Ada beberapa guru yang tak pernah hilang dari ingatan saya. Guru Bahasa Indonesia yang memaksa kami, murid-muridnya, untuk berdiri setengah jongkok selama beberapa saat karena tak mendapatkan nilai minimum, 60, untuk tes peribahasa. Tes peribahasa ini menjadi test rutin, setiap kali pelajaran Bahasa Indonesia. Saya tak ingat nama si Ibu guru, tapi ingatan hukuman fisik itu tak pernah hilang dari kepala saya, apalagi mereka yang mendapatkan nilai lebih dari 60 kemudian menghitung berapa detik lagi kami harus mengalami hukuman fisik sambil melihat kemalangan kami. Kami yang bodoh, karena tak hapal peribahasa.
Masih di tingkat sekolah dasar, seorang guru sangat diskriminatif dan verbally abusive, utamanya pada mereka yang orang tuanya tak kaya raya. Belakangan saya baru tahu, hanya mereka yang kursus privat dengan sang guru yang bisa diperlakukan dengan baik. Guru yang sama menunjukkan kalender di kelas, sambil melingkari hari ulang tahunnya dan meningatkan kami setiap hari. Rupanya, ia berharap mendapatkan kado ulang tahun. Sebagai anak kelas 5 SD saya gak ngerti kode-kodean ini sampai dijelaskan oleh salah satu teman sekelas. Guru ini kemudian dipecat karena gross misconduct.
Di SMA, guru yang melekat di kepala saya karena hal-hal negatif adalah guru fisika saya. Guru ini melakukan kekerasan fisik, dari mulai mendorong kepala muridnya, hingga memukul tangan dengan penggaris kayu. Guru yang sama “memaksa” salah seorang murid untuk pindah ke Kabupaten, karena murid tersebut tinggal di Kabupaten. Saya yang tak dirisak saja stress, apalagi mereka.
Guru-guru di atas tak mewakili mayoritas guru di Indonesia, mereka hanyalah sebagian kecil dari populasi. Kendati saya mengingat mereka karena perilaku negatifnya, ada satu hal yang saya pelajari dari mereka: bagaimana menghormati dan memperlakukan orang lain, terutama mereka yang berada di kelas. Apalagi pekerjaan saya sekarang mengharuskan saya mendidik dan mengajar.
Jaman SMA sendiri saya punya guru favorit, namanya Ibu Anoek. Ibu Anoek ini ditakuti oleh banyak murid, karena beliau DISIPLIN. Kelasnya terorganisir dan beliau mengharuskan kita mengorganisir catatan kita. Seingat saya dulu ada dua buku yang kita harus punya, buku catatan dan satunya, entah buku apa, mungkin buku latihan. Buku-buku ini harus disampul menggunakan sampul berwarna dan warnanya untuk satu kelas harus seragam. Saat itu, kami diharuskan menggunakan sampul berwarna coklat, lalu dibungkus sampul plastik. Tujuan penggunaan satu warna ini, menurut saya, untuk memudahkan hidup beliau ketika para murid mengumpulkan buku untuk dinilai. Semuanya satu warna, rapi dan indah.
Bu Anoek ini mengajar pelajaran Antropologi, pelajaran favorit saya (selain Akuntansi dan bahasa Inggris) semasa saya berada di SMA. Saking cintanya saya dengan beliau, kelas pertama yang beliau ajar masih menempel di kepala saya. Hari itu 40 siswa di dalam kelas disuruh menyebutkan nama-nama suku di Indonesia. Internet masih barang mewah saat itu, apalagi telepon genggam. Jadi lupakan Google, karena sebagian dari kami saat itu panik. Panik karena tak tahu banyak tentang Indonesia, dan suku-sukunya. Saya pun masih ingat suku yang saya sebutkan, Baliaga.
Selain bu Anoek, guru lain yang begitu penting di dalam hidup saya adalah guru bahasa Inggris saya, namanya Ibu Sri Kadarisman. Ibu Kadarisman ini mengajar tiga generasi di keluaga saya, dari Eyang, Ibu hingga saya. Selama satu jam kami duduk bersama, membahas sebuah topik-topik sederhana, berdasarkan sebuah artikel. Oh ya, jaman itu kami menggunakan kaset untuk listening.
Di akhir kelas ini, saya diharuskan mengeja satu artikel penuh. Capital letter c a p e k full stop. Perjuangan banget mengeja satu artikel & saya sampai mempertanyakan kenapa harus ngeja ini, beliau menjelaskan betapa pentingnya spelling ini. Dan beberapa tahun kemudian, ketika saya terjun ke dunia kerja yang mengharuskan kelancaran berbahasa Inggris, saya jadi paham benar mengapa mengeja dengan jelas itu sangat penting. Dan tentunya, otak harus terus menerus dilatih untuk bisa mengeja dengan baik.
Hari Guru memang sudah lewat, sudah tanggal 25 November lalu. Tapi ijinkan saya mengenang betapa pentingnya fungsi guru seperti Ibu Anoek dan Ibu Kadar yang membuat kelas begitu menyenangkan. Ibu Anoek membuat saya mencintai kekayaan Indonesia dan belajar lebih banyak tentang negeri saya. Sementara bu Kadar membuat saya percaya diri dan lancar berbahasa Inggris. Ilmu yang kemudian begitu penting hingga sekarang, apalagi tinggal di luar negeri membuat kita sering didaulat menjadi duta bangsa.
Selamat hari guru pada seluruh guru di Indonesia! Terimakasih atas jasa-jasamu.
Kalian, punya guru favorit atau guru yang tak disuka?
xx,
Tjetje
Guru favoritku yg di SMA jg guru bahasa Inggris.. Gak cuma ngajarin bahasa Inggris-nya tapi juga ngajarin cara belajar dan bikin belajar jadi menyenangkan (misalnya pakai kuis, buat summary, dll).. Setiap belajar dikasih afirmasi utk jangan terlena sama waktu, jangan buang2 waktu, krn tau2 aja udah waktunya naik kelas/ujian kalau minim persiapan bisa panik kan.. Sayangnya dari sekian banyak guru yg pernah mengajar, yg bener2 kurasa inspiratif masih jarang.. TT
Ada satu guru bahasa Inggris di sekolah, Bu Rosa (atau Rose ya), ngajarinnya enak banget. Dia ngajar kelas conversation, suka banget sama kelasnya, walaupun materinya buat guwe saat itu basi bener, karena udah lewat dari level guwe. LOL sombong.
Guru bhs Inggrisku jg ada yg namanya Bu Ros (beda e), hehehe.. Kalau beliau ngajar disengajain ada yg ultah di hr itu biar gak belajar.. Hehe
Waiyah, seneng banget ya kalau ga belajar.
semua Guru favoritnya wanita ya
True!
guru SD mengingatkan saya ttg kekerasan. Betis dipukul pake 5 batang lidi. ujung jari dipukul pake penghapus atau kepala ditokok pake ujung buku jari dan itu bukan pelan. Sampe2 yg dpt giliran dipukul udh merem siap2 nahan sakit. Hukuman itu yang sebagian besar krn ngga ngerjain peer atau bodoh. Saya ngga sanggup bayangin anak saya yang masih sekolah dasar dpt kekerasan fisik dan mereka ngga brani ngadu…
itu jaman saya. semoga sekarang2 ini ngga perlu kekerasan fisik apalgi mental utk menghukum
Iya, dipikir-pikir sadis juga. Mungkin dianggap hukuman fisik tak berat, tapi tetep membekas di kepala.
Bagi anak umuran sekolah dasar ya berat sbnrnya. Kasian klo ngga brani ngomong ke guru jg ngga brani ngadu ke org tua. Jadi ketakutan klo mw sekolah. Pengalaman pribadi sih. Smoga jaman skrg ngga ada lg yg bgtu2
Ah, gila juga ya guru kelas 5 SD itu! Untungnya dulu tidak pernah mendapat guru yang hobi menggunakan kekerasan fisik sebagai hukuman. Mungkin ketika zamanku sudah terjadi “pergeseran” dari gaya pengajaran ya yang tidak lagi mentolerir kekerasan fisik. Walaupun begitu, kalau guru galak yang kalau muridnya “salah” dan kemudian dihukum ya tetap juga ada sih, hahaha 😛 .
Aku kenyang kekerasan fisik, dari SD sampai SMA. Belum lagi guru-guru matre yang minta ini itu (and we couldn’t afford them!). Di SMA bahkan ada satu guru seni yang nyuruh kita ke pameran dan beli ke stand khusus, abis itu barang belanjaan kita disuruh dikumpulin & tentunya gak dibalikin. Waktu itu craft kayu gitu. Scamming bener deh.
Sama, klau sy waktu SMA, guru favorit sy guru Bhs. Inggris. Waktu SMP guru Bhs. Indonesia. Para guru kita itu sungguh berjasa bsar buat hdup kita.
Guru-guru memang berjasa dalam hidup saya, selalu ada ajaran yang bisa kita petik dalam setiap hal.
Jadi ingat pengalaman sendiri jadi guru bahasa Jepang buat calon trainee yang akan dikirim ke Jepang di bekas kantorku dulu. Ada satu murid yang aku ajar selalu ngantuk dan lesu pas jam pelajaran dan sering bikin aku kesal dan marah ke dia. Tapi pas sebelum berangkat ke Jepang, dia ngomong sama aku : “Tenang aja, Mbak Inong. Nanti di Jepang, saya pasti bikin bangga Mbak Inong”. Dan alhamdulillah dia berhasil ngebuktiin ucapannya itu dgn ikut lomba pidato bahasa Jepang di Jepang dan berhasil jadi juara ☺
Ah senangnya.
Ingat gue punya guru rasisnya ampun tje. Namanya bu Hajijah (orang Bima) Gue baru pindah dari Binjai ke jkt kelas 4 SD. Gue minoritas. Udahlah kristen eh batak pulak. Temen2 suka ngata2in “Joice Tuhannya Tuhan Yesus,matinya keselek makan pilus”. Gilak ga tuh sampe masih nempel di otak loh waktu mereka sering bully gue dan apa yg dilakukan si bu hajijah? “Joice, Tuhannya Tuhan Yesus ya? Orang batak makannya Babi ya?” trus ketawa deh sekelas dan itu sering dilkukan…padahal ga semua batak makan babi. Gue Seventh dy adeventist church yg jangankan makan babi, makanan haram gue lebih banyak dari muslim. Tapi manalah anak kelas 4 SD bisa menjelaskan dengan lugas hal prinsipil gitu kan. Yang ada gue masih planga plogo kaget dari Binjai ke Jakarta. Tapi tiap pulang sekolah gue nangis tje. Kelas 5 doank dapat guru mayan asik. Pas kelas 6 dapat guru namanya pak Bejo..duh hobi banget nempelin jarinya ke ketek dia yg kringetan trus dipeperin ke kita. Ya Tuhan…gue nangis ke nyokap untuk segera pindah sekolah. Cuma ya nanggung sampai tunggu tamat SD. Sekolah itu deket rumah nyokap jadi tiap ngelewatin gue cuma ingat kenangan buruk disitu.
Duh, itu guru jahat banget ya. Semoga diampuni dosa-dosanya, karena dia ngebentuk anak-anak yang masih polos jadi rasis.
guru sdku disiplin sekali
mainannya tongkat rotan dan cubitan maut
tapi ya gara” itu kami yang bandel jadi penurut semua
miss you, mem…
Astaga, pakai rotan.
Guru yang saya highlight dalam kepala:
Guru TK-SD yang membuat saya percaya diri tampil di panggung setiap acara sekolah.
Guru SMP yang pernah marah-marah dan ngelempar spidol dan mengotori jilbab saya (beliau guru Komputer yang akhirnya dikeluarkan karena saya protes perihal pelemparan spidol itu, dalam format ketikan tugas yang diberikan dia sendiri).
Guru SMP lainnya yang bisa membukakan mata saya kalau saya ada kelebihan di bahasa dan komunikasi, sehingga saya bisa berkarya dibidang tersebut sampai SMA.
Dosen pembimbing saya yang rela diganggu saat saya mendesak minta bimbingan. Revisi yang gak banyak menuntut, padahal saya sering diceritakan kalau dosbim itu killer, nyatanya nggak.
Wah, guru SMPnya cool banget itu. Guru yang bagus emang bisa lihat potensi kita ya.
AKu punya, satu guru yang juga kepala sekolah pas SD.
Wah enaknya diajar kepala sekolah ya.
Hi Tjetje, salam kenal ya,
Tulisanmu bikin aku teringat sama satu incident pas SMA (kalo ngga salah SMA kelas 2).
Di sekolahku ada yang namanya kelas bimbingan (ini kelas extra di sore hari, tapi wajib untuk semua murid). Nah suatu hari Pak Agus guru Kimia mengumumkan kalau untuk hari itu kelas bimbingan sore ditiadakan. Otomatis semua murid bersorak gembira.
Eh.. Pak Agus-nya tersinggung.
Dia marah-marah (kelas jadi hening). Trus yang bikin aku shocked dia ada bilang begini: “Bagaimana perasaan kalian kalau kalian melihat ada pria lain menghisap susu mama kalian di depan kalian?”
Seingat aku dia ngga dapat masalah apapun dari “incident” itu sih. Mungkin kita2 masih terlalu culun untuk mengerti betapa ngga pantas nya seorang guru mengucapkan kata2 seperti itu?
Aku cerita mamaku soal itu, tapi dia mungkin ngga mau ribut. Mamaku malah bilang something like “Ya wajar aja, kalian bikin Pak guru marah sih”.
Tapi aku terus mikir “Masa sih yang gitu itu wajar?”. Sampe bertahun2 kemudian aku baru ngeh, yang dia bilang itu bener2 inappropriate and someone should have done something about it.
True, someone should have done something about it! Darn it Pak Agus, bener-bener gak pantes.
Lagian, anak-anak bersorak karena kelas dibatalkan itu biasa banget.
Guru favoritku adalah guru matematika. Dulu waktu aku masih SD-SMP, matematika adalah pelajaran yang paling susah untuk dimengerti. Tapi sejak SMA, aku jadi lebih suka matematika karena gurunya mengajar dengan memberikan contoh soal yang sederhana.
Nah aku pas SMA gak ngeh sama matematika, sampai ambil kursus private, tetep gak ngeh. Tapi kalau akuntansi, amanlah.