About Tjetje [binibule.com]

The spicy lady behind binibule.com

Bobot, Bibit, Bebet

Alkisah, di jaman tahun 90an, ada satu artis ternama yang pacaran dengan salah satu anak orang kaya di Indonesia. Sejoli ini kemudian berniat untuk kawin dan mengikat janji sehidup semati. Tapi rencana ini bubar di tengah jalan. Penyebabnya sederhana: bobot, bibit, bebet, padahal mereka bukan orang Jawa. Keluarga si kaya menolak sang artis karena tak lolos standar 3B.

Seleksi pasangan adalah sebuah hal wajar yang dilakukan semua manusia. Apapun latar belakangnya. Ketika calon dianggap memenuhi kriteria, maka cincin pun akan dipasangkan untuk mengikat janji. Kalau engga sesuai kriteria hati, mau ngemis kaya apa juga bukaan kaleng soda pun gak akan dipasang di jari manis.

Kalau ini sih bukan bukaan kaleng soda.



Bertahun-tahun sejak si artis itu putus, saya jadi suka observasi pasangan-pasangan di sekitar saya, apalagi orang-orang yang ngedumel soal hubungan perkawinannya. Jangan salah, perkawinan itu tak mudah, tak selalu manis, banyak tantangannya dan tak akan pernah sempurna. Nah ketika denger cerita aneh-aneh soal pasangan ini saya jadi suka ngedumel balik. Bobot, bibit, bebet waktu pacaran dulu kagak dinilai?

Bobot

Saya mengartikan ini sebagai kualitas diri dan cara membawa diri. Salah satu elemennya pendidikan. Gak perlu harus pendidikan PhD dan akademis. Punya pendidikan yang benar wawasannya terbuka dan mau terus-menerus belajar sudah cukup. Pendidikan itu membentuk cara pikir dalam menghadapi masalah dan mencari solusi. Biar engga cupet.

Ini kalau pacaran cara tahunya gimana?  Ya dari ngobrol tentang banyak hal, jadi ketahuan bagaimana pola pikirnya. Gak bisa bahasanya? Belajar! Belajar bahasa itu tak hanya soal tata bahasa tapi juga belajar tentang kultur suatu negara. Jadi kalau kawin gak kaget tahu pasangannya pendukung partai kiri, suka makan keju bau kaos kaki, atau ketika pasangan hobi minum di pub.

Bobot ini juga membahas soal kedudukan di lingkungan sosial dan tentunya soal moral. Standar ini beda-beda ya buat tiap orang, tapi pastikan nilai yang dianut harus sama. Ada yang menerima perkawinan tanpa kesetiaan, ada yang kesetiaan harga mati. Nah tapi kalau memulai hubungan karena perselingkuhan di lapangan golf juga gak usah kaget kalau pasangannya ngelirik caddie lain. Lalu sibuk koar-koar nyalahin orang lain. Konon, once a cheater always a cheater.


Bibit

Anaknya siapa? jelas gak orang tuanya? Gimana masa kecilnya? Ini relevansinya apa? Banyak. Cara dan lingkungan dibesarkan serta trauma masa lalu itu berpengaruh besar pada masa dewasa, termasuk bagaimana individu tersebut menjalin hubungan.

Nenek moyang, selain mewariskan resiko kesehatan (diabetes, jantung) juga mewariskan perilakunya, baik secara sadar atau engga sadar. Perilaku yang diwariskan tak hanya yang baik-baik saja, tapi juga yang buruk. Ketergantungan pada obat atau alkohol konon berhubungan kuat dengan genetik. Mental mengemis, self-entitlement, atau hobi bersedekah juga bisa dengan mudahnya diwariskan dari ajaran keluarga. Begitu juga dengan tata krama dalam kehidupan sosial yang biasanya diajarkan dari usia dini di rumah, oleh siapa? keluarga.

Tak hanya itu, kesehatan jiwa juga cenderung diwariskan.

Jadi kalau pacaran minta ketemu keluarganya, biar engga kaget. Lihat gimana interaksi pacar dengan keluarga. Harmonis gak hubungan keluarganya, atau chaotic? Jalin hubungan juga dengan calon mertua, jadi gak kaget. Jangan sampai ada drama perkelahian berdarah-darah di keluarga yang bikin jantungan, gak berani keluar rumah, panggil polisi, apalagi sampai ke pengadilan.

Bebet
Nah bebet ini soal pekerjaannya. Gak perlu jadi CEO macam anak-anak ClubHouse. Yang penting pekerjaan yang baik dan bisa menghidupi keluarga. Punya keahlian untuk bekerja dan memang mau kerja. Kalau pasangan tak bekerja, cari tahu kenapa alasannya? OK gak dengan alasan ini. Siapkah untuk jadi tulang punggung?

Soal bekerja ini udah berulang kali saya bahas. Banyak yang keblinger ketika pacaran dimanja dengan limpahan mata uang asing dan liburan. Begitu kawin, kaget melihat tagihan ongkos liburan dan hutang yang menumpuk. Sukur-sukur kalau namanya tak dicatut untuk ikutan pinjam utang yang bikin rating kredit memburuk.

Kalau tak bekerja dan punya bisnis, cari tahu dulu bisnisnya. Kalau perlu beli laporan keuangannya. Sehat gak kondisi bisnisnya, kalau merugi terus selama bertahun-tahun, kenali resikonya kalau pasangan gulung tikar. Jangan sampai ada drama merasa tertipu karena pasangannya punya bisnis, tapi ternyata skala bisnis tak sebesar harapan.


Kesimpulannya

Kultur orang Indonesia memang mengharuskan kita cepat-cepat kawin. Tapi seringkali kultur ini membuat kita lupa untuk melihat dengan teliti latar belakang pasangan. Terlanjur silau melihat kemungkinan hidup yang dianggap lebih nyaman di Eropa. Pandemi juga tak menghentikan ngebet kawin, pokoknya kudu buru-buru dikawini walaupun lockdown.

Manusia, apapun latar belakangnya dan warna kulitnya kalau memilih pasangan itu pasti mau yang baik, benar dan jelas latar belakangnya. Syukur-syukur kalau bisa bikin bangga dan gak malu-maluin. Kalau semua indikator terpenuhi, baru jari dan hati pun diikat dalam janji sehidup semati di catatan sipil. Ditambah pesta 7 hari 7 malam kalau perlu, sambil mengundang dalang, sinden dan rombongan perwayangan.

Kesimpulannya, kalau mau kawin, milih-milih dulu gih. Inget bobot, bibit bebet. If he is into you, he’ll put a ring on your finger. Kalau tak kunjung, dikawini? Well kalau menurut Sex and the City sih, maybe he’s just not that into you.

Nggak usah ngemis-ngemis kalau gini. Balik badan aja, thank you, next!

xoxo,
Tjetje

Advertisement

Bicara Petani Irlandia


Masih soal menghina pekerjaan orang lain, kali ini saya akan membahas pekerjaan lain yang dihina: PETANI. Tidak di Indonesia, tapi di Irlandia. Hinaan ini ditujukan untuk merendahkan pilihan pekerjaan sebagai petani dan mencemooh fakta bahwa petani ini disubsidi oleh pemerintah. Menghina pekerjaan orang itu nista dan menunjukkan kecongkakan hati. Tapi menghina petani karena menerima subsidi itu tak hanya nista tapi juga pandir. Menunjukkan kebodohan dan ketidaktahuan tentang skema subsidi terbesar di dunia yang juga salah satu kebijakan EU yang sukses.

Maka, supaya tak menjadi pandir, saya pun sekilas mempelajari tentang subsidi dan bagaimana para petani di sini disokong kebijakan pemerintah. Disclaimer: ini belajarnya sekilas ya, jadi pengetahuan saya sangatlah dangkal.

Subsidi petani ini tak hanya dilakukan di Irlandia, tetapi di Uni Eropa. Seperti saya sebut di atas, subsidi ini merupakan subsidi terbesar di dunia dan memakan banyak anggaran dari Lembaga Uni Eropa. Pemberian subsidi sendiri berdasarkan luas ukuran lahan yang dipunyai. Semakin besar lahan yang dimiliki, semakin banyak subsidi yang diterima, karena semakin banyak pekerjaan dan hasil yang bisa didapatkan. Tak heran kalau kemudian petani yang turun-temurun memiliki lahan yang sangat luas bisa mendapatkan subsidi yang sangat besar. Petani di sini juga cenderung jarang menjual lahan pertaniannya. Kok jual lahan pertanian, diminta sedikit untuk lajur jalan kaki saja bisa ribut tak karuan & mereka akan mati-matian mempertahankan. No gusur-gusur.

Di Irlandia sendiri, bukanlah sebuah hal yang aneh kalau melihat petani kaya dengan rumah megah, kendang kuda, tanah yang sangat luas, tapi di halaman depan rumah banyak sapi merumput. Saking “kayanya”, mereka tak segan mengendari kendaraan bagus-bagus untuk menarik rumput. Ini orang Indonesia kalau lihat bisa geleng-geleng kepala. Tak semua petani kaya. Ada banyak sekali petani yang pas-pasan, apalagi petani yang sudah tua atau mereka yang lahannya kecil. Di sini, peternak sapi, termasuk peternak sapi perah yang kaya raya. Semakin banyak sapinya, semakin makmur.


Skema subsidi ini sendiri disebut sebagai CAP, Common Agricultural Policy. Para petani yang menerima subsidi ini gak sembarangan bisa menerima dana begitu saja, mereka harus mematuhi aturan lingkungan, keamanan pangan, kesehatan tanaman hingga kesejahteraan hewan. Kalau mereka tak patuh, maka subsidi yang mereka terima bisa terkena dampaknya.

Nah, jadi kenapa para petani ini disubsidi? Ada banyak alasannya, dari untuk meningkatan produktifitas, stabilitas pasar (biar gak impor terus dan harganya naik turun kayak harga cabe di Indonesia), mengamankan pasokan, hingga untuk memastikan konsumen bisa beli dengan harga yang layak (baca: murah!). Pembangunan pedesaan pun juga bisa terus dilakukan karena petani sejahtera. Nah kok bikin inget sama Pak Harto dan kelompok taninya ya…

Kita yang di Eropa memang dikenai pajak penghasilan yang cukup tinggi, tapi dari kontribusi pajak kita, bisa dipastikan bahwa pasokan makanan dengan kualitas tinggi terjaga, dan lingkungan kita juga terjaga. Plus, masih banyak orang yang masih mau menjadi petani karena mereka bisa hidup dengan layak.

Bertani cabe tapi tak layak dapat subsidi

Subsidi ini membuat harga daging, sayur-mayur dan buah cukup terjangkau. Harga wortel satu kilo bisa hanya beberapa sen Euro saja. Harga apel per kilo juga bisa hanya 1-2 Euro, tak seperti di Indonesia yang sebijinya dijual hampir 1 Euro. Cabe merah sendiri tak bisa digunakan sebagai pembanding, karena konsumsi cabe di sini tak setinggi di Indonesia, harga cabe merah besar sendiri berkisar di 16 Euro untuk 3 kilo; tak bisa dibandingkan dengan harga cabe merah yang hanya 34ribu rupiah di Indonesia. Daging-dagingan dan susu sendiri juga bukanlah hal yang mahal dan tak terjangkau oleh orang kebanyakan.

Penutup

Menghina pekerjaan orang itu tidaklah elok sama sekali. Lebih tak elok lagi menghina para petani yang memastikan kita bisa mengakses makanan berkualitas dengan harga terjangkau. Semoga kita semua dijauhkan dari orang-orang yang pandir dan kepandiran; semoga juga suatu saat nanti kebijakan pemerintah di Indonesia bisa memastikan para petani kita hidupnya layak dan harga pangan yang stabil.

xoxo,
Tjetje


Gotong Royong di Irlandia

Tulisan ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi saya dan beberapa teman-teman.


Selama tinggal di Irlandia ini saya sudah beberapa kali pindah, dari yang berjarak 5 menit dari pusat kota, pinggiran Dublin, hingga Dublin coret. Di tengah Dublin, individualisme itu sangat-sangat kuat. Komplek apartemen dipenuhi oleh para pekerja profesional yang tak hanya orang-orang Irlandia. Kerja pagi hingga sore, lalu kalau ketemu di lift hanya senyum atau menyapa apa kabar. Semua orang sibuk dengan hidupnya masing-masing.

Begitu kami pindah ke pinggiran kota Dublin, individualisme masih sangat kuat, walaupun tak seperti di tengah kota. Interaksi dengan tetangga sendiri sangat terbatas dan baru meningkat ketika Natal tiba dengan bertukar kartu atau kue-kue Natal.

Di luar Dublin sendiri, komunitas tempat saya tinggal bersatu-padu dalam banyak hal, dan gotong-royong ini sudah kuat sejak sebelum pandemik.

Gotong-royong skala kecil

Di Irlandia, menyetir dengan kadar alkohol itu tak diperkenankan. Ketika ada pesta atau pulang dari pub, alih-alih mencari taksi seperti di Dublin, yang tak minum memberikan tumpangan pulang untuk mereka yang minum. Saya sendiri, karena sudah tak rajin minum, berulang kali mengantar mereka yang minum, bahkan di tengah malam.

Sekali waktu, saya pernah memberi tumpangan tetangga saya pulang seusai pesta di kampung kami. Beberapa kemudian, cerita saya memberi tumpangan ini sudah sampai ke telinga orang Indonesia lain yang tinggal di kampung lain, bahkan beda county. Rumpi….

Tumpangan tak hanya diberikan pada mereka yang minum. Perlu tumpangan untuk mengambil tanaman yang ukurannya besar, perlu ke bandara, perlu ambil mobil ke bengkel, semua bisa minta tolong tetangga. Kuncinya gak segan minta tolong kalau butuh pertolongan.

Bantu-membantu di sini gak cuma urusan tumpangan. Butuh kursi karena ada pesta, gak usah repot-repot nyari penyewaan kursi, pinjem kursi-kursi tetangga aja. Mau beli bel rumah yang pakai kamera, tetangga pun siap nunjukin kamera mereka dan bantu install. Pintu rumah agak rewel, tetangga dengan senang hati ngebenerin. Gak perlu pakai bayar (di sini biasanya kalau dibantuin tetangga kita beliin mereka minum waktu ke pub). Warbiyasak banget deh.

Rujak Cingur tanpa cingur dengan kangkung dari hasil kebun tetangga

Nitip anak, pinjam anak tetangga buat diajak mainan, nitip anjing, atau bahkan kalau ada anjing ilang diambil dulu sama tetangga sampai pemiliknya ketemu. Kalau liburan, nitip rumah juga sama tetangga sebelah, bahkan titip minta sampah di keluarin.

Ketika awal pandemi, salah satu keluarga di kampung kami ada yang harus isolasi mandiri. Bantuan yang diberikan tetangga, dari dibantuin belanja sampai dikirimi makanan mengalir. Perlu apa-apa aja, tinggal minta tetangga. Balik lagi, tinggal bilang aja, tetangga datang dengan pertolongan.

Bedah Rumah

Salah satu gotong royong terbesar yang saya lihat adalah program bedah rumah versi Irlandia. Program ini berlangsung dimana-mana dan pernah berlangsung di kampung kami. Ada salah satu keluarga di kampung kami yang rumahnya perlu direnovasi karena mereka memiliki anak-anak berkebutuhan khusus.

Satu desa, bahkan desa-desa sebelah, bergotong-royong memberikan dukungan. Gula, kopi, teh, air panas, aneka kue-kue dan biskuit pun diberikan oleh para tetangga. Sampai ada jadwalnya, supaya orang-orang bergantian. Ini persis ketika jaman tinggal di Jakarta ataupun di Malang, ada jadwal mengirimkan kue dan kopi untuk satpam komplek yang ngeronda.

Mereka yang tak bisa bikin kue, tapi punya kebisaan untuk membangun rumah menyumbangkan tenaga dan waktunya. Tergantung specialisasi mereka, tukang ledeng, tukang listrik, tukang lantai, semuanya kerja bareng tak dibayar. Yang tak punya pengetahuan pertukangan, seperti suami saya, ngeronda untuk jaga peralatan bangunan. Yang gak kebagian jadwal ngeronda, seperti tukang es krim, datang bawa truk es krimnya dan bagi-bagi es krim gratis untuk seluruh kru yang berpartisipasi.

Kalau ini gotong-royong khas Indonesia

Tak cuma makanan dan skill saja, bahan bangunan, dari paku sampai tanaman juga hasil swadaya masyarakat sekitar. Tak hanya individu tapi juga bisnis. Semuanya gotong-royong demi membantu salah satu tetangga desa kami.

Penutup

Irlandia ini konon masuk sebagai salah satu negara yang individualis. Tapi dari pengalaman yang saya alami, engga juga kok, banyak tolong-menolong dan gotong-royong. Ada yang mungkin berargumen, ah ini mungkin karena desa tempat saya tinggal kecil. Tapi salah satu cerita yang saya tulis di atas kejadiannya di kota terdua terbesar di Irlandia.

Kesimpulan saya, individualisme itu tak hanya masalah kultur, tapi juga masalah mentalitas.
Tetangga saya, orang Irlandia, yang saya anterin pulang beberapa minggu lalu menanyakan satu pertanyaan yang penting dan vital: “Do you know anyone in the village?” Kamu kenal sama orang lain gak?

Lha kalau engga kenal dan kalau kita bawa mental individualis, gak nyapa orang, gak ngajak orang ngobrol, apalagi karena tinggal hanya sementara saja, tak mau repot berkenalan dan berinteraksi dengan masyarakat loka, ya orang-orang Irlandia akan menawarkan individualisme.

xoxo,
Tjetje
Dapat kangkung organik satu kresek dari tetangga sebelah rumah.

Cari Perhatian

Manusia itu pada dasarnya memerlukan tak hanya sandang, pangan dan papan, tetapi juga perhatian. Udah dari sononya perhatian menjadi kebutuhan kita. Namun, di media sosial, kita seringkali bertemu dengan orang-orang yang haus perhatian, seakan-akan mereka baru selesai marathon mencari perhatian di tengah padang pasir.

Mencari perhatian, kendati sebuah kewajaran berubah menjadi hal yang aneh ketika kebutuhan ini terlalu tinggi, hingga kemudian menciptakan aneka drama untuk mencari perhatian. Sebuah hal yang sebenarnya tak penting karena kita bukan para pejuang rating reality show seperti Kim Kardashian.

Cara mencari perhatian ini beraneka rupa, dari yang sekedar pamer cerita hidup secara berlebihan, ada yang mengumbar emosi dari satu sisi (baca: marah-marah di media sosial, tapi ceritanya gak berimbang), ada yang menyindir tetangga sebelah, hingga yang mati-matian mencari like tapi malah mengundang cemooh di R/LinkedIn Lunatics (sub-reddit ini sangat dianjurkan).

Lalu kenapa orang dewasa masih suka mencari perhatian, “apa yang salah” dalam kehidupan dan upbringing mereka sampai benar-benar harus perhatian? Saya iseng membaca aneka literatur tentang psikologi manusia pun menemukan banyak alasan.

Disclaimer dulu, ini bukan tulisan ilmiah dan saya tak selalu benar. Sumber bacaan saya juga belum tentu benar. Jadi jangan dianggap sebagai kebenaran absolut ya. Karena sesungguhnya yang paling benar adalah mereka yang suka mencari perhatian. Lainnya salah semua. #Eh

Kesepian

Pecahkan saja gelasnya biar ramai

Biar mengaduh sampai gaduh

Jadi kegaduhah yang dimunculkan di media sosial itu ternyata bermula dari akar penting, rasa kesepian. Bikin konten demi mengundang engagement supaya tak kesepian.

Ya ini sih masuk akal, kalau orang sibuk mah, boro-boro mikir bikin content drama, mau nengok media sosial juga gak sempet, apalagi mikir bikin konten yang mengundang reaksi. Bikin konten itu kan pakai mikir, menata kata-kata dan mengunggah pada waktu yang tepat.

Kesepian tak bisa dipahami sebagai tak ada yang menemani ya. Terkadang ada orang-orang yang dalam keramaian pun masih merasa kesepian karena kebutuhan untuk interaksi dengan manusia dewasa lainnya tak terpenuhi. Pssst… dalam perkawinan hal seperti ini biasanya mengundang perselingkuhan, fisik maupun batin.

Gak Pede

Ketika saya masuk kelas theater, saya diminta untuk berdandan seperti orang yang tak mandi, rambut tak diatur dan berlaku seperti orang dengan gangguan kejiwaan. Kami diminta berjalanan keliling kota Malang. Sendirian.

Tujuan dari proses ini untuk membangun kepercayaan diri & supaya kami tak peduli dengan apa kata orang tentang penampilan kami. People will always comment anyway, tapi yang penting pede dulu.

Kendati terlatih percaya diri, sebagai manusia saya masih tetap punya kecemasan dan nervous ketika harus melakukan public speaking (padahal ini kerjaan saya). Namanya juga manusia.

Nah, orang-orang yang nervous ini banyak yang bergantung pada pujian dari orang lain. Pujian tentang penampilan, skill serta hidup mereka menjadi booster untuk kepercayaan diri mereka. Kerja pujian ini tak datang, ya harus dicari dengan berbagai cara. Tanpa pujian ini, insecurities jadi merajalela.

Makanya saya tak pernah mempercayai keglamouran dan kepedean berlebihan di media sosial. Seringkali, begitu ketemu langsung, banyak yang bergulat dengan insecurities yang dimanifestasikan ke aksi-aksi cari perhatian.

Cemburu

Tak pede ini juga bersahabat dekat dengan kecemburuan. Kecemburuan ini muncul karena banyak alasan dan karena dipicu hal-hal yang sepele, dari kedekatan, materi, kesuksesan. Apa aja bisa menjadi pemicu kecemburuan.

Melihat teman yang dianggap kesayangan lebih dekat dengan orang lain, lalu cemburu dan posesif. Buru-buru membuat statement kedekatan, persis seperti anjing yang mengencingi pohon untuk marking dominance. Masalahnya, kedekatan manusia itu tak perlu statemen, hanya perlu aksi dan hubungan pertemanan yang kokoh.

Yoda, punya anxiety dan FOMO. Maunya ditemenin melulu, kalau engga dia cari perhatian cakar-cakar kaki orang.

Ketika tak diajak keluar, kemudian muncul FOMO (fear of missing out) yang dibarengi dengan permintaan untuk diajak. Kalau tak diajak, ada saja metode mencari perhatian yang akan dibuat. Dari mengaku diajak tapi tak bisa, hingga membuat acara tandingan yang mengikutkan banyak orang.

Melihat harta dan tahta orang lain juga seringkali menjadi cemburu. Kenapa rumput tetangga lebih hijau, plastik sekalipun? Kenapa aku tak punya ini dan itu, kenapa aku kok masih gini-gini aja, sementara orang lain lebih sukses.

Namanya juga manusia, kadang, atau bahkan seringkali lupa bersyukur.

Penutup

Manusia itu kompleks dan sangat menarik. Sebagai manusia, saya sendiri pernah bergulat dengan aneka hal yang saya sebut di atas. Dulu tapi, jaman masih pakai seragam warna biru dan kerepotan mencari tahu identitas diri.

Selayaknya manusia, kita berproses dengan berjalannya waktu dan juga pengalaman hidup. Sekarang kalau melihat hal-hal seperti ini, jadi bikin flash back ke masa di mana otak belum berkembang secara sempurna, mencari tahu tujuan hidup dan penuh insecurities.

Nah bagaimana kalau ketemu manusia yang hobi banget cari perhatian gini? Ya itu pilihan masing-masing. Kita bisa mengatur reaksi yang kita mau. Kalau punya tenaga dihadapi. Kalau saya, sekarang tak punya energi untuk menghadapi orang-orang kesepian yang caper gini.

Tjetje
sedang belajar menikmati JOMO

Tentang Masker & Vaksin

Disclaimer: Setiap orang berhak memilih prosedur kesehatan yang sesuai dengan kepercayaan mereka, apalagi prosedur yang akan mempengaruhi tubuh mereka. Tidak semua orang harus memilih hal-hal yang dianggap populer.

Jennifer Aniston kata media memilih untuk tidak berteman lagi dengan teman-temannya yang tidak divaksin karena takut menularkan (dan atau ditulari) virus. Ia juga enggan berhubungan dengan mereka yang tak mau membeberkan kondisi atau pilihan mereka. Soal yang terakhir ini cukup kontroversial, karena ini merupakan urusan yang sangat pribadi dan membuat beberapa orang cukup geram. Kegeraman ini membuat saya bertanya, berapa banyak dari kita yang harus kehilangan hubungan dengan orang-orang tercinta karena perbedaan pilihan?

Vaccine Hesitancy & Anti Vaksin

Beberapa orang yang saya kenal, menolak vaksin dan menolak menggunakan masker. Ada yang menolak sepenuhnya. Tetapi ada juga yang menolak vaksin C19 saja. Di era pandemi ini, mereka dikotak-kotakkan. Yang ragu dikategorikan dalam kelompok vaccine hesitancy.

Sementara yang gak mau sama sekali dikategorikan sebagai anti-vaksin. Sejarah mencatat, kotak-kotak terhadap kelompok anti vaksin sendiri sudah ada sejak sebelum pandemi ini mulai dan ada nada yang negatif dari masyarakat terhadap pilihan mereka.

Mereka yang memilih tidak divaksin, atau ragu-ragu tidak hanya orang Indonesia saja, tetapi juga orang asing. Perancis sendiri menjadi salah satu negara yang cukup tinggi angka keragu-raguannya di Eropa.

Lalu, saya ngobrol dengan pilihan mereka dan bertanya karena saya ini kepo. Perlu dicatat, mereka tak berutang penjelasan atas pilihan hidupnya. Tapi karena pilihan mereka tidak populer, ada baiknya juga memahami pandangan mereka. Saya bertanya karena ingin tahu, tanpa rasa menghakimi dan tak datang untuk berdebat.

Yoda sudah divaksin secara penuh dan boleh bermain dengan anjing-anjing lain.
Sebelum divaksin, ia tak diperkenankan bermain dengan anjing lain karena resiko terinfeksi penyakit yang lebih tinggi.

Masker

Penolakan terhadap masker ada banyak alasannya. Salah satu alasan utama yang sering kali saya dengar adalah sesak napas, apalagi jika mereka memang punya kondisi kesehatan. Kebijakan yang mengharuskan orang mengenakan masker, bahkan selama 8 jam saat kerja membuat orang-orang ini ketakutan. Takutnya nyata sekali; dulu beberapa orang yang saya kenal sampai harus dipulangkan dari kantor dan bekerja dari rumah karena ini (ini sebelum pandemi meledak ya).

Menariknya, ada yang merasa identitasnya tercabut karena pakai masker. Ekspresi muka tak kelihatan dan interaksi menjadi sangat terbatas dengan adanya masker. Selain itu, kekesalan dengan kebijakan pemerintah juga memicu sisi rebelious. Capek dan kesal dengan pemerintah yang mengganti-ganti aturan terus-menerus dan menberi pembatasan.

Untuk konteks, aturan di Irlandia memang berubah terus dan seringkali konyol. Ditambah lagi selama pandemi ini pemerintah di sini membuat beberapa skandal, dari bikin pesta, melanggar aturan travel, pesta yang melepas maker, dan tentunya ketahuan. Tak heran kalau kemudian orang jadi eneg dan menentang masker. Masker agaknya dilambangkan sebagai simbol penekanan.

Bagaimana dengan vaksin?

Ada banyak keraguan, ketakutan dan keengganan karena vaksin. Pertama karena mRNA, masih digolongkan “baru”, lalu pembuatan vaksin yang tergolong cepat juga menambah keengganan. Ada pertanyaan besar apakah vaksin ini benar-benar aman atau tidak, apalagi vaksin tidak 100% melindungi dari C19.

Efek samping vaksin terhadap tubuh juga menjadi alasan lain lagi. Badan baik-baik saja kok secara sengaja dimasuki benda asing hingga mengalami banyak reaksi seperti demam dan pusing tak terkira. Ditambah lagi, mereka yang mengalami efek samping ini, apalagi yang cukup parah, seringkali tak boleh berbagi di media sosial. Postingan atau bahkan akun mereka dihapus oleh media sosial ini. Padahal yang mereka bahas itu reaksi faktual dari vaksin & yang posting tak anti vaksin sama sekali.

Selain hal-hal di atas, ada keengganan dan ketidakmauan yan tinggi ketika tubuh mereka sendiri memiliki imunitas yang cukup tinggi. Tak pernah mengalami sakit menjadi salah satu alasan. Gaya hidup yang lebih alami, tanpa bahan kimia juga dipercaya, dan menurut mereka terbukti membuat tubuh mereka jauh lebih sehat.

Diskriminasi?

Lalu, bagaimanakah mereka diperlakukan di Irlandia yang sudah mulai membuka diri? Membuka diri di sini termasuk kegiatan ekonomi bergejolak lagi, hotel dibuka, restauran buka untuk makan di luar dan juga di dalam bangunan. Menurut aturan yang berlaku saat ini (ini besok bisa ganti lagi), mereka yang sudah divaksin boleh duduk di dalam selama mereka menunjukkan bukti vaksin. Sementara mereka yang tak divaksin, boleh duduk di dalam jika menunjukkan hasil tes PCR, atau menunjukkan bukti pernah terkena Covid dalam waktu 6 bulan terakhir. Penerapannya di lapangan bermacam-macam, ada yang dicek, ada yang tak dicek, dan ada yang disuruh keluar.

Traveling sendiri juga sama. Yang sudah divaksin bisa melenggang dengan EU vaccine passport sementara yang tak divaksin harus merogoh kocek untuk tes PCR di instasi private. Tes gratis yang disediakan pemerintah tak diperkenankan untuk keperlukan jalan-jalan.

Pendeknya, tak ada diskriminasi, mereka semua bisa mengakses hal-hal yang sama, hanya saja dokumen yang diperlukan berbeda. Lalu bagaimana jika mereka dikonfrontasi, seperti ketika masuk ke dalam toko dan harus menggunakan masker. Di sini, penggunaan masker di dalam toko diwajibkan.

Nah, mereka ternyata sudah siap untuk berhadapan dengan para pegawai toko. Jika diminta menggunakan masker, mereka akan mengatakan sebagai pengecualian. Di Irlandia sendiri pengecualian hanya diberikan kepada mereka yang memiliki kondisi kesehatan yang rentan. Tanpa dokumen ini semua harus mengenakan masker.

Ketika mereka tak bisa memberikan dokumen ini, biasanya, mereka akan diminta keluar dari toko. Ya keluar aja dan tak pernah kembali ke toko yang sama. Supermarket yang mengakomodasi orang-orang tanpa masker sendiri biasanya banyak menerima komplen di media sosial.

Penutup

Pandemik mengubah cara interaksi kita dengan manusia lain. Kebijakan publik juga berubah untuk menekan angka infeksi, kapasitas rumah sakit. Kegiatan ekonomi sendiri juga turun drastis.

Memahami pilihan vaksin dan masker itu membuka saya tentang cara pandang orang lain yang berbeda dari cara pandang kebanyakan dari kita. Ada banyak faktor di belakangnya, ada ketakutan, keengganan, ketidakpercayaan, kepercayaan dan pandangan yang berbeda atau bahkan perlawanan pada otoritas. Apapun pilihannya, itu pilihan masing-masing.

Yang pasti, pandemi ini mengubah banyak hal. Kita hidup dalam kondisi yang semakin tak pasti, diiringi sedikit (atau banyak), ketakutan dan kecemasan. Apalagi dengan berita kematian yang belum juga berhenti. Semua orang, merasa kelelahan jiwa dan juga kelehan mental.

Lalu, kalau kemudian pertemanan tak bisa dilanjutkan lagi karena pandangan yang berbeda ini, ya tak usah dilanjutkan. Manusia itu tak selalu harus cocok, tak selalu harus memiliki pandangan yang sama. Kalau memang memilik tak bisa mentolerir pandangan yang berbeda, tinggal hapus aja dari daftar pertemanan atau kalau lebih ekstrem, blok aja.



Kamu, seperti Jeniffer Aniston juga?


Tjetje
Pengguna masker yang sudah divaksin secara penuh.

Tapi, bukan teman Jeniffer Aniston.

Menghina Pekerjaan Orang



Pernah dengan tentang Nikmatul Rosidah Dobson? Mbak Nik ini salah satu Youtuber Indonesia yang tadinya bermukim di HK lalu pindah ke Canada. Akun Youtube Mbak Nik banyak bercerita tentang masakan dan juga keluarganya. Di Facebook, Mbak Nik sering bercerita tentang aneka perisakan yang ia terima, dari orang yang tak ia kenal. Ada banyak hinaan yang dia terima, dari soal rumah yang baru ia beli, dituduh berfantasilah, suaminya pun ikut dihina, bahkan yang terakhir latar belakang pekerjaan dia yang pernah bekerja di Hong Kong juga dihina. Soal hinaan terhadap pekerjaan Mbak Nik ini bagi saya sebuah hal yang sangat “menarik2”, karena orang tak malu-malu menunjukkan wajah aslinya demi kepuasan menghina orang lain.



Tanya kenapa?



Observasi saya, ketergantungan kita di Indonesia terhadap pekerja rumah tangga itu sangat tinggi. Tapi sayangnya ketergantungan ini tak dibarengi dengan penghormatan, malah dibarengi dengan diskirimasi dan hinaan terhadap pekerjaan mereka. Hinaan ini kemudian melebar tak hanya kepada pekerja rumah tangga tapi juga pada TKW, yang berbuntut perlakukan yang bebeda dan diskriminatif. Soal ini pernah saya bahas panjang lebar di postingan 5 tahun lalu di sini.

Masyarakat kita juga kemudian memunculkan hinaan “muka pembantu”, yang tak jelas maksud dan definisinya apa. Apalagi menjadi pekerja rumah tangga itu tak memerlukan fitur muka yang unik seperti ketika harus menjadi model. Bisik-bisik tetangga juga sering mengatakan “dia itu dulu bekas pembantu”. Seakan-akan menjadi pekerja rumah tangga adalah sebuah hal yang salah. Sudahlah gaji di bawah UMR, jam kerja gak jelas, masih juga dihina-dina.

Image by Pijon from Pixabay

Ketika saya tiba di Irlandia beberapa tahun lalu, pekerjaan pertama saya adalah tukang bersih-bersih media sosial, upahnya cukup rendah, hanya 25% lebih tinggi daripada upah minimum. Pekerjaan ini tidak untuk semua orang, karena bersih-bersih yang dilakukan terkait dengan konten yang aneh-aneh di media sosial dan bisa memicu trauma. Kala itu, pekerjaan tersebut cukup mudah didapatkan karena kemampuan bahasa Indonesia yang saya punyai. Jenis pekerjaan ini memang memerlukan kemampuan bahasa, kecepatan dalam menganalisis dan kebisaan untuk berhadapan dengan trauma.

Lalu, dalam sebuah acara, pertama kalinya dalam hidup saya, saya merasakan bagaimana rasanya dihina dan direndahkan karena pekerjaan dan perusahaan tempat saya bekerja. Di depan orang banyak tentunya.


Tadinya, saya berpikir menghina pekerjaan orang lain itu hanya pada pekerjaan dengan penghasilan rendah. Eh tapi tunggu dulu, dokter gigi yang sekolahnya susah pun tak lepas dari hinaan. Baru kenalan dengan orang, begitu tahu pekerjaan dokter gigi udah langsung menghina pekerjaan dokter gigi karena identik dengan rasa sakit (dan biaya yang tak murah), lalu malas dekat-dekat karena rasa takut dan insecurity karena pekerjaan orang lain.

Yang menyedihkan, kadang-kadang hinaan terhadap profesi ini bermula sejak dini, ketika anak-anak yang akan memilih minat profesinya memantapkan hati. “Ngapain sekolah jadi tukang mandiin anjing, gak ada uangnya”. Atau mereka yang ingin jadi pengacara, belum-belum sudah disumpahi kaki satu di neraka dan satu di surga. Situ dewa penjaga pintu neraka dan pintu surga?

Penutup

Adanya kultur yang mempermalukan dan menghina orang lain karena pekerjaan mereka itu membuat orang kemudian malu jika pekerjaan mereka diketahui orang lain. Menjadi pelayan di restauran misalnya, kemudian lihat seseorang yang dikenal, kabur dan sembunyi. Malu dan takut dihina.

Tak bisa dipungkiri, dipermalukan dan dihina orang lain itu pasti menyakitkan. Saya sendiri melihat hal seperti ini sebagai sebuah “kelucuan” yang memicu pertanyaan, mengapa orang lain mati-matian merendahkan pekerjaan orang lain (dan pada prosesnya meninggikan pekerjaan mereka sendiri, kadang ketinggian sampai lapisan langit gak cukup)?

Bagi saya, konfrontasi orang-orang seperti ini tuh buang-buang energi. Kalau kebetulan ketemu, sekalian aja dikompor-komporin, biar makin tinggi. Let them have the moment. Hitung-itung berbuat baik, bikin orang lain merasa lebih baik tentang dirinya sendiri, bisa membuat mereka merasa agak superior dan jadi menggelembung karena bangga banget dengan dirinya sendiri, persis seperti Giant di seri Doraemon. Mereka juga tentunya bisa lebih pede karena “lebih baik” daripada orang lain, walaupun hanya sementara. Kasihan lho, gak setiap saat mereka punya momen seperti ini.

Pada akhirnya, pekerjaan itu tidak mendefinisikan kita sebagai individu. Mau pekerjaan apa aja, kalau kelakuannya jelek, nyamuk juga males nemplok.


Pernah dihina karena pilihan pekerjaan dan atau profesi kalian?

Ailtje
Blogger, bukan CEO atau C-suite lainnya kayak anak-anak CH. #Eh

Kerja Dari Rumah

Dalam kondisi pandemik seperti saat ini, bisa bekerja dari rumah, tak perlu naik kendaraan umum, dan duduk diam di depan komputer sambil mengenakan piyama yang dipadukan dengan blazer adalah sebuah hal yang bisa dianggap mewah. Tidak semua orang punya kemewahan, ruang, serta kemampuan untuk bekerja dari rumah.

Fasilitas Kerja

Untuk bekerja dari rumah itu idealnya diperlukan area atau ruangan untuk bekerja, lengkap dengan fasilitasnya, seperti kursi dan meja yang ergonomis. Untuk orang yang pendek seperti saya bahkan diperlukan pengganjal kaki supaya kaki tak menggantung. Di sini, beberapa perusahaan mengirimkan kursi, meja dan monitor kepada karyawannya. Beberapa perusahaan teknologi juga memberikan alokasi dana untuk membeli perlengkapan kerja ini. Tak sedikit juga yang harus merogoh kocek sendiri untuk membeli perlengkapan kerja dari rumah yang layak.

Saya sendiri berpikir bahwa WFH ini hanya akan berlangsung selama beberapa saat saja, jadi tak pusing mencari meja untuk bekerja dan hanya menggunakan meja sementara seperti ini yang saya letakan di salah satu kamar yang saya jadikan kantor sementara.

Ergonomic banget


Tak semua orang beruntung memiliki ruangan atau area untuk bekerja dengan fasilitas lengkap. Dari berbagai interaksi saya, ada yang terpaksa harus bergulat kerja dari dalam kamar mandi memangku laptop karena tak ada ruangan lain yang bisa digunakan di rumah, ada pula yang harus bekerja sambil setengah duduk di tempat tidur. Di Dublin, menyewa apartemen dan rumah itu tak murah, banyak pekerja muda yang kemudian berbagi apartemen kecil. Akibatnya ketika semua orang kerja dari rumah, mereka terpaksa berada di dalam kamar tidur, bahkan makan dan kerja di ruangan yang sama.

Burn Out

Selama lockdown di Irlandia, tak banyak hal yang bisa dilakukan. Pekerjaan menjadi satu-satunya hal yang membuat orang aktif. Log in lebih awal, lalu log out hingga agak malam.
Bagi yang memiliki anak, banyak orang tua yang harus bekerja sambil mengurus anak, karena penitipan anak dan sekolah tutup pada awal lockdown. Jam kerja tentunya jadi lebih bervariasi, karena kerja disambi dengan mengurus anak. Untungnya banyak tempat kerja yang memberi kelonggaran.

Tapi akibatnya, jam kerja 9-5 bukan menjadi jam kerja yang normal lagi. Banyak orang bekerja lebih panjang. Entah untuk membayar jam kerja yang dipakai mengurus anak, atau harus meeting secara daring dengan rekan kerja di belahan dunia lain. Meeting secara daring ini juga sangat melelahkan, karena harus fokus melihat layar.

Burn out tak hanya karena jam kerja dan layar, tapi juga karena ketidakbisaan memisahkan ruang kerja dan ruang hidup, dua area ini bercampur selama lockdown. Apalagi anak kos yang terisolasi di dalam kamar. Isolasi tak bertemu manusia lain juga tak membantu sama sekali, malah membuat fisik dan mental semakin kelelahan. Kelelahan ini ketika terus-menerus menggunung menjadi burn out, apalagi ketika tak ada work life balance.

Kolega Edan

Sudah ruang kerja tak ada, burn out, eh masih ditambah dengan ketemu kolega yang mendadak jadi edan dan pushy. Tak bisa dipungkiri selaman kerja dari rumah, ada banyak orang yang memiliki ketakutan jika tak segera membalas ketika dihubungi. Takut dikira tak bekerja, apalagi kalau punya atasan yang hobinya micro managing. Tak hanya bos saja, rekan kerja pun juga suka ada yang micro managing, bahkan tak mengerti jam kerja 9-5, akhir pekan ataupun waktu cuti.

Saat cuti ada juga yang tak segan mengganggu, mengirim pesan melalui nomor HP pribadi untuk bertanya tentang pekerjaan, entah melalu pesan 1:1 atau melalui grup WA kantor yang akibatnya memberi tekanan pada orang lain yang cuti untuk membalas. Padahal cuti itu merupakan waktu untuk disconnect. Ketika pertanyaan tak dibalas, escalate ke bos dari orang yang ditanya tersebut. Pendeknya tekan terus, jangan kasih kendor. Brengsek banget kalau ketemu kolega model beginian.

Jam kerja kantor yang sudah jelas juga tak menghentikan kolega yang tega mengundang meeting di luar jam kerja. Atau yang lebih parah, mengundang meeting menjelang berakhirnya jam kerja, lalu ketika waktu meeting habis dan saatnya disconnect masih terus ngajakin kerja, padahal tak ada overtime. Kalau bertemu yang tegas sih bisa langsung diakhiri, tapi kalau bertemu yang modelnya suka sungkan seperti Mas Karyo, ya molor-molor terus meetingnya. Paling asyik sih kalau ketemu model yang kayak gini langsung aja tembak: Maaf harus log out, ada meeting lain menunggu. Daaag, klik tanda silang. Bubar deh.

Indahnya WFH

WFH tak selamanya buruk. Ada indahnya juga, apalagi yang bisa beruntung WFH dengan view pemandangan indah. Seperti mantan kolega saya yang bekerja di Bali dan mengirimkan gambar pemandangan cerah yang bikin konsentrasi kerja buyar, karena pengen cepet-cepet berjemur. Ah……

Tak perlu commute juga menjadi alasan lain yang membuat orang betah WFH. Apalagi kalau jarak dari rumah ke kantor sangatlah jauh. Irit bensin, ongkos transportasi dan tentunya hemat waktu.


WFH juga menghadirkan hiburan tak terduga. Alarm mobil yang tiba-tiba menyala, lalu saya harus kabur mematikan. Atau paket yang datang di tengah-tengah meeting. Mereka yang punya anak juga tiba-tiba menjadi seperti BBC dad, anaknya tiba-tiba muncul di meeting. Di salah satu meeting saya bahkan ada “fashion show” dadakan, karena anak-anak kolega saya ngotot ingin memamerkan pakaian mereka. Meetingnya cuma 30 menit, yang 15 menit habis untuk kenalan dengan bocah-bocah ini.

Tak cuma anak-anak saja, anjing saya si Yoda juga berulang kali ikut meeting. Di awal pandemi, anjing kecil ini hobi banget minta duduk di pangkuan saya, kalau tidak, ia akan bikin ribut dan menggonggong tak karuan.

Penutup

Pandemik ini nampaknya masih belum akan berahir. WFH masih akan terus berlanjut, setidaknya di Irlandia. Pemerintah sini bahkan mengeluarkan right to disconnect, supaya orang bisa log out ketika jam kerja sudah habis dan tak bekerja terus-menerus.

Semoga kalian semua yang sedang kerja dari rumah, di manapun kalian, juga punya hak yang sama, serta dijauhkan dari burn out.

Jadi, bagaimana cerita WFH kalian? Punya cerita menarik?

xoxo,
Tjetje

Berduka

Salah satu mimpi buruk tinggal di luar negeri adalah ketakutan ketika kehilangan anggota keluarga yang meninggal dunia. Ada rasa cemas. Kalau untuk saya, tak sama dengan kecemasan ketika tinggal di kota atau provinsi yang berbeda, di mana pulang kampung bisa semudah memesan tiket kereta api atau pesawat terbang.

Di masa pandemi ini lebih-lebih, ada terlalu banyak kematian dan tiba-tiba pulang kampung menjadi sebuah hal yang tak mudah. Jarak jauh memisahkan masih harus ditambah dengan masa karantina. Sementara, di Indonesia ada kecenderungan jenasah dimakamkan sesegera mungkin. Akibatnya, banyak yang tak bisa pulang untuk menguburkan orang-orang terkasih. Pemakaman harus dijalankan secara daring. Tak ada lagi kesempatan untuk mengucapkan perpisahan, atau sekadar mencium tubuh dingin orang-orang tercinta untuk terakhir kalinya.

Pendeknya, di masa ini, luka hati kehilangan orang-orang tercinta itu seperti luka terbuka yang disiram cuka. Perih tiada terkira.

Proses kematian di Indonesia itu seperti plester obat yang harus ditarik sesegera mungkin. Keluarga berpulang, tamu datang dan yang kehilangan tak bisa berdiam diri untuk berduka dan memproses kematian tersebut. Menjelang pemakaman bahkan keluarga yang berduka harus terus-menerus menceritakan proses kematian yang seringkali pedih. Tak terbayang trauma ketika harus terus-menerus menceritakan saat yang menyedihkan seperti ini.

Di sini sedikit berbeda. Keluarga biasanya diberi waktu untuk berduka karena jenasah tak segera dimakamkan, di masa pandemi ini saya tak tahu bagaimana prosesnya, karena ada pembatasan jumlah orang yang boleh terlibat. Mendongeng tentang proses kematian biasanya ada, tapi tak seintens di Indonesia yang “harus” diceritakan kepada semua pihak yang datang, sehingga ketika pemakaman justru dipaksa sibuk bercerita kemana-mana ketimbang fokus pada luka hati dan perpisahan. Di sini, para tamulah yang biasanya bercerita dan saling ngobrol. Tamu-tamu ini seringkali tak saling kenal, tapi kemudian duduk dan membahas kebaikan yang sudah berpulang.

Berduka sendiri tak ada yang salah ataupun yang benar. Semua orang berduka dengan caranya sendiri-sendiri dan melalui banyak tahapan, dari menolak, marah, negosiasi, bahkan terkadang depresi yang bisa berdampak banyak pada kesehatan tubuh dan jiwa, hingga pada tahapan menerima kematian tersebut. Proses berduka sendiri juga bermacam-macam, ada yang cepat, ada pula yang butuh waktu agak lama, tergantung masing-masing individu dan kedekatan pada yang berpulang.

Di beberapa kasus bahkan orang-orang perlu pertolongan dari profesional untuk menangani duka. Apalagi pada kasus-kasus kematian yang memberi banyak pertanyaan dan sulit dicerna, atau pada kasus dimana ada penyesalan luar biasa sebelum kematian (sedang berkelahi, berbeda pendapat, berbohong, tak membagi rahasia besar). Penting sekali untuk bisa berteriak meminta pertolongan profesional dan meminta pertolongan itu tak perlu dilabeli sebagai sebuah hal yang memalukan.

Penutup

Di masa pandemi ini, jumlah berita duka yang datang dari Indonesia sangatlah tinggi. Kehilangan keluarga, melihat teman-teman dan orang-orang yang kita kenal berduka menjadi sebuah hal yang rutin.

Membuka media sosial atau aplikasi chat sekarang menjadi sebuah hal yang agak menakutkan karena intensitas berita duka yang kian tinggi. 💔

Teruntuk kalian semua yang berduka karena kehilangan keluarga ataupun orang-orang terdekat, please mind yourself. Ambil waktu untuk berduka dan menata hati kembali. Semoga seiring berjalannya waktu, luka hati tersebut bisa membaik. Mungkin tak akan sepenuhnya pulih, tapi setidaknya jauh lebih baik dari sebelumnya.

Peluk virtual dari Irlandia, semoga kita semua senantiasa sehat!

Xoxo, Tjetje







Bicara Tata Krama

Sebagai orang Indonesia, kita diajari dengan aneka rupa tata krama sedari usia kecil. Lingkungan sekitar kita juga tak segan untuk mengkoreksi hal-hal yang dianggap kurang baik. Masih inget kan dulu tetangga atau keluarga sering banget ngingetin untuk mengucapkan terimakasih atau berujar permisi. Menurut peribahasa dari benua tetangga, butuh satu desa untuk membesarkan seorang anak.

Belajar tata krama itu memang biasanya dimulai sejak anak-anak, ketika baru mulai belajar bicara. Selain belajar bapak, ibu, papa, mama, terimakasih dan tolong kemudian menjadi kata-kata lain yang harus segera diajarkan. Tak heran sebagai orang dewasa kalau kita melihat orang dewasa lain yang kurang tata kramanya, kita sering mempertanyakan anak siapa mereka ini kok tak pernah diajari tata krama.

Permisi dan Pamitan

Di Indonesia, permisi digunakan dalam banyak hal, terutama ketika datang ke rumah orang, akan lewat di depan orang, atau mungkin mengambil sesuatu yang di depan orang lain. Tradisi juga mendikte kita untuk berpamitan ketika pulang, supaya setidaknya tuan rumah bisa mengantar sampai pintu depan, supaya tak seperti jelangkung yang pergi tak diantar.

Gak ujug-ujug menghilang tak berpamitan tak ketahuan rimbanya, karena ini bisa menyebabkan kecemasan pada orang lain. Gak perlu pamit sama semua orang kok, cukup sama tuan rumah yang mengundang sembari tentunya mengucapkan terima kasih telah diundang. Walaupun biasanya pamitan ini panjang karena akhirnya berpamitan pada semua orang dan ini gak orang Irlandia, gak orang Indonesia sama aja. Bahkan setelah berpamitan ngobrol masih berlanjut panjang, lalu pamitan lagi, lalu ngobrol lagi, gitu aja sampai 20-30 menit.

Terima kasih

Kalau soal mengucapkan terima kasih mah kita jawara banget, ini salah satu tata krama dasar yang bisa dibilang jarang dilupakan. Di setiap saat kita berterimakasih. Salah satu tradisi yang saya suka di bis di Irlandia adalah mengucapkan terimakasih pada pengemudi bis ketika turun. Kendati pintu keluar di tengah badan bis orang akan berseru mengatakan terimakasih.

Di Irlandia ini terima kasih tak hanya diucapkan dengan kata-kata saja, namun seringkali dilengkapi dengan tambahan kartu ucapan terima kasih. Kadang-kadang malah ditemani dengan hadiah sebagai rasa ucapan terima kasih.

Di Indonesia sendiri manifestasi ucapan terimakasih bermacam-macam. Yang paling sering kita lihat tentunya hadiah ucapan terima kasih dari sang empunya hajat yang diberikan untuk seluruh tamu yang telah meluangkan waktu dan telah hadir.

Tolong dong bersihin.

Tolong dong

Meminta tolong itu merupakan salah satu bentuk kesopanan paling dasar untuk tidak menunjukan kekuasaan pada orang lain. Selain bentuk kesopanan, secara psikologis ada kecenderungan kita ditolong lebih besar ketimbang ketika kata super ini diucapakan. Disclaimer dulu, saya bukan psikolog ya, cuma seneng baca-baca artikel psikologi aja.

Menariknya, di usia dewasa ini saya & beberapa orang yang saya ajak diskusi tentang topik ini, masih sering melihat orang-orang yang menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Mental ndoro ini gak peduli, siapapun diperlakukan dengan sama, tapi biasanya orang-orang yang posisinya dianggap lebih rendah, teman sekalipun.

Hasil observasi yang tak ilmiah ini menemukan orang-orang suka memerintah secara superior macam bos dengan penggunaan dong untuk memperhalus perintah.

“Panasin dong”

“Ambilin dong”

“Makanan buat anak guwe mana?”

“Anterin guwe pulang dong”

“Anterin guwe ke sini dulu ya “

Diucapkan dengan nada yang memerintah di depan banyak orang dengan konsisten

Sebagai manusia kita seringkali secara tak sadar melakukan hal-hal tersebut. Seringkali cara kita memperlakukan orang lain juga terlihat jadi tak baik, walaupun mungkin tak berniat seperti itu. Sekali-kali lupa sih tak apa, tapi kalau konsisten terus-menerus, mungkin saatnya kita yang lihat negur atau bahkan refleksi diri sendiri. Manusia itu tah sempurna dan terus berproses untuk belajar.

Adakah yang kalian sering lupa minta tolong?


xoxo,
Permisiiiiiii…..





Lingkar Pertemanan

Di Indonesia itu semua orang adalah teman. Tak heran jika kemudian di media sosial teman-teman yang dipunyai bisa mencapai ribuan orang. Padahal ya mungkin hanya bertemu sekali dua kali saja dan tak bisa dibilang sebagai teman. Di tahun 2010 dulu, di Jakarta, di sebuah cafe, ada seorang teman yang menjelaskan lingkar pertemanan, lengkap dengan levelnya, lingkaran pertama diisi oleh teman-teman terdekat, lingkaran kedua tak terlalu dekat, begitu seterusnya hingga lingkaran terluar.

Pembagian kelompok teman itu bukanlah sebuah hal yang aneh, ini proses alami. Namanya manusia itu berkembang, hari ini cocok, besok tak cocok karena banyak hal, atau hari ini tak kenal, esok jadi sayang karena kenal lebih dalam. Pepatah bahasa Inggris sendiri mengatakan Birds of feathers flock together, orang-orang dengan karakter, kerpribadian dan selera yang sama ya akan berkelompok tersendiri. Wajar dan normal.

Persahabatan

Kelompok pertama dalam pertemanan bagi saya adalah sahabat, mereka ini adalah teman terdekat yang sudah kenal luar dan dalam. Biasanya persahabatan sudah terjalin selama bertahun-tahun. Ada kepercayaan yang tumbuh, kita juga bisa jadi vulnerable, gak jaim, sangat jujur dan tahu secara dekat. Beda pendapat juga wajar dalam hubungan ini, biasanya karena sudah sangat dekat, kalau beda pendapat bisa heboh, tapi setelah itu ya balik lagi kayak normal. No hard feeling.

Perlu dicatat, kenal dari sedekade lalu bagi saya bukan berarti otomatis sahabat ya, karena ada intensitas persahabatan yang membuat kenal luar dan dalam.

Karena intensitas persahabatan yang cukup kuat, tolong-menolong di kelompok ini bagi saya juga cukup kuat. Kalau ada yang perlu pertolongan gak pakai mikir-mikir lagi. Dalam daftar hari-hari special, orang-orang ini ada dalam urutan teratas. Bahkan dalam doa pun para sahabat ini namanya disebut.

Persahabatan juga biasanya teruji oleh waktu, kadang-kadang intensitas ngobrol akan berkurang karena kesibukan dalam hidup, tapi ketika ngobrol lagi ya langsung nyambung. Pendek kata, dalam lingkaran pertemanan, persahabatan ini seperti berjodoh. Ketemu jodoh yang tepat, makanya jumlahnya biasanya sangat-sangat sedikit.

Pertemanan

Selain persahabatan, kemudian ada pertemanan. Intensitas antara sahabat dan teman bagi saya tak seintens persahabatan. Tapi masih ngobrol-ngobrol, masih ketemu sekali-sekali, dan kita tahu tentang sedikit banyak tentang orang tersebut. Ada hubungan emosional, tapi tak sedalam persahabatan. Hubungan ini terbentuk dari obrolan-obrolan yang terjalin karena nyambung dan berada dalam frekuensi yang sama.

Dari obrolan-obrolan tersebut, jika kemudian kita disuruh menuliskan hidup teman ini, makan kita bisa menulis beberapa baris kalimat atau bahkan beberapa paragraf (sementara sahabat bisa menulis biografi kita, lengkap dengan cerita konyol dan memalukan).

Tolong-menolong sendiri juga terjadi di kelompok ini. Analoginya, dalam persahabatan kita rela mati, dalam pertemanan gak rela. Tapi akan bikin upacara penguburan yang sangat indah.

Kolega

Dalam area perkantoran tradisional, teman kantor adalah orang-orang di sekitaran kita yang menghabiskan waktu selama masa kerja. Hubungan biasanya sebatas profesional saja karena berada dalam kantor yang sama. Kadang-kadang bisa disertai makan siang, sarapan bareng, ngopi bareng, pulang atau berangkat bareng, atau untuk yang merokok, biasanya ngudut bareng.

Di era kerja dari rumah ini, teman kantor terbentuk dari minum kopi bareng secara virtual dan ngobrol virtual. Aneh dan tak biasa, tapi ya harus dilakukan demi kesehatan.

Dari hubungan kolega biasanya terbentuk pertemanan juga yang berlanjut di luar kantor. Apalagi jika punya ketertarikan pada hal-hal yang sama. Saya sendiri beruntung, ada beberapa kolega yang kemudian menjadi teman yang saling mendukung untuk urusan karir ataupun di luar karir ❤️.

Satu hal yang patut hati-hati dengan pertemanan di kantor adalah urusan membuat keputusan. Penting untuk tidak bias dan hanya menguntungkan teman sendiri ketika membuat keputusan.

Minum gin itu sebaiknya dengan teman-teman terbaik.

Kenalan

Kelompok ini masuk dalam kelompok orang-orang yang baru dikenal, bertemu sekali saja dalam hidup, atau bertemu beberapa kali, biasanya bisa dihitung dengan jari, jari tangan kiri pula. Ngobrol dengan orang-orang di kelompok ini juga hanya sekilas saja dengan topik yang sangat lebar, tapi tak pernah ngobrol dalam apalagi curhat-curhatan.

Kalau analogi saya, kenalan itu seperti turis yang mengunjungi tempat-tempat wisata. Lihat-lihat, foto-foto bareng, unggah di media sosial, tapi gak kenal luar dalam sejarah dari tempat wisata tersebut. Beda dengan orang-orang lokal atau profesor yang melakukan riset mendalam. Jadi ya kalau mereka disuruh menulis tentang kita, turis-turis ini biasanya tak tahu, karena hanya bertemu sekilas.

Di kelompok ini saya sering sekali mendengar istilah “kita kan teman”, padahal butuh banyak elemen, dari obrolan yang nyambung, hubungan emosi, dan kedekatan dari kelompok ini untuk bisa berpindah menjadi teman.

Kelompok ini juga paling banyak jumlahnya dan bukan tak mungkin dari kenalan bisa berpindah menjadi teman atau sahabat. Atau bahkan berdiam di kenalan saja, karena situasi yang tak memungkinkan.

Temen Media Sosial

Ini masuk dalam kategori yang gak kenal. Dulu mungkin pernah satu sekolah tapi tak pernah ngobrol sama sekali karena baru ketemu di grup alumni sekolah. Ngobrol juga kemudian gak pernah lagi, nggak nyambung pula, tapi ada di dalam daftar pertemanan media sosial.

Ada juga yang berkenalan dari komunitas, ngobrol sekilas lepas aja, terus berteman di media sosial. Interaksi di sini pun bermacam-macam, tapi biasanya lebih banyak sunyi senyap tanpa suara. Kalau orang-orang ini hilang pun kita tak akan pernah ngeh dan gak tak ada rasa kehilangan karena hubungan emosi yang tak ada sama sekali.

Jika menuruti aturan dalam bermedia sosial sendiri, orang-orang ini tak seharusnya ada dalam daftar pertemanan, karena resiko keselamatan. Path, media sosial yang sudah gulung tikar sendiri dulu punya strategi hanya memperbolehkan sedikit orang untuk berada dalam lingkar pertemanan. Dasarnya ilmiah, karena manusia itu tak mungkin bisa berteman dengan 5000 orang. Bener juga memang.

Penutup

Hubungan pertemanan itu seperti air, fluid, dan bisa berubah-ubah. Pertemanan adalah hubungan yang perlu dipupuk secara terus-menerus, makanya nyambung dalam pertemanan itu penting. Pada saat yang sama, teman-teman juga harus punya banyak pengaruh positif pada hidup kita, karena persahabatan itu bagaikan kepompong, mesti saling mendorong untuk jadi kupu-kupu yang indah. Tolong-menolong juga seperti gajah yang dinyanyikan Tulus, salah satu penyanyi favorit saya.

Teruntuk semua teman dan sahabat saya, dalam suka dan duka, I am forever grateful.


xoxo,
Ailtje