Tiap kali menjelang tanggal 14 Februari atau hari Valentine, bisa dipastikan media dan juga media sosial di Indonesia akan penuh dengan keributan urusan Valentine. Sebagian pihak berargumen bahwa perayaan Valentine ini haram karena merupakan perayaan agama Katolik yang tentunya bertentangan dengan agama mayoritas penduduk di Indonesia. Sementara sebagian pihak lain akan berargumen tentang Valentine yang sudah disekulerkan oleh sebagian besar industri dan ritel.Dua-duanya sama-sama benar, jika dilihat dengan kacamata dan konteks yang benar.
Mari kita bahas dulu perayaan pertama, yaitu perayaan yang relijius. Dublin menjadi salah satu kota spesial menjelang Valentine karena di sebuah gereja di kota ini tersimpan relic Santo Valentine. Alkisah, di tahun 1800-an terdapat seorang pastur di Dublin yang tinggal di daerah Liberties, namanya Pastur John Sprat. Jaman dahulu, daerah Liberties ini terletak di luar tembok kota Dublin dan sangat terkenal dengan kemiskinannya. Nah sang Pastor terkenal sebagai individu yang begitu mencintai orang-orang miskin. Selain menyayangi orang miskin, sang Pastor juga terkenal sebagai penceramah yang baik.
Suatu hari, sang pastur bertugas ke Roma dan berceramah disana. Paus yang saat itu mendengar kebaikan pastur ini kemudian menghadiahkan relic (maaf, saya tak bisa menemukan padanannya dalam bahasa Indonesia) dari Santo Valentine. Pemberian itu diberikan di tahun 1835 tapi karena jaman itu transportasi belum canggih, sang relic yang salah satunya wadah kecil berisi darah sang Santo baru tiba di Dublin setahun kemudian dan disambut dengan arak-arakan yang meriah.
Lalu dibuatlah sebuah sudut untuk berdoa kepada Santo Valentine di gereja yang terletak di dekat jantung kota Dublin, namanya “Church of Our Lady of Mount Carmel”. Dalam bahasa Inggris sudut ini disebut sebagai shrine. Diletakkan pula sebuah patung sang Santo bersama dengan tempat untuk menyalakan lilin dan buku untuk menuliskan doa serta harapan.
Valentine yang identik dengan anak-anak muda diperingati setiap tahunnya di gereja ini dengan mengadakan misa. Misa ini tak hanya untuk memperingati semangat dan cinta kasih Santo Valentine, sang Pastur yang menerima relic tetapi juga untuk memberkati anak-anak muda yang akan menjadi dewasa melalui perkawinan.

Sudut favorit saya, shrine untuk Our Lady of Dublin. Protector kota Dublin. Saya menyukainnya karena sudut ini begitu cantik.
Tahun ini, misa tidak dilaksanakan pada tanggal 14, tetapi dilaksanakan pada tanggal 13 Februari. Mungkin supaya tidak menganggu jadwal misa rutin di hari minggu. Dalam misa yang berdurasi selama 45 menit dan dikunjungi banyak orang, tua dan muda, terdapat satu sesi khusus untuk memberkati cincin bagi mereka yang baru bertunangan dan baru melangsungkan perkawinan. Pemberkatan juga diberikan pada mereka yang berduka karena ditinggal pasangannya meninggal. Intinya, misa kemarin berfokus pada cinta.
Perlu dicatat, di dalam misa tersebut tidak ada pemberian coklat, makan steak berdua, apalagi tukar-menukar kartu Hallmark. Fokusnya hanya ada pada doa dan mengingat spirit cinta kasih pada sesama yang dilakukan oleh Santo Valentine. Sepanjang misa dan juga setelah misa, shrine Santo Valentine dipenuhi dengan turis-turis yang berdoa, menyalakan lilin dan juga mengambil foto. Kucluk memang, orang-orang pada repot misa mereka pada repot foto-foto.
Perayaan Valentine yang ramai di berbagai kota-kota di berbagai sudut dunia tidak identik dengan misa seperti di gereja tersebut. Valentine bagi banyak orang identik dengan kencan berdua, pacaran. Nonton, makan malam, bertukar kartu berwarna merah yang dipenuhi dengan gambar hati, memberi sekotak coklat atau bahkan buket-buket mawar. Di berbagai sudut kota Dublin, pedagang kaki lima dadakan pun juga banyak yang muncul menawarkan buket-buket mawar seharga dua puluh Euro. Mereka tak lupa juga menjual kartu-kartu yang harganya tak murah dan seringkali berakhir di tempat sampah ketika Valentine usai.
https://www.instagram.com/p/BBuqRWeQxgv/?taken-by=binibule
Valentine inilah yang disebut sebagai Valentine sekuler, karena semua orang berbondong-bondong merayakan dengan cara yang jauh berbeda dengan cara gereja merayakannya. Saya pun sangat yakin, hanya segelintir orang yang tahu doa untuk Santo Valentine yang bunyinya seperti ini:
Restauran, industri dan juga pedagang ritellah yang bertanggung jawab atas Valentine sekuler ini. Mereka menangkap kesempatan untuk menjual nama Santo Valentine demi untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Persis dengan Natal yang di Dublin sudah cenderung menjadi ritual sekuler dan lebih identik dengan bertukar kado ketimbang berdoa. Saking sekulernya, pastur di gereja pun sudah tak segan lain untuk nyindir jemaatnya pada saat misa Natal. Sama juga dengan sekulerisasi Santa Klaus yang aslinya berwarna hijau menjadi merah, karena Coca Cola yang sukses merubah warnanya supaya mirip dengan warna Coca Cola.
Pada akhirnya ribut-ribut tentang Valentine ini merupakan sebuah usaha yang buang-buang tenaga dengan fokus yang salah. Valentine sudah menjadi perayaan sekuler, sama seperti St. Patrick’s Day dan juga Natal. Lagi pula Valentine juga tak pernah menjadi perayaan yang relijius kecuali di gereja di Dublin ini (serta mungkin, mungkin lho ya gereja lain yang menyimpan relic sang Santo). Dan harus diakui, perayaan sekuler ini memberikan banyak ladang keuntungan bagi banyak pihak, dari mulai petani bunga mawar, pembuat coklat, pemilik restauran yang berlomba-lomba menjual paket makan malam Valentine, hingga para pedagang lingerie yang tokonya selalu penuh menjelang Valentine. Satu hal lagi yang perlu dicatat, merayakan Valentine tak berarti mengubah seseorang menjadi Katolik. Menjadi Katolik saya kira tak semudah itu. Kalau menjadi Katolik semudah itu, wah alamat gereja-gereja di dunia bakalan penuh.
Jadi kamu merayakan Valentine atau tidak?
xx,
Tjetje


