Diaspora, Dana Darurat & Sumbangan

Salah satu hal yang WAJIB dimiliki oleh diaspora yang tinggal jauh dari tanah air adalah dana darurat. Ini wajib, gak ada pilihannya untuk tidak punya. Kita yang tinggal jauh dari tanah air dan keluarga ini harus siap ketika mendadak diperlukan kehadirannya di tanah air. Sebenarnya dana darurat ini tak hanya untuk pulang ke Indonesia, tapi juga jika terjadi bencana kecil hidup di tanah asing. Misalnya tiba-tiba sakit dan harus tak bekerja selama beberapa waktu dan mesti mondar-mandir ke rumah sakit. Biaya RS di sini gratis, tapi ongkos parkir, jika harus bolak-balik, tidaklah sedikit.

Masalah klasik dari diaspora Indonesia, tak semua tentunya, adalah hidup mereka terlihat sangat glamor dan mewah, tak jarang ditemani embel-embel bokap guwe kaya. Tapi begitu ada tragedi menyentuh hidup, ternyata tak punya dana darurat. Pergi ngopi-ngopi cantik dan fine dining bisa, bahkan media sosial bisa sampai bikin orang lain silau, tapi giliran kena musibah, ngerepotin orang dan mengandalkan bantuan orang lain. Biasanya, bukan mereka sendiri yang minta, tapi lingkaran sosial mereka, yang tahu kalau mereka gak punya duit. Saya sendiri guilty atas hal ini, karena pernah ngumpulin duit untuk diaspora glamor yang bokek. Menariknya, orang juga males ngasih duit karena keglamoran mereka. LOL

Komunitas diaspora Indonesia sendiri jika melihat orang lain tertimpa musibah masih sangat suka untuk menggalang dana dan merasa iba. Tak hanya membantu yang kurang mampu, tapi juga membantu para diaspora glamor bokek yang saya gambarkan di atas. Dari menggalang dana untuk yang sakit, kerabatnya meninggal dunia, diaspora meninggal dunia, hingga untuk orang yang anggota keluarganya masuk penjara. Saking senangnya menggalang dana, bahkan pernah ada yang ribut karena rebutan jadi pengumpul dana. Alamak apa coba ini, rebutan pengen kelihatan punya empati paling tinggi?

Di sini, jika ada penggalangan dana, biasanya uang dikumpulkan ke satu koordinator. Koordinator ini kemudian akan membuat grup chat, mengundang orang-orang dan meminta orang-orang ini untuk mengundang orang lain. Macam MLMlah. Penggunaan situs macam GoFundMe sendiri belum pernah saya lihat & semua masih dilakukan secara manual. Jadi tak heran kalau koordinator sampai rebutan menggalang dana, karena dana masuk ke rekening mereka semua dan mereka yang “akan dapat nama” karena melakukan hal terpuji. Makanya pada rebutan.

Dalam proses mengumpulkan sumbangan sendiri, orang-orang yang terkenal dermawan biasanya akan dicari untuk memberikan sumbangan dalam jumlah agak besar. Mereka ini pendongkrak supaya sumbangan terlihat besar. Mirisnya, mereka yang suka memberikan donasi lebih besar ini hanya akan diingat jika dompet mereka perlu dibuka & tak akan dicari untuk acara makan-makan. Bahkan ketika mereka sendiri mengalami tragedi dalam hidup, orang tak akan membantu. Boro-boro kirim sumbangan balik buat mereka, mengucapkan duka atau bahkan kirim kartu duka pun tak akan.

Pengalaman saya

Setelah bermukim di Irlandia cukup lama dan belajar dari segala macam sumbang-menyumbang, saya menjadi sangat picky. Saya belajar menolak untuk memberikan sumbangan, apalagi kalau alasannya tak masuk akal. Prinsip saya, menjadi diaspora itu harus belajar untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri, mesti punya dana darurat dan tak merepotkan orang lain. Lagipula, di belahan bumi dimana saya berpijak ada banyak bantuan dari dana pembayar pajak.

Saya juga belajar untuk tidak menggarami air laut, tak perlu segan untuk menolak menyumbang diaspora yang glamor dan hidupnya kaya-raya, pura-pura sekalipun. Sumbangan juga sebaiknya diberikan langsung kepada yang mengalami tragedi, gak lewat koordinator. Ini artinya, saya juga mesti benar-benar kenal dengan yang mengalami tragedi.

Jangan salah, sudah kenal pun bisa tertipu dan dimanfaatkan oleh diaspora lain. Kisah sedih tragedi dijual, bahkan lengkap dengan manipulasi supaya orang jatuh iba dan memberi sumbangan. Begitu menerima sumbangan, yang jumlahnya tak sedikit, pemberi sumbangan dijelek-jelekkan dan pertemanan diputus. Kisah ini, unfortunately, nyata.

Penutup

Beberapa waktu ini, saya mendengar ada adik-adik diaspora yang mengalami tekanan sosial untuk menyumbang. Mereka tiba-tiba dimasukkan ke dalam grup WhatsApp dan dimintai sumbangan untuk orang yang mereka hanya pernah bertemu sekali atau bahkan tak kenal. Keperluan sumbangan ini macam-macam, dari hadiah perpisahan hingga sumbangan dana kematian.

Beberapa dari mereka kemudian merogoh kocek, mengambil sisa-sisa koin.

Teruntuk adik-adik diaspora yang baru pindah ke Irlandia, yang baru meniti karir, yang masih menyesuaikan diri dengan tingginya biaya hidup di Irlandia, yang gajinya mepet UMR, yang baru mengumpulkan koin-koin untuk tabungan dana darurat, yang jadi generasi sandwich, belajarlah menolak menyumbang.

Jangan segan untuk menolak tanpa memberikan penjelasan. You don’t owe anyone an explanation gimana kalian ngurusin duit kalian. Kalau segan, bisa bilang sedang banyak pengeluaran. Gak perlu juga merogoh kantong mengambil koin recehan yang kalian genggam erat-erat. Koin-koin itu berharga, bisa untuk beli beras bagi keluarga yang kalian tanggung di Indonesia.

Memprioritaskan diri sendiri itu gak salah kok. Toh duit-duit kalian, hasil keringat kalian sendiri! Lagipula, nanti, kalau lihat diaspora yang mengalami tragedi tiba-tiba beli tas branded, atau pergi jalan-jalan ke luar negeri, bisa robek hati kalian. Teriris-iris rasa miris.


xoxo,
Tjetje



2 thoughts on “Diaspora, Dana Darurat & Sumbangan

  1. Baru tahu ada sumbangan begitu. ๐Ÿ˜ Dulu selama di Jepang nda pernah ada yang minta sumbangan seperti itu. Atau saya bergaulnya kurang atai malah nda dianggap. Hehehe. Memang harus ada keberanian buat menolak, dan membuang jauh-jauh sifat ‘nda enakan’.

Leave a reply to Eko Sedane Cancel reply