Tulisan ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi saya dan beberapa teman-teman.
Selama tinggal di Irlandia ini saya sudah beberapa kali pindah, dari yang berjarak 5 menit dari pusat kota, pinggiran Dublin, hingga Dublin coret. Di tengah Dublin, individualisme itu sangat-sangat kuat. Komplek apartemen dipenuhi oleh para pekerja profesional yang tak hanya orang-orang Irlandia. Kerja pagi hingga sore, lalu kalau ketemu di lift hanya senyum atau menyapa apa kabar. Semua orang sibuk dengan hidupnya masing-masing.
Begitu kami pindah ke pinggiran kota Dublin, individualisme masih sangat kuat, walaupun tak seperti di tengah kota. Interaksi dengan tetangga sendiri sangat terbatas dan baru meningkat ketika Natal tiba dengan bertukar kartu atau kue-kue Natal.
Di luar Dublin sendiri, komunitas tempat saya tinggal bersatu-padu dalam banyak hal, dan gotong-royong ini sudah kuat sejak sebelum pandemik.
Gotong-royong skala kecil
Di Irlandia, menyetir dengan kadar alkohol itu tak diperkenankan. Ketika ada pesta atau pulang dari pub, alih-alih mencari taksi seperti di Dublin, yang tak minum memberikan tumpangan pulang untuk mereka yang minum. Saya sendiri, karena sudah tak rajin minum, berulang kali mengantar mereka yang minum, bahkan di tengah malam.
Sekali waktu, saya pernah memberi tumpangan tetangga saya pulang seusai pesta di kampung kami. Beberapa kemudian, cerita saya memberi tumpangan ini sudah sampai ke telinga orang Indonesia lain yang tinggal di kampung lain, bahkan beda county. Rumpi….
Tumpangan tak hanya diberikan pada mereka yang minum. Perlu tumpangan untuk mengambil tanaman yang ukurannya besar, perlu ke bandara, perlu ambil mobil ke bengkel, semua bisa minta tolong tetangga. Kuncinya gak segan minta tolong kalau butuh pertolongan.
Bantu-membantu di sini gak cuma urusan tumpangan. Butuh kursi karena ada pesta, gak usah repot-repot nyari penyewaan kursi, pinjem kursi-kursi tetangga aja. Mau beli bel rumah yang pakai kamera, tetangga pun siap nunjukin kamera mereka dan bantu install. Pintu rumah agak rewel, tetangga dengan senang hati ngebenerin. Gak perlu pakai bayar (di sini biasanya kalau dibantuin tetangga kita beliin mereka minum waktu ke pub). Warbiyasak banget deh.

Nitip anak, pinjam anak tetangga buat diajak mainan, nitip anjing, atau bahkan kalau ada anjing ilang diambil dulu sama tetangga sampai pemiliknya ketemu. Kalau liburan, nitip rumah juga sama tetangga sebelah, bahkan titip minta sampah di keluarin.
Ketika awal pandemi, salah satu keluarga di kampung kami ada yang harus isolasi mandiri. Bantuan yang diberikan tetangga, dari dibantuin belanja sampai dikirimi makanan mengalir. Perlu apa-apa aja, tinggal minta tetangga. Balik lagi, tinggal bilang aja, tetangga datang dengan pertolongan.
Bedah Rumah
Salah satu gotong royong terbesar yang saya lihat adalah program bedah rumah versi Irlandia. Program ini berlangsung dimana-mana dan pernah berlangsung di kampung kami. Ada salah satu keluarga di kampung kami yang rumahnya perlu direnovasi karena mereka memiliki anak-anak berkebutuhan khusus.
Satu desa, bahkan desa-desa sebelah, bergotong-royong memberikan dukungan. Gula, kopi, teh, air panas, aneka kue-kue dan biskuit pun diberikan oleh para tetangga. Sampai ada jadwalnya, supaya orang-orang bergantian. Ini persis ketika jaman tinggal di Jakarta ataupun di Malang, ada jadwal mengirimkan kue dan kopi untuk satpam komplek yang ngeronda.
Mereka yang tak bisa bikin kue, tapi punya kebisaan untuk membangun rumah menyumbangkan tenaga dan waktunya. Tergantung specialisasi mereka, tukang ledeng, tukang listrik, tukang lantai, semuanya kerja bareng tak dibayar. Yang tak punya pengetahuan pertukangan, seperti suami saya, ngeronda untuk jaga peralatan bangunan. Yang gak kebagian jadwal ngeronda, seperti tukang es krim, datang bawa truk es krimnya dan bagi-bagi es krim gratis untuk seluruh kru yang berpartisipasi.

Tak cuma makanan dan skill saja, bahan bangunan, dari paku sampai tanaman juga hasil swadaya masyarakat sekitar. Tak hanya individu tapi juga bisnis. Semuanya gotong-royong demi membantu salah satu tetangga desa kami.
Penutup
Irlandia ini konon masuk sebagai salah satu negara yang individualis. Tapi dari pengalaman yang saya alami, engga juga kok, banyak tolong-menolong dan gotong-royong. Ada yang mungkin berargumen, ah ini mungkin karena desa tempat saya tinggal kecil. Tapi salah satu cerita yang saya tulis di atas kejadiannya di kota terdua terbesar di Irlandia.
Kesimpulan saya, individualisme itu tak hanya masalah kultur, tapi juga masalah mentalitas.
Tetangga saya, orang Irlandia, yang saya anterin pulang beberapa minggu lalu menanyakan satu pertanyaan yang penting dan vital: “Do you know anyone in the village?” Kamu kenal sama orang lain gak?
Lha kalau engga kenal dan kalau kita bawa mental individualis, gak nyapa orang, gak ngajak orang ngobrol, apalagi karena tinggal hanya sementara saja, tak mau repot berkenalan dan berinteraksi dengan masyarakat loka, ya orang-orang Irlandia akan menawarkan individualisme.
xoxo,
Tjetje
Dapat kangkung organik satu kresek dari tetangga sebelah rumah.