Nostalgia Anak 90an

Jaman dulu, ketika sebuah program televisi usai lebih awal, entah lima atau sepuluh menit, saya selalu gembira menanti dengan sabar video klip yang akan muncul. Kalaupun saya berada jauh dari depan televisi, tapi pendengaran saya yang sangat tajam menangkap intro lagu-lagu Boyzone ataupun Backstreet Boys, saya akan lari sekencang-kencangnya menuju depan televisi. Dulu, tak ada YouTube, jadi lari demi melihat mereka di TV pun rela kulakukan.

Seperti beberapa anak-anak jaman dulu, saya juga rajin mencari tahu lirik lagu mereka, supaya bisa ikutan nyanyi. Modalnya: ketajaman telinga, kertas dan bolpen. Jika sudah benar, lagu ini kemudian dipindahkan ke buku lagu, yang cantik, dan ditulis dengan koleksi bolpen warna-warni. Setidaknya, bolpen cantik dengan aneka warna ini bisa digunakan dan dinikmati keindahannya, karena mereka dilarang digunakan di sekolah.

Ketika Kahitna pertama kali mengeluarkan lagu Cerita Cinta, saya pernah duduk di teras rumah, mendengarkan lagu ini diputar dari tape mobil tetangga. Si anak kos, yang saya bahkan masih inget namanya, sedang mencuci mobilnya sambil mendengarkan lagu ini, dengan kencang tentunya. Saat itu, saya tak terganggu sama sekali dengan musik kencang dari mobil kijangnya (yang kotak dan diceperkan. OMG, mobil ceper!)

Merekam lagu di kaset kosong seharga tujuh ribu Rupiah dari radio juga menjadi sebuah kegemaran. Begitu lagunya akan muncul, tangan siap sedia memencet tombol rekam. Sayangnya radio kemudian muncul dengan ide untuk menyebutkan nama radio mereka ketika intro lagu dimulai. Ah rusak deh kegiatan merekam ini. Bicara kaset, kaset-kaset saya sekarang masih ada, dirawat dengan baik oleh adik saya yang memang hobi koleksi kaset. Termasuk kaset band Stinky yang setia menjadi bahan olok-olokan, karena saya pernah mendengarkan mereka. #YaNasib

Anak 90an pasti juga kenal yang namanya Laser Disk, disk besar yang digunakan untuk memutar film. Disk ini biasanya bisa disewa di tempat penyewaan, selama beberapa hari. Dulu, pergi ke tempat penyewaan laser disk itu menjadi aktivitas yang menyenangkan bagi saya. Tapi kalau ingat besarnya disk tersebut, duh mendingan Netflix aja deh. Tinggal pencet komputer atau TV, beres deh.

Koleksi kertas surat juga menjadi sebuah hobi di tahun 90an. Satu bungkus kertas surat, yang biasanya juga berbau wangi, biasanya berisi sepuluh set kertas surat dan amplop. Sembilan set akan ditukarkan dengan teman lain, sementara yang satu disimpan sendiri untuk koleksi. Kenangan tentang hobi ini tiba-tiba kembali ke memori saya, ketika mantan kolega saya yang orang Jepang memberikan satu set kertas surat cantik dari Jepang. Selain itu, ia juga memberikan sebuah surat perpisahan yang begitu indah. Surat indah dikombinasikan dengan kertas cantik ternyata oke, sayangnya semua koleksi kertas surat saya sudah hilang tak ketahuan rimbanya.

Telepon umum juga berperan penting dalam komunikasi anak 90an. Nokia 5110, apalagi 3110 belum ditelurkan, jadi telpon rumah menjadi andalan gaul, modalnya pun murah, 100 rupiah untuk tiga menit. Koin 200 ataupun 500, saat itu belum muncul. Uang 100 Rupiah pada saat itu merupakan jumlah yang besar (bagi anak-anak), sehingga muncul kreativitas koin yang dilubangi, lalu diikat dengan seutas tali (supaya bisa bolak-balik telpon tanpa membayar). Teknik ini sendiri memerlukan kecepatan tangan untuk menarik koin ketika mesin akan menelan koin. Yang ditelpon siapa? ya cem-ceman dong ya.

Saya dan banyak anak lainnya juga gembira ketika telepon umum rusak, lalu banyak uang yang nyangkut di dalam mesin. Kalau sudah begitu, ranting atau lidi yang kuat akan dimasukkan untuk mendorong koin yang nyangkut. Dan jackpot, tiba-tiba beberapa uang koin akan berhamburan, cukup untuk membeli beberapa Chiki atau Anak Mas. Kebahagiaan sederhana ini sayangnya tak bisa muncul ketika telpon kartu dan telepon kartu chips muncul. Telpon-telpon itu hanya membuat pembicaraan interlokal lebih mudah dilakukan. Nostalgia telepon sendiri pernah saya tulis secara mendetail di postingan ini.

Tahun 90an itu menyimpan banyak kenangan manis, karena saya tumbuh besar di tahun itu. Melihat dunia berubah dan mengikuti perubahan itu, dari mulai berlari-lari di bawah terangnya bulan, hingga kemudian mengenal teknologi dan terjebak dalam teknologi. Beberapa tulisan nostalgia selama bulan Januari ini membuat saya merasa beruntung sekali, karena masa kanak-kanak dan masa muda saya begitu indah. Semoga generasi sekarang pun merasakan hal yang sama, atau setidaknya, kalian para orang tuanya membantu mereka membuat kenangan-kenangan indah.

Kamu, punya kenangan manis apa di tahun 90an?

xx,
Tjetje
Anak ’90an

Advertisement

Nostalgia Telepon

Sebagai anak generasi 90-an, saya merasakan perubahan dari tak punya telpon rumah hingga kemudian kabel telpon datang ke perumahan tempat kami tinggal. Ketika kabel tersebut datang rasanya girang luar biasa, mungkin persis dengan orang-orang jaman dahulu yang kedatangan kabel listrik untuk pertama kalinya.

Keriaan ini tak berhenti hingga kemudian telepon berdering. Perebutan mengangkat telepon pun terjadi demi bisa berbicara dengan telepon. Norak sih, tapi girangnya ketika mendengar telepon berbunyi itu memang tak bisa dibandingkan dengan keriaan jaman sekarang ketika telepon genggam kita berbunyi. Saya akan semakin girang jika panggilan tersebut adalah panggilan yang bersifat interlokal atau bahkan internasional, dari sanak saudara yang jauh. Ah rasa senang bisa berbicara dengan mereka, saat itu sungguh tak terdeskripsikan. Ya maklum jaman segitu belum ada sosial media, apalagi internet.

Sebagai anak nakal, tak sah tentunya jika saya tak mengakali telepon yang dikunci. Batang bagian belakang lidi saya selipkan untuk memencet tombol-tombol telepon. Ide ini tak saya contek dari mana-mana, tapi datang ketika saya sedang akan tidur. Sebelum menggunakan batang lidi, saya mencoba dengan jarum rajut milik ibunda saya, tapi jarum rajut itu terlalu gemuk.

Ketika tagihan telepon membengkak, bahkan hingga bermeter-meter panjangnya, ibunda saya mengganti pesawat telepon dengan pesawat tanpa tombol. Eh sebelum digantikan, saya dimarahin habis-habisan terlebih dahulu. Tapi saya yang nakal tak kehilangan akal, saya pun belajar melakukan panggilan dengan cara memencet tombol koneksi. Entah apa nama yang tepat untuk tombol ini. Satu kali untuk angka satu, dan sepuluh kali untuk angka nol. Teknik ini sering berhasil tapi juga sering gagal. Yang jelas, saya memastikan tagihan telepon terlihat wajar-wajar saja dan tak tinggi.

Selain telpon rumah, saya juga pengguna telpon umum, seperti telepon koin, hingga telepon kartu, baik yang tipis maupun yang menggunakan chip. Jaman itu, salah satu tetangga saya berhasil melubangi koin seratus rupiah dan mengikatnya dengan benang. Ketika hubungan telepon tersambung, tangan pun harus cepat menyambar koin supaya tak segera masuk ke kotak. Bicara di telepon pun harus cepat, karena dengan ongkos seratus rupiah, kita hanya diperkenankan berbicara selama tiga menit saja. Ketika ongkos telepon naik, dengan koin yang sama kita hanya bisa berbicara selama satu menit. Tak hanya itu, bicara pun harus kencang, karena seringkali pengguna harus bersaing dengan suara kendaraan yang lewat.

Ketika telepon kartu hadir, saya ingat betul PT Telkom berkata bahwa kartu telpon seharga dua puluh lima ribu rupiah tersebut tak bisa diakali. Faktanya, kartu-kartu tersebut bisa diakali dengan mudahnya dengan menempelkan isolasi berwarna hitam. Tentu saja ada teknik khusus yang saya tak tahu bagaimana, tapi yang jelas kartu tersebut bisa digunakan hingga berpuluh-puluh kali hanya dengan membayar mahasiswa-mahasiswa teknik sebesar lima ribu rupiah saja. Akibatnya, kartu menjadi tergesek-gesek dan tak bisa dikoleksi lagi.

Berbicara tentang telepon tentunya tak bisa lepas dari jasa warung telekomunikasi, atau yang lebih lazim disingkat menjadi wartel. Ruang-ruang wartel biasanya dibedakan untuk yang khusus interlokal serta yang khusus lokal saja. Berbicara di wartel pun harus berbisik-bisik, supaya mereka yang ada di kubikel sebelah tidak terganggu dan tak mendengar bisikan-bisikan khas remaja yang baru berkenalan dengan asmara.

Telepon rumah sudah bukan menjadi barang mewah lagi, bahkan dianggap sebagai barang kuno yang tak terlalu penting. Di Irlandia, kami mendapatkan telepon rumah secara gratis dari penyedia internet dan tv kabel kami. Saking gratisnya, biaya telepon ke beberapa negara pun digratiskan.

wpid-20140912_195136.jpg

Telpon umum di Galway

Telepon umum sendiri, perlahan-lahan mati karena kehadiran telepon genggam. Di Irlandia, telepon umum masih bisa ditemukan di beberapa sudut kota. Bahkan di Cork, saya menemukan telepon umum di dalam pub. Bodohnya, telepon tersebut tak saya abadikan. Saya tentunya tak tahu apakah telepon tersebut masih berfungsi atau tidak, karena ide untuk masuk ke dalam bilik telepon umum membuat saya geli, apalagi telepon umum tersebut dalam kondisi kotor. Kondisi telepon umum ini masih sedikit lebih baik ketimbang telepon umum di Indonesia yang lebih sering gagang atau bahkan teleponnya hilang.

Dari semua kenangan terindah saya dengan pesawat telepon, momen terindah bagi saya terjadi di sebuah telepon umum yang rusak. Ketika itu puluhan koin seratus seratus rupiah keluar dari bagian bawah telepon umum. Rasanya seperti menang jackpot walaupun uangnya hanya cukup untuk sekedar membeli anak mas rasa keju dan chiki balls.

Apa kenangan terindah kalian tentang telepon?

Xx,
Tjetje
Masih suka makan Chiki