Jaman saya besar tak ada telepon genggam, media sosial ataupun Netflix untuk menghibur diri. Di jaman itu, hanya ada satu stasiun TV, televisi swasta belum ada dan remote televisi pun (kalau saya tak salah mengingat) tak punya. Cukup tekan-tekan 10 tombol yang berada di sisi televisi. Saya, besar di kota Malang, kotanya pelajar dan bukan kota metropolitan.
Tapi saya (dan banyak anak-anak lainnya) tak kekurangan hiburan. Kami bermain di ruangan terbuka, lapangan, sungai, sawah, mendengarkan radio (dan mengirimkan salam), dan membaca aneka majalah, buku hingga koran. Pendeknya, selalu ada jalan untuk mengisi waktu senggang.
Perjalanan saya pulang ke Malang tahun lalu membawa kenangan saya ke tempat persewaan buku. Dulu di sebuah jalan yang padat dan selalu macet, jalan Gajahyana, ada sebuah perpustakaan pribadi, atau tempat persewaan buku Perpustakaan Eddy namanya. Perpustakaan ini bukan milik negara, ataupun milik pemerintah kota, murni milik Pak Eddy.
Jaman itu, kalau saya tak salah mengingat, buku-buku komik dijual dengan harga tiga ribu rupiah. Komik Candy-candy yang 9 seri jika ditotal bisa menghabiskan uang 27 ribu rupiah. Membeli buku, mungkin menjadi opsi bagi mereka yang punya ekstra uang saku, tapi tidak bagi saya ataupun banyak anak-anak (dan juga orang dewasa lainnya).
Perpustakaan Pak Eddy ini jadi penyelamat, kami bisa pinjam buku dengan harga yang jauh lebih murah. Apalagi di saat musim libur, saya bisa melahap banyak buku. Untuk “menghemat” ongkos peminjaman, saya dan seorang teman bahkan sering bertukar buku yang kami pinjam di perpustakaan. Satu buku dibaca dua orang.
Proses peminjaman buku sendiri sangat sederhana. Kami cukup membawa kartu identitas, seperti kartu mahasiswa, SIM, ataupun KTP. Tapi jaman itu saya masih anak piyik, belum juga lulus SD. Kartu pelajar sebenarnya bisa digunakan, tapi masalahnya, sekolah saya tidak memberikan kartu pelajar. Alhasil, saya nebeng kartu pelajar seorang teman, atau terkadang KTP orang tuanya. Kondisi jaman tersebut jangan dibandingan dengan kondisi jaman sekarang, di jaman ini KTP menjadi barang berharga yang mudah disalahgunakan.
Peminjaman buku sendiri bisa dilakukan saat persewaaan buku tersebut buka, bisa di pagi hari hingga pukul dua siang (jika ingatan saya tak salah) atau di sore pukul enam hingga pukul sembilan malam.
Pencatatan buku-buku ini cukup sederhana. Pak Eddy ini punya satu wadah kotak yang berisikan kertas-kertas serta kartu identitas. Kertas-kertas ini berfungsi untuk mencatat judul buku yang kita pinjam serta tanggal pengembalian. Jika buku-buku tersebut sudah dikembalikan, tulisan-tulisan di kertas tersebut akan dicoret.
Buku-buku yang bisa dipinjam sendiri beraneka rupa, dari komik-komik silat, aneka komik, hingga novel-novel. Aneka komik-komik Jepang atau novel detekfif yang sudah dialihbahasakan. Ada juga Olga dan Lupus, buku bacaan remaja 90-an yang selalu ditunggu-tunggu. Hingga kemudian Mira W dan Marga T.
Pak Eddy ini merawat buku-bukunya dengan baik dengan cara menyampul hardcover lalu dibungkus dengan plastik. Di bagian belakang buku ini disertakan kertas untuk mencatat tanggal peminjaman. Jaman itu kami hanya boleh meminjam maksimal 10 buku. Semakin banyak buku yang dipinjam, semakin lama waktu pinjamnya. Tapi untuk buku-buku baru biasanya harus kembali dalam jangka waktu satu hari.
Dengan uang saku yang sangat terbatas, saya saat itu sangat takut terlambat mengembalikan buku. Takut didenda. Untungnya, saya tak pernah menghilangkan buku, tapi teman saya tak seberuntung itu. Duh….proses ganti rugi buku yang hilang ini tak mudah, apalagi karena jaman itu tak ada T&C. Dana yang dikembalikan tak hanya harga buku serta ongkos menyampul, tapi juga biaya tambahan yang tak pernah dituliskan di mana-mana. Buntutnya, negoisasi harga.
Ketika saya kembali ke Malang bulan Oktober lalu, saya melewati lokasi di mana tempat persewaan buku tersebut berada. Tak jauh dari toko daging di ujung jalan Gajahyana. Bangunannya masih ada, tapi tak ada aktivitas seramai tahun 90-an. Persewaan tersebut mungkin sudah tak ada, tapi kenangan dan kegembiraan ketika melihat buku-buku baru bisa disewa rasanya tak terkirakan. Dengan 300 ataupun 500 rupiah, saya bisa memuaskan Hasrat membaca buku.
Dulu, saya tak perlu media sosial untuk membunuh waktu. Bagaimana dengan kalian, pernah menyewa buku di tempat serupa?
xx,
Ailtje
gajahyana jalan masuk samping Sardo swalayan nih mbak?
beberapa taun lalu, ketika masih ngekos di Surabaya, saya masih pinjam buku novel dan komik. kebetulan dekat kos ada tempat persewaan. Setelah itu saya pindah ke rumah yang lokasinya jauh. Dengar-dengar, tempat persewaan ini sudah tutup (karena makin sepi dan bukunya udah gak terlalu up to date).
Sekarang, saya masih membaca buku. Cuma nggak sesering dulu. Kali ini, daripada menyewa lebih suka membeli (untuk buku yang penulisnya benar-benar saya suka). Punya angan-angan punya sudut baca sendiri di rumah.
Iya, tapi ini di sisi yg arah ke Dinoyo. Seberang toko kue Mbak Yani (gila ingetan guwe luar biasa).
Wah sudut baca yang cosy gitu enak kali ya.
Tempat membaca buku favorit saya itu perpustakaan SD, dari komik conan, topeng kaca, mari chan,ensiklopedia lengkap disana. Karena saya setiap hari kesana, saya kenal baik sama setiap penjaga perpusnya ^^ bahkan bantu2 nyampul buku2nya kalau saya telat dijemput. Guru wali kelas saya jg concern, kami punya perpustakaan mini dikelas, saya melahap lima sekawan kalau perpustakaan bau kaki (perpustakaan sd duduk dikarpet, harus buka sepatu).
Di SMP SMA teman2 saya, hobi membeli (saya ngak yakin mereka baca) Novel terjembahan, zaman harry potter dan eclips. Terus sesama pencinta komik kami sering numpang baca di gramed. Depan sekolah menengah saya juga nyewa komik. Karena saya ngak ada jajan dulu, saya minjam punya teman dan sewaan mereka.
Lucunya saya baca bawa pulang diam-diam dikamar dengan cahaya remang2, soalnya kalo ketaun dirumah ngak baca buku pelajaran kena repet, pernah tuh majalah bobo,princess, donal bebek kita dibakar karena adek saya ketahuan nyelipin dibuku pelajarannya wkwkwk
Waaah baca buku di Gramedia, jadi inget dulu suka kayak gitu. Dan gak dilarang.
Aduh…kasihan kali lah kena repet gara-gara baca Donal bebek.
Aku ga pernah sewa buku mba, karena untungnya suka diajak ayah aku ke gramedia, dan beli komik atau buku cerita di situ.
Ah jadi koleksinya banyak ya kalau gitu.
Iya mba, sampe berplastik-plastik, semua seri cerita anak Indonesia dan dunia, seperti cerita si jubah merah, aku punya komplit. Tapi entah kemana mereka semua 😦
Aaah harta karun itu Ji.
Ya mba, kayanya pernah renovasi rumah, terus udah ga ketemu lagi. Padahal buku cerita dan novel jaman dulu bagus-bagus.
Aku termasuk yang tetap suka pergi ke persewaan buku sampai sekitar 8 tahun yang lalu.
Sampai sekarang di Bandung tetap ada pesewaan buku yang masih memiliki penggemar setianya Mbak Tjetje.
Iya ya, dipikir-pikir dulu harga komik 3rb rupiah dan aku masih mengalami beli komik harga segitu. Sekarang harganya sudah naik 8x lipat menjadi 24rb rupiah ><.
Wah 8 kali lipat, lumayan juga ya. Walaupun kalau dibandingin sama di sini masih tetep murah.
Di Malang kayaknya udah gak ada sih, tapi coba aku tanya2 lagi. Penasaran.
Akuuuu juga sewa buku haha. Naik sepeda buat pergi ke tempat penyewaan buku. Paling suka nyewa novel Lima Sekawan 😍
Oh menyenangkan ya nostalgia gini 😉
Serupa! Di daerah Brebes tempat saya menghabiskan masa SMP-SMA, persewaan buku pribadi ini ada. Nama empunya-nya mas Nono. Dari mulai teenlit, chicklit, komik Jepang, komik Indonesia, Harry Potter lengkap, semua beliau punya. Kisaran harganya tergantung tebal buku dan tahun terbitnya. Terakhir persewaan buku masih buka saat saya lulus kuliah, 2013. Belakangan kalau saya mudik, sudah tutup. Infonya, banyak yang tidak mengembalikan, atau lupa karena yang meminjam sudah pergi merantau dsb.
Saat ini, di Jogja (tempat saya tinggal) masih ada persewaan buku juga! Kaget tapi bahagia karena itu jadi solusi untuk saya menyewakan novel-novel buat dibaca adik saya. Masih di harga ribuan, pakai KTP, dan koleksinya lengkap bangets. Gak bisa dibilang ramai peminat sih, tapi setidaknya per hari masih ada yg menyewa 🙂
Ya ampun kan kasihan kalau gak dibalikin 😦
Yaaahhh jadi baper kan nih, pengen pulang ke Malang lagi 😭😭
Aku tau jln gajahyana, karena pulang sekolah selalu lewat, tapi aku gak pernah sewa buku di sana, sering nya di perpustakaan gereja ijen, atau persewaan dekat rumah..
Menyenangkan sekali masa-masa itu ya.. (mendadak ingatan menuju ke tahun 90 an 🤣)
Iya masa-masa manis ya.
Dulu sempat beberapa kali meminjam buku (kebanyakan komik sih, haha 😛 ) di sebuah persewaan buku di dekat rumah. Tapi nggak berlangsung lama karena pada akhirnya lebih “enjoy” untuk koleksi komik sendiri. Keuntungannya, sekarang pun kalau pas pulang Indo bisa dengan bebas baca-baca komik-komik lama itu. Walaupun beberapa bukunya ada yang sudah agak rusak sih termakan usia, hahaha…
Wah dibaca ulang. Aku gak baca-baca ulang lagi, males 🙂