Kekerasan Rumah Tangga

Anggapan menikahi orang asing itu SELALU menyenangkan tak bisa begitu saja dihapus dari pikiran banyak masyarakat kita. Ya mungkin karena dari jaman baheula kita sudah melihat bagaimana para Nyai hidupnya terlihat lebih enak dari kebanyakan orang. Terlihat lho ya. Akibatnya, banyak ilusi bahwa semuanya akan indah-indah saja, tanpa masalah dan tanpa tantangan sama sekali.

Image by Sammy-Williams from Pixabay

Hal ini kemudian disempurnakan dengan glorifikasi keindahan perkawinan campur. Tengoklah di Youtube sana. Perkawinan dengan WNA kemudian dianggap sebuah hal yang indah, sempurna dan lebih baik daripada perkawinan lainnya. Padahal, seperti perkawinan pada umumnya, perkawinan itu seringkali bertemu dengan kerikil, atau dalam postingan ini badai besar.

Satu hal yang seringkali menjadi bahan perbincangan, dan sumber keprihatinan bagi kami yang tinggal di luar negeri adalah kekerasan rumah tangga dalam perkawinan campur. Kekerasan ini berlaku bagi dua belah pihak, tak mengenal jender, baik itu kekerasan verbal maupun kekerasan fisik. Ada banyak model kekerasan yang tak disadari sebagai kekerasan, dan kami-kami yang berada di luar perkawinan tersebut, seringkali hanya bisa mengelus dada karena prihatin.

Kekerasan Fisik

Kekerasan yang paling mudah dilihat tentunya kekerasan fisik, buktinya paling mencolok, tapi seringkali disembunyikan, karena korbannya, entah malu atau mungkin terlalu sayang pada pasangannya. Dalam kepala saya masih kuat bayangan seorang kenalan perempuan yang matanya membiru, pastinya kena tonjok. Bekas tonjokan itu disembunyikan di bawah topi. Kekerasan fisik tak hanya soal “tonjok-menonjok”, bisa beraneka rupa, bahkan menyebabkan kematian.

Kontrol Berat Badan dan Makanan

Kekerasan psikis sendiri tak kalah menyayat dari kekerasan fisik, apalagi kalau sudah berkaitan dengan kontrol. Salah satu pengontrolan yang saya lain adalah berat badan.  Pelakunya pun tak segan merisak kondisi berat badan pasangan di depan orang-orang lain. Memanggil pasangannya gendut, hingga mengolok-olok ukuran bagian tubuh tertentu karena dianggap terlalu besar. Keterbukaan ini seringkali membuat orang lain yang melihatnya jengah dan tak nyaman.

Pada kondisi yang ekstrem pasangan bahkan disuruh naik ke atas timbangan untuk dicek berat badannya secara berkala. Obsesi terhadap berat badan ini kemudian dibarengi dengan kontrol asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh. Seringkali porsi makanan Indonesia harus dikurangi, atau bahkan tak boleh sama sekali karena dianggap tak sehat. Terlalu berlemak, karena gorengan atau karena penggunaan santan.

Larangan ini juga karena bau yang timbul akibat hobi goreng-menggoreng (ini belum goreng terasi ya), baru level goreng tempe, kerupuk atau tahu.  Alasan kesehatan seringkali digunakan, tapi tentunya dengan standar ganda. Hanya berlaku pada pasangan yang dikontrol, tapi tidak pada diri sendiri. Sang pengontrol bebas makan dan minum apa saja. Dampaknya, pasangan yang dikontrol secara perlahan tapi pasti, kepercayaan dirinya menurun.

Kontrol keuangan & aktualisasi diri 

Namanya juga tukang kontrol, apa saya yang bisa dikontrol akan dikontrol. Salah satunya akses keuangan. Pasangan tak diperkenankan untuk bekerja, alasannya beraneka rupa. Di beberapa kasus yang saya tahu, pelarangan bekerja ini supaya tax credit* bisa digunakan satu pihak saja. Sehingga pasangan membayar pajak lebih sedikit. Tak hanya itu tapi seringkali bekerja juga untuk menghentikan pasangan mengaktualisasikan diri.

Ketidakbolehan bekerja ini kemudian dibarengan dengan pembatasan akses keuangan (bukan karena kondisi keuangan terbatas), tapi lebih pada pemuasan hasrat mengontrol. Tak ada kesetaraan atau dikusi keuangan. Seringkali, yang saya tahu pasangan hanya diberi jatah beberapa Euro saja untuk berbelanja.  Yang paling ekstrem, 20 Euro per minggu untuk beberapa kepala di rumah. Nominal ini jangan dirupiahkan, karena 300 ribu di Irlandia tak sama dengan di sini. Sekali lagi, bedakan juga antara kondisi keuangan terbatas, atau karena pelit yang sangat ekstrem. Kelewatan.

Ada pula dimana pasangan dipaksa bekerja, tapi kemudian uang yang dihasilkan dengan semena-mena dikontrol oleh pasangannya, atau bahkan dihabiskan untuk berhura-hura oleh pasangannya. Entah dihabiskan untuk memuaskan hobinya, atau bahkan berjudi. Syukur-syukur kalau namanya gak dipakai untuk meminjam uang (banyak yang seperti ini). Atau yang lebih parah, disuruh antri minta makanan gratis hingga pasangannya mengaduk-aduk tempat sampah mencari sisa makanan. Sedih sekali kalau mendengar yang seperti ini.

Red flags

Bagi mereka yang masih pacaran, ada baiknya jika saat pacaran mengenal lebih dalam dahulu sebelum ke jenjang yang lebih lanjut. Kenali baik-baik pasangan, dari berbagai aspek, sehingga tahu tanda-tanda yang perlu diwaspadain. Pacaran jangan buru-buru langsung diseret ke pelaminan, apalagi di negeri jauh.

Beberapa tanda yang harus diperhatikan antara lain:

  • Membatasi pertemanan & mengontrol pergerakan kita (dari mulai kemana pergi, hingga pakaian yang digunakan)
  • Kebutuhan dasar tak dipenuhi
  • Tukang cek waktu dan perilaku (lagi ngapain, sama siapa, di mana, kapan pulang?)
  • Memata-matai komunikasi kita
  • Seringkali merendahkan dan memalukan pasangan, bahkan di depan publik.
  • Kontrol keuangan
  • Mengancam dan atau mengintimidasi
  • Merusak barang (serta fisik kita).

Terakhir, kasus-kasus rumah tangga berkaitan dengan kontrol dan kekerasan, sayangnya bukan hal yang aneh bagi kami yang tinggal di luar negeri. Selalu ada saja cerita seperti ini. Para korbannya seringkali mencari bantuan ke kedutaan, tapi tentunya bukan kewenangan KBRI untuk menangani urusan domestik rumah tangga. Sebagai sesama orang Indonesia, kita pun tak berwenang menolong. Sementara, pihak berwenang pun hanya bisa memberi bantuan jika korbannya secara sadar meminta pertolongan.

Seringkali malu, dibarengi  keinginan untuk membuktikan kesuksesan tinggal di luar negeri, atau ketakutan tak memiliki penghasilan, tambahkan pula dengan kepercayaan diri yang sangat rendah (karena hasil abuse selama bertahun-tahun), membuat korbannya bertahan. Tak mau keluar dari kemelut tersebut. Jangan lupakan juga cinta, cinta dan harapan bahwa pasangan satu saat nanti akan berubah.

Jika kalian korban kekerasan rumah tangga, please get a help! 

xoxo,
Ailtje

15 thoughts on “Kekerasan Rumah Tangga

  1. Jadi inget waktu aku masih volunteer di Salvation’s Army disini banyak ibu2 (Asia Tenggara, gosah sebut negara) yang dipukuli oleh suaminya, atau di-abuse secara verbal, kulkasnya dikunci, atau ngga dikasi duit sama sekali. Ada juga beberapa wanita Indonesia disini yang bragging klo dia ga dibolehin kemana2 sama suaminya, alesannya karena suaminya cinta banget sama dia. Lha?

    Masalahnya di Denmark hukum family reunification sangat bergantung sama pasangan yang ber-WN sini, jadi ngga equal, ngga fair lagi. Berat sebelah.

    Banyak WNA yang terkena abuse dan punya anak disini harus terpaksa menjalani kehidupan seperti ini karena klo pasangannya yang WN sini ingin menceraikan itu tentu gampang dan dia dikirim kembali ke negaranya terpisah dari anaknya. Peraturan yang membolehkan mereka tinggal disini demi anak nya itu ada tapi susah pencapaiannya kesana, jadi klo ingin tinggal di negara sini = harus endure pasangan abusive. Sad.

    • Di sini kalau ada kekerasan rumah tangga gitu dilindungi banget dan gak semerta-merta dipulangkan. Cuma, tetep aja banyak yang gak berani lapor atau gak sadar kalau mereka korban KDRT (apalagi yg dikontrol mati-matian).

      Kemarin aku sempet nyariin shelter untuk satu orang di sini, selama covid ini ternyata shelter pada penuuuuuuuuh semua. Duh kasihan deh mereka harus lockdown barengan abusernya 😦

  2. Mau sama orang indonesia atau pun bule sama2 jangan pakai nikah utk menjamin kebahagiaan.. Aku tahun lalu pernah hampir nikah sm cowok yg disebut di red flags.. Wkt itu jadinya sering menyalahkan diri sendiri krn mikirnya kalau aku gak sekureng ini, dy gak akan gitu… Setelah putus jd sedih bgt.. Tp skrg jd sering denger ttg toxic relationship dan skrg jd lega gak jd nikah sm dy..

  3. belakangan kasus KDRT di Turki terhadap pasangan kawincampur meningkat, akhir 2018 saya pernah direportkan bareng teman yang berniat menolong seorang WNİ yang jd korban kdrt dgn anak yang dipisahkan,sampai harus mengajukan minta perlindungan jandarma(gendarmarie) untuk menjemput si korban, karena hanya petugas keamanan yg bisa masuk membebaskan dia, si korban di tahan family suaminya yg abusive dipisahkan dgn anaknya yg balita. Dan memang rata2 korban tdk berani bicara, disini hampir tiap hari ada saja berita KDRT, sampai naik tagar di twitter lokal krn kasus kekerasan dlm rumah tangga meningkat,tp perlindungan hukumnya jg terbilang lemah. dan ditambah seperti apa yg ditulis mba ai tentang penggambaran pasangan ‘perfect’ nikah sama bule, udah banyak korban kenekadan perempuan indonesia yang datang ke Turki, meninggalkan suami sah dan nikah disini, apalagi untuk muslim, berbeda sama sistem pernikahan islam di indonesia yang membutuhkan wali nikah, sedang islam di turki yg lebih cenderung memakai hukum fiqih berbeda, syarat menikah tanpa wali tetap bisa asal saksi cukup.nikah beda agama juga bisa ga seribet di indonesia, jadi malah makin banyak yg nekad, angka kekerasan jadi nambah. banyak yg ga berpikir panjang.

  4. Tahu mereka yg kondisinya spt itu. Tapi memang merekanya juga tdk mau melakukan apapun utk ubah kondisinya, padahal ada solusi2 dan bantuan yg ditawarkan. Alasannya selalu ada.Yg plg sulit itu mmg mengubah cara berpikir victim dulu…

  5. €20 per minggu, waahh kejam banget ya. Aku belum pernah tau dalam kehidupan nyata teman2 atau kenalan di sini kena KDRT. Cuma baca dari grup orang2 yang tinggal di Belanda, ada yg kena sampai diusir dari rumah oleh suaminya.

  6. Hi Ailtje,
    Happy new year! Ngomongin domestic violence ini gk ada habisnya ya karena ini realita dan masalah yg masih terus terjadi. Data UN Women 1 dari 3 perempuan di dunia mengalami kekerasan fisik dan seksual bahkan terbunuh dan kebanyakan pelaku kekerasan adalah pasangannya. Masalah utama ketidaksetaraan gender di Indonesia salah satunya kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.

    Tapi masih byk perempuan berpandangan bahwa dengan menikah urusan selesai, apalagi nikah dg orang asing (bule) pasti hidup senang kyk tuan putri, princess mentality I would say. Pemberdayaan perempuan harus dimulai dengan dirinya sendiri bahwa yg bisa menyelamatkan hidup kita adalah diri kita sendiri menurutku.

    • Indeed ini masalah yang tak ada habisnya dan sayangnya banyak banget yg gak berani keluar menyelamatkan diri karena banyak hal. Di masa pandemik gini juga makin banyak yg terkungkung di rumah dan terus-menerus disiksa. Ah sudahlah 😦

Show me love, leave your thought here!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s