Nostalgia Suara-suara Indonesia 

Hidup di Eropa itu bisa dibilang sangat tenang, kelewatan banget tenangnya. Begitu malam dan gelap datang, dingin dan senyap juga turut menenani. Di musim dingin seperti sekarang, ada banyak suara yang saya rindukan. Mungkin buat kalian suara-suara ini sebagai sebuah hal yang biasa, malah mengganggu, tapi buat saya, suara ini Indonesia banget.

Suara kucing

Tak banyak suara hewan yang saya dengar di Indonesia, hanya gonggongan anjing, kucing dan burung hantu. Tiap kali mendengar burung hantu atau melihat mereka terbang, rasanya magis banget.

Selain burung hantu, saya juga merindukan suara kucing. Ada banyak tipe suara kucing yang saya rindukan, dari yang menyayat karena menangisi anaknya yang hilang hingga kucing yang ramai dan gaduh berkelahi. Terkadang saya juga mendengar kucing yang sedang birahi meraung memecah keheningan malam. Di sini, saya tak pernah mendengar kucing mengeong karena tak ada kucing liar. Kucing-kucing milik para tetangga yang terkadang berkeliaran juga sangat sombong, tak mau disapa orang asing.

Suara aneka pedagang 

Jaman masih tinggal di Indonesia dan punya anjing, anjing saya bisa mendeteksi abang bakso langganan. Langganan anjing saya tentunya. Suara ketukan abang bakso ini khas banget dan bisa ditemukan dari pukul 3 sampai setelah matahari tenggelam saja. Setelah itu, jangan harap ada bakso Malang yang berkeliling dengan gerobaknya.

Abang tukang mie, pahlawan kita di kala kelaparan

Pada jam yang sama abang pedagang mie ayam juga beredar. Nah di telinga saya abang mie ayam ini suara ketokannya jauh lebih dalam ketimbang abang bakso. Tentunya kalau urusan kedalaman suara ketokan, abang mie dog-dog jauh lebih dalam suaranya. Alat pengetuknya juga lebih besar, tak heran suaranya cenderung dok…dok…dok…. Jam beredar mereka sendiri dimulai setelah Maghrib hingga menjelang tengah malam. Selain menyukai nasi goreng saya juga menggemari mie goreng buatan mereka.

Malam hari di Indonesia juga lebih meriah karena adanya abang tukang angsle. Di kompleks tempat saya tinggal, abang angsle ini biasanya mengetukkan sendok atau garpu ke mangkok, sehingga suaranya ting…ting…ting….Sayangnya, saya sudah tak pernah mendengar suara mereka lagi ketika pulang, mungkin para peminat angsle sudah mulai hilang seiring dengan memanasnya udara di daerah Malang. Suara pedagang angsle sendiri mirip dengan pedagang bubur ayam dan bubur kacang hijau serta ketan hitam. Yang membedakan hanya waktu berjualan mereka, bubur di pagi hari dan angsle di malam hari.

Di samping para abang (semuanya abang karena tak ada perempuan yang mendorong gerobak menjual makanan di malam hari) yang bermodalkan alat untuk membuat suara-suara, ada juga abang-abang yang bermodalkan kekuatan suaranya, tak lain tak bukan, abang tukang sate. Lagi-lagi di Malang, abang tukang sate dengan aksen Maduranya yang kuat akan berteriak menawarkan dagangan sembari mendorong gerobak mereka yang mirip dengan kapal. Telinga kita sebagai pelanggan juga harus jeli ketika mendengar suara mereka, jangan sampai keliru memanggil abang tukang sate yang bukan langganan.

Masih banyak lagi suara-suara yang khas Indonesia banget. Ketika saya pulang kemaren misalnya saya mendengar takbir. Ada pula suara adzan yang berkumandang memanggil pemeluk agama Islam untuk beribadah. Tak dilupakan juga suara petugas keamanan yang memukul tiang listrik untuk menandakan waktu, termasuk 12 kali di tengah malam. Bising tapi dirindukan. Tentunya ada suara yang tak saya rindukan, suara tetangga yang berteriak maling atau kebakaran di malam hari untuk membangunkan tetangga. Wah kalau sudah gini langsung panik.

Punya suara khas dari tempat kalian tinggal?

xx,
Tjetje

Advertisement

37 thoughts on “Nostalgia Suara-suara Indonesia 

  1. Yang dikangenin pacar setelah balik dari Flores / Indonesia: Suara tokek! Hahaha

    Aku kangen suara nasi goreng tek-tek. Itu saviour banget kalau malem terus laper banget, tinggal nungguin lewat…

  2. Ini suara antara ngangenin dan ngeselin juga sih sebenernya karena sering bikin kaget. Suara anak2 mukul2 benda2 bikin musik untuk bangunin sahur. Di kota ortuku masih ada ini. Asli sebenernya ngeselin banget karna bikin kaget. Tapi selama Ramadan jauh dari tanah air, kangen juga dengar suara anak2 kecil bangunin sahur. Suara desisan kue putu dari gerobak pake sepeda ontel juga kangen *duh pengen makan putu jadinya. Oh satu lagi, ada suara tukang rombeng. Ini juga khas di kota ortu,klo siang2 berkeliling sambil teriak “rombeenggg!” Nyari barang2 yg mau dirombengkan

  3. Huahaha, kalau aku sukanya justru suasana yang sepi senyap ketika malam. Tapi kalau dipikir-pikir memang bagaimanapun juga masih lebih senyap setelah pindah kesini sih. Soalnya suara yang setia menemani kalau malam di Indonesia adalah suara AC! Hahaha 😆 .

  4. kangen suara bajaj.. hahaha.. dulu di rumah ortu jalanannya nanjak jadi tiap ada bajaj yang mau naik mesti ancang2 dulu di depan rumah… suaranyaaa cetar membahana… hahaha…….

  5. Yg udah lama gak kedengeran suara penjual ketupat sayur yg kalo di telinga aku terdengar spt “mas Toyib!” ketika teriak2 nawarin dagangannya. Truz juga suara dangdut dorong bikin kangen klo lama di luar negeri. However, musik dangdut emang bisa bikin happy walau banyak gak disukai

  6. Kesan berusaha banget buat ramah lingkungan ini yg juga aku perhatiin di awal-awal bolak-balik ke Oz. Rumah kami juga pakai panel surya, jadi listrik seisi rumah sudah pakai energi sinar matahari plus batere kapasitas besar utk menyimpan energi listrik buat dipakai di malam hari, meteran listrik dari PLN setempat masih terpasang sebagai cadangan. Delapan tahun yang lalu ketika kami pasang panel surya di rumah yg pertama, harga paket panel surya masih terbilang mahal, bahkan utk standar Australia. Kemudian kami pindah rumah tahun ini, dan pasang panel surya lagi di rumah baru tsb, harga paket panel surya itu sudah jauh berkurang, mungkin hanya setengah dari harga 10 tahun yg lalu.. Dan bener kata yg komentar di atas soal air. Di sini manajemen penggunaan air benar-benar ketat. Apalagi di daerah North Queensland yg alamnya kering seperti iklim gurun.
    Dipikir-pikir lagi, mungkin mereka ramah lingkungan supaya lingkungan pun ramah pada mereka. Iklim di Australia umumnya lebih berat bagi kehidupan dibandingkan iklim di Indonesia.

  7. Tje.., maaf banget.. Aku salah nempatin komentar di post-mu. Tolong dihapus aja (kalo bisa) komentarku sebelumnya, yg sebetulnya buat post-nya Noni tentang Australia. Aku lagi baca post kalian berdua yg memang aku berasa terkait banget dengan tulisan kalian itu..
    Soal suara-suara ini, kebetulan aku baru pulang mudik selama sebulan di Cianjur, Jawa Barat, setelah sebelumnya bertapa di Oz selama 10 bulan. Jadinya, pas di Cianjur berasa banget koq berisik kampungku..hahaha.. Eh pas balik lagi ke Townsville, koq sepi amat sih kampungnya suami nih..hehehe..

  8. Apa ya? Berhubung di Jakarta tuh tinggal di dalam kompleks, paling yah suara abang2 jualan aja yang lewat di dalam kompleks.. Salah satunya yang jual sayur, atau suara nasi goreng tek2..

  9. Mbak Tjetje, tulisan ini malah semakin menguatkan niat saya untuk tinggal d Eropa

    Pada tanggal 1 Nov 2017 11.02, “Ailtje Ni Diomasaigh” menulis:

    > Tjetje [binibule.com] posted: “Hidup di Eropa itu bisa dibilang sangat > tenang, kelewatan banget tenangnya. Begitu malam dan gelap datang, dingin > dan senyap juga turut menenani. Di musim dingin seperti sekarang, ada > banyak suara yang saya rindukan. Mungkin buat kalian suara-suara ini se” >

Leave a Reply to Tjetje [binibule.com] Cancel reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s