dicampur dengan kaporit, alhasil kalau kena mata bikin ngumpat-ngumpat. Menurut staff hotel yang saya tempati, air tawar di pulau ini harus didatangkan dari Lombok melalui pipa bawah laut. Untungnya pulau ini hanya enam menit saja dari pelabuhan Bangsal di Lombok, jadi pipa dalam lautnya gak panjang-panjang banget.
Bawah laut Gili tidak menawarkan karang-karang indah. Bahkan menurut saya, koral di Pulau Tunda dan pulau Seribu (serius ini) jauh lebih cakep dari di daerah Gili. Karang-karang keras di area ini sudah hancur berantakan dan hanya menyisakan karang lunak. Ikannya sih cantik-cantik, tapi tak banyak karena koralnya rusak. Menurut tukang kapal, kehancuran bawah laut ini disebabkan nelayan yang rajin memasang bom untuk mencari ikan. Walaupun hancur, bawah laut Gili masih bisa menawarkan berenang di bawah laut dengan penyu. Saya beruntung bisa menghabiskan waktu dengan penyu hijau, chelonia mydas, yang umurnya saya prediksi ratusan tahun.
Kendati tinggal di Gili Air, saya justru lebih banyak mendapatkan cerita tentang Gili Trawangan dari seorang juru masak sebuah grup resort di Lombok. Tak seperti di tempat lain, di Gili magic mushroom dan obat-obatan terlarang bisa didapatkan dengan mudah. Selama tak dikonsumsi di dalam pulau, obat-obatan ini bisa bebas digunakan. Kemana para aparat penegak aturan? Lagi party kali.
Saya pun mencari cerita tentang obat-obatan ini di Google. Alih-alih menemukan cerita obat-obatan, ternyata lebih mudah menemukan cerita cocktail bercampur dengan methanol ketimbang cerita tentang obat terlarang dengan harga murah. Methanol tak hanya menyebabkan kebutaan tapi juga bisa menyebabkan kematian. Seorang remaja Australia dua tahun lalu meninggal di Gili Trawangan. Yang menyedihkan, tak ada yang ditangkap dalam kasus ini. Di Gili, alcohol memang lebih mudah ditemukan dan surprisingly harganya tidak terlalu mahal. Tapi perlu dicatat bahwa di Gili tak ada RS, mereka hanya punya dokter. Jadi kalau mau ‘terbang’ mendingan di tempat lain aja yang dekat RS, biar bisa cepet-cepet diselamatkan kalau terbangnya kebebasan.
Bagi yang pernah lihat foto maling diarak keliling Gili, saya kemaren menanyakan kebenarannya. Ternyata, maling di Gili tak hanya diarak, mereka juga diserahkan ke pihak berwenang dan dilarang masuk kembali ke Gili. Konon dulu para maling juga dipukul ramai-ramai dan kepalanya dimasukkan ke dalam air pantai. Mengerikan.
Banyak hal yang menyenangkan dari Gili termasuk kesetaraan antara semua manusia. Di Pulau kecil ini, pegawai kantoran, pelajar dan bahkan pengangguran bisa berpesta bersama kusir cidomo. Tak ada satpam yang akan mengusir tamu hanya karena kita berdandan gembel dan mengenakan sandal jepit . Viva sandal jepit! Tapi dibalik keindahannya, Gili menyimpan banyak masalah, dari kesenjangan sosial, masalah obat-obatan yang tak saya jelaskan secara gamblang disini (gak enak sama mafianya). Menariknya, tak seperti daerah wisata pada umumnya, prostitusi bukanlah maslaah di pulau ini.
Selamat Tahun Baru rekan-rekan semua, semoga tahun 2015 ini membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kita semua.
Xx,
Tjetje