Alkisah, di jaman tahun 90an, ada satu artis ternama yang pacaran dengan salah satu anak orang kaya di Indonesia. Sejoli ini kemudian berniat untuk kawin dan mengikat janji sehidup semati. Tapi rencana ini bubar di tengah jalan. Penyebabnya sederhana: bobot, bibit, bebet, padahal mereka bukan orang Jawa. Keluarga si kaya menolak sang artis karena tak lolos standar 3B.
Seleksi pasangan adalah sebuah hal wajar yang dilakukan semua manusia. Apapun latar belakangnya. Ketika calon dianggap memenuhi kriteria, maka cincin pun akan dipasangkan untuk mengikat janji. Kalau engga sesuai kriteria hati, mau ngemis kaya apa juga bukaan kaleng soda pun gak akan dipasang di jari manis.

Bertahun-tahun sejak si artis itu putus, saya jadi suka observasi pasangan-pasangan di sekitar saya, apalagi orang-orang yang ngedumel soal hubungan perkawinannya. Jangan salah, perkawinan itu tak mudah, tak selalu manis, banyak tantangannya dan tak akan pernah sempurna. Nah ketika denger cerita aneh-aneh soal pasangan ini saya jadi suka ngedumel balik. Bobot, bibit, bebet waktu pacaran dulu kagak dinilai?
Bobot
Saya mengartikan ini sebagai kualitas diri dan cara membawa diri. Salah satu elemennya pendidikan. Gak perlu harus pendidikan PhD dan akademis. Punya pendidikan yang benar wawasannya terbuka dan mau terus-menerus belajar sudah cukup. Pendidikan itu membentuk cara pikir dalam menghadapi masalah dan mencari solusi. Biar engga cupet.
Ini kalau pacaran cara tahunya gimana? Ya dari ngobrol tentang banyak hal, jadi ketahuan bagaimana pola pikirnya. Gak bisa bahasanya? Belajar! Belajar bahasa itu tak hanya soal tata bahasa tapi juga belajar tentang kultur suatu negara. Jadi kalau kawin gak kaget tahu pasangannya pendukung partai kiri, suka makan keju bau kaos kaki, atau ketika pasangan hobi minum di pub.
Bobot ini juga membahas soal kedudukan di lingkungan sosial dan tentunya soal moral. Standar ini beda-beda ya buat tiap orang, tapi pastikan nilai yang dianut harus sama. Ada yang menerima perkawinan tanpa kesetiaan, ada yang kesetiaan harga mati. Nah tapi kalau memulai hubungan karena perselingkuhan di lapangan golf juga gak usah kaget kalau pasangannya ngelirik caddie lain. Lalu sibuk koar-koar nyalahin orang lain. Konon, once a cheater always a cheater.
Bibit
Anaknya siapa? jelas gak orang tuanya? Gimana masa kecilnya? Ini relevansinya apa? Banyak. Cara dan lingkungan dibesarkan serta trauma masa lalu itu berpengaruh besar pada masa dewasa, termasuk bagaimana individu tersebut menjalin hubungan.
Nenek moyang, selain mewariskan resiko kesehatan (diabetes, jantung) juga mewariskan perilakunya, baik secara sadar atau engga sadar. Perilaku yang diwariskan tak hanya yang baik-baik saja, tapi juga yang buruk. Ketergantungan pada obat atau alkohol konon berhubungan kuat dengan genetik. Mental mengemis, self-entitlement, atau hobi bersedekah juga bisa dengan mudahnya diwariskan dari ajaran keluarga. Begitu juga dengan tata krama dalam kehidupan sosial yang biasanya diajarkan dari usia dini di rumah, oleh siapa? keluarga.
Tak hanya itu, kesehatan jiwa juga cenderung diwariskan.
Jadi kalau pacaran minta ketemu keluarganya, biar engga kaget. Lihat gimana interaksi pacar dengan keluarga. Harmonis gak hubungan keluarganya, atau chaotic? Jalin hubungan juga dengan calon mertua, jadi gak kaget. Jangan sampai ada drama perkelahian berdarah-darah di keluarga yang bikin jantungan, gak berani keluar rumah, panggil polisi, apalagi sampai ke pengadilan.
Bebet
Nah bebet ini soal pekerjaannya. Gak perlu jadi CEO macam anak-anak ClubHouse. Yang penting pekerjaan yang baik dan bisa menghidupi keluarga. Punya keahlian untuk bekerja dan memang mau kerja. Kalau pasangan tak bekerja, cari tahu kenapa alasannya? OK gak dengan alasan ini. Siapkah untuk jadi tulang punggung?
Soal bekerja ini udah berulang kali saya bahas. Banyak yang keblinger ketika pacaran dimanja dengan limpahan mata uang asing dan liburan. Begitu kawin, kaget melihat tagihan ongkos liburan dan hutang yang menumpuk. Sukur-sukur kalau namanya tak dicatut untuk ikutan pinjam utang yang bikin rating kredit memburuk.
Kalau tak bekerja dan punya bisnis, cari tahu dulu bisnisnya. Kalau perlu beli laporan keuangannya. Sehat gak kondisi bisnisnya, kalau merugi terus selama bertahun-tahun, kenali resikonya kalau pasangan gulung tikar. Jangan sampai ada drama merasa tertipu karena pasangannya punya bisnis, tapi ternyata skala bisnis tak sebesar harapan.
Kesimpulannya
Kultur orang Indonesia memang mengharuskan kita cepat-cepat kawin. Tapi seringkali kultur ini membuat kita lupa untuk melihat dengan teliti latar belakang pasangan. Terlanjur silau melihat kemungkinan hidup yang dianggap lebih nyaman di Eropa. Pandemi juga tak menghentikan ngebet kawin, pokoknya kudu buru-buru dikawini walaupun lockdown.
Manusia, apapun latar belakangnya dan warna kulitnya kalau memilih pasangan itu pasti mau yang baik, benar dan jelas latar belakangnya. Syukur-syukur kalau bisa bikin bangga dan gak malu-maluin. Kalau semua indikator terpenuhi, baru jari dan hati pun diikat dalam janji sehidup semati di catatan sipil. Ditambah pesta 7 hari 7 malam kalau perlu, sambil mengundang dalang, sinden dan rombongan perwayangan.
Kesimpulannya, kalau mau kawin, milih-milih dulu gih. Inget bobot, bibit bebet. If he is into you, he’ll put a ring on your finger. Kalau tak kunjung, dikawini? Well kalau menurut Sex and the City sih, maybe he’s just not that into you.
Nggak usah ngemis-ngemis kalau gini. Balik badan aja, thank you, next!
xoxo,
Tjetje