Tinggal jauh dari tanah air itu bukan hal mudah, banyak hal-hal yang kelewatan karena jarak. Adanya media sosial sedikit membantu mengobati kerinduan itu, tapi tetep aja rasanya gak akan sama, apalagi kalau berhubungan dengan urusan duka cita. Tahun ini, saya kehilangan beberapa orang di tanah air, dari mulai yang masih terikat keluarga, hingga teman yang pernah dekat dan besar bareng. Rasa sakitnya kehilangan karena jauh, jangan ditanya.
Teman saya ini saya kenal sejak kelas enam SD, kami kenal karena jaringan arisan Ibu-ibu kami. Saya bahkan masih ingat hari pertama kami bertemu, bayangan dia berdiri malu-malu di butik ibunya di pusat kota Malang. Pertemanan kami sendiri baru mulai terbangun tiga tahun kemudian.
Dua tahun lalu, ketika saya pulang, saya menyempatkan diri untuk bertemu. Ceritanya menyemangati, tapi malah saya yang berakhir menangis sesegukan. Perjalanan saya ke Indonesia saat itu memang untuk menjenguk beberapa orang yang berjuang melawan kanker, makanya sensi banget saya. Tangisan saya ini bukanlah hal yang patut dicontoh, ini big no no.
Beberapa bulan lalu, kondisi kankernya sudah di tahap akhir. Saya beruntung masih bisa mengirimi hadiah kecil, ngobrol melalui Whatsapp dan juga video call (terimakasih teknologi). Di akhir pembicaraan kami, dia berkata bahwa dia bangga banget dengan saya, karena hal-hal positif yang terjadi di hidup saya.
Ketika saya mendegar ia berpulang, saya tak berhenti menangis, hingga beberapa hari. Padahal kami ini sudah tak terlalu dekat lagi, karena jarak dan juga karena kesibukan masing-masing. Kendati tak terlalu dekat, saya berduka, karena kehilangan seorang teman, karena anak-anaknya kehilangan seorang ibu, karena ibunya kehilangan anak perempuan dan karena suaminya kehilangan pasangan jiwa. Mungkin orang bilang saya lebay, tapi bagi saya kehilangan teman karena kanker itu, menyakitkan. I’ve lost too many people because of cancer.
Ini bukan kali pertamanya saya kehilangan teman karena kanker (dan saya berharap ini terakhir kalinya saya kehilangan orang terdekat karena kanker). Saya pun yakin, ini juga bukan pertama kalinya saya berduka dari jauh. Tinggal di luar Indonesia itu tak selamanya enak, karena kita melewatkan hal-hal penting seperti ini. Satu hal yang saya syukuri, saya berduka ketika musim panas, setidaknya saya masih melihat matahari. Ini ternyata penting lho, karena berduka di musim dingin yang minim matahari itu bikin depresi.
Di tengah duka ini, saya berakhir di Instagram seorang pria anak bekas pejabat yang baru kehilangan istrinya. You-know-who, karena si pria ini pernah punya kasus heboh yang mengguncang negeri & banyak orang (termasuk saya) gak ngefans sama yang dia lakukan dimasa lalu. Istrinya, baru-baru ini meninggal dunia dan ia sering mengunggah beberapa foto almarhumah. Saya yang “hanya” kehilangan teman berduka secara dalam, apalagi dia yang kehilangan separuh jiwanya.
Dan duka nestapa itu berubah menjadi emosi jiwa, ketika saya membaca komentar-komentar netizen remah-remah rengginang ini. Salah satunya tak segan berkomentar untuk move on. Disangka kehilangan pasangan jiwa itu bisa move on semudah meremukkan remah-remah rengginang. Luka kehilangan itu tak pernah sembuh sempurna, akan ada lubang yang tak pernah bisa diisi dengan apapun. (Jangan bilang Tuhan!).
Ada pula yang ngasih ceramah panjang soal agama dan hujatan soal dosa yang muncul karena yang berpulang tak mengenakan jilbab. Komentar ini diaminin oleh orang-orang lain yang mempertegas tugas untuk mengingatkan orang lain. Oh sungguh para polisi agama yang merasa paling suci dan mulia sejagat raya. Mereka ini merasa menjadi polisi moral.
Mungkin tak banyak dari kita yang tahu cara mengekspresikan diri ketika melihat orang lain berdua cita di media sosial, mental kita yang suka menghakimi tiba-tiba menyeruak, padahal ada beberapa hal yang jauh lebih baik untuk dilakukan, seperti:
- Mengucapkan duka dengan sopan. Syukur-syukur kalau tulus.
- Memberi kata-kata penyemangat supaya kuat menghadapi kehilangan. Gak perlu jadi psikolog juga, cukup tunjukkan simpati atas apa yang dialami, tapi juga nggak nyuruh orang untuk move on.
- Think twice sebelum posting sesuatu yang gak berhubungan dengan nomor satu atau nomor dua.
- Gak membahas dosa orang, kecuali kalau punya nama tengah RESEH.
- Diam, karena tak bisa nulis yang baik.
Saya bukan manusia paling suci di bumi ini, saya bergelimang dosa dan mungkin udah punya slot di neraka sana. Saya pun yakin saya gak akan mati moksa, pasti lahir kembali. Tapi bagi saya, membiarkan orang berduka dengan tenang itu tak susah kok. Biarkan orang-orang yang kehilangan kekasihnya, keluarganya, atau orang-orang terdekat lainnya berduka dalam damai, karena hati dan jiwa kami sedang berdarah-darah.
Finally, jangan lupa cek diri kalian, perhatikan kalau ada benjolan aneh-aneh di tubuh. Ini berlaku untuk perempuan dan juga pria. Semoga di tahun baru ini, kita dan orang-orang tercinta kita dijauhkan dari kanker dan kita jadi netizen yang lebih baik dan lebih bijak.
Selamat tahun baru, masih bikin resolusi?
xx,
Tjetje
Selamat tahun baru juga Mbak Ailtje! Salam dari Bandung! Aku sekarang masih bikin resolusi, meskipun jauh lebih sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (sebenernya yang taun lalu juga ada yang belum kecapaian 🙂 ). Aku sebenernya juga udah muak sama netizen yang nyinyirnya kelewatan. Mau ngingetin, tapi malah diingetin balik, ya udah jadinya diem aja.
Wah masih bikin resolusi, semoga kali ini terwujud semua ya. Indeed, netizen memang melelahkan. Gimana cuaca Bandung di tahun baru?
Amin, semoga bisa tercapai resolusiku :). Sekarang cuacanya lagi gerimis.
Aku lbh sering milih diam lalu mendoakan dr sini saja kalau ada yang berduka.. Soalnya bingung mau ngomong apa.. Lalu bbrp saat kemudian jg gak enakan krn gak ngucapin apa2.. *hrs latihan untuk mengungkapkan belasungkawa.. 😦
Bener sekali. It means a lot.
Aku bikinnya RENCANA. Udah gak musim bikin resolusi, hihihi.
Hohoho, semoga terwujud semua ya.
kadang saya heran sama netizen
mereka bisa sejulid itu makannya apa ya
kasian banget hidupnya ya
Dan cuma di IG aja mereka kayak gitu, di Twitter gak segitunya.
Di Twitter ada juga kok Tje.
Wah dimana-mana ternyata ya. https://ailtje.wordpress.com/wp-admin/edit-comments.php#comments-form
Sepertinya karena di media sosial tidak harus berhadapan langsung, sehingga komen netijen ‘pedas’. Kalo sudah berhadapan langsung sich, ga berani.
Apalagi kalo comment nya pake media sosial palsu, ‘pedes’nya nambah berkali2 lipat
Nah beberapa dari mereka ini pakai akun asli, heran aku gak mikir sama sekali risiko nulis yang aneh-aneh.
Akses internet di Indonesia memang ga dibarengin dengan melek edukasi dan tata cara berkomunikasi secara online.
Turut berduka cita atas meninggalnya temenmu Tje.
Terimakasih Va. Harusnya ada kurikulum tentang budi pekerti yang mencakup ini ya. Menyedihkan baca-bacanya. Common sensenya juga pada gak jalan.
Netizen Indonesia zaman now emang maha benar dan judgemental. Untungnya sekarang ada UU ITE biar pada ngerem dikitlah kalau mau ngejulid. Ngomong2 masalah cancer, sharing dikit ya mba suamiku cancer survivor mba and still ongoing. Skin cancer/melanoma. I know what feels like, kalau dia abis kemo dan operasi harus pura2 kuat di depan dia walau kadang suka ketelepasan nangis juga. Penderita kanker ga cuma fisiknya aja yg sakit, kadang mereka juga terserang depresi, yg dulu sehat, bisa kerja, bisa ngapa2in sekarang apa2 tergantung orang lain.
Hey, I am so sorry to hear about your husband. (and thanks for sharing). Semoga kamu selalu diberi kekuatan ya.
The comment section is, indeed, sometimes the most toxic place in the internet.
Turut berduka cita untuk temannya ya!
Thanks Zilko. I do not know why on earth these people couldn’t be kinder.
anak bekas pejabat itu inisialnya R kah, mbak? kalau ya aku gemes sama komen2 yg bilang R kena azab krn pernah bikin org meninggal. pada berasa tuhan, ye.. aku ga bikin resolusi tahunan, tapi rencana bulanan. lebih terukur, lebih realistis, dan semoga lebih bisa dicapai hehe
Iya, netizen emang kejam.