Manusia itu pada dasarnya memerlukan tak hanya sandang, pangan dan papan, tetapi juga perhatian. Udah dari sononya perhatian menjadi kebutuhan kita. Namun, di media sosial, kita seringkali bertemu dengan orang-orang yang haus perhatian, seakan-akan mereka baru selesai marathon mencari perhatian di tengah padang pasir.
Mencari perhatian, kendati sebuah kewajaran berubah menjadi hal yang aneh ketika kebutuhan ini terlalu tinggi, hingga kemudian menciptakan aneka drama untuk mencari perhatian. Sebuah hal yang sebenarnya tak penting karena kita bukan para pejuang rating reality show seperti Kim Kardashian.
Cara mencari perhatian ini beraneka rupa, dari yang sekedar pamer cerita hidup secara berlebihan, ada yang mengumbar emosi dari satu sisi (baca: marah-marah di media sosial, tapi ceritanya gak berimbang), ada yang menyindir tetangga sebelah, hingga yang mati-matian mencari like tapi malah mengundang cemooh di R/LinkedIn Lunatics (sub-reddit ini sangat dianjurkan).
Lalu kenapa orang dewasa masih suka mencari perhatian, “apa yang salah” dalam kehidupan dan upbringing mereka sampai benar-benar harus perhatian? Saya iseng membaca aneka literatur tentang psikologi manusia pun menemukan banyak alasan.
Disclaimer dulu, ini bukan tulisan ilmiah dan saya tak selalu benar. Sumber bacaan saya juga belum tentu benar. Jadi jangan dianggap sebagai kebenaran absolut ya. Karena sesungguhnya yang paling benar adalah mereka yang suka mencari perhatian. Lainnya salah semua. #Eh
Kesepian
Pecahkan saja gelasnya biar ramai
Biar mengaduh sampai gaduh
Jadi kegaduhah yang dimunculkan di media sosial itu ternyata bermula dari akar penting, rasa kesepian. Bikin konten demi mengundang engagement supaya tak kesepian.
Ya ini sih masuk akal, kalau orang sibuk mah, boro-boro mikir bikin content drama, mau nengok media sosial juga gak sempet, apalagi mikir bikin konten yang mengundang reaksi. Bikin konten itu kan pakai mikir, menata kata-kata dan mengunggah pada waktu yang tepat.
Kesepian tak bisa dipahami sebagai tak ada yang menemani ya. Terkadang ada orang-orang yang dalam keramaian pun masih merasa kesepian karena kebutuhan untuk interaksi dengan manusia dewasa lainnya tak terpenuhi. Pssst… dalam perkawinan hal seperti ini biasanya mengundang perselingkuhan, fisik maupun batin.
Gak Pede
Ketika saya masuk kelas theater, saya diminta untuk berdandan seperti orang yang tak mandi, rambut tak diatur dan berlaku seperti orang dengan gangguan kejiwaan. Kami diminta berjalanan keliling kota Malang. Sendirian.
Tujuan dari proses ini untuk membangun kepercayaan diri & supaya kami tak peduli dengan apa kata orang tentang penampilan kami. People will always comment anyway, tapi yang penting pede dulu.
Kendati terlatih percaya diri, sebagai manusia saya masih tetap punya kecemasan dan nervous ketika harus melakukan public speaking (padahal ini kerjaan saya). Namanya juga manusia.
Nah, orang-orang yang nervous ini banyak yang bergantung pada pujian dari orang lain. Pujian tentang penampilan, skill serta hidup mereka menjadi booster untuk kepercayaan diri mereka. Kerja pujian ini tak datang, ya harus dicari dengan berbagai cara. Tanpa pujian ini, insecurities jadi merajalela.
Makanya saya tak pernah mempercayai keglamouran dan kepedean berlebihan di media sosial. Seringkali, begitu ketemu langsung, banyak yang bergulat dengan insecurities yang dimanifestasikan ke aksi-aksi cari perhatian.
Cemburu
Tak pede ini juga bersahabat dekat dengan kecemburuan. Kecemburuan ini muncul karena banyak alasan dan karena dipicu hal-hal yang sepele, dari kedekatan, materi, kesuksesan. Apa aja bisa menjadi pemicu kecemburuan.
Melihat teman yang dianggap kesayangan lebih dekat dengan orang lain, lalu cemburu dan posesif. Buru-buru membuat statement kedekatan, persis seperti anjing yang mengencingi pohon untuk marking dominance. Masalahnya, kedekatan manusia itu tak perlu statemen, hanya perlu aksi dan hubungan pertemanan yang kokoh.

Ketika tak diajak keluar, kemudian muncul FOMO (fear of missing out) yang dibarengi dengan permintaan untuk diajak. Kalau tak diajak, ada saja metode mencari perhatian yang akan dibuat. Dari mengaku diajak tapi tak bisa, hingga membuat acara tandingan yang mengikutkan banyak orang.
Melihat harta dan tahta orang lain juga seringkali menjadi cemburu. Kenapa rumput tetangga lebih hijau, plastik sekalipun? Kenapa aku tak punya ini dan itu, kenapa aku kok masih gini-gini aja, sementara orang lain lebih sukses.
Namanya juga manusia, kadang, atau bahkan seringkali lupa bersyukur.
Penutup
Manusia itu kompleks dan sangat menarik. Sebagai manusia, saya sendiri pernah bergulat dengan aneka hal yang saya sebut di atas. Dulu tapi, jaman masih pakai seragam warna biru dan kerepotan mencari tahu identitas diri.
Selayaknya manusia, kita berproses dengan berjalannya waktu dan juga pengalaman hidup. Sekarang kalau melihat hal-hal seperti ini, jadi bikin flash back ke masa di mana otak belum berkembang secara sempurna, mencari tahu tujuan hidup dan penuh insecurities.
Nah bagaimana kalau ketemu manusia yang hobi banget cari perhatian gini? Ya itu pilihan masing-masing. Kita bisa mengatur reaksi yang kita mau. Kalau punya tenaga dihadapi. Kalau saya, sekarang tak punya energi untuk menghadapi orang-orang kesepian yang caper gini.
Tjetje
sedang belajar menikmati JOMO