Cinta Lintas Bangsa & Minta Uang Saku

Hubungan cinta lintas bangsa itu warna-warni. Di satu sisi ada yang diberikan kesejahteraan oleh pasangannya ketika masih pacaran, di sini lain ada yang bergulat bertahan hidup supaya anaknya punya perut kenyang di negeri orang. Tulisan ini hasil observasi saya ketika membaca, melihat, atau bahkan mendengar perjuangan diaspora pelaku kawin campur.

Ketika masih pacaran

Pernah lihat gak orang yang pamer ketika diberi uang oleh pacarnya yang orang asing? Glorifikasi seperti ini ada banyak di media sosial, dan opini orang terhadap topik ini beragam. Ada yang setuju, ada yang tak setuju, bahkan ada yang berkelahi internasional di TikTok antara bini bule vs pacar bule.

Berkelahinya kenapa? karena kepantasan meminta uang jatah bulanan pada pasangan secara rutin. Masalahnya, personal value dan nilai kepantasan tiap orang itu berbeda-beda. Mau berkelahi sampai pagi juga pasti ada kelompok yang merasa penting untuk bisa minta uang dari pria, yang belum menjadi suami sekalipun, tapi ada pula yang menolak dan minta split bill.

Minta uang sendiri, ketika dua belah pihak yang terlibat sama-sama dewasa dan setuju tanpa paksaan atau manipulasi, bukanlah sebuah hal yang melanggar hukum. Nah yang jadi “masalah” itu kalau ada proses meminta ini tidak dilakukan dengan cara yang tepat. Ekpektasi bahwa laki-laki harus bertanggung jawab dimunculkan ketika masih pacaran.

Nah kalau udah kayak gini jadinya urusan percintaan udah kayak transaksi aja. Apalagi kalau kemudian proses meminta ini diiringi dengan manipulasi secara emosi, berkedok tes cinta atau tes kesetiaan, yang memberikan tekanan luar biasa pada pihak pria.

Lalu, perilaku manipulasi ini tak jarang ditemani dengan komentar dan perlakukan yang membuat psangan jadi seperti ATM. Dipanggil ATM atau bahkan bank pusat. #KisahNyata Sungguh perlakukan tak manusia yang hanya berfokus untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Nah kalau sudah gini, jadinya ini ekploitasi, bukan cinta. Tapi ini ya jadi masalah mereka, bukan masalah kita. Kibarkan bendera merah.

Masalah keuangan ketika sudah mengikat janji

Nah kalau di atas soal minta uang saat pacaran, pada beberapa perkawinan, ada masalah yang berbeda. Uang belanja tak cukup dan pasangan, yang merupakan warga negara asing, tak mau atau tak mampu menambah uang belanja. Sementara ongkos hidup di negeri asing sangatlah tinggi. Minta uang, engga dikasih dengan banyak alasan.

Kalau sudah begini ya harus putar otak, salah satunya bisa dengan bekerja. Inipun dengan catatan, kalau diijinkan pasangan. Kalau tak diijikan, ya jadinya curhat di forum-forum diaspora, atau perkawinan campur untuk menemukan solusi gimana cara berkomunikasi dengan pasangan supaya duit bulanan ini bisa ditambah.

Berapa sih dana yang gak cukup ini? Seribu, dua ribu, tiga ribu, atau ribuan lainnya? Bukan, ini bahas yang di bawah 500 Euro sebulan, kurang dari 50 Euro per minggu, atau yang sama parahnya, mereka yang hanya diberi tunjangan anak dan harus mengelola dana tersebut untuk belanja selama sebulan. Sementara mereka tinggal di negara-negara Eropa Barat yang biaya hidupnya tinggi. Berapa rekor terparah yang saya pernah dengar? dua puluh Euro per minggu!

Akibatnya, mereka kesulitan untuk mencukupi hidup. Otak harus diputar, sementara bekerja kadang-kadang bukan pilihan, apalagi ketika punya anak kecil. Saking sulitnya, sampai ada yang harus menahan lapar di tengah gigitan musim dingin. Untungnya komunitas diaspora itu gotong-royongnya cukup kuat, jadi terkadang ada yang mengorganisir pengumpulan bahan-bahan pangan supaya mereka tak kelaparan. Tapi tentunya sumbangan seperti ini tak bisa dilakukan secara rutin.

Kesimpulannya?
Kultur kita menempatkan ekpektasi pembiayaan rumah tangga dibebankan pada pihak pria, sementara pihak perempuan mengelola dana untuk manajemen rumah tangga. Alhasil, ada rasa bergantung yang tinggi pada pasangan. Menggantungkan hidup, bagi saya, harus dibarengi dengan kepercayaan yang tinggi pada pasangan dan juga pengetahuan bahwa pasangan mampu dan mau membiayai hubungan.

Gimana cara tahunya? duduk bareng dan bicara. Harus bicara, jangan bermodalkan observasi. Apalagi jika ketemu dengan pasangan hanya dalam situasi liburan, dimana pasangan terlihat “makmur, sejahtera dan baik hati” akibat nilai tukar mata uangnya. Terlihat mampu di Indonesia tak menjadi jaminan, karena tak sedikit yang kembali ke negeri asal ternyata duitnya pas-pasan dan tak mau berbagi sama sekali, bahkan pada anaknya sendiri. Kita yang dewasa bisa nahan lapar, sementara anak kecil, tak tahu apa-apa & bisa berakhir kekurangan gizi.

Ah wis lah embuh…

xoxo,
Tjetje


3 thoughts on “Cinta Lintas Bangsa & Minta Uang Saku

    • Nah ini. Mereka bisa kelihatan sangat generous waktu jalan-jalan di Indonesia, begitu pindah ke negara asal, pelitnya gak ketulungan, duit dkontrol. Salah satu blogger ternama Indonesia di Belanda kan juga ada yang ngalamin ini, dikasih uang saku terbatas, sampai dia mesti jualan.

Show me love, leave your thought here!