Menjadi pelaku perkawinan campur itu sungguh penuh dengan tantangan. Mau di negeri sendiri atau bahkan di negeri orang lain, kami sering kali dicela karena pilihan hidupnya. Tak jarang bahkan kami digeneralisasi dengan aneka label-label negatif. Pada saat yang sama, hidup sebagai diaspora pelaku kawin campur itu juga dilihat sebagai hidup yang glamor, penuh kemewahan dan tentunya kemudahan.
Sungguh mudah, sampai-sampai pelaku kawin campur itu disebut-sebut sebagai diaspora jalur VIP, tanpa modal, atau bahkan disebut dengan sebutan negatif sebagai diaspora yang hanya bermodalkan anggota tubuh. Saya nggak sanggup kalau disuruh menulis ulang bagian ini, karena kejam. Sungguh kejam.
Salah satu celaan yang pernah saya ulas di X adalah tweet di bawah ini. Tweet menanggapi kasus salah satu diaspora yang dianggap tak mau berbagi kesempatan dengan orang lain, tapi kemudian menggeneralisasi diaspora secara umum. Bagi saya, generalisasi ini sangat problematik.

Modal bahasa
Menjadi diaspora itu tak ujug-ujug pindahan tanpa modal sama sekali. Salah satu kemampuan paling dasar yang harus dimiliki oleh diaspora yang pindah ke negara lain itu adalah kemampuan bahasa. Seperti kita semua tahu, mempelajari bahasa asing, entah itu bahasa Inggris, Melayu, Tetum, atau bahasa asing lainnya yang bahkan menggunakan alphabet non-Roman, seperti, Jepang, Rusia, Korea, memerlukan otak.
Aturan kemampuan bahasa di tiap negara berbeda-beda, tapi tak jarang kemampuan bahasa ini harus ada pada level tertentu. Ketidakmampuan menggunakan bahasa pada level yang ditentukan pemerintah negara tujuan bisa berdampak pada sulitnya mendapatkan ijin tinggal atau bahkan visa. Padahal, belajar bahasa itu perlu waktu, tak mudah, sementara otak dipaksa cepat-cepat menangkap ilmu baru supaya ijin tinggal bisa segera diproses.
Ambil contoh sederhana, saya. Visa saya ke Irlandia tak bergantung pada kemampuan bahasa Inggris saya. Tapi saya yang sudah bisa berbahasa Inggris sejak piyik menyiapkan diri dengan mengambil kursus IELTS serta ujian IELTS. Kilat, pakai modal bayar kursus, waktu serta otak. Begitu sampai Irlandia, buyar semua kemampuan bahasa Inggris saya. Di Irlandia, mereka menggunakan bahasa Inggris Hiberno.
Kosakata tak sama dengan American English yang saya pelajari seumur hidup saya, aksen dari satu kota ke kota lainnya tak sama. Otak saya tiba-tiba diperas untuk bisa segera mencerna Hiberno Inggris yang saya sama sekali tak familiar. Sampai satu dekade kemudian, saya masih terus-menerus belajar kosakata baru.
Oh ya, di Irlandia penulis tweet di atas itu bisa dipanggil GOBSHITE ataupun EEJIT!
Modal keterampilan
Komentar soal keterampilan atau skills ini menggambarkan betapa penulis tweet ini asal nyablak tanpa memahami kondisi lingkungan kerja di banyak negara di luar negeri. Ambil contoh saya sendiri, beberapa bulan pertama saya tinggal di sini, saya gak bisa mendapatkan pekerjaan. Padahal, pengalaman kerja saya tak buruk-buruk amat.
Tapi tunggu dulu, bersaing di luar negeri itu tak mudah. Prioritas pekerjaan di sini itu lebih banyak diberikan pada orang-orang lokal dan orang Eropa. Diaspora macam saya seringkali tak ditengok, apalagi karena pengalaman saya semuanya di Asia dan dianggap tak relevan dengan Eropa.
Saya tak sendirian, banyak diaspora yang punya pengalaman bagus dan skill harus menjalani pekerjaan yang tak sesuai dengan skill mereka. Makanya jangan heran kalau ada konten kreator yang sekolah S2 tapi kerjanya bersih-bersih di luar negeri.
Pekerjaan yang tak memerlukan banyak keterampilan ini seringkali tak dimaui oleh orang lokal dan menjadi pekerjaan yang paling mudah didapatkan oleh pendatang. Gak perlu makan gengsi juga karena pekerjaan ini memberikan gaji yang layak, bahkan tak jarang sama dengan pekerja kantoran, karena di sini banyak pekerja kantoran yang gajinya UMR.
Banyak orang yang kemudian lebih betah untuk tetap bekerja di area kerah biru, karena kerjanya lebih santai. Patut dicatat, di sini kerjaan tak mendefinisikan manusia dan kita tak perlu jadi manajer untuk bisa membuktikan diri jadi orang sukses. Jadi tukang bersih-bersih WC kalau happy jauh lebih menyenangkan ketimbang jadi manajer yang tiap hari olahraga jantung ngurusin masalah perusahaan.
Kalaupun ada diaspora yang tak memiliki skill (karena alasan apapun yang kita tak perlu tahu dan ngurusi) pemerintah di negara-negara maju banyak memberikan program-program gratis untuk menambah keterampilan. Tujuannya sederhana, supaya supaya orang-orang ini bisa maju dan kemudian berkontribusi membayar pajak. Tapi balik lagi ke individu masing-masing dan kondisi hidup mereka, karena tak semua orang mau ataupun mampu untuk membangun karir. Ada banyak yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga atau bekerja paruh waktu, dan ini bukan pilihan yang salah. Nah mbok pikir ngatur rumah tangga itu gak pakai skill?
Penutup
Menjadi diaspora itu tak selalu mudah. Di balik foto-foto indah di luar negeri, ada banyak tantangan yang harus dihadapi diaspora. Gak elok rasanya kalau kemudian kami yang berjuang memeras otak untuk bisa nyaman di rumah baru kami dituduh dengan semena-mena tak bermodalkan otak.
Semenjak munculnya #KaburAjaDulu, banyak pengguna media sosial yang tak mengerti tantangan hidup di luar negeri kemudian asal nyablak, membuka mulut dan memberikan opini tentang kehidupan kami tanpa tahu realitanya bagaimana. Seringkali orang-orang model begini justru tak pernah menjejakkan kaki di luar. Kalau sudah begini, saya cuma bisa bilang: kalau ngomong itu mbok ya pakai otak, asah dulu keterampilannya menulis, supaya tweet bisa bermutu dan menggambarkan realita sesungguhnya. Dasar gobshite!
xoxo,
Tjetje
Paling enak emang mengomentari orang, apalagi lewat twitter, keknya gada konsekuensi dengan apa yang di utarakan, ga usah di backup pake data, statistik, yang penting asal nyablak.
Ini si Twitter makin gak karu-karuan aja. Banyak bener tong kosong yang rasanya pengen ditendang satu-satu, biar suaranya krompyangan.