Malas Jalan Kaki

Kantor saya di Jakarta dulu terletak di area Senopati, kalau waktu makan siang, saya dan beberapa rekan kantor sering melipir ke Plaza Senayan (PS). Kendati jarak dari kantor ke PS tak sampai 15 menit berjalan kaki, saya selalu naik taksi dan menolak jalan kaki. Bagi saya, jalan kaki ketika makan siang itu menyiksa, karena tubuh harus bermandikan keringat terbakar teriknya panas matahari. Tapi, kalau disuruh lari-lari sore, ketika matahari tak tinggi, di GBK Senayan, atau jalan kaki di treadmill Fitness First saya tak keberatan.

Bagi saya, yang membuat saya malas jalan kaki di Indonesia itu ada beberapa hal. Pertama, cuaca yang terlalu panas, ditambah dengan asap kendaraan dan polusi Jakarta yang tak karuan di siang hari. Ketersediaan trotoar yang adem dan layak juga menjadi faktor lain. Trotoar di Sudirman mah nyaman, tapi pada jaman itu tandus, tanpa pepohonan. Entah sekarang yang. Selain itu, berjalan kaki di trotoar itu tak selalu nyaman, ada saja gangguannya. Dari lahan trotoar yang penuh dengan motor yang diparkir, hingga pedagang kaki lima yang menghabiskan banyak lahan untuk berjualan. Faktor lain adalah soal keamanan sebagai perempuan, karena males banget kalau mesti jalan kaki terus digodain orang-orang yang lagi nongkrong di pinggir jalan.

Jalan kaki di Irlandia
Begitu pindah ke Irlandia, penyakit malas jalan ini masih sempat terbawa-bawa. Kali ini bukan karena alasan-alasan di atas. Bukan juga karena hawa dinginnya, tapi karena ANGIN. Jalan kaki dalam kondisi dingin mah tak terlalu berat, selama menggunakan pakaian yang tepat. Tapi kalau sudah terterpa angin (dan hujan), ampun deh.

Dulu, waktu tinggal di Dublin rumah kami terletak tak jauh dari kaki gunung. Angin di daerah ini menusuk-nusuk ke tulang. Apalagi jika saya harus jalan dari rumah ke halte tram dan harus melewati lapangan luas yang tak ada pemecah anginnya. Perjuangan banget kalau harus geret tas belanja dan tertepa angin. Rambut yang baru dikeringkan pun dipastikan akan hancur berantakan.

Rumah kami ini dekat dengan aneka supermarket yang bisa ditempuh dengan jalan kaki. Nah, satu ketika, saya memilih naik tram untuk jarak sangat dekat, hanya dua stop. Saya pun ditegur kakek-kakek yang menuduh saya males karena dua stop saja naik tram. Tak kehilangan akal, saya pun berujar: “Eh, saya kan berkontribusi pada perekonomian Irlandia dengan bayar ongkos tram ini”. Diam deh itu kakek.

Malas jalan kaki sendiri di sini bukan pilihan, karena seringkali berjalan kaki menjadi moda transportasi yang tercepat ketimbang menunggu kendaraan umum. Apalagi kalau nunggu kendaraan ini harus berdiri beberapa menit di halte. Males deh, mendingan badan dibawa bergerak dan berjalan kaki.

Sejak pensiun dari lari, jalan kaki juga menjadi salah satu olahraga utama saya. Jalan kaki di negeri empat musim ini kalau menurut dokter saya sangat bagus, karena menurunkan resiko depresi. Memiliki anjing juga sangat membantu memotivasi diri untuk jalan kaki. Anjing saya hampir setipa hari minta dibawa jalan sedari pagi, terutama jika cuacanya bagus. Jika cuacanya buruk, dia menolak turun dari tempat tidur dan memilih tidur di bawah selimut.

Cuaca Irlandia yang tak tentu juga membuat perubahan kebiasaan. Pokoknya kalau matahari keluar harus cepat-cepat jalan kaki, karena beberapa waktu kemudian cuaca ini bisa berubah menjadi hujan badai. Makanya kalau cuaca sedang sangat baik, saya bisa mengelilingi desa tempat saya tinggal hingga tiga kali. Kadang saya juga jalan-jalan menyusuri kanal sambil melihat kuda, sapi, domba dan juga aneka burung. Bisa jalan kaki dengan kualitas udara yang baik itu menurut saya adalah sebuah kemewahan yang tidak didapat ketika tinggal di Jakarta.

Jalan kaki di sini tak melulu enak, karena ketika cuaca sudah mulai cantik, jumlah serbuk sari (pollen) yang bertebaran di udara meningkat dengan pesat dan banyak orang tenggorokannya gatal-gatal, kemudian bersin-bersin terkena hay fever. Ini penyakit khas musim semi dan musim panas yang cukup mengganggu di sini.

Eh btw, walapun sudah rajin jalan kaki setiap hari, saya kalau disuruh jalan kaki lagi dari Senopati ke Plaza Senayan untuk makan siang gak bakalan mau. Ogah, panas banget. Mendingan saya naik taksi aja, cari abang ojek, atau sekalian order makanan online aja. Gak tahan panasnya Jakarta membara.

Kamu, suka jalan kakikah?

xoxo,
Tjetje

2 thoughts on “Malas Jalan Kaki

  1. Disini pun sebenernya aku malas jalan kaki, mending naik sepeda. Karena jalan kaki itu lama durasinya. Mending lari atau bersepeda.

    Tapi ya emang bener di Indonesia “malas”nya itu juga selain panas, dan trotoar yang rusak/dipakai segala macam juga banyak orang2 usil.

    • Aku kalau di tengah kota Dublin agak males jalan kaki, karena banyak trotoar dipenuhi dengan tenda-tenda gelandangan. Tapi kalau gak di tengah kota malah seneng, apalagi kalau hawanya lagi cakep. Ngejar target langkah harian.

Show me love, leave your thought here!