Operasi Amandel/ Tonsillectomy: Bagaimana dan Berapa?

Sedari kecil hingga dewasa (mendadak merasa dewasa), saya nggak pernah mengalami permasalahan amandel. Hingga beberapa waktu belakangan ini saya sering mengalami radang tenggorokan. Setelah konsultasi dengan beberapa dokter, disarankan supaya tonsils/ amandel saya ini di operasi saja untuk dibuang. Duh..ide untuk operasi itu rasanya terdengar mengerikan di kepala saya. Jadi saya mencoba berbagai cara supaya tidak perlu operasi. Dari menjaga makanan (berhenti makan gorengan pinggir jalan), hingga minum air 2., liter setiap harinya. Tapi tetep, usaha itu gagal, amandel saya tidak bisa mengecil. Bahkan usaha saya untuk mengkonsumsi obat cina juga gagal berantakan. tenggorokan tetep meradang, tidur agak ngorok, sulit menelan (bahkan liur sendiri) dan yang paling parah kesusahan napas pada saat tidur.

Akhirnya tanggal 23 Juli 2012 saya nyerah dan nekat minta di operasi oleh dr. Bono di RS THT Ciranjang. Pak dokter sempat bengong melihat saya yang sudah siap dengan tas dan sudah puasa. Ternyata oh ternyata, operasi di RS THT Ciranjang itu hanya 2 kali setiap minggunya, hari SELASA dan JUMAT. Saya pun dipulangkan dan dijadwalkan untuk operasi pada hari Selasa.

Tidak banyak informasi di google mengenai pre-op dan post-op tonsillectomy. Makanya saya bertekad membagi informasi ini (sampai ke detail biayanya). Siapa tahu berguna.

Pre-op

Hari Selasa pagi, saya diharuskan datang di RS jam 9 pagi, dalam keadaan sudah makan pagi. Test pertama adalah EKG. Telanjang dada di depan dokter dan di pasangi alat yang mirip alat pencubit. Ibu dokter sempat berujar, “Agak kurang nyaman ya.” Saya yang sebenernya malu harus telanjang dada ngaco aja jawab “Gak papa kok Dok, kalau di salon lagi luluran kan hampir sama”. Setelah EKG, saya diambil darah dan dipersilahkan menunggu di kamar. Nggak lama nunggu, saya dipanggil untuk tes radiologi, lagi-lagi gak pakai bra.

Ternyata ada aturan unik, anak-anak didahulukan operasinya. Sementara yang tua belakangan. Nasib…..Sekitar jam 13.30 saya dipanggil ke ruang operasi dan dilarang pakai bra. Takutnya kalau tiba-tiba ada emergency dan harus dipasang alat, ribet harus  ngelepasin bra segala. Selain dilarang pakai bra, rambut saya juga harus diikat ke atas, menyerupai sanggul gitu. Nantinya di ruang operasi ada penutup kepala, seperti shower cap yang dipakai untuk menutupi kepala saya.

Ini pengalaman pertama operasi (semoga ini menjadi yang terakhir) dan pengalaman pertama masuk rumah sakit. Jadi masuk dalam ruang operasi, sambil naik ke meja operasi saya masih sempat ngoceh-ngoceh “Wah ternyata ruang operasinya nggak seperti di Grey’s Anatomy ya Dok, nggak ada lampu bulat yang besar itu”. Dokter anastesinya repot masang infus, sementara di dekat kepala saya ada nurse yang bolak balik bilang “ini masker…ini masker…”. Nggak lama saya pun terlelap. Jadi saya nggak tahu bagaimana proses operasinya.

Post-op

Operasi saya selesai menjelang pukul 3 sore. Saya bangun dengan keadaan sakit di tenggorokan, terutama untuk menelan ludah. Tenggorokan rasanya kayak dibakar. Daripada nelan ludah, sakit, saya memilih untuk ngiler saja, lagipula saya setengah sadar ..jadi nggak malu-malu amat. Pas di samping saya ada nurse yang setia membersihkan liur.

Dari ruang operasi, saya dimasukkan ke dalam kamar. Di RS Ciranjang ini hanya ada 9 kamar dan masing-masing pasien mendapatkan 1 kamar. Harga per malam untuk kamar kelas I adalah 500.000. Luas kamarnya sekitar 25 m2, dilengkapi dengan TV, TV cable, kamar mandi air panas dan air dingin, serta kulkas.

Begitu saya sadar, sepiring bubur sum-sum dan dua buah puyer sudah disiapkan. Duh…nelan ludah sendiri aja sakit, apalagi bubur sumsum. Tapi susternya menyemangati, semakin banyak minum semakin cepat sembuh. Saya yang dasarnya kuat minum air putih langsung menegak air, ternyata malah tambah sakit! Obat puyer yang masuk tenggorokan pun membuat tenggorokan semakin terbakar. Mitos setelah operasi bisa makan ice cream sebanyak-banyakan juga gila. Baru makan satu sendok ice cream saja, telinga saya rasanya seperti naik pesawat dalam keadaan flu, tertekan dan ngilu. Kata dokter, ini efek normal dari operasi. Apalagi amandel saya katanya gede banget. Selain ngilu, tenggorokan juga agak semriwing karena ada benang jahit yang menggelitik. Benang ini juga memicu dahak.

Hari pertama dan kedua saya sukses makan kurang dari 1 piring bubur sumsum dan kurang dari 1 buah agar-agar. Badan saya jangan ditanya, langsung naik satu kilo. Hahaha..iya naik, bukan turun. Ajaib.

Di hari ke dua, suster datang membawa sandwhich, bubur sumsum, susu, telur rebus. Saya udah girang aja liat roti, ternyata rotinya untuk yang nungguin pasien, sementara saya tetep harus makan bubur sumsum. Baik banget ya,  yang nunggu dapat makan juga.

Hari ketiga hingga ke lima, saya sudah makan bubur nasi ditemani abon. Tetap susah mengunyah dan menelan. Pada hari ke lima saya berhasil makan sepotong ayam kecil, total waktu yang dibutuhkan 1.5 jam aja. Bangganya luar biasa! Saya juga rajin ngoceh a, i, u, e, o sendiri. Habisnya kalau ngajak ngomong orang lain, yang diajak ngomong suka geli dan kasihan denger suara saya.

Teorinya di hari ke 6 saya bisa makan keras (tapi di larang makan chiki, keripik dan kerupuk). Tapi prakteknya, saya masih belum sanggup karena luka di sisi yang kanan belum menutup dengan sempurna. Jadi ya tetap makan bubur dan marie regal. Kata dokter, proses recovery ini bisa mencapai 3 minggu saja. Fiuh..siap-siap badan mengurus.

Nggak ada satupun blog yang menuliskan total kerusakan operasi amandel. Saya dengan bodohnya menyangka operasi ini akan menghabiskan maksimal 3 juta. 3 juta ternyata gak cukup buat bayar dokter THTnya dan dokter anastesi. Biaya operasi amandel ini 4 kali lipat dari prediksi saya. Mahal ya bow. Untung ada asuransi.

Amit-amit deh jangan sampai ada yang harus operasi amandel, apalagi kalau udah tua. Proses recoverynya benar-benar menghilangkan lemak dari tubuh dan lama. Tapi berita baiknya, saya jadi lebih sopan kalau makan, lebih perlahan. Makan pun tak bisa dalam jumlah banyak. Yang paling saya rindukan adalah tertawa terbahak-bahak karena sekarang saya cuma bisa senyum bak Ratu.

UPDATE
8 hari setelah operasi saya baru bisa makan nasi, tapi harus pelan-pelan. 6 sendok nasi selesai dimakan dalam waktu 2 jam saja. Wohoooo…..

Hari ke 9 saya sudah makan KFC, persis seperti perkiraan teman sekantor. Tapi makannya setengah mati dan gorengan bukanlah makanan yang baik untuk tenggorokan saya.

Hari ke 15 setelah operasi saya masih kesulitan menguap, ini cukup menyiksa terutama di pagi hari. Alhasil kalau akan menguap saya menggigit jari.

Hari ke 17 setelah operasi, saya mencoba makan sushi. Bad idea, karena ternyata mulut saya nggak bisa dibuka lebar-lebar.

Satu tahun setelah operasi, saya kena batuk. Gejala awal tenggorokan mengering, sakit pastinya, tapi gak kayak abis operasi. Gelontor air putih nggak sukses, akhirnya minum antibiotik. Tapi emang setelah operasi saya jadi jarang flu dan radang.

Tiga tahun setelah operasi: saya jadi rajin menjauh dari orang yang batuk atau pilek karena takut ketularan. Kalau tenggorokan sudah tak enak, saya tidur, minum yang banyak dan mengkonsumsi vitamin C. Aman!

Untuk kalian yang berada di sini karena sedang mencari tahu bagaimana proses operasi amandel. Jangan takut  ya, operasinya gak sakit kok.

Semoga kalian semua selalu sehat!