Kartu plastik berisikan enam belas digit angka ajaib serta tiga angka yang lebih ajaib lagi merupakan barang biasa di Indonesia. Proses mendapatkan kartu kredit di tanah air boleh dibilang luar biasa mudah dan cepat, walaupun tak secepat proses menggadaikan barang berharga di pegadaian. Kartu kredit juga menjadi senjata ampun bagi para pegawai untuk tetap bisa melampiaskan napsu belanja ketika gaji belum tiba.
Mendapatkan kartu kredit terbilang mudah, cukup dengan mengisi dan menandatangani beberapa lembar formulir dan menyertakan kartu identitas. Slip gaji yang biasanya menjadi acuan untuk menentukan limit kartu juga bukan sesuatu yang benar-benar diperlukan. Bahkan terkadang para marketing kartu kredit mengambil inisiatif untuk menaikkan gaji di aplikasi. Status sebagai pekerja kontrakan pun tak menjadi masalah, karena semuanya bisa diatur. Diatur oleh para aplikan ini sendiri.
Ketika pihak bank menelpon ke kantor, HRD yang bertugas memverifikasi data-data aplikan bisa dengan mudahnya ‘dipalsukan’. Cukup bekerja sama dengan resepsionis kantor untuk mengalihkan telpon pada orang-orang yang sudah ditentukan, maka urusan pun akan lancar. Perlu dicatat, pihak HRD gadungan ini haruslah orang yang memiliki ketenangan dan juga kepercayaan diri untuk bisa menjalankan akting dengan baik. Data-data pun harus sudah dipersiapkan supaya ‘HRD’ tak kagok ketika menerima pertanyaan.
Kerjasama terorganisir ini tak hanya memudahkan fasilitasi akses hutang aplikan tapi juga mempermudah sales kartu kredit mencapai targetnya. Di sebuah halte TransJakarta saya pernah iseng ngobrol dengan seorang sales dan ia mengatakan honor 250.000 baru bisa didapatkan ketika seorang aplikan sudah mengaktifkan kartu kreditnya. Jadi ya jangan heran kalau kita sering dibujuk mengaktifkan kartu.
Memiliki kartu kredit tidak selamanya gratis, ada biaya tahunan yang seringkali diberikan secara gratis hanya pada tahun pertama. Biaya tahunan di tahun selanjutnya jarang sekali gratis. Jika ingin digratiskan seumur hidup, konsumen cukup menelpon pemberi kartu dan mengancam menutup kartunya. Seringkali gertak sambal ini berhasil, tapi ada kalanya tak berhasil.
Kartu kredit memang mempermudah banyak hal, termasuk urusan belanja-belanja online yang jika tak direm bisa keblablasan. Urusan tak bisa mengerem ini sebenarnya cukup berbahaya, apalagi bunga kartu kredit di Indonesia tingginya melebihi gedung-gedung pencakar langit. Bunga yang seringkali disamarkan menjadi sangat rendah, serendah 2 atau bahkan 3 persen per bulan dan membuat orang lupa bahwa bunga harus dikalikan 12 bulan terlebih dahulu. Bunga yang tinggi ini kemudian masih dibungakan lagi ketika terjadi kegagalan pembayaran. Makanya jika melakukan transaksi yang diniatkan untuk dibayar secara cicilan, ada baiknya transaksi tersebut diproses untuk menjadi cicilan, entah enam bulan entah satu tahun. Konon bunga-berbunga ini sudah dihapuskan setelah terjadi kematian nasabah Citibank yang diintimidasi oleh tukang tagihnya, tapi tak membuat suku bunga menjadi lebih rendah.
Tukang tagih atau lazim disebut sebagai debt collector ini memang sangat mengerikan dan entah mengapa selalu datang dari timur Indonesia. Banyaknya tukang tagih dari Timur Indonesia ini seakan mengukuhkan kegalakan orang-orang dari Timur. Sungguh sebuah label yang saya tak sukai. Anyway, di sebuah kantor saya dulu ada tukang tagih menyeramkan datang untuk menagih hutang salah satu pekerja di gedung kami. Singkat cerita, sang tukang tagih hutang tersebut pulang dengan hampa, bahkan tak sempat menunjukkan giginya, karena satpam di kantor kami berasal dari daerah yang sama. Yang berhutang pun aman tak tersentuh.
Kendati ada kasus buruk dengan orang kartu kredit, orang-orang masih saja tak gentar dan ingin punya kartu kredit. Bahkan tak sedikit orang yang memiliki lebih dari lima kartu kredit dan menumpuk hutang-hutang pada kartu kredit tersebut. Beberapa orang yang saya kenal bahkan dengan mudahnya “melarikan diri” dari belitan hutang ini karena identitas yang mereka gunakan palsu. Pada saat yang sama, ada beberapa orang yang mengalami kesialan ketika harus berhadapan dengan melonjaknya tagihan karena data yang bocor.
Kartu kredit menjadi bagian dari gaya hidup orang-orang modern di kota-kota besar di Indonesia. Kartu ini menjadi semacam identitas semu untuk melambangkan bahwa sang empunya bukanlah orang sembarangan dan memiliki penghasilan dalam jumlah fantastis sehingga bisa memiliki kartu-kartu berwarna emas atau berwarna platinum. Nampaknya gaya seperti orang-orang kaya masa lalu yang membawa segepok uang tunai di dalam karung bukanlah gaya hidup yang dianggap stylish lagi. Orang kaya jaman sekarang modalnya cukup kartu plastik bukan uang tunai lagi.
Kamu punya berapa banyak kartu kredit?
Xx,
Tjetje
Mantan HRD gadungan