Setelah Storm Éowyn Berlalu

Awal tahun ini dimulai dengan badai angin besar di Irlandia yang menyebabkan peringatan warna merah di seluruh pulau Irlandia (Republik dan juga Irlandia Utara). Warna ini berarti kita tak boleh keluar rumah, sekolah diliburkan dan jika memungkinkan harus bekerja dari rumah. Khusus badai Éowyn ini bahkan ada resiko kematian. Sebegitu berbahayanya bagai ini, hingga Hurricane Hunter, pesawat riset milik Amerika mendarat di Irlandia sebelum badai.

Sebelum badai

Di Irlandia, setiap ada peringatan warna merah, stok roti dan susu di supermarket pasti langsung habis diborong mereka yang panik. Sementara saya tak sempat beli susu, apalagi roti. Saya mengaplikasikan semua ilmu siaga bencana saya yang saya dapat ketika bekerja di bidang pembangunan dan paska tsunami Aceh. Nasi dan aneka lauk matang, camilan kering, nasi putih, dana tunai (banyak tempat paska badai tak bisa menerima pembayaran dengan kartu) lilin, senter, dan powerbank saya siapkan.

Delapan buah botol dan termos air panas dan dingin saya isi penuh. Tiga botol Klean Kanteen saya isi air panas dan kurang dari 12 jam airnya jadi air es. Sementara Welly Bottle traveler, sampai 24 jam air masih hangat. Pelajaran berharga, beli Welly bottle aja!

Semua botol hasil pemberian.

Malam sebelum badai datang, di komplek kami, ada beberapa anak muda yang keliling ke beberapa rumah untuk mencuri mobil. Mereka tertangkap beberapa CCTV tetangga. Ini maling cerdas, bersiap mencuri sebelum peringatan merah. Begitu orang sadar kalau mobil hilang, tak bisa dicari karena orang tak boleh keluar rumah.

Padamnya Listrik Kami

Badai ini suaranya berisik dan sukses merobohkan banyak pohon-pohon besar, shed, atap, hingga pagar. Pintu pagar kami sukses roboh. Ketika badai ini datang, burung-burung yang biasanya mulai ramai di pukul lima pagi tak terdengar suaranya sama sekali. Sementara Yoda, anjing saya, tidur di bawah selimut tak terganggu sama sekali.

Jam enam pagi saya menyadari kalau listrik di rumah mati. Satu desa lebih tepatnya. Dari jendela saya bisa melihat kegelapan tanpa cahaya sama sekali. Musim dingin ini matahari baru keluar jam delapan. Selain tak punya listrik, kami juga tak punya internet, tak bisa kirim SMS dan hanya bisa menelpon.

Kami tak sendirian, ada 540ribu rumah yang kehilangan listrik.

Untungnya…

Selama dua hari dua malam tanpa listrik, kami masih terus bersyukur tak punya mobil elektrik, tak punya kompor listrik (saya menolak keras kompor listrik karena kurang afdol untuk masak), dan masih punya perapian terbuka. Tangki air pun penuh. Di sini, rumah diberi rating dan rumah-rumah dengan rating tertinggi, A, biasanya rumah baru sudah tak boleh punya perapian dan cerobong asap, kompornya harus listrik. Demi mengurangi emisi katanya, tapi begitu bencana langsung kedinginan semua.

Syukurnya pula, kami tinggal di daerah pertanian dan peternakan. Jadi begitu status berganti warna jadi oranye, para petani ini langsung mengeluarkan traktor untuk menyingkirkan pohon-pohon yang ambruk. Di depan komplek kami, tak sampai 30 menit setelah status berganti warna, jalanan langsung bersih dari pohon.



Penutup

Pohon tumbang yang langsung dibersihkan pakai traktor

Sudah satu minggu sejak badai ini datang. Kami sudah kembali hidup normal, bisa mencuci rambut, mandi air panas dan tentunya bisa punya rumah yang hangat di musim dingin. Jangan tanya betapa bahagianya saya ketika listrik menyala, sampai terharu mau menangis. Kami beruntung hanya kehilangan listrik selama dua hari dua malam. Ada banyak keluarga yang masih tak punya listrik dan kehilangan penghasilan hingga sekarang. Tukang salon anjing kami pun kehilangan penghasilan selama seminggu ini karena tak punya listrik dan air.

Petugas listrik di Irlandia bekerja non-stop, meninggalkan keluarga dan tak kembali entah sampai berapa hari. Saking parahnya kerusakan jaringan, Irlandia sampai harus mendapatkan bantuan petugas listrik dari Austria dan Perancis. Banyak yang mengomel dan membahas betapa kayanya negara ini, tapi ngurusin listrik saja tak becus.

Realitanya badai seperti ini akan datang kembali, dan sayangnya, tak semua kabel listrik di Irlandia itu bisa diletakkan di dalam tanah. Jadi, kalau ada badai lagi, ya siap-siap aja siaga bencana.

Selamat tahun baru, semoga tahun ini membawa kesejahteraan, kedamaian dan kesehatan bagi kita semua.

xoxo,
Tjetje

Glamorisasi Hidup di Luar Negeri

Seiring dengan makin ramainya pilihan media sosial, saya semakin banyak melihat kehidupan di luar negeri yang digambarkan sebagai kehidupan yang sempurna dan jauh lebih baik ketimbang Indonesia. Semua tertata, hidup indah, taman-taman penuh bunga dan langit selalu biru dan gaji besar.

Dari dulu, saya paling anti dengan menggambarkan kehidupan di luar negeri sebagai kehidupan yang lebih baik ketimbang di Indonesia, karena hidup di luar negeri itu harus dilihat secara berimbang dan realistis. Hidup di luar negeri tak melulu indah seperti kata social media opportunist dan postingan mereka di media sosial.

Tunjangan Sosial

Salah satu glamorisasi yang sering muncul di media sosial adalah soal uang gratis, alias tunjangan sosial. Di sini tunjangan sosial banyak, ada yang diberikan kepada semua orang, ada yang diberikan karena kondisi kesehatan atau tak bekerja.

Contoh paling sederhana, tunjangan karena tidak kerja digembor-gemborkan di media sosial. Ada lagi yang mengelu-elukan tujangan anak sebagai dana bantuan gratis. Tunjangan-tunjangan ini tidaklah gratis, dana ini adalah dana hasil kerja keras para pembayar pajak yang ditujukan untuk membantu biaya hidup.

Indonesia sendiri juga punya dana serupa, namanya dana bantuan sosial. Coba, tanya kenapa dana bansos di Indonesia tidak diglamorisasi di media sosial?

Upah minimum

Uang menjadi salah satu hal yang membuat hidup di luar negeri terlihat lebih gemerlap. Para social media opportunist tak segan mengumbar penghasilan minimum mereka di negeri di awan, jumlah tabungan mereka dan kemudian merupiahkan angka ini. Angka-angka ini wajib dirupiahkan. Badan boleh di luar negeri, tapi kepala tak boleh berhenti menghitung dalam rupiah.

Upah minimum yang bisa belasan kali lipat dari upah minimum Indonesia ini kemudian diagung-agungkan karena terlihat banyak, karena dalam bentuk rupiah. Padahal ongkos hidup di luar negeri itu tidak dalam bentuk rupiah. Belum lagi ada pajak yang jumlahnya cukup tinggi jika dibandingkan dengan di Indonesia.

Murut para social media opportunitist, hidup dengan upah minimum itu indah dan bisa menabung hingga ratusan juta. Baguslah kalau bisa, tapi tentunya tak ada penggambaran berapa banyak kualitas hidup yang harus dikorbankan, karena upah minimum itu, sesuai namanya: minimum. Bisa untuk mencukupi hidup, tapi tak berlebih. Glamor!

Penutup

Tak bisa dipungkiri, dalam beberapa hal luar negeri menawarkan hal yang lebih baik dari Indonesia. Tapi kehidupan di luar negeri itu tak selalu glamor, ada banyak tantangannya. Dari mulai bergulat dengan kerinduan akan tanah air, penyesuaian terhadap cuaca, hingga kecemasan akan gerakan anti imigran yang naik pesat di banyak sudut Eropa. Sedikit latar belakang, di Irlandia anti-imigrasi meningkat sejak Brexit, di Belanda, partai-partai garis kanan semakin populer, begitu juga dengan Italia.

Jadi, kalau ada seleb medsos, self-proclaimed guru, coach, mentor, bentor, ahli tinggal di LN dan segala macam promosi diri sendiri yang menjual glamornya hidup di luar negeri, coba tanya kenapa mereka begitu mengagungkan hidup di luar negeri. Segitu gak enaknya kan hidup mereka di Indonesia dulu, sampai kehidupan di Indonesia harus digambarkan dengan jelek?

xoxo,
Tjetje

Menjelaskan Latar Belakang Diri

Pernah bertemu orang -orang yang tiba-tiba menjelaskan latar belakang mereka secara details, dari ekonomi, keluarga, pendidikan tanpa diminta? Tidak dengan nada mengobrol, tapi dengan nada congkak-congkak dikit untuk memosisikan diri dan tentunya bukan saat wawancara kerja apalagi wawancara calon mantu ya.

Interaksi pertama dengan individu seperti ini terjadi di Jakarta, sebelum tahun 2009. Kala itu ada anak titipan pejabat, dari daerah, baru lulus sekolah dan baru pertama kali kerja di Jakarta. Anak titipan ini kemudian menyalami orang-orang di kantor sambil memperkenalkan diri. Kalimat perkenalannya: “Saya Wagyu, S2 saya dari kampus Mejikuhibiniu”. Kalimat ini kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan: “S2nya dulu dimana ya?”

Selama kerja (hingga sekarang) saya nggak pernah ketemu orang yang kenalan model begini dan saat itu yang ada di kepala saya: dude…nggak semua orang itu academical, mau atau mampu untuk sekolah S2.

Interaksi selanjutnya terjadi ketika saya sudah tak tinggal di Indonesia. Ternyata tak satu dua orang yang menjelaskan latar belakang sekolah S2. Ada beberapa. Tapi herannya, yang pada sekolah S3 ataupun di sekolah-sekolah top dunia tak sibuk menjelaskan latar belakang pendidikan. Penjelasan diri juga tak hanya soal sekolah lagi, tapi melebar pada pencapaian diri. Dari mulai kerja di mana, jumlah gaji berapa ratus dolar (ratus ya bukan ribu), promosi jabatan hingga perjalanan dinas. Perjalanan dinas jadi pencapaian…Lha apa kabar para pilot, pramugari dan pramugara?

Kondisi ekonomi keluarga juga sering menjadi bahasan untuk positioning. Penunjukan ekonomi ini untuk menunjukkan bahwa yang bersangkutan datang dari keluarga tak biasa dan secara sengaja untuk membedakan diri dari kebanyakan orang. Contohnya, bercerita soal bagaimana orang tua berkecukupan, punya kendaraan impor dengan banyak staf di rumah (yang gajinya jauh di bawah UMR). Sebut semualah indikator kesuksesan dan kekayaan di Indonesia. Lalu bercerita tak perlu mengirimkan uang dan bahkan sering ditawari uang oleh orang tua. Generasi sandwich, jangan mau kalah dong, bragging soal abis bayar pajak masih harus bayar tagihan orang tua. Kurang hebat apa coba?

Mereka yang memosisikan diri ini bercerita latar belakang pada semua orang. Baik orang yang sudah lama dikenal, atau bahkan orang yang baru ditemui kurang dari dua menit. Pertanyaannya, kenapa sih mesti menjelaskan diri dan kenapa yang anaknya orang kaya beneran, punya tambang, gak gini-gini amat?

Menurut pendapat saya pribadi yang kalian tak harus setuju, salah satu penyebabnya karena tidak percaya diri dan sangat insecure, jadi buru-buru meninggikan diri dulu untuk membanting lawan bicara secara mental. Setelah congkak dikit, bolehlah dagu naik sedikit dan jadi lebih percaya diri. Sementara, anak tukang tambang gak perlu cerita kemana-mana, apalagi nyari validasi. Kalau bisa malah orang tak tahu, biar tak dipinjamin 100.

Selain soal ketidakpedean, ini juga jadi mekanisme pertahanan untuk melindungi diri ketika berhadapan dengan stigma ataupun bias orang lain. Apalagi kalau punya pasangan orang asing. Bukan rahasia lagi kok, kami-kami para pelaku kawin campur ini dicap dengan stigma buruk yang tentu saja menyebalkan. Kalau soal yang ini, saya guilty dan pernah beberapa kali menjelaskan latar belakang diri. Targetnya? orang asing yang suka secara tak sadar (atau bahkan sepenuhnya sadar) merendahkan karena status perkawinan campur. Lucunya, mereka kadang-kadang adalah pelaku kawin campur sendiri.

Anyway, menjelaskan tentang latar belakang diri, kejayaan masa lalu dan manis-manisnya masa lalu itu sah-sah saja, nggak ada yang ngelarang. Nggak salah juga, selama kita tahu diri, tahu tempat, tahu target dan gak diulang-ulang pada setiap kesempatan. Biar orang lain tak muak dan biar kaki napak sedikit ke bumi. Napak sedikit aja kok, gak usah banyak-banyak.

Oh btw, pencapaian diri yang begitu hebat dan membanggakan, serta latar belakang diri yang lain dari orang kebanyakan, gak mau ditulis jadi buku biografi aja? Minta sponsor bapak gih, buat bikin biografi. Kan sayang duit bapak banyak, masak gak dihambur-hamburkan…

xoxo,
Tjetje

Makanan Indonesia di Luar Negeri

Ketika datang ke sini saya gak bisa masak, gak tahu cara rebus telur. Teman-teman kantor saya bahkan sampai berbaik hati membuatkan buku resep dan menurunkan aneka resep keluarga ke saya supaya saya belajar masak.

Sampai di Irlandia, saya nasi goreng aja pesen. Si Ibu yang saya pesenin aslinya gak jualan nasi goreng. Jadi ini pesanan khusus dan 8 tahun lalu, saya harus merogoh kocek 10€ per porsi untuk nasi goreng itu.

Ketika ingin ikan pesmol tinggal pesan ibu-ibu di kantor, 15€ saja. Begitu juga dengan risoles, pesen teman kantor, 1€ per per risoles. Masalahnya, saya kalau makan risoles tak cukup 2 biji & malu kalau ketahuan makan banyak-banyak.

Pengen sarapan celimpungan, tapi malah bikin pempek adaan. Ya udah…

Nah hasrat makan risoles yang banyak dan karena lagi nabung untuk beli rumah, memicu saya belajar masak sendiri. Thanks to Youtube, dari yang tak bisa masak, saya pun bisa masak. Bisa bikin tumpeng, bisa bikin mpek-mpek, merendang, bikin bakso, aneka kue tradisional, dari risoles, kue mangkok, kue kuh, apem, kue pukis. Bahkan bisa bikin aneka roti. Kalau kaastengels jangan ditanya, saya lebih dulu bisa bikin ini dari merebus telur. #EmakGwTukangKue

Setelah bisa memasak, prinsip saya pesan makanan cuma kalau malas masak dan kalau rasanya cocok. Beberapa kali saya juga pesan untuk bantuin yang jualan, apalagi kalau pedagangnya perlu uang. Kalau pesan, jadwal pesanan pun juga sering pasrahkan pada tukang masak, karena masak itu perlu mood yang baik. Kalau dikerjain syukur, kalau gak dikerjain ya gak usah dijadiin bahan drama juga.

Mood tukang masak ini penting karena berkaitan dengan konsistensi masakan. Mood kacau sendikit, makanan bisa jadi amburadul. Rasa tak konsisten, bumbu tak meresap kemana-mana, bahkan sampai bisa bikin pembeli misuh-misuh dan membuang makanan. Buntutnya bikin kapok pesen.

Satu tips dari saya kalau pesan makanan dari orang Indonesia cari yang punya spesialisasi atau orang yang datang dari daerah tersebut karena kedekatan mereka dengan rasa. Tanya juga ke sesama orang Indonesia yang kualitas makanannya baik dan enak.

Pengalaman saya, pesan makanan daerah dari orang-orang yang tidak familiar dengan makanan tersebut jadi menebak-nebak komposisi bumbu sering tidak tepat dan makanan jadi nggak enak. Dan patut dicatat, tukang masak juga banyak yang kepedean merasa makanannya enak dan promosi kemana-mana. Konsumen jadi buang-buang duit, bahkan kalau makannya gak ketelan kudu buang makanan ke tong sampah.

Penutup

Para Twitterati baru-baru ini heboh berdebat urusan migrasi, dan menyuruh yang mau migrasi ke luar negeri untuk mengubah gaya hidup ala negara tujuan, dari nyuruh masak sendiri, bebersih sendiri sampai gak pijet selama beberapa bulan.

Kangen? Tinggal beli tiket mudik aja kan beres.

Mohon maaf ya, tapi di luar negeri itu bisa pesen makanan kok. Tinggal siapin cuan dan cari tukang jual makanan yang rasanya cocok. Yang jual makanan Indonesia itu banyak banget, karena orang Indonesia hobi pesen makanan. Bahkan di Eropa, urusan pesen makanan ini gak cuma dalam negeri, tapi bisa lintas negara antar sesama diaspora di EU. Been there done that.

Jadi, gak usah percaya saya yang bilang kudu ubah gaya hidup dan masak sendiri. Pastikan aja punya duit cukup buat pesen makanan. Kalau engga ya tinggal beli tiket pulang aja, lalu beli ayam pop di Padang Merdeka. Kalau gak punya duit? Ya kerja yang keras, cari duit. Tapi jangan cari duit yang gak sesuai aturan negara ya (baca: ilegal).

xoxo,
Tjetje

Pergaulan Luar Negeri

Salah satu perjuangan ketika baru pindah ke luar negeri itu adalah soal pergaulan, berkenalan dengan orang atau bahkan mencari teman baru. Datang ke negara baru tak kenal orang, lalu muncul keinginan untuk berkumpul dengan saudara satu bangsa sangat tinggi, tapi keinginan ini tak selamanya disambut tangan terbuka.

Pergaulan orang-orang Indonesia di luar negeri sendiri jauh lebih beragam dari di tanah air. Perspektif saya datang dari kacamata Irlandia, negara kecil yang kelompok orang Indonesianya tak banyak, mungkin hanya ratusan. Jangan dibandingkan dengan Perancis, Inggris, Australia apalagi Belanda ya.

Disatukan oleh hobi moto. Foto diambil salah satu rekan fotografer Rizki.

Jumlah orang Indonesia yang kecil ini bisa dibagi menjadi beberapa kategori, pelajar, ekspat atau imigran. Imigran ini ada yang pekerja dan juga imigran cinta. Masa tinggal pelajar dan ekspat sendiri sementara dan biasanya tidak untuk jangka panjang, tak seperti imigran. Gak usah debat imigran ekspat ya, konsep dan defisinya udah jelas.

Model pergaulan di sini cukup lebar, mencakup latar belakang (sosial, ekonomi) yang jauh lebih beragam, jauh lebih lebar dari di Indonesia. Kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah disatukan sebagai orang Indonesia. Jauh berbeda dengan pergaulan di Indonesia, dimana yang menengah ke atas jarang, atau bahkan tak mungkin, bergaul dengan yang menengah ke bawah.

Pergaulan seperti ini ada baiknya, tapi juga ada buruknya. Baiknya kita bisa mengenal berbagai lapisan sosial dan ekonomi. Dari yang punya pendidikan tinggi, hingga yang tak tamat wajib belajar. Dari yang duduk di kursi penting perusahaan hingga para pencari bantuan sosial. Semuanya kumpul jadi satu & berbagi aneka cerita sambil makan. Diskriminasi kelas yang sangat kuat di Indonesia, di sini nyaris tak ada.

Bersatu-padu urusan makanan. Foto diambil di Restauran Melati, Hotel Tugu, Malang.

Sisi buruknya? Observasi saya, biasanya jurang perbedaan sangat terlihat, bahkan bisa menimbulkan friksi. Tentu saja friksi ini tergantung banyak faktor ya, salah satunya ya faktor pembagian kelas sosial yang dibawa dari Indonesia.

Contoh friksi sederhana, yang ekonominya pas-pasan bercerita bagaimana cara memaksimalisasi dana bantuan sosial dan cara mendapatkan rumah sosial dari negara pembayar pajak. Sementara yang pembayar pajak resah gelisah mendengar hal-hal seperti ini.

Ada pula tekanan yang muncul, karena tuntutan untuk “fit” dengan kelompok ekonomi yang berbeda. Dari mulai muncul keharusan memberi kado mewah untuk aneka momen penting dari hidup, timbul ketidakenakan jika tak memberi hadiah yang dianggap pantas, hingga harus membeli baju khusus untuk makan-makan bertema. Soal tekanan ini kapan-kapan saya bahas ya, karena topik ini, buat saya, tak kalah menariknya.

Itu baru friksi karena ekonomi. Friksi lain juga sering muncul, seperti soal tata krama. Dari buka-buka kulkas di rumah orang hingga soal nanya tragedi di hidup orang tanpa empati. Kalau yang ini sih gak eklusif, di Indonesia juga ada.

Penutup

Para senior saya yang sudah tinggal puluhan tahun lamanya di Irlandia dan sudah mapan, kerap kali enggan berkumpul atau kenalan dengan orang Indonesia yang baru. Teman-teman yang sudah tinggal di LN lama dan kemudian pulang juga banyak yang membahas soal pergaulan ini, sambil garuk-garuk kepala & memberi banyak wejangan.

Saya tadinya tak paham dengan pola pikir mereka. Tapi setelah hampir satu dekade bermukim di sini, saya jadi lebih memahami keengganan mereka.

Kesimpulan saya, pergaulan orang Indonesia di luar negeri itu sangat bercampur dan jarang diwarnai latar belakang hobi atau nilai yang sama. Ada, tapi jarang. Seringkali, satu-satunya kesamaan hanya soal makanan. Makan bersama sambil ngobrol ngalor-ngidul. Karena kesamaan yang sangat minim ini, ditambah perbedaan latar belakang, sosial ekonomi, bahkan perbedaan upbringing akhirnya banyak friksi. Friksi ini lah yang bikin para senior agak males untuk bergaul, apalagi dengan anak baru.

Saya sendiri berdamai dengan pergaulan yang jauh berbeda dengan di Jakarta. Kalau pergaulan terlalu aneh, biasanya saya hanya bertanya pada diri sendiri, ini orang-orang model gini di Jakarta gaulnya dimana sih, kok gak pernah ketemu model begini, atau mungkin saya kurang gaul?

xoxo,
Tjetje

Bystander Bullying

⚠️ Peringatan pemicu. Tulisan ini membahas mengandung tema sensitif tentang perudungan yang ditulis berdasarkan real life experience.

Beberapa bulan lalu ada teman menghubungi saya. Ia mencurahkan hatinya yang gundah gulana, karena akan mengadakan makan-makan, tapi dilarang mengundang saya! Ia pun berkeluh kesah dan mempertanyakan ketidakdewasaan orang yang melarangnya. Hatinya berontak, karena harus mengisolasi saya secara sengaja. Padahal, isolasi itu adalah salah satu bentuk dari bullying, perundungan.

Bystander bullying adalah orang yang melihat terjadinya perundungan, saksinya, atau penonton perundungan. Dalam perundungan sendiri ada pelaku, korban dan saksi. Persis seperti teman saya di atas.

Saksi perundungan sendiri ada beberapa model atau tipe. Ada tipe yang membantu merundung. Ini bukan otak perundungan tapi ikut-ikutan merundung, pendukung aktif. Ada pula yang tidak ikut merundung tapi mendukung pelaku perundungan dari jauh.

Tipe selanjutnya adalah adalah bystander yang melawan perundungan dan mendukung korbannya. Dia tak segan untuk membuka mulut dan melawan. Apapun resikonya. Saya pernah ada dalam situasi ini, membela teman SMA saya yang dipanggil perek oleh kakak kelas. Panjang ceritanya, tapi saya berakhir ditampar karena berani buka mulut, sementara sang pelaku berakhir dihajar kakak korban.

Tipe terakhir adalah bystander yang pura-pura seperti Badan PBB, pura-pura netral tidak memihak manapun. Tapi dalam ilmu perundungan, tipe seperti ini memberikan dukungan terhadap pelaku perundungan, dukungan yang disampaikan dalam bentuk diam. Silent support. Tanpa perlawanan.

Netral kayak PBB

Bystander model terakhir ini biasanya takut dengan keamanan diri mereka, takut jadi korban selanjutnya, apalagi mereka melihat sendiri bagaimana korban dirundung. Ada pula yang memang tak tahu harus bagaimana. Menariknya, ada bystander yang pura-pura netral karena pertemanan dengan para pelaku perundungan & masih melanjutkan pertemanan walaupun tahu temannya seorang pelaku perundungan.

Perundungan sendiri masalah semua orang, dari anak-anak hingga orang dewasa. Dampak perundungan pada anak-anak maupun orang dewasa sama, sama-sama membuat stres, malu, depresi, takut, bahkan tak sedikit yang akhirnya mengakhiri hidup. Makanya, peran saksi itu penting. Mereka bisa memilih untuk menghentikan perundungan, atau bahkan menyelamatkan nyawa orang.

Rumus saya dalam menghadapi perundungan sangat sederhana, jika mereka bisa segera dibuang dari hidup, maka sampah masyarakat ini harus disegerakan untuk dibuang dari hidup. Pronto!

It is not always the case dan gak selalu mudah, apalagi kalau perundungan terjadi di kantor oleh atasan, atau di sekolah yang dilakukan oleh guru. Yang merundung punya kekuatan, karena posisi mereka. Kalau situasinya seperti ini, cari pekerjaan baru atau sekolah baru jadi satu-satunya jalan keluar.

Jika dirundung oleh so-called teman, solusinya cenderung lebih mudah. Jangan berteman lagi IRL, di dunia maya pun juga tak usah pura-pura kenal lagi. Kalau perlu, blok dari semua media sosial. Racun kok disimpan.

Setelah menjauhkan diri dari pelaku perundungan pun, para korban juga masih rentan untuk disalahkan balik, digaslighting, apalagi kalau pelaku perundungannya narsis.

“Dia gitu sih! Dia terlalu sensitif sih. Dia pantas dirundung”.

Padahal, tak seorangpun pantas dirundung, atas alasan apapun.

Penutup

Hidup itu cuma sekali, kalau kata teman saya, bergaulah dengan orang-orang yang bisa menaikkan derajatmu. Antah berkumpul sama antah, beras sama beras. Nggak usah bergaul dengan tukang rundung yang jelas-jelas perlu pertolongan profesional kesehatan mental.

xoxo,

Tjetje

Istri Kedua

Istri kedua adalah perempuan yang biasanya dinikahi secara agama oleh pria yang masih memiliki istri sah dan belum (atau bahkan tidak mau) bercerai dari istri yang sah secara hukum. Status mereka sangat lemah & dapat ditinggalkan kapan saja. Istri kedua ini sering menjadi musuh bersama, musuh dari keluarga istri pertama, musuh dari keluarga pria, hingga jadi musuh mulut pedas netijen.

Para istri kedua banyak mendapat label tak indah. Dari pelakor, pencuri laki orang, hingga tuduhan sebagai perempuan materialistis. Menuduh mereka mencuri laki-laki, menurut saya tak tepat karena para lelaki ini tak perlu dicuri, seringkali mereka menyerahkan diri. Bahkan tak sedikit yang menyerahkan diri, hati serta harta kekayaan.

Cheers untuk istri kedua yang mentalnya baja

Tuduhan perempuan materialistis sendiri datang karena istri kedua seringkali berlimpah harta, diberi rumah mewah hingga dibekali tabungan fantastis yang cukup untuk beberapa keturunan. Ya itu kalau dapat anak presiden.

Tapi, tak semua istri kedua bermandikan harta mewah. Ada istri kedua yang hanya dimodali rumah kontrakan, diberi uang saku bulanan yang hanya cukup untuk makan nasi dengan sayap ayam, bahkan disuruh kerja keras mencari penghasilan tambahan.

Tak hanya soal beban tinggi, mereka yang memilih menjadi istri kedua juga seringkali dianggap tak punya standar tinggi, tak menghargai diri sendiri dan ada yang dituduh merendahkan martabat para perempuan.

Tak mudah jadi istri kedua. Sudah diberi aneka label, hatipun masih bergulat, gundah tak karuan ketika tahu pasangan menghabiskan waktu dengan istri pertama. Apalagi kalau berkelahi dan yang dibela istri pertama. Masyarakat bela istri pertama, di rumah pun pasangan bela istri pertama.

Bicara soal susahnya jadi istri kedua, saya jadi teringat istri kedua yang tak bisa mengucapkan perpisahan ketika pasangan sakit dan berada di ambang kematian. Istri pertama dan keluarga menutup akses hingga si sakit meninggal dan dikuburkan. Susah ya!

Adu Rayu

Kompetisi tak bisa dilepaskan dari dunia istri kedua. Tentunya ini hanya berlaku bagi mereka yang berjiwa kopetitif. Semua aspek bisa jadi bahan kompetisi. Kompetisi liburan, rebutan liburan ke luar negeri. Rebutan mengirim anak untuk dapat pendidikan terbaik. Rebutan untuk dapat perhatian dan tentunya rebutan uang saku, bahkan mengatur berapa uang yang harus didapatkan oleh istri pertama dan anak-anaknya. Duh ini sih kebangetan.

Tak semua orang kompetitif. Mereka yang yang memiliki jiwa penyayang, bisa berakhir memiliki hubungan manis dan mendapatkan kerabat baru dengan istri pertama. Dalam bahasa Inggris istilahnya sister-wife.

Saya sendiri menggambarkan ini sebagai para istri dari seorang laki-laki yang hidup dengan rukun dan damai, bahkan saling tolong-menolong. Super lho mereka ini, bahkan gak perlu bayar pengasuh karena bisa nitip anak dari satu istri ke istri lain.

Penutup

Fenomena istri kedua itu tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di luar negeri. Bahkan sampai ada reality shownya. Menariknya, dimana-mana urusan punya banyak istri ini pasti jadi bahan omongan, apalagi dunia ini kecil. People talk dan perkawinan kedua yang seringkali jadi rahasia, atau bahkan ditutupi sebagai perkawinan sah, bocor kemana-mana.

Pada akhirnya, pilihan, nilai dan standar hidup orang itu berbeda-beda. Ada yang memilih untuk harus jadi istri pertama, ada yang berpuas diri menjadi istri kedua. Ada yang harus dapat rumah di belakang Plaza Senayan, tapi ada juga yang berpuas diri dapat rumah kontrakan.

Ya namanya udah dewasa, tentunya bisa memilih yang terbaik bagi diri sendiri. Toh kita sendiri yang bisa menilai, seberapa berharganya diri kita. Sekali lagi, cuma diri kita yang tahu yang terbaik, termasuk baiknya jadi istri kedua saja, karena gak layak jadi istri pertama. #eh

Punya cerita apa tentang istri kedua?

xoxo,
Tjetje

Glamor Tapi Bokek

Warga Twitter lagi rame ngebahas bapak-bapak agen asuransi yang ngetweet soal keluarga beranak dua yang bahkan tak punya uang dua puluh juta. Reaksi terhadap tweet ini beraneka ragam, ada yang bisa nyambung tapi juga tak sedikit yang menganggap kurang peka.

Bagi saya sendiri, tweet ini konteksnya kurang lengkap, karena tak menuliskan di mana keluarga ini tinggal, berapa penghasilannya. Jika ini adalah keluarga dengan gaji 100 juta per bulan, tinggal di kota kecil atau bahkan di Dublin, lalu tak punya tabungan tunai dua puluh juta dan tak punya aset, tentunya akan banyak yang mengernyitkan dahi.

Tweet ini tiba-tiba mengingatkan saya pada mereka yang penampilannya glamor, tapi tabungannya kosong dan tak punya dana darurat. Singkatnya, glamor tapi bokek. Tolong dicatat, ini orang-orang yang turun dari mobil mewah, pakai barang bermerek, dan menggambarkan diri sebagai orang sangat mampu, bahkan tak segan mengaku kaya dari keadaan ekonomi papan atas. Orang-orang yang seglamor Hotman Paris (sorry Oom!), tapi kantong miris, dan aset tipis.

Gak di Jakarta, nggak di luar negeri (apalagi di luar negeri), orang-orang model seperti ini banyak banget. Penampilan luar biasa glamornya, tapi tak punya dana likuid. Ini kita gak ngomongin dana likuid dua puluh juta, dana untuk jajan lima ratus ribu sampai sejuta pun engga punya. Separah itu.

Dengan dana tipis pun tapi masih ngotot untuk bergaya, gaul di tempat papan atas yang mahal, tapi beli minum satu gelas untuk semalam suntuk (atau bahkan pinjam gelas orang lain untuk pose di media sosial). Makan tak pernah di rumah, repot jajan ke sana sini, ke aneka restoran mewah. All for the Gram or for Facebook.

Kocaknya, kalau lagi gaul lalu dimintai bayar tagihan duluan, bisa panik. Apalagi kalau lagi gaul di tempat papan atas. Kan gak mungkin tagihan datang, lalu repot ngumpulin uang, arisan. Biasanya satu orang akan maju duluan untuk membayar. Nah kalau ketemu orang glamor tapi bokek ini, minum kopi doang, atau bahkan minum teh, yang tak seberapa harganya, bisa berakhir dibayar dengan kartu kredit. Ini bukan karena ada diskon khusus, atau bahkan upsize minuman ya. Tapi karena gak ada dana tunai untuk bayar. Iya separah itu.

Itu contoh sederhana, contoh yang lebih kompleksnya banyak. Tapi benang merahnya satu, saldo rekening tipis karena salah prioritas. Beberapa ketika ditanya juga tak segan untuk mengaku ketidakpunyaan akan tabungan, apalagi dana untuk keadaan darurat. Hidup dari satu gaji ke gaji yang lain. Sekali lagi catat ya, tapi gaya hidup terlihat glamor dan cemerlang. Secemerlang piring yang baru dicuci.

Pertanyaan yang sering muncul, kenapa ada keengganan untuk mengubah gaya hidup dan ketidakmauan untuk mengatur keuangan ke arah yang lebih baik? Jawabannya sederhana: tingkat kepercayaan diri yang rendah dan perlu validasi dari orang lain. Prioritas alokasi dana gaji adalah untuk memukau orang lain.

Pada saat yang sama, lingkungan kita (apalagi lingkungan Indonesia ya) memperlakukan orang-orang yang terlihat punya uang dengan cara berbeda. Kalau terlihat terlalu sederhana dicuekin, kalau terlihat glamor walaupun bokek dipuja-puja.

Lalu apa yang terjadi jika ada keadaan darurat? Nah ini yang susah…kalau nggak berakhir pinjam uang, biasanya teman-teman yang tahu persis keadaan ekonomi glamor boongan ini tak segan mengulurkan bantuan. Tentunya ini tak mendidik sama sekali.

Image by Pijon from Pixabay

Kesimpulannya

Lalu, apa kesimpulan tulisan ngalor-ngidul saya di hari Kamis malam ini? Ada dua, soal memberi bantuan dan soal keterpukauan. Jika ada teman glamor kesusahan, sampai perlu pinjam uang atau perlu sumbangan, tahan dulu duitnya. Jangan dipinjami. Jangan pula sok-sokan baik lalu selalu nalangin mereka. Sekali-kali, suruh bayar duluan. Mereka harus belajar menjadi dewasa dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri.

Jangan pula merasa rendah diri kalau lihat orang yang teramat sangat glamor, baik itu di media sosial, apalagi di kehidupan nyata (IRL). Begitu satu persatu lapisan kebenaran terkuak, lalu langsung kaget dan tak habis pikir. Gak usah kaget, realitanya, banyak orang-orang glamor yang hidup dari satu paycheck ke paycheck lain, bergantung pada aneka kartu kredit, bahkan tak punya tabungan setengah juta, satu juta, atau dua puluh juta. Manusia itu prioritasnya dan tujuan hidupnya beda-beda.

Terakhir, ini ilmu tante saya tercinta, jadi manusia itu gak usah ngoyo terlihat glamor. Keliatan biasa-biasa aja, tapi kalau mau beli apa-apa, cash keras. Uang tunai pun tak perlu dibungkus dompet kulit bermerek, cukup dibungkus amplop coklat. Ya dibungkus amplop karena dompetnya gak cukup…


xoxo,
Tjetje

Pulang Kampung dan Lebaran

Selamat Idulfitri untuk kalian yang merayakan. Semoga ibadah kalian selama bulan puasa kemarin lancar, dan Idulfitri kalian meriah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya melihat keriuhan menjelang Idulfitri dari jauh dan dari media sosial. Menjelang Lebaran, feed media sosial saya banyak dipenuhi dengan ucapan terimakasih atas aneka hampers.

Melihat hamper yang tak murah ini, saya selalu terpukau atas kebagian dan tradisi berbagi. Apalagi harga hampers ini tak ada yang murah. Saking kebanyakan lihat hampers, di akhir bulan Ramadan saya tiba-tiba pengen kirim hampers untuk keluarga di Jakarta. Buka website Pand’or dan Harvest yang bisa dipesan dari sini. Ya nasib, udah sold out semua. Gila kan orang Indonesia semangat berbaginya emang top!

Tahun ini tentunya tahun yang sangat spesial, karena adanya takjil war. Konten-konten takjil war ini gak cuma kreatif dan menghibur, tapi bagi kami yang ada di luar Indonesia bikin ngiler. Video-video dari jalan Benhil (Bendungan Hilir), jadi membawa kenangan manis ketika masih jadi pegawai kantoran dan ikut borong aneka takjil di Benhil. Puasa kagak, borong takjil iya. Bulan puasa ini juga membuat saya merindu akan Bingka Salon di Banjarmasin sana. Duh kebayang manis dan lembutnya si bingka.

Bicara takjil tak bisa lepas dari buka bersama. Ada yang kocak dari grup WhatsApp sekolah SMP saya. Seminggu menjelang lebaran, tiba-tiba ada pesan masuk di grup WhatsApp ini:


WhatsApp teman-teman SMP saya ini menjadi pesan terkocak selama bulan puasa. Jawara. Kesian banget nggak ada yang ngajakin buka bersama. Wacananya sih akan ada halal-bihalal, tapi sampai hari ini, saya memantau dari jauh, belum ada tanda-tandanya.

Menjelang lebaran dan beberapa hari paska lebaran, abang Gojek tak bisa ditemukan di Malang. Saya berulang kali akan memesan makanan dari aneka sudut kota Malang untuk ibunda saya, dan tak satupun tukang ojek ditemukan. Ongkos pengiriman yang menjadi tinggipun tampaknya tak menggoda para tukang Gojek, karena berkumpul dengan keluarga tentunya lebih penting ketimbang bekerja. Well done!

Tema masak-memasak masih ramai di mana-mana. Resep rendang sendiri bertebaran dimana-mana dan banyak ilmu baru merendang yang saya dapatkan. Dari mulai yang model Minang hingga model Malaysia (gak usah debat lho ya). Ilmu baru yang akan saya coba ketika jiwa memerlukan terapi. Bagi saya merendang ini adalah proses terapi jiwa ketika stress. Saking hobinya merendang, tiap pulang, saya tak pernah absen minta daun kunyit dari Pasar Kramat Jati. Daun ini kemudian saya bekukan di dalam freezer.

Dari jauh saya juga banyak mendengar keriaan mereka yang pulang kampung. Bahagia bertemu keluarga, walaupun bercampur cemas karena takut ditanya soal perkawinan, kehamilan, pekerjaan, hingga kelulusan. Para pekerja rumah tangga juga pada pulang, meninggalkan tua mereka dengan cucian setumpuk dan rasa cemas berkepanjangan. Cemas tak karuan, takut menerima pesan jika pekerja rumah tangganya memutuskan tak kembali lagi. Makanya naikin gaji sesuai UMR dong Bu!

Selama tinggal di Jakarta, saya termasuk jarang pulang kampung ketika libur Lebaran. Saya lebih suka berdiam di Jakarta, karena Jakarta menjadi super tenang, jalanan lengang dan TransJakarta kosong. Plus, selama musim Lebaran biasanya saya dapat tugas kehormatan untuk jaga rumah keluarga bersama supir dan penjaga rumah. Nah kalau sudah dapat tugas kehormatan gini, saya suka meratapi para pedagang penganan. Kapan mereka kembali ke Jakarta supaya saya bisa jajan lagi?

xoxo,
Tjetje

Mobil & Simbol Kesuksesan

Beberapa waktu lalu, ada tangkapan layar yang beredar di Twitter, membahas mengapa tak mencicil mobil ketika sudah sukses. Tangkapan layar ini kemudian mengajak untuk menebak daerah. Kalau saya tak salah ingat, Jawa Barat menjadi jawaban yang banyak muncul.

Orang sukses kok naik Tube…

Tiap kali mendengar kepemilikan mobil dan sukses ini, saya tak pernah berhenti tertawa. Apalagi menjelang masa-masa mudik begini. Masanya berkumpul dengan keluarga, kembali ke kampung dan bagi beberapa orang, waktunya menunjukkan kesuksesan hidup, cara yang paling mudah tentunya dengan menunjukkan mobil. Gak mungkin kan pamer sertifikat tanah ketika mudik?

Mobil & Irlandia

Di Irlandia sendiri tekanan sosial untuk beli kendaraan tak seperti di Indonesia. Biasanya pembelian mobil karena keperluan, bukan akibat tekanan lingkungan untuk menunjukkan kesuksesan. Walaupun perlu dicatat, ada juga yang maksa harus ganti mobil baru, atau mengendarai mobil merek tentu yang perawatannya tak mudah. Ini tekanan yang dibuat oleh diri sendiri & sekali lagi bukan tekanan lingkungan.

Mobil di Irlandia itu murah meriah dan tak semahal di Indonesia. Merek Eropa murah karena lokasi Irlandia di Eropa, sementara merek Asia juga murah karena banyak mobil diimpor dari Jepang.

Mobil baru tentunya agak lebih mahal, sementara mobil bekas, apalagi yang usianya tak muda lagi akan jauh lebih murah. Di sini, usia kendaraan bisa langsung dilihat dari plat nomor kendaraan tersebut. Tentunya, semakin tua usia mobil, semakin tinggi ongkos perawatannya.

Terkadang, jika pemilik kendaraan masih muda & baru mendapatkan SIM, harga asuransi bisa jauh lebih tinggi dari mobil. Selain perawatan, mobil tua juga seringkali dipatok pajak yang lebih tinggi karena emisinya yang lebih tinggi.

Perlu dicatat, gak ada salahnya beli mobil bekas. Apalagi mobil-mobil dengan merek yang terkenal mudah perawatannya. Kalau kata orang bengkel saya, mobil apapun mudah perawatannya, selama bukan mobil Perancis

Penutup

Kendaraan bisa dengan mudahnya menjadi simbol kekayaan dan kesuksesan. Apalagi jika merek-merek kendaraan ini adalah kendaraan CBU di Indonesia. Wuih orang kampung pasti makin terpukau dengan kesuksesan ketika melihat kendaraan ini. Tapi, hidup kita kan tak perlu validasi dari tetangga.

Tak selamanya pula kendaraan menjadi tolok ukur kesuksesan. Di Eropa, tak sedikit orang yang naik kendaraan umum atau bahkan mengayuh sepeda tapi investasinya dimana-mana, rumah berserakan dan tak punya cicilan apapun. Sekali lagi, orang-orang ini tak perlu validasi kesuksesan.

Jadi, kalian yang mudik tanpa bawa mobil, gak usah minder & tertekan. Biarin aja tetangga berisik. Yang penting tak tertekan cicilan dan hidup bahagia tanpa mikir apa kata tetangga.

Semoga mudik kalian lancar!

xoxo,

Tjetje