Salah satu perjuangan ketika baru pindah ke luar negeri itu adalah soal pergaulan, berkenalan dengan orang atau bahkan mencari teman baru. Datang ke negara baru tak kenal orang, lalu muncul keinginan untuk berkumpul dengan saudara satu bangsa sangat tinggi, tapi keinginan ini tak selamanya disambut tangan terbuka.
Pergaulan orang-orang Indonesia di luar negeri sendiri jauh lebih beragam dari di tanah air. Perspektif saya datang dari kacamata Irlandia, negara kecil yang kelompok orang Indonesianya tak banyak, mungkin hanya ratusan. Jangan dibandingkan dengan Perancis, Inggris, Australia apalagi Belanda ya.

Jumlah orang Indonesia yang kecil ini bisa dibagi menjadi beberapa kategori, pelajar, ekspat atau imigran. Imigran ini ada yang pekerja dan juga imigran cinta. Masa tinggal pelajar dan ekspat sendiri sementara dan biasanya tidak untuk jangka panjang, tak seperti imigran. Gak usah debat imigran ekspat ya, konsep dan defisinya udah jelas.
Model pergaulan di sini cukup lebar, mencakup latar belakang (sosial, ekonomi) yang jauh lebih beragam, jauh lebih lebar dari di Indonesia. Kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah disatukan sebagai orang Indonesia. Jauh berbeda dengan pergaulan di Indonesia, dimana yang menengah ke atas jarang, atau bahkan tak mungkin, bergaul dengan yang menengah ke bawah.
Pergaulan seperti ini ada baiknya, tapi juga ada buruknya. Baiknya kita bisa mengenal berbagai lapisan sosial dan ekonomi. Dari yang punya pendidikan tinggi, hingga yang tak tamat wajib belajar. Dari yang duduk di kursi penting perusahaan hingga para pencari bantuan sosial. Semuanya kumpul jadi satu & berbagi aneka cerita sambil makan. Diskriminasi kelas yang sangat kuat di Indonesia, di sini nyaris tak ada.

Sisi buruknya? Observasi saya, biasanya jurang perbedaan sangat terlihat, bahkan bisa menimbulkan friksi. Tentu saja friksi ini tergantung banyak faktor ya, salah satunya ya faktor pembagian kelas sosial yang dibawa dari Indonesia.
Contoh friksi sederhana, yang ekonominya pas-pasan bercerita bagaimana cara memaksimalisasi dana bantuan sosial dan cara mendapatkan rumah sosial dari negara pembayar pajak. Sementara yang pembayar pajak resah gelisah mendengar hal-hal seperti ini.
Ada pula tekanan yang muncul, karena tuntutan untuk βfitβ dengan kelompok ekonomi yang berbeda. Dari mulai muncul keharusan memberi kado mewah untuk aneka momen penting dari hidup, timbul ketidakenakan jika tak memberi hadiah yang dianggap pantas, hingga harus membeli baju khusus untuk makan-makan bertema. Soal tekanan ini kapan-kapan saya bahas ya, karena topik ini, buat saya, tak kalah menariknya.
Itu baru friksi karena ekonomi. Friksi lain juga sering muncul, seperti soal tata krama. Dari buka-buka kulkas di rumah orang hingga soal nanya tragedi di hidup orang tanpa empati. Kalau yang ini sih gak eklusif, di Indonesia juga ada.
Penutup
Para senior saya yang sudah tinggal puluhan tahun lamanya di Irlandia dan sudah mapan, kerap kali enggan berkumpul atau kenalan dengan orang Indonesia yang baru. Teman-teman yang sudah tinggal di LN lama dan kemudian pulang juga banyak yang membahas soal pergaulan ini, sambil garuk-garuk kepala & memberi banyak wejangan.
Saya tadinya tak paham dengan pola pikir mereka. Tapi setelah hampir satu dekade bermukim di sini, saya jadi lebih memahami keengganan mereka.
Kesimpulan saya, pergaulan orang Indonesia di luar negeri itu sangat bercampur dan jarang diwarnai latar belakang hobi atau nilai yang sama. Ada, tapi jarang. Seringkali, satu-satunya kesamaan hanya soal makanan. Makan bersama sambil ngobrol ngalor-ngidul. Karena kesamaan yang sangat minim ini, ditambah perbedaan latar belakang, sosial ekonomi, bahkan perbedaan upbringing akhirnya banyak friksi. Friksi ini lah yang bikin para senior agak males untuk bergaul, apalagi dengan anak baru.
Saya sendiri berdamai dengan pergaulan yang jauh berbeda dengan di Jakarta. Kalau pergaulan terlalu aneh, biasanya saya hanya bertanya pada diri sendiri, ini orang-orang model gini di Jakarta gaulnya dimana sih, kok gak pernah ketemu model begini, atau mungkin saya kurang gaul?
xoxo,
Tjetje
Buka buka kulkas??? Astaga *mengelus dada*
Sempet ada kenalan bbrp orang Indo lewat instagram yg herannya pada ngotot mau main kerumah (bawa bayi/toddler) pula, padahal udah ditolak halus berbagai cara kek kurang paham hintsnya. Sudah dikasi hints ketemuan di cafe aja, malah ngotot mau main ke rumah. Padahal buka rumah sendiri ke orang asing itu sangatlah sakral disini, ngga sembarang orang diundang masuk ke sanctuary. Kadang dah bener deh males bergaul sama oranh Indonesia disini, ataupun kalau mau bergaul kudu diliat bekgronnya kira2 kurleb sama apa engga. Kedengarannya diskriminatif, tapi seperti kamu bilang, daripada nanti timbul friksi, bikin sakit hati, mending aku yg pilih2 teman
Iya buka kulkas, mau naruh makanan dia. Mindah-mindahin makanan. Tuan rumahnya pusing lihat kelakuan begini, curhat sama gw π€£
Nah ini buka rumah itu juga capek, karena mesti bersih-bersih2, nyediain makanan. Kalau gak spesial gak usahlah.
Seringkali, satu-satunya kesamaan hanya soal makanan.
Nambah satu lagi, selain makanan, ngomongin orang.
Makanya aku sekarang udah punya satu set teman2 orang dari Indonesia yang sudah jelas cocok juga karena hobi lain yang setara selain karena dua hal di atas. Udah males cari2 yang baru lagi. Karena kalo disatukan makan-makan mulu, ntar jadi gendats. Kalo tiap ketemu ngomongin orang melulu, ntar lama-lama energi negatif itu akan besar pengaruhnya di kehidupanku.
Kagak ada abisnya ngomongin orang, kalau faktual gw masih tolerir (si A abis kecelakaan, si B kawin lagi sama laki orang). Kalau udah mengisi titik-titik sendiri, ini sesuatu banget buat guwe.
Awalnya masih aku ladenin. Tapi kalau dia udah cenderung obsesif, aku langsung stop dan mending gak usah, deh.
Aku suka challenge orang model gini, kalau lagi banyak energi. π
Berdamai dengan pergaulan yang dulu….. kayaknya saya termasuk golongan yang sudah berdamai….
Oh ya, pernah suatu hari hari entah lagi ngelindur atau gimana, saya pernah sampe berteriak kegirangan pas ada bule ngelewat depan rumah naik sepeda, sumringah tiada tara dari balik jendela. Pas sadar ya tentu saja kan bukan hidup di Indonesia, eh tapi mungkin karena efek selalu liat orang Indonesia dimana mana, jadi orang lokal jadi seperti orang asing.
Tos mbak. Kita sama-sama berdamai.
Hahaha itu lucu bener sampai gak sadar kalau gak di Indonesia ya.