Ekspektasi Perkawinan Campur

Tema tulisan ini mungkin sudah dibahas berulang kali oleh banyak orang dan tentunya sudah berulang kali saya bahas dalam berbagai tulisan. Tapi setiap kali mendengar cerita-cerita kelam perkawinan campur, rasanya gemas banget sambil kasihan. Dari berbagai kisah kelam yang saya dengar, ada banyak kesamaan permasalah yang muncul dan akan saya urai.

Yuk!

Foto koleksi pribadi.

Buru-buru kawin

No kidding, yang ngotot minta buru-buru dikawinin itu banyak. “Wajar”, karena kultur kita mengutamakan perkawinan ketimbang kumpul kebo. Masalahnya, buru-buru kawin ini bener-bener tanpa proses mengenal pasangan lebih jauh dan lebih dalam. Baru ketemu satu dua kali, lalu kawin; baru ketemu langsung ketemuan di catatan sipil (serius ini), atau bahkan baru ketemu langsung tinggal bersama. Soal yang terakhir ini, pegawai imigrasi aja kagak mau ngasih visa tinggal, auto reject sambil kibar bendera merah.

Mengenal pasangan lebih jauh ini juga untuk tahu tabiat dan nilai mereka, termasuk mencari tahu adakah kecenderungan melakukan kekerasan. Seringkali di tahap pacaran banyak red flag soal tabiat ini, tapi tentunya dicuekkin atas nama cinta.

Keuangan

Ini masalah dasar dan masalah yang paling sering saya dengar. Nih ya, buat yang masih pacaran coba dibahas dulu urusan keuangan, tahu berapa kisaran gaji pasangan supaya bisa mengatur ekpektasi gaya hidup. Gak semua orang asing itu kayak pegawai eselon dua kantor pajak yang bisa beli Rubicon. Orang asing (baca: bule), itu kayak orang Indonesia, ada yang susah, ada yang cukup dan ada yang kaya raya, bahkan bisa sampai beberapa turunan.

Satu kesalahan fatal yang banyak terjadi, ketika diskusi keuangan ini menggunakan kalkulator dan mental Indonesia. Mata uang asing langsung dirupiahkan. Gaji 2k Euro pun terlihat wow gede banget. Di beberapa wilayah Eropa 2k itu mungkin besar, di Dublin, pasangan dengan penghasilan segitu itu ngos-ngosan.

Soal properti

Mau sewa kamar, rumah, apartemen, beli properti atau bahkan tinggal di pondok mertua indah. Ini kudu dibahas dulu di depan biar ekpektasi bisa diatur. Kalau mau nyewa rumah atau apartemen, cukup gak penghasilannya. Kalau gak cukup, apakah mau sewa kamar dan tinggal rame-rame? Begitu juga soal beli rumah, kudu diskusi dulu, jangan sampai koar-koar ke satu Indonesia mau beli rumah 5M tapi kemudian harus tertampar realita karena rumah murah tersebut tak terjangkau.

Begitu juga soal lokasi dimana rumah pasangan. Cari tahu dulu, jangan ujug-ujug pindah ke negara lain, terus protes di media sosial karena tetanggaan sama sapi. Bagus kalau cuma sampai media sosial, kalau sampai dibawa ke KBRI, ya gusti, itu orang KBRI dulu pas belajar jadi diplomat engga studi tentang hidup di country side bersama sapi. They are diplomats FFS.

Satu lagi yang gak ada di Indonesia tapi banyak terjadi di Irlandia: pasangan tinggal di rumah sosial bantuan dari pemerintah. Rumah sosial ini diperuntukan untuk mereka yang tidak mampu beli atau tidak mampu menyewa. Peruntukan rumah ini untuk mereka yang berpenghasilan rendah (dan harus tetap rendah), kalau penghasilan naik di atas ambang batas yang ditentukan, hak atas rumah ini juga akan hilang. Jadi seringkali pasangan kemudian melarang kerja ataupun mendapatkan penghasilan ekstra demi rumah sosial. Ini mesti dipertimbangkan juga, apalagi kalau pengen membangun karir di negeri orang. Kubur dalam-dalam cita-citanya.

Penutup

Perkawinan itu tak melulu romantis dan indah, banyak kerikil dan terkadang batu besar. Ketika ada masalah di Indonesia, kalau sudah kadung kalut bisa kabur ke rumah orang tua, di sini, kabur ke KBRI pun mesti nyeberang ke negara lain pakai visa pula. Belum lagi resiko ketika perkawinan bubar dan pasangan jengkel, masalah yang muncul bisa beraneka ragam, dari penculikan anak oleh pasangan (international child abduction) hingga ijin tinggal dicabut oleh pasangan. Kalau sudah gini tambah penih, karena imigrasi yang nyuruh pulang ke Indonesia. Imigrasi!

Perkawinan dengan orang asing itu tak bisa diburu-buru, karena ada elemen meninggalkan tanah air. Pastikan kenal dulu pasangan dan keluarganya dengan baik, jadi bisa mengatur ekpektasi hidup di luar negeri, apalagi kalau baru pertama kali tinggal di luar negeri. Hidup di luar negeri itu gak seindah drama Korea. Diskusikan dulu banyak hal, kenali dulu pasangannya, cinta dan emosi boleh, tapi rasional tetep kudu jalan.

xoxo,
Tjetje
Sudah terlalu banyak mendengar cerita suram dari perkawinan campur.

Advertisement

Krisis Properti di Irlandia

Saya masih sering menerima banyak pertanyaan dari orang-orang di Indonesia yang akan pindah ke Irlandia, baik untuk studi maupun ngekspat. Pertanyaan mereka biasanya seputar akomodasi di Irlandia. Dari yang budgetnya terbatas, sampai ribuan Euro pun masalahnya sama, sama-sama kesusahan nyari tempat tinggal di Irlandia. Kenapa? Krisis properti di Irlandia semakin parah, penyebabnya sederhana, antara permintaan dan ketersediaan tak seimbang.

Ijinkan saya berbagi masalah-masalah akomodasi ini untuk memberi secuil gambaran betapa susahnya krisis properti di sini. Perlu dicatat, contoh-contoh di bawah ini adalah contoh di Dublin berdasarkan pengalaman dan pengetahuan saya, tapi percayalah, krisis rumah ini satu Irlandia, bahkan sampai pelosok desa yang tak ada transportasi publiknya.

Sewa properti

Harga dua kamar apartemen di Dublin 6, yang jauh dari jalur tram hijau, dibandrol dengan harga 2500 Euro (kalau menurut kalkulator, butuh penghasilan 40k/ tahun untuk bawa pulang penghasilan bersih senilai ini). Ini harga di iklan, realitasnya bisa di atas angka tersebut, karena konsumen tak segan untuk menawarkan harga lebih tinggi. Sewa rumah sendiri harganya jauh lebih tinggi dari apartemen. Tergantung banyak faktor, termasuk lokasi dan besar rumah/ jumlah kamar. Perlu dicatat, harga tersebut tidak termasuk tagihan rutin seperti listrik.

Sewa properti sendiri bisa dilakukan dengan sewa ke landlord individu, atau sewa ke landlord profesional (biasanya ini investment fund yang memborong banyak properti untuk disewakan). Untuk harga, sama-sama tinggi dan proses mendapatkan rumah juga sama-sama susah, bukanlah hal yang aneh di sini jika ada antrian super panjang. Sedihnya, mereka yang akan menyewa seringkali harus menunjukkan bank statement untuk menunjukkan kemampuan keuangan.

Harga sewa rumah yang tinggi membuat orang sharing rumah. Sewa rumah beberapa kamar beramai-ramai. Atau bahkan ada yang nekat sewa rumah, lalu kamarnya disublet, disewakan ke orang lain (ini biasanya tak boleh). Sewa kamar sendiri masalahnya sama, sama-sama susah, banyak peminat dan harganya tinggi. Tak jauh-jauh dari 1k.

Gagang pintu rumah orang di Aachen.



Beli rumah aja!

Satu komentar yang saya sering dengar, baik dari istri bule maupun dari mereka yang kerja di Irlandia, beli rumah aja. Ya kali, biarpun trust fund dari Eyang Harto di Swiss dicairin lalu siap beli tunai keras, persaingan pasar di sini keras banget. Gak ngefek juga kalau punya bapak pegawai negeri yang tabungannya gemuk.

Beli rumah modelnya bidding dan seringkali harga beli rumah jauh di atas nilai rumah. Yang beli rumah pun rebutan, tak hanya rebutan dengan trust fund baby lainnya, tapi juga rebutan dengan investment fund. Perusahaan ini kalau beli gak satu dua biji, bisa puluhan rumah di dalam satu kompleks atau bahkan satu gedung apartemen yang gedungnya pun belum jadi.

Nah kalau trust fund baby aja kesusahan, bagaimana dengan yang mau ambil KPR? Nih ya biar gak pada halu, gak ngefek, mau tunai keras atau KPR, dapat rumahnya sama-sama susahnya. Tak ada perbedaan perlakuan. Mereka yang baru datang di Irlandia juga gak bisa ujug-ujug ambil KPR, berapapun tabungan rupiah yang dibawa. Bank seringkali melihat mengganggap mereka yang baru datang ini beresiko tinggi. Jadi, harus bangun skor kredit dulu biar dapat kepercayaan dari bank.

Ambil KPR di sini gak susah, kalau kita punya kebiasaan belanja yang baik, tapi KPR maksimal hanya 4 kali gaji tahunan. Gaji rata-rata tahun 2023 itu 45k (ini berdasar angka dari McKinley), realitasnya banyak yang jauh di bawah itu. Untuk ilustrasi saja, gaji 45k setahun bisa dapat KPR maksimal 180 ribu dan harus punya minimal 18k untuk 10% DP (di sini tak ada KPR 100%).

Ini apartemen pun susah dapatnya di Dublin, kalaupun dapat, biasanya di daerah yang rawan kriminalitas. Untuk pasangan yang sama-sama bekerja, angka KPR yang diberikan juga akan lebih besar, sesuai gaji gabungan. Nah harga rumah sendiri di Dublin rata-rata (ini menurut koran) 350k. Tentu saja realitanya susah nyari rumah dengan harga segitu di Dublin. Di pinggir Dublin saja rumah baru sudah mulai dijual dengan harga setengah juta Euro. Jadi mesti bergaji berapa biar bisa beli rumah dan dapat KPR? hitung sendirilah, kalkulatorpun using ngitungnya.

Penutup

Kesusahan akomodasi ini gak cuma akomodasi seperti apartemen dan rumah, tapi juga merambah ke hotel. Hotel-hotel banyak yang disewa negara untuk orang-orang yang tak punya rumah (homeless), pencari suaka dan juga mereka yang datang dari Ukraina. Ini nyewa hotel satu gedung hotel ya, gak cuma satu atau dua kamar saja. Saking parahnya kondisi krisis rumah di sini, saya juga mulai melihat banyak orang asing yang menggelandang, tidur di tenda di samping kanal.

Kesimpulannya, kalian yang berencana pindah ke Irlandia untuk studi ataupun bekerja, perhitungkan baik-baik anggarannya, nego gaji yang tinggi dan alokasikan dana yang cukup besar untuk akomodasi. Kalau mencari akomodasi sendiri juga mesti hati-hati, karena penipuan sewa rumah di sini sangat banyak. Lihat dulu propertinya, ketemu dulu dengan landlordnya sebelum transfer uang.

xoxo,
Tjetje


Pendidikan Orang Dewasa di Irlandia


Bicara pendidikan untuk orang dewasa di Irlandia bisa dibedakan menjadi dua. Pendidikan tersier/ pendidikan tinggi, di Indonesia lazimnya kita sebut sebagai kuliah, serta pendidikan jalur non-kuliah (semacam kursus).

Pendidikan Tinggi/ Kuliah
Kuliah menurut KBBI adalah:



kuliah /ku·li·ah /  1 n sekolah tinggi: — guru; 2 n pelajaran yang diberikan di perguruan tinggi: ia memberikan — di Fakultas Sastra; 3 v mengikuti pelajaran di perguruan tinggi: ia sedang –; 4 v ceramah: — subuh, ceramah agama yang disampaikan setelah salat subuh;


Ketika ngomongin kuliah kita ngomongin perguruan tinggi, pendidikan mandiri setelah SMA. Di Irlandia sendiri ada tiga sektor kalau ngomongin kuliah: Universitas dan College (dua institusi ini kalau di Irlandia bedanya agak blur dan mereka digunakan secara bergantian), serta Teknologi (seperti ITB, ITS).

Rentang waktu kuliah sendiri kurang lebih sama seperti di Indonesia, dari 3-4 tahun untuk bachelor degree (S1), 1-2 tahun untuk master degree (S2), serta beberapa tahun untuk PhD yang patiently hoping for a degree untuk PhD.

Pendidikan di Irlandia itu dimasukkan dalam framework ini. Perkuliahan itu dimulai dari level 7 hingga 10.

Biaya kuliah sendiri, ada biaya EU dan non-EU. Bedanya, tergantung program yang diincar. Bedanya bisa sedikit, tapi bisa juga berkali-kali lipat. Nah ini ibu-ibu yang bawa anak dari perkawinan sebelumnya dan memegang paspor hijau, biasanya suka kaget kalau lihat perbedaan harga yang berkali lipat.

Pendidikan Selain Kuliah

Gaya belajar orang dewasa itu berbeda-beda. Ada yang cemerlang di bidang akademik dan bisa menghabiskan ratusan jam belajar. Tapi ada pula yang harus melakukan praktek dan lebih sukses belajar ketika berada di lapangan. Nah di sini, jika kuliah bukan pilihan utama karena pilihan atau keterbatasan nilai akademik, ada pendidikan yang namanya apprenticeship.

Apprenticeships ini perpaduan belajar teori yang diadakan oleh insitusi pendidikan dan dikombinasikan dengan praktek langsung di lapangan. Contoh apprenticeship yang paling mudah terkait dengan konstruksi, seperti ilmu perledengan, ilmu perkayuan, motong batu, peratapan, sampai menyusun bata. Tak hanya konstruksi sih, ada juga yang terkait dengan IT seperti cybersecurity, sales, termasuk retail supervision, mekanik, tukang daging, atau sous chef.

Durasi apprenticeship sendiri dari 2-4 tahun, levelnya kalau berdasar framework di atas mulai dari 5 hingga 9. Generally, apprenticeship ini engga bayar biaya sebesar perkuliahan. Ada sedikit kontribusi yang mereka harus berikan tergantung berapa banyak mereka menghabiskan waktu duduk belajar teori.

Plus, kalau mereka kerja praktek mereka di bayar. Ambil contoh baru-baru ini kran di rumah kami harus dibetulkan oleh apprentice tahun kedua, kebetulan kami kenal. Tapi ya karena masih baru dengan ilmu terbatas, harganya lebih murah. Kran kami sendiri berakhir terbalik, air panas di kanan dan air dingin (biasanya sebaliknya). Harap maklum, namanya masih belajar dan tentunya lebih murah…


Di sini, mereka yang mengambil apprenticeship umumnya tidak disebut sebagai mahasiswa atau disebut kuliah. Mereka disebut apprentice (contohnya apprentice plumbers) dan program mereka disebut sebagai apprenticeship.


Kursus

Masih ada lagi? Ada dong, model Award of qualifications. Saya sendiri menyebutnya kursus yang sesuai kualifikasi atau area specialisasi. Contoh mudahnya, untuk project management, di dunia ada organisation PMI dengan berbagai kualifikasinya. Nah Irlandia punya kualifikasi lokal, yang akan diakui secara lokal (biasanya ada di level 6). Kursus ini harganya beraneka rupa, dari ratusan hingga ribuan Euro.

Untuk para pencari kerja biasanya mereka juga bisa mengambil kursus ini “gratis”. Gratis saya kasih dua tanda petik, karena dibayar oleh pembayar pajak negeri ini. (Catat ya: gak ada yang gratis di negeri ini). Berdasar pengalaman saya, gratis ataupun berbayar, kursusnya jadi satu. Kenapa ada kursus gratis? supaya bisa menambah skill, lalu mendapat pekerjaan dan tentunya mendapatkan pekerjaan (lalu berkontribusi pada pajak).

Penutup

Dari pengamatan saya ketika masih tinggal di Indonesia dan ketika saya tumbuh besar, sekolah yang fokus pada skill untuk bekerja (seperti sekolah memasak, sekolah menjahit), seringkali dipandang sebelah mata. Kuliah masih sangat dipandang sebagai sebuah hal yang jauh lebih baik. Padahal, tidak semua orang mampu kuliah ataupun tertarik untuk kuliah. Ada orang-orang yang memang lebih suka menggunakan tangannya untuk bekerja dan mereka jauh lebih bertalenta di bidang tersebut.

Di Indonesia sendiri, pekerjaan-pekerjaan fisik sering kali diremehkan, karena bukan pekerjaan di balik meja. Sebaliknya, di sini, permintaan akan jasa mereka sangatlah tinggi dan jasa mereka tidaklah murah. Untuk mendapatkan jasa mereka butuh berbulan-bulan dan tak jarang transaksi dilakukan secara tunai.

Btw, saya dulu pernah kenalan sama anak baru di kantor yang pertanyaannya langsung: “Kamu S2-nya dulu di mana? Saya S2 di UGM”. Duh yang di UGM…


xoxo,
Tjetje




Makan-Makan Inklusif


Setelah hampir sepuluh purnama, saya yang males ngeblog kembali untuk sesaat. Kali ini karena tergelitik ingin membahas, lagi-lagi soal makan-makan. Jika sebelumnya saya banyak membahas soal tata krama, dari soal berkunjung ke rumah orang, hingga obrolan di atas meja makan, topik hari ini soal inklusivitas dalam makan-makan.

Sebuah hal yang mungkin, di Indonesia jarang muncul, karena tak banyak alergi atau toleransi. Jarang muncul bukan berarti tak ada. Sejauh observasi saya (silahkan dikoreksi), biasanya berkait dengan halal atau non-halal. Kalaupun intoleran, tak jauh-jauh dari pedas atau tidak pedas.

Makan-makan inklusif saya definisikan sebagai upaya untuk memahami pola-pola makanan yang berbeda karena alasan agama, kesehatan (misalnya: alergi, intoleran), atau karena preferensi gaya hidup serta upaya untuk menyediakan variasi makanan yang bisa mengakomodasi pola-pola tersebut. Intinya: memastikan kalau makan-makan, semua orang bisa makan tanpa mengakibatkan sakit atau bahkan kematian.



Upaya menjaga dietary requirement

Salah satu contoh upaya menjaga dietary requirement yang sering saya lihat di acara makan-makan orang Indonesia, adalah menjaga kehalalan makanan mereka yang muslim. Ini gak cuma dengan mengingatkan kalau ada makanan berpotensi haram. Tapi si empunya hajatan makan-makan, kalau mengundang tamu muslim, akan beli daging ke tukang daging halal. Halal butcher.

Tak seperti di Indonesia, daging halal biasanya hanya dijual di tukang daging tertentu yang lokasinya hanya ada di tempat-tempat tertentu, terkadang jauh dari tempat tinggal. Buat saya, ini upaya yang inklusif dan indah banget.

Gak cuma menjaga kehalalan aja. Pola makan khusus dan gaya hidup yang berbeda juga sering kali diakomodasi . Sebagai orang yang tak makan sapi misalnya, sering banget di lingkungan saya kalau ada kumpul-kumpul ngebakso. Khusus buat saya, baksonya dibuat dengan daging lain, tanpa sapi. Bahkan ada tuan rumah yang rajin bikin bakso khusus tersendiri untuk saya, sementara tetamu lain makan bakso sapi. Sumpah ini upaya super inklusif dan effort si tuan rumah luar biasa banget untuk memastikan semua orang bisa makan. Terenyuh.

Kenapa ini penting?

Dalam pergaulan yang lebih luas, non-Indonesia, dietary requirement ini akan menjadi lebih kompleks, dari mulai soal pedas dan tak pedas, hingga diet yang terkait agama, seperti halal, kosher. Ada pula pola hidup seperti vegan, vegetarian, vegetarian tapi makan telur dan susu, hingga pescatarian. Sementara kalau alergi, harus ditanya satu-satu karena panjang, dari soal celiac, alergi shellfilsh, alergi susu hingga alergi kacang.

Resiko ketika tak memperhatian dietary requirement ini bisa fatal, terutama untuk alergi. Saya salah satu orang yang saya kenal pernah ngalami, beli peyek teri ternyata peyek tersebut dicampur kacang. Yang makan alergi kacang. Untungnya tak sampai fatal. Alergi kacang sendiri di sini sangat serius, bahkan bisa berakibat fatal, seperti kematian [PS: di Dublin ada satu kasus kematian akibat kacang yang tak tertolong, Emma Sloan].

Pergulatan dengan kecemasan dan ketakutan itu jadi makanan sehari-hari ketika ada dietary requirement. Takut kalau makanan terkontaminasi. Belum lagi rasa terintimidasi dan gak enak sendiri, karena bikin repot dan jadi beban kalau kumpul-kumpul. Abis itu jadi males kumpul-kumpul dan buntutnya jadi terisolasi.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Sederhana banget: TANYA. Tanya bagaimana bisa mengakomodasi diet mereka dan tentunya belajar untuk bisa mengakomodasi diet yang berbeda-beda. Jadi, semua orang bisa makan. Mudah bukan?

Deaktivasi Media Sosial


Tahun lalu saya ngobrol dalam banget dengan sepupu tersayang tentang Facebook yang dianggap faedahnya tak ada lagi. Sepupu saya ini tumbuh di tengah berisiknya media sosial, seperti kebanyakan dari kita, tapi kemudian memilih kesenyapan untuk menikmati hidup yang lebih bermanfaat. Dari obrolan itu, saya pun membulatkan tekad untuk tidak ragu-ragu lagi dan mengambil langkah kecil untuk deaktivasi akun di awal 2022.

Topik deaktivasi ini sendiri bukan pertama kalinya saya baca dan dengar, karena banyak teman-teman yang blogger yang membahas soal ini, dan banyak gerakan yang mengajak untuk menghapus profile karena masalah etika. Tak cuma etika, ketika awal pandemi dan kesehatan jiwa kita banyak terkena dampak negatif & media sosial dianggap sebagai salah satu pemicunya.

Melepaskan diri dari SATU (bukan semua) media sosial itu ternyata tidaklah mudah. Padahal hanya satu, bukan seluruh media sosial. Dalam hitungan hari, akun saya kemudian aktif kembali. Begitu terus selama beberapa minggu pertama. Tapi dengan semangat membara, durasi deaktivasi menjadi semakin panjang hingga berbulan-bulan. Tulisan ini sendiri saya jadwalkan untuk tayang menjelang enam bulan deaktivasi.

Saya gak woro-woro rame, cuma beberapa orang terdekat yang tahu saya deaktivasi akun. Selama deaktivasi ternyata muncul wejangan tak diundang yang intinya menuduh langkah saya ini terlalu ekstrem dan seharusnya saya menjadi penonton pasif saja tanpa perlu aktif. Prinsip saya sekarang, kalau saya bisa gemes nonton 2521, kenapa mesti gemes baca status orang sindir-sindiran, kenapa mesti sibuk feeding narsisme orang lain, dan kenapa mesti menghabiskan waktu melihat orang-orang dengan self-esteem rendah yang merasa kesindir gara-gara tulisan blog saya. Mending nonton drama Korea aja…

Paska Deaktivasi

Setelah berhasil deaktivasi selama beberapa bulan, saya kemudian menghapus jejak bersih di Twitter. Seluruh tweets saya hapus, lalu saya membuat beberapa jejak baru, tapi jejak baru ini pada saatnya bernasib sama, saya hapus lagi. Saya juga tak bercuit lagi, cenderung diam dan hanya merespons sekali-sekali saja.

Kembali ke Facebook, sesekali ketika benar-benar diperlukan, saya kembali mengaktivasi akun ini. Biasanya sih dalam hitungan beberapa menit, karena hanya untuk tujuan tertentu, seperti konfirmasi rencana pemakaman (aduh kok morbid banget ya) atau cari tukang rumput. No kepo-kepo juga.

Deaktivasi ini juga membuat saya menyadari ternyata JOMO (Joy of Missing Out) itu lebih menyenangkan. Hidup lebih damai tanpa perlu menonton drama media sosial dan waktu bisa dihabiskan untuk fokus menikmati hidup, uyel-uyel anjing dan mencari hobi baru. Siapa tahu di hobi baru ini bisa tee off bareng Wooga Squad (halu lagi!).

Main golf aja lah sama PSJ & CWS. Halu 🤣

Deaktivasi juga tak membuat kehilangan teman atau eks-kolega, karena mereka yang benar-benar teman (bukan yang sekedar kepo pengen tahu status terbaru kita) akan kontak langsung untuk bertukar kabar atau bahkan mengirimkan undangan kumpul-kumpul melalui media lain. Syukurnya teman-teman saya gak ada yang parno dan bikin drama ujug-ujug menuduh diblok atau diunfriend.

Teruntuk kalian semua yang menginspirasi langkah kecil ini, terima kasih. Semoga saya semakin terinspirasi untuk naik ke level hapus tanpa penyesalan.

xoxo,
Tjetje
Engga anti media sosial.


Ngobrolin Ekspatriat


Sebelum ngebahas beberapa hal tentang ekspatriat, definisi soal ekspatriat itu mesti diluruskan dulu. Banyak orang soalnya secara terang-terangan menolak dirinya atau pasangannya disebut sebagai imigran dan mengaku-aku sebagai ekspatriat. Biasanya yang salah ini suka ngotot tak karuan. Selain ketidaktahuan, atau bahkan ketidakmautahuan juga mungkin karena konotasi ekspatriat yang dianggap lebih baik ketimbang imigran.

Jadi apa itu ekspatriat? Ekspatriat itu orang yang tinggal di negara selain negara aslinya, biasanya karena pekerjaan dan bersifat sementara. Sementara imigran itu berpindah berpindah dari negara aslinya ke negara lain secara permanen. Perbedaan besar di antara dua kata ini ada di niatan untuk menetap atau hanya sementara. Udah itu aja bedanya.

Tipe pekerjaan sendiri juga tak membedakan bisa disebut ekspat atau imigran. Ekspatriat tak melulu harus eksekutif. Para pekerja rumah tangga yang kerja di Timur Tengah itu ya ekspatriat, karena mereka hanya sementara di sana. Sementara para pekerja teknis dari Indonesia yang pindah ke Eropa untuk bekerja secara permanen dan menetap di negara tersebut secara teori ya namanya migran.

Photo by cottonbro

Kompensasi Ekspatriat

Di Indonesia, ekspatriat (selanjutnya saya sebut ekspat ) itu diidentikkan dengan dapat banyak fasilitas, dari rumah dengan kolam renang di kawasan mewah, mobil, pengemudi, pekerja rumah tangga, biaya sekolah anak hingga ongkos pulang kampung naik kelas bisnis. Yang dilihat orang kebanyakan yang di atas semua. Padahal, realitasnya tak semewah apa yang dibayangkan.

Tak jarang ekspat dalam posisi eksekutif hanya mendapat subsidi rumah. Subsidinya beraneka ragam, dari ribuan hingga puluhan ribu. Jika rumah disubsidi, gaji pengemudi dan pekerja rumah tangga seringkali harus merogoh kocek sendiri, apalagi ongkos membayar pekerja ini bisa dibilang “murah”. Biaya sekolah anak sendiri tak melulu dibayar 100%, apalagi yang anaknya banyak. Ada yang disubsidi, ada yang hanya diberi hingga angka tertentu. Tergantung pemberi kerja.

Sawang-sinawang

Yang tak dapat apa-apa & hanya dapat gaji juga banyak. Dari gaji yang cukup untuk bayar kos aja, hingga bisa bayar apartement sendiri. Asuransi kesehatan bayar sendiri, pekerja rumah tangga cuma mampu bayar seminggu sekali. Kemana-mana mesti naik transportasi umum karena tak sanggup beli mobil, apalagi bayar pengemudi bulanan. Pulang kampung juga mesti nabung & nunggu tiket murah. Yang model gini buanyaaaak & mereka cukup senang dengan paket yang mereka dapatkan. Walaupun pada akhir bulan rekening mereka juga tak jarang teriak-teriak karena “pas-pasan“.

Soal visa juga banyak orang nganggep semua diurusin, tinggal duduk manis dan kipas-kipas. Eh ya jangan salah, yang kipas-kipas kelamaan nongkrong di imigrasi nungguin visa juga banyak. Ada banyak yang mesti rogoh kocek sendiri untuk bayar biaya visa & kebingungan karena tak mendapatkan dukungan penerjemah. Yang wira-wiri Jakarta – Singapura untuk ngurusin visa kerja yang usianya cuma sepanjang usia kontrak juga banyak. Tiket ke Singapura PP? Bayar sendirilah. Belum lagi ada yang diusir dari KBRI karena kakinya kepanasan dan nekat pakai sepatu sandal waktu antri di KBRI Singapura. Demi bisa dapat visa mereka pun harus meminjam sepatu dari salah satu Pekerja Migran Indonesia (bless you mbak!). Mbok pikir ekspat itu ceritanya wah semua…

Ketika jadi ekspat

Asosiasi ekspat dengan kemewahan ini menancap keras di kepala banyak orang. Begitu dapat kesempatan jadi ekspat di luar, anak bangsa mana yang tak langsung girang. Apalagi gaji yang ditawarkan dalam mata uang asing terlihat sangat besar ketika dirupiahkan. Gaji yang belum diterima pun langsung dibelanjakan di dalam angan-angan untuk membeli sawah, buka kontrakan, bayar KPR, beli krypto, emas batangan dan aneka rupa belanja imaginatif. Pendek kata, belum gajian, gaji udah abis diangan-angan.

Sampai kemudian realita menghempaskan angan-angan & diri tertampar realita.

Gaji besar itu ternyata tak beda jauh dengan gaji orang lokal & pajak yang dibayarkan ternyata begitu tinggi. Tamparan ini makin keras ketika tahu biaya hidup di luar negeri begitu tinggi. Akomodasi harus cari sendiri dan harga kontrakan mewah dengan kolam renang yang ada dimimpi tak terjangkau. Belum lagi visa harus antri, urusan dan bayar sendiri. Tak ada calo, visa gratisan, apalagi kesempatan duduk-duduk manis sambil kipas-kipas seperti tuan besar. Kekagetan ini masih ditambah dengan sekolah untuk anak bukan sekolah internasional, tapi sekolah biasa seperti kebanyakan anak orang lain.

Menjadi ekspat di luar juga tak selalu ada embak yang bisa disuruh-suruh biar seperti tuan dan nyonya besar. Tak selalu ada supir yang bisa disuruh lari ke supermarket beli teh botol. Atau satpam yang siap siaga jaga pagar rumah. Tiba-tiba diri tertampar keras ketika tahu bahwa menjadi ekspat di luar negeri itu tak selamanya sehijau rumput ekspat tetangga. Ditambah lagi, ketika rasa rindu akan kampung membuncah, harus pulang sendiri, naik tiket ekonomi promo dan tak ada korporasi yang membayari tiket bisnis.

Penutup

Terlalu sering saya mendengar keluh-kesah atau bisik-bisik mereka yang kaget tinggal di luar negeri sebagai ekspat. Ada banyak kekagetan ketika tahu ongkos hidup di luar negeri itu lebih besar dan ongkos kenyamanan seringkali tak terjangkau (i.e biaya pijit, biaya memperkerjakan pekerja rumah tangga). Adapula kecembururan ketika tahu paket ekspat yang mereka terima seindah paket orang lain, apalagi ketika dibandingkan dengan para eksekutif asing yang bekerja di Indonesia.

Saya sendiri tak kalah kaget lagi ketika tahu mereka tak bisa membaca kontrak dengan seksama dan memastikan fasilitas yang mereka terima sesuai harapan. Kaget ketika tahu harapan mereka begitu tinggi, tapi tak dibarengi dengan kemampuan untuk bernegosiasi sebelum kontrak ditandatangani. Dan saya makin kaget lagi ketika tahu mereka bukan eksekutif tapi berharap mendapatkan fasilitas menjulang sekelas Presiden atau CEO.

Situ yakin pengalamannya eksekutif?


xoxo,
Tjetje
Bukan ekspat

Disklaimer: paketan ekspat tak melulu jelek ya, yang berlimpah fasilitas mewah juga banyak.

Perceraian


Sukses di mata kebanyakan orang itu adalah sekolah yang baik dan benar, punya gelar, kawin di usia yang masih muda (dan belum menginjak 30an). Lalu tentunya punya anak, pekerjaan atau usaha yang bagus, punya mobil serta rumah dan tentunya memiliki keluarga yang harmonis. Orangtua pasti tenang ketika semua ini tercapai dan tetangga tak berbisik-bisik mengusik orang tua.

Maka tak heran jika kemudian terjadi perceraian, seringkali, atau bahkan selalu ada bisik-bisik tak enak soal percerain ini. Masyarakat kita masih menganggap percerai sebagai sebuah bagian dari kegagalan, padahal ketika janur kuning didirikan, tak pernah ada jaminan bahwa perkawinan akan bebas dari bau kentut & selalu manis seperti drama-drama Korea.

Pengumuman Perceraian

Ketika sepasang insan memutuskan untuk kawin, dunia merasa harus tahu & harus terlibat dalam perayaan perkawinan. Tetangga dan teman banyak yang merasa tersinggung jika tak diundang ke pesta perkawinan. Merasa punya hak untuk diundang, padahal ya kenal-kenal banget juga engga.

Hal yang sama terjadi juga ketika terjadi perceraian, banyak yang tiba-tiba merasa memiliki hak untuk tahu. Tak hanya itu, seringkali ada rasa perlu untuk menerima penjelasan mengapa terjadi perceraian. Padahal aslinya kepo aja, pengen tahu hidup orang lain.


Ketika memilih mengumumkan

Bercerai itu meninggalkan luka, bagi pasangan tersebut dan tentunya bagi keluarganya. Ketika kemudian ada yang memilih untuk berkabar tentang perceraian ini, seringkali topik penyebab perceraian tak terelakkan. Pembicaraan yang membuka luka ini seringkali dibumbui dengan komentar dan penghakiman.

Kenapa tak begini dan tak begitu? “
“Ah gitu aja kok harus cerai? “
“Masih bisa diselamatkan kan perkawinannya? “


Padahal bagi tiap individu itu, memiliki level toleransi terhadap pasangan yang berbeda? Keinginan dan kebisaan untuk berusaha menyelamatkan perkawinan juga berbeda-beda. Ada yang mati-matian mempertahankan pasangannya bahkan ketika sudah ketahuan berselingkuh seribu kali. Ada yang tak mau mempertahankan setelah tahu pasangannya berselingkuh secara emosi dengan orang lain. Banyak faktor dan semuanya bergantung pada individu masing-maing.

Seringkali, ketika perceraian belum ketok palu, apalagi di negara seperti Irlandia yang harus berpisah dulu selama dua tahun, ada teman-teman atau saudara yang mendadak menjadi konselor perkawinan atau bahkan mediator. Mau menyelamatkan perkawinan. Nggak ada deh ceritanya ngurusin urusan sendiri. Harus campur tangan.

Tabu

Sudah saatnya perceraian tidak dianggap sebagai sebuah hal yang tabu lagi. Tapi dianggap sebagai hal yang biasa terjadi. Namanya manusia itu bisa berubah ketika menjalani hidup dan menjauh. Growing apart. Ada pula yang bercerai karena kekerasan dalam rumah tangga. Atau karena hubungan perkawinan sudah tak sehat lagi. Jadi daripada makin tak bahagia karena perkawinan, lebih baik diakhiri.

Pada akhirnya tiap individu berhak atas cinta. Terutama cinta terhadap dirinya sendiri dan untuk memprioritaskan kebahagiaan dirinya sendiri. Jika perceraian adalah jalan yang harus ditempuh untuk kebahagiaan itu, maka kenapa kita sebagai masyarakat harus reseh?


Photo by Mathieu Stern on Unsplash

Penutup

Bercerai itu seringkali membuat luka di hati. Prosesnya panjang dan seringkali tak murah. Di masyarakat kita, mereka yang bercerai itu juga banyak mengalami tekanan bahkan ketakutan. Dari takut salah membuat keputusan, hingga takut dihakimi. Tak elok rasanya kalau kemudian kita, sebagai bagian dari masyarakat masih menambah beban mereka yang bercerai.

Salah satu beban yang bisa dengan mudahnya kita ringankan adalah entitlement untuk tahu mengapa mereka bercerai. Mereka yang bercerai tak punya kewajiban untuk menjelaskan kepada kita mengapa mereka bercerai. Kewajiban ini cuma perlu mereka jelaskan pada pengacara dan hakim yang akan mengetuk palu perceraian.

Satu lagi yang sering saya lihat dan dengar. Ketika melihat orang bercerai, lalu pegang toa dan koar-koar kemana-mana mengumumkan berita perceraian. Seringkali berita perceraian itu ditambahi dengan spekulasi kenapa perceraian terjadi hingga soal pacar baru. Tentunya ditambah pula dengan penghakiman soal pacar baru ini. Macam mereka yang bercerai tak berhak menemukan kebahagiaan.

Ah wait, mungkin mereka yang sinis melihat orang punya pacar baru ini, saat muda dulu tak pernah ngerasain gemasnya punya pacar baru? 🤔


xoxo,
Tjetje




Pekerjaan Konten Moderator di Irlandia

DM Instagram saya sering menerima pesan dari orang-orang Indonesia di berbagai dunia, biasanya di Asia. Mereka mendapatkan tawaran pekerjaan untuk menjadi Konten Moderator untuk sosial media di Dublin. Pertanyaan yang saya terima ini seringkali seputar kehidupan di Dublin, ongkos hidup dan pekerjaan konten moderator.

Pembicaraan ini saya rangkum dalam berbagai poin supaya mereka yang memerlukan informasi bisa mendapatkan sedikit bayangan tentang kehidupan di Irlandia.


Konten Moderator

Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang tergolong baru dan muncul seiring dengan munculnya media sosial. Ada dua hal yang terkait dengan pekerjaan ini, layanan terhadap pengguna media sosial atau menganalisis konten yang di unggah di sosial media. Soal pelayanan terhadap konsumen ini biasanya membantu mereka (bisa individu, atau bahkan perusahaan) ketika mengalami masalah, contoh sederhananya, kehilangan kata sandi atau mengalami masalah ketika melakukan pembayaran.

Sedangkan analisis konten sendiri berkait dengan konten-konten yang tak layak berada di media sosial, seperti konten yang sadis dan tak menyenangkan, bahkan bisa bikin PTSD. Tak selamanya jelek, tentunya ada konten-konten menyenangkan, seperti gambar-gambar anjing atau bahkan cuplikan drama Korea yang muncul tanpa peringatan spoiler.

Resiko dan dampak pada kesehatan jiwa dari pekerjaan ini sendiri tak akan saya bahas, silahkan dicari sendiri di Google. Ada banyak berita tentang pekerjaan ini yang bisa memicu pengakhiran hidup (baca: bunuh diri). Tapi perlu dicatat, tiap individu itu berbeda-beda reaksinya, jadi jangan disamaratakan and know yourself and your limit.

Penghasilan

Dari interaksi yang saya terima, pertanyaan yang muncul biasanya datang dari mereka yang ditawari pekerjaan dari perusahaan outsourcing, gak usah disebut nama-nama perusahannya. Paket yang diterima biasanya gaji tahunan yang sedikit lebih tinggi dari upah minimum Irlandia, tapi jangan dirupiahkan (25k-35k/ tahun) dan sedikit bantuan untuk relokasi. Saya tulis sebagai sedikit bantuan karena seringkali tak cukup untuk membayar tiket pesawat one way, apalagi ongkos sewa kamar di hotel hostel untuk minggu pertama dan ongkos visa kerja jika tak disponsori.

Oh ya, satu hal yang patut dicatat, gaji tahunan yang jangan dirupiahkan itu akan dipotong jika sakit. Di sini memang tak ada kewajiban untuk membayar pegawai ketika sakit dan alokasi dari pemerintah sendiri baru akan diberikan setelah sakit beberapa hari. Jadi jangan sakit supaya tak kehilangan penghasilan. Apalagi, dokter di sini tak gratis. Ongkos dokter umum bisa berkisar 50-60 Euro untuk sekali kunjungan (biasanya 50% akan diganti asuransi jika memiliki asuransi kesehatan).

Salju jarang turun di Irlandia. Tapi begitu turun, dipastikan transportasi akan mandeg.



Di Irlandia sendiri, ada aturan untuk critical skill (ini termasuk kemampuan bahasa Indonesia) dan ada gaji minimum yang diterapkan oleh pemerintah. Supaya gaji minimum ini bisa dicapai, biasanya shift yang ditawarkan di luar jam kerja normal (sehingga rate jam-jam’an masuk ke rate premium. Bahasa Indonesianya: lembur), atau jadwal kerja yang mencakup akhir pekan (e.g Minggu-Kamis, atau Selasa-Sabtu).

Biaya Hidup Dasar

Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan ketika mengambil jam kerja di luar jam normal, termasuk soal transportasi, karena di Dublin, transportasi itu gak 24 jam. Jasa tram dan bis berhenti di tengah malam, seperti Cinderella. Jam pulang kantor, tak ada transportasi. Pilihannya, naik taksi rame-rame, atau tinggal di dekat kantor. Menyetir mobil sendiri tak saya sarankan, karena SIM yang tak mudah didapat (dan mahal), serta ongkos asuransi mobil yang seringkali lebih mahal ketimbang harga mobil.

Soal tempat tinggal, bukanlah rahasia lagi kalau di Irlandia terjadi krisis akomodasi. Menemukan tempat tinggal itu susahnya bukan main. Kalaupun ada, harganya seringkali tak masuk akal. Ini boleh dilihat sendiri di website daft.ie. Ongkos akomodasi dan ongkos transportasi ini menjadi dua hal yang paling mahal.

Kalau soal makanan, ada makanan yang disediakan oleh kantor, saat makan pagi dan makan siang. Tentunya tak cocok dengan lidah Indonesia, tapi tak perlu mengeluarkan ongkos untuk biaya makan pagi dan siang. Belanja makanan sendiri bukanlah hal yang mahal, apalagi ada supermarket yang menawarkan bahan makanan dengan harga murah. Daging, apalagi sayur di sini tak mahal. Yang “mahal” tentunya tempe, tahu dan sayuran Asia. Kalau rindu makanan Indonesia, ada banyak ibu-ibu yang menawarkan makanan dengan harga 7-10 Euro per porsi, cukup untuk mengobati rindu masakan nusantara.

Kerja di rumah tak berlaku untuk semua konten moderator. Sebagian harus kerja di kantor.

Pajak

Pajak di Irlandia tak seperti pajak di Indonesia. Untuk mereka yang lajang, penghasil hingga 35,300 akan dikenakan pajak sebesar 20%. Selanjutnya di atas itu akan ada pajak 40%. Tak hanya pajak saja, tapi juga ada PRSI dan USC. Ini panjang ngejelasinnya, untuk mudahnya sih bisa langsung Google saja tax calculator dan hitung sendiri.

Asuransi kesehatan yang diberikan perusahaan sendiri juga tak diterima dengan cuma-cuma. Ada Benefit-In-Kind yang harus dibayarkan dan dipotong setiap bulan ketika menerima gaji.

Untuk yang kawin sendiri perhitungan pajaknya berbeda. Apalagi jika hanya satu pihak yang bekerja. Kalau kemudian akan membawa anak, biaya pendidikan di sini gratis dan dokter untuk anak gratis hingga usia tertentu.

Makanan Indonesia bisa ditemukan dengan mudah di rumah-rumah orang Indonesia. Bahan-bahannya juga ada di toko Asia.



Penutup

Hidup sebagai konten moderator di Dublin itu bisa dan ada ribuan konten moderator dari berbagai negara di Irlandia. Mereka bisa hidup, bisa jalan-jalan ke luar negeri, bahkan bila rajin menabung dan tak hura-hura bisa membeli rumah.

Nah yang sering menjadi pertimbangan itu, soal berapa sisa uang yang bisa ditabung jika bekerja di Eropa atau di negara Asia lain. Seringkali, target kerja hanya beberapa tahun untuk mencari pengalaman dan kembali pulang kampung. Saya seringkali menyarankan untuk menghitung berapa tabungan yang bisa disimpan jika bekerja di negara lain dan membandingkannya dengan dana yang bisa ditabung di Irlandia.

Pada akhirnya, pilihan untuk pindah ke Dublin, untuk menimba pengalaman kerja, ataupun untuk merasakan hidup di Dublin adalah pilihan masing-masing. Dan kalau kemudian datang di Dublin saat musim dingin, musim dingin di Irlandia itu dingin dan kelam. Seringkali depresi menyambut tanpa diundang. Please mind your well being, apalagi kalau kemudian konten yang dianalisis tak mudah untuk dilihat dan bikin perut mules.

xoxo,
Tjetje – Pernah dihina-dina karena bekerja jadi konten moderator outsourcing.




Bicara Keuangan

Konon katanya ngomongin uang itu sebuah hal yang sangat tabu, nggak pantes. Tapi dengan pasangan sendiri, baik ketika hubungan sudah mulai serius, ketika akan masuk jenjang perkawinan, hingga ketika sudah berada dalam perkawinan, berbicara keuangan itu mestinya sebuah hal yang tak boleh dianggap tabu.

Uang (dan ekspektasi keuangan) itu banyak membawa bencana dalam perkawinan ketika tak dibicarakan dengan baik. Dan tentu saja topik ini sudah berulang kali dibahas oleh para Twitterati, yang kali ini saya bahas dari sisi kawin campur dan tinggal di luar negeri.

Pasangan WNA, gaji dan liburan

Pacaran dengan orang asing itu, seringkali dianggap sebagai kunci kemenangan jackpot dan tiket untuk memperbaiki kondisi keuangan dan hidup. Bule-bule ini seringkali dianggap punya uang banyak, gajinya besar, bisa liburan kemana-mana (termasuk ke Indonesia) dan tak pelit. Apalagi ketika liburan tidurnya di hotel, bukan di hostel. Plus ketika ngekspat kemana-mana dianterin supir dan rumahnya gede di Jakarta Selatan. Biarpun kena banjir kalau musim ujan dan hasil ngontrak, yang penting gede.

Padahal, realitanya, kehidupan ketika jalan-jalan dan kehidupan ketika ngekspat itu engga sama. Ekspat itu banyak dapat fasilitas kantor, tapi ketika balik jadi staff lokal, seringkali hidup layaknya manusia kebanyakan. Plus, harus rajin menabung untuk jalan-jalan. Ini ditulis kebanyakan ya. Golongan 1% terkaya di dunia gak usah dihitung.

Nah, pas pacaran hal-hal seperti ini gak pernah dibicarakan.

Image by Pijon from Pixabay

Ongkos menghidupi keluarga

Seringkali sebelum kawin ada pengharapan uang yang dihasilkan oleh pasangan (biasanya suami), dianggap sebagai uang istri. Sementara jika istri bekerja dianggap sebagai uang istri saja. Konsep ini tak dipeluk oleh semua orang, apalagi ini setahu saya datangnya dari agama. Ketika akan diterapkan, apalagi dengan pasangan yang tak mengenal ajaran ini dan menganut konsep kesetaraan jender, ya mesti didiskusikan dulu. .

Kemudian, ada paksaan untuk memiliki akun bersama, ngotot harus punya akun bersama supaya bisa mengontrol keuangan. Atau malah akun sendiri-sendiri, dan gaji ditransfer penuh, sementara suami hanya diberi uang saku secukupnya.

Lalu, dengan kontrol atas keuangan terjadi penyalahgunakan. Ini bukan barang baru lagi. Tak ada diskusi dan uang hasil keringat dirikimkan ke kampung, supaya keluarga bisa beli sapi, beli tanah, membiayai sanak-saudara, mengirimkan hadiah, renovasi rumah keluarga, atau bahkan memodali usaha keluarga jauh. Ya kagetlah para bule-bule itu, karena mendadak mereka menjadi direktur charity dan tabungan menurun drastis.

Anggaran keuangan

Namanya orang menjalankan kehidupan, mau melajang, mau kawin itu selalu pakai anggaran. Nah, anggaran ini harus dibicarakan jauh-jauh hari sebelum janur kuning dilengkungkan. Siapa yang akan menanggung beban anggaran. Dalam hubungan tradisional memang laki-laki yang dianggap wajib. Tapi di dunia yang serba mahal ini, ada kalanya dua belah pihak harus bekerja. Atau malah, perempuan harus menanggung biaya rumah tangga karena pasangan sedang sekolah, tak bisa bekerja, atau memilih menjadi bapak rumah tangga.

Seringkali, ada ekspektasi dan asumsi anggaran cukup untuk belanja di lantai bawah Plaza Senayan (baca: supermarket premium), tapi realita hanya cukup untuk belanja di pasar becek. Lalu kecewa. Begitu juga soal rumah. Berharap beli rumah di kawasan Menteng, tapi anggaran hanya cukup untuk sewa di kawasan Lenteng. Lalu menyesal mengawini pasangan dan merasa tertipu.

Bicara anggaran juga tak bisa lepas dari topik sensitif: HUTANG. Hutang sebelum perkawinan tak pernah didiskusikan. Lalu kaget bukan kepalang ketika tahu pasangan memiliki hutang bertumpuk. Beberapa orang yang sangat polos bahkan merelakan namanya dipakai pasangannya mengambil hutang lagi, tanpa berpikir panjang soal resiko di masa depan. Modyaaar….

Penutup

Seusai resepsi perkawinan, saya menemukan uang dalam jumlah agak banyak di jaket suami. Dasar anak media sosial (jaman itu masih main Path hanya untuk orang-orang terdekat), langsung jadi status. Tante saya langsung memberi wejangan yang harus dipegang sangat teguh: jangan pernah mengambil uang suami sepeserpun.

Pesan yang menempel dan melekat di kepala saya. Sampai hari ini, uang yang saya temukan di kantong celana ataupun di sofa selalu masuk ke toples khusus. Jumlahnya tak pernah banyak, karena transaksi tunai di negeri ini sangatlah jarang. Tapi prinsipnya, kalau soal uang, harus terbuka dan jujur. Kalau engga, ya modyar.


Jadi, kamu diskusi soal keuangan gak dengan pasangan?

xoxo,
Tjetje

Ngobrolin Civil Partnership

Disclaimer dulu: tulisan ini saya tulis dengan konteks dan kacamata di luar Indonesia. Dalam kacamata Indonesia, civil partnership itu tidak diakui, karena UU no. 1/1974 UU ini mengatur bahwa perkawinan yang diakui negara adalah perkawinan berdasarkan upacara keagamaan.

Salah satu perbincangan yang muncul dari tulisan Bobot, Bibit, Bebet yang saya unggah minggu kemarin adalah soal civil partnership versus kawin di negara tetangga. Bukan di Irlandia.  Diskusi kami membahas soal CP yang dianggap hanya untuk pasangan sesama jender, sementara perkawinan untuk pasangan heteroseksual. Memang, di awal sejarah, CP banyak digunakan untuk pasangan dengan jender yang sama.

Tapi peminat CP kemudian meluas hingga banyak mendorong CP menjadi jender netral dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Alasannya aneka macam, dari karena biaya, kultur, kemudahan untuk pembubaran, patriarkisme pada perkawinan, hingga ketidakpercayaan pada institusi perkawinan. Perancis, Portugal, Belanda, Belgia, Luxemburg, Estonia, Yunani, adalah beberapa negara yang sudah mengadopsi CP di Eropa.

CP di tiap-tiap negara itu berbeda-beda, perlakuannya beda, hak-haknya juga beda. Dalam konteks Irlandia, CP dan perkawinan itu tak setara, apalagi dalam hal hak-hak. Pasangan CP misalnya tak diperkenankan untuk mengadopsi anak, tak seperti mereka yang kawin. Ini diskriminatif banget. Tak heran kalau kemudian di Irlandia ada perjuangan untuk mencapai kesetaraan terutama dari komunitas LGBT. Dan mereka kita semua menang di tahun 2015.

Di negeri ini, pencatatan CP sudah tidak dimungkinkan lagi sejak amandemen konsituti ke 34. Irlandia menorehkan sejarah dengan menjadi negara pertama di dunia yang memperbolehkan perkawinan tanpa melihat jender berdasarkan voting langsung oleh rakyatnya (referendum). Jadi prinsipnya, semua orang di sini boleh kawin secara resmi, apapun orientasi seksualnya dan pilihannya hanya kawin resmi. Tak hanya Irlandia saja, di Denmark dan Jerman juga sama. Begitu perkawinan setara legal, maka CP dihapuskan.

Lalu bagaimana dengan mereka yang ingin memilih untuk CP? Bisa, tapi di luar Irlandia. Pengakuan perkawinan ini ada banyak hal, misalnya visa. Tapi tidak untuk kepentingan pajak. Di Irlandia, hanya ada beberapa CP yang diakui, daftarnya bisa ditengok di sini.  Nah, apa dampaknya? Penghitungan pajak harus dilakukan sebagai lajang dan bukan sebagai pasangan.

Pengakhiran atau pembubaran CP seringkali dianggap lebih mudah. Di negara-negara lain mungkin sangat mudah dan hanya perlu minta dissolution. Di Irlandia, waktu CP masih bisa didaftarkan, prosesnya tetep ribet. Sebelum berpisah resmi ke pengadilan, ada proses untuk hidup berpisah dulu selama 2 tahun dari 3 tahun terakhir. Ini sudah lebih pendek, tadinya harus empat tahun hidup terpisah dulu.

Image by Free-Photos from Pixabay

Penutup

Civil partnership menjadi pilihan banyak orang, terutama di kalangan orang-orang muda karena banyak hal. Kesetaraan menjadi satu alasannya. Dalam konsep CP tak seperti perkawinan, di mana laki-laki idealnya menjadi tulang punggung. Apalagi konsep hartamu adalah hartaku, hartaku adalah hartaku. Perlindungan terhadap aset dengan CP juga lebih mudah ketimbang perkawinan. Dan jika terjadi perpisahan, akan jauh lebih mudah dan tak perlu rebutan aset.

Konsep perkawinan di negara tetangga yang mengharuskan prosesi agama, dan pengucapan sumpah juga menjadi hal lain yang membuat CP lebih populer. Belum lagi soal nama keluarga yang cenderung patriarkis.

Pilihan untuk kawin atau civil partnership itu tergantung situasi masing-masing. Selain soal pilihan, juga soal kondisi negara masing-masing. Nah kalau kemudian ditawari pasangan untuk CP ketimbang kawin, ya coba diriset dulu, baca seluruh informasi terutama tentang positif dan negatifnya, apalagi kalau sudah menyangkut hak setelah pembubaran.

Surat-surat itu memang hanya secarik kertas, tapi ada cerita hukum dan hak-hak dibaliknya. It’s not just a piece of paper.


xoxo,
Ailtje