“Membunuh orang yang bersalah, apalagi membakar orang tersebut hidup-hidup, merupakan sebuah kebanggaan. Pembuhan yang terlihat keji ini, jika dilakukan beramai-ramai adalah sebuah bentuk keadilan dan keberadaban umat manusia. Tuhan mengerti dan Tuhan akan mengampuni mereka yang membunuh”. Mungkin ini adalah pernyataan yang paling tepat untuk membenarkan kasus pembakaran hidup-hidup seorang begal yang baru-baru ini terjadi.
Akhir pekan lalu saya berdiskusi bersama teman-teman saya mengenai kejadian pembakaran begal. Diskusi tersebut bermula ketika seorang teman menyaksikan penjabretan di daerah Kuningan Jakarta Selatan. Salah satu penjabret tertangkap dan berakhir menjadi sasaran kemarahan massa. Entah sejak kapan, tapi kok sepertinya saya sering sekali mendengar kasus maling tertangkap yang dipukuli massa. Mungkin, ini sudah menjadi hukuman wajib.
Balik lagi ke kasus pembakaran hidup-hidup, kami tak habis pikir dan tak bisa merasionalisasi bagaimana bisa massa tega membunuh dengan cara keji, pendosa sekalipun. Sebesar apapun dosa pembegal, rasanya kok tak layak dia diperlakukan seperti ini. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan: mengapa massa berani membunuh dan mengapa tak ada yang menghentikan. Pertanyaan tersebut kemudian menghasilkan catatan-catatan kecil atas perilaku masyarakat. Sebelum dilanjutkan bacanya, perlu dicatat dulu kalau ini bukan catatan ilmiah, hanya catatan dari obrolan ringan sambil menikmati Mpek-mpek Abing.
- Kemarahan pada pelaku dan frustasi pada kemampuan aparat
Kasus pembegalan ini telah terjadi sekian lama dan menciptakan ketakutan pada para pengguna motor yang mengarah kearah-arah tertentu. Tapi jumlah begal yang tertangkap aparat relatif rendah. Setiap kali ada kejadian, kemarahan semakin terpupuk dan begitu ada yang tertangkap, kemarahan ini meledak macam gunung Merapi. Jadilah mereka yang lebih hebat dari aparat ini menciptakan hukumnya sendiri.
- The power of rame-rame
Coba bayangkan suasa TKP; puluhan orang yang gemas dan mau meledak macam gunning Merapi berteriak-teriak sambil melatih kemampuan meninju dan tendangannya. Lalu ada yang teriak dengan suara kenceng, bakar-bakar. Kemudian ada yang nongol nyumbang bensin untuk membakar, tak lama seseorang yang saya duga perokok mengangsuraan koreknya. Siba-tiba di antara manusia-manusia tersebut ada yang merogoh handphone di kantongnya untuk merekam video; video yang kemudian diunggah ke media sosial. Tak habis pikir juga mengapa pembakarannya itu perlu direkam dan dimasukkan ke dalam YouTube. Untuk menakuti begal lainnya kah? Cinta kasih mana cinta kasih?
Coba kalau mereka sendirian, beranikah melakukan hal-hal di atas tak akan muncul ketika sendirian. Hanya ketika beramai-ramai barulah orang bisa mendapatkan keberanian berkali lipat dan tiba-tiba mampu untuk melakukan hal yang diluar batas. Apalagi kalau lawannya cuma satu begal. [Pelajaran berharga: jauh-jauhlah dari gerombolan orang yang emosi]
- Sistem hukum tak berjalan Baik
Keberanian untuk main hakim sendiri ini juga didukung oleh sistem hukum yang tak tegas. Para pelaku pemukulan, pembakaran dan seluruh kegiatan main hakim sendiri, serta yang menonton tak pernah mendapatkan ganjaran apa-apa. Padahal kalau menurut hukumonline sih mereka sebenarnya bisa dihukum. Teorinya, prakteknya? Kerjaan aparat sudah banyak, jadi gak usah nambah-nambahin ya?
Begal itu muncul karena ketidakmampuan negara untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya. Mereka bukan anak menteri dan sepengetahuan saya, mereka nggak nabrak orang sampai meninggal. Jadi, tanpa dipukuli dan tanpa dibakar pun begal ini pasti akan diberikan hukuman setimpal karena hukum kita memang lebih suka menghukum mereka yang miskin.
Kalau menurut kamu, kenapa gerombolan orang-orang tersebut mampu berbuat kejam pada si begal?
