Mumpung suasana masih lebaran, saya mengucapkan selamat Idulfitri ya. Mohon maaf lahir dan batin. Btw, saya baru tahu bahwa Idulfitri itu nulisnya ternyata disambung, bukan dipisahkan. Jika lebaran-lebaran tahun sebelumnya saya “merana” karena Jakarta kosong tanpa penjual makanan, lebaran tahun ini saya berada jauh dari nusantara dan tentunya tak ada abang-abang penjaja makanan. Kenapa sih harus abang-abang dan jarang ibu-ibu.
Seperti biasa, menjelang lebarang selalu banyak perempuan-perempuan yang hatinya lara karena ditinggal pekerja rumah tangga. Herannya yang bingung cuma perempuan-perempuan saja, sementara para pria cenderung tak bingung karena pria-pria tak terlalu terkena imbas pulangnya para pekerja rumah tangga. Seperti kita tahu, di negeri kita yang sangat patriarkis, pria-pria jarang sekali ada yang mau beberes atau masak.
Hidup tanpa pekerja rumah tangga itu memungkinkan banget kok, memang sedikit lelah, tapi tetap bisa dijalani. Tinggal berbagi tugas saja. Siapa memasak, siapa membersihkan rumah. Cuci piring pun bisa dilakukan dengan cepat sehabis makan. Kuncinya, harus disiplin, tak boleh menunda. Urusan cuci baju jaman sekarang juga cenderung mudah, tinggal dilemparkan ke mesin cuci dan dijemur sebentar di bawah matahari. Bersyukur lho di Indonesia itu matahari berlimpah, jemur sebentar sudah kering. Sementara disini, matahari jarang muncul dan cucian sering berakhir dijemur di dapur. [lalu ada yang komentar nyinyir gak punya dryer ya]. Urusan setrika memang sedikit tak menyenangkan, karena hawa Indonesi yang cenderung panas. Tapi bisa diakali dengan pasang AC, kipas angin, atau setrika di depan televisi biar mata sibuk nonton TV dan lupa panas. Soal masak-memasak, juga bisa dilakukan dengan mudah, selama menu-menu yang dimasak sederhana dan mudah. Jangan mempersulit diri dengan masakan yang terlalu ribet.
Drama lebaran juga berkisar di urusan perogohan kocek untuk membayar infal. Banyak sekali ibu-ibu yang mengeluhkan mahalnya harga infal (pekerja rumah tangga pengganti). Yang saya bingung, infal dengan harga mahal pun teryata masih mampu dibayar oleh sebagian besar kaum menengah ke atas. Terpaksa rupanya, tapi masih mampu. Tak hanya itu banyak juga yang mengeluh betapa lamanya si Mbak pulang kampung. Padahal mereka ini hanya pulang kampung selama 2 hingga 3 minggu saja. Sementara akhir pekan mereka yang dirampas tanpa diberikan kompensasi itu ada 52 hari lho. Nah coba tuh kalau ada persatuan pekerja rumah tangga di Indonesia yang memperjuangkan hak mereka, bisa-bisa mereka minta jatah libur dua bulan.
Drama edisi lebaran tak hanya berhenti disana. Ada banyak ibu-ibu rumah tangga yang patah hati karena mbak-mbak yang sudah mereka latih sesuai standar masing-masing rumah tangga memutuskan untuk pulang kampung selamanya. Kalimat “Ibu, saya gak kembali, karena saya mau kawin setelah Lebaran” atau “Saya mau kembali ke kampung, mau jagain Bapak Ibu saya yang sudah tua” jadi seperti sambaran petir di siang hari. Kepala langsung cenut-cenut memikirkan setelah lebaran harus berhadapan dengan perburuan terbesar di Indonesia. Berburu pekerja rumah tangga dengan harga semurah-murahnya.
Tak hanya itu, ada juga drama si Mbak yang berjanji akan kembali bekerja tapi saat lebaran, sms manis mohon maaf lahir dan batin pun dilayangkan dengan embel-embel, maaf saya tak kembali karena saya dapat pekerjaan yang lebih baik di tempat lain dan gajinya lebih besar. Dhuaaar…..tangan dan kaki langsung lemes dengarnya.
Dalam kondisi seperti ini, sang pemberi kerja harus mampu mengeluarkan ilmu negosiasi terbaiknya dan tentunya harus mau memberikan kenaikan gaji. Pemberi kerja mesti paham kondisi setelah lebaran memang diwarnai dengan tingginya permintaan pekerja rumah tangga sangat tinggi, banyak orang yang memang mau memberikan gaji sedikit lebih tinggi. Beberapa dari mereka juga banyak yang memutuskan meninggalkan nusantara saja untuk mencari ringgit, dirham, atau real.
Menaikkan gaji itu sebenarnya kan menyesuaikan dengan kenaikan inflasi. Masak gaji kita naik setiap tahun karena penyesuaian inflasi, gaji mereka harus tetap bertahan di angka yang sama. Jadi jangan enggan memberikan kenaikan gaji, apalagi jika pekerja tersebut sudah terlatih. Daripada pada cari pekerja yang baru, lalu harus berurusan dengan kepusingan lain, melatih mereka. [lalu ada yang ngomel-ngomel, duite mbahmu]
Tahun depan, saat si Mbak akan pulang, jangan lupa dibisikin: “Mbak, abis lebaran balik ke rumah saja ya. Nanti saya beri gaji sesuai UMR, cuti 12 hari setahun, jam kerja yang jelas, saya bayari BPJS, serta libur setiap akhir pekan.” Dengan janji manis seperti itu, saya yakin sebagian besar dari mereka akan kembali, asal janjinya ditepati.
Apa drama PRT kalian di lebaran tahun ini?
xx,
Tjetje
Tak punya PRT, karena tak mau dan tak sanggup bayar.
