Dahulu, ketika saya masih remaja, eyang saya pernah bercerita tentang tato, sebuah bentuk seni untuk merajah bagian tubuh. Menurut eyang saya, tato menandakan keterlibatan dalam kriminalitas, karena di jaman penjajahan dulu para tahanan di penjara diberi tato berupa nomor.
Jaman eyang saya menceritakan hal tersebut Indonesia sudah merdeka, tapi stigma buruk yang melekat pada pemilik tato masih sangat kuat. Bahkan, mereka yang memiliki tato banyak yang kesulitan mendapatkan pekerjaan, karena banyak calon pemberi kerja yang mengecek seluruh anggota tubuh dari pelamar pekerjaan. Jika yang bersangkutan memiliki tato, dipastikan pekerjaan tak akan diberikan. Hal ini masih berlangsung hingga saat ini.
Keberadaan seni rajah di beberapa suku di Indonesia tak membuat tato dengan mudahnya dihargai. Kalau saya boleh sinis, mungkin karena seni rajah kurang mendarah daging di Jawa, yang mendominasi Indonesia. Coba saja kalau seni rajah ini ada di Jawa, bukan di Kalimantan ataupun di Mentawai. Suku Iban dan Dayak Kayan merupakan dua suku di Kalimantan yang memiliki tradisi merajah tubuh. Menurut sumber bacaan saya, di suku Dayak Kayan perempuanlah yang menjadi artis tato dan posisi ini diturunkan dari ibu ke anak perempuannya. Sebaliknya, pada suku Iban, prialah yang menjadi artis tato. Di Kalimantan, proses memasang tato tak sembarangan, ada ritual yang harus dilalui dan banyak darah yang harus dikorbankan.
Orang-orang Mentawai yang tinggal di pulau Mentawai, tak jauh dari Sumatera Barat, juga memiliki tradisi merajah tubuh. Bahkan anak pria sekecil belasan tahun sudah mulai dirajah tubuhnya. Di sana, tato yang dikenal dengan nama titi, menunjukkan perbedaan sosial serta identitas. Tak seperti di dunia modern, tato dirajahkan di tubuh dengan menggunakan tulang hewan, duri ataupun kayu khusus.
Dalam dunia modern, seni tato tak memerlukan ritual khusus yang melibatkan penyembelihan hewan. Pembuat tato pun dibayar dengan uang, bukan hewan-hewan ternak seperti babi. Biayanya tentu saja tak murah. Sifat tato yang permanen juga membuat orang harus berpikir masak-masak sebelum membuatnya. Selain kecakapan artis (cakap ya, bukan cakep), motif tato, hingga kebersihan jarum adalah beberapa hal yang harus dijadikan pertimbangan. Salah memilih artis tato bisa runyam, lebih-lebih jika berakibat terkena penyakit seperti HIV/AIDS atau Hepatitis C, karena jarum yang dipakai berulang kali.
Bicara tentang tato, meningatkan saya pada tato temporer yang pernah saya buat di Dieng Plaza di Malang sekitar dua puluh tahun lalu. Jaman itu, yang di Malang pasti tahu kalau Dieng Plaza adalah tempat gaul paling OK di Malang. Tato temporer juga baru hadir di Malang dan saat itu saya emilih Ongkara (Omkara) untuk dipasang di lengan. Tato pun digambar di lengan dengan menggunakan kertas yang dijiplak dari dari buku utama. Setelah rangka tato digambar, mulailah lengan saya dihiasi dengan cat rambut murah meriah. Saya tak ingat merek cat rambut bubuk itu, tapi bungkusnya berwarna oranye. Hasilnya, terbalik karena sang artis lupa membalik kertas jiplakan. Uang empat puluh ribu rupiah melayang (dan jaman itu uang tersebut tak sedikit) dan hati gondok. Sejak saat itu saya tak mau membuat tato, baik temporer maupun permanen. Kapok.
Jumlah orang yang menggunakan tato semakin banyak dan stigma negatif kepada mereka tak juga pudar. Bahkan, seringkali mereka dituduh kebarat-baratan karena keputusannya untuk memasang seni di bagian tubuh. Padahal, ahli sejarah sudah banyak berdiskusi dan menemukan bahwa tato adalah sebuah kesenian dari Timur yang kemudian diperkenalkan ke Barat. Tato adalah sebuah seni, maka tak heran jika tak semua orang bisa memahami seni, karena hanya orang-orang tertentu yang bisa menikmati dan menghargai seni. Bagaimana dengan kamu?
Xx,
Tjetje