Suka merhatiin gak kalau media di Indonesia itu suka terobsesi banget nulis firasat setelah ada kejadian kurang baik? Buat saya, berita tentang firasat itu nggak penting sama sekali, karena nggak ada ilmu ataupun pelajaran berharga yang bisa diambil. Buntutnya berita tentang firasat ini hanya akan jadi bahan obrolan ringan dan nggak penting sama sekali. Nah buat yang keburu tertarik baca postingan ini karena judulnya yang sok gosipan, kali ini harus kecewa. Saya kali ini belajar dari orang bijak, kata mereka dalam setiap tragedi kita mesti belajar sesuatu. Nah, marilah kita belajar dari kasus kecelakaan yang menimpa putra Ahmad Dhani barusan ini.
1) Sabuk Pengaman
Saya tidak ingat tahun berapa seat belt mulai digalakkan di negeri ini. Yang saya ingat banyak banget orang-orang yang ngomel karena aturan baru yang mewajibkan penggunaan seat belt untuk dua orang yang duduk di depan (silahkan dikoreksi kalau saya salah). Dengan adanya peraturan ini, mobil-mobil jaman dulu macam suzuki carry pun mulai berhias dan menambahkan seat belt. Walaupun kalau ditengok, seat belt itu dipasang untuk menghindari denda yang mahal, bukan karena alasan keselamatan. Kalaupun ada kecelakaan, seat belt sekedarnya ini nggak akan banyak menolong, malah mungkin mencekik pengemudi.
Saking malasnya pakai sabuk pengaman, para pengemudi taksi biasanya menduduki sabuk pengaman, jadi kalau ada kecelakaan terlempar juga. Beberapa pengemudi juga suka membiarkan notifikasi untuk penggunaan sabuk pengaman berkedip dan bunyi dengan nyaringnya. Buat mereka lebih baik telinga sakit & mati terlempar ketimbang pakai seat belt. Nggak cuma pengemudi, penumpang yang duduk di belakang biasanya juga malas menggunakan sabuk pengaman. Kadang nggak hanya malas dengan makainya, tapi juga malas ditanya “ngapain pakai sabuk pengaman”. Di Irlandia (dan negara lain) mana bisa berlaku seperti itu, begitu masuk mobil ya pasang sabuk pengaman. Disini mungkin orang sudah merasa aman atau mungkin punya asuransi trilyunan rupiah, jadi kalau mati “nggak rugi”. Kualitas keamanan mobil juga bisa dilihat dari sabuk pengamannya lho, tengoklah mobil yang laris bak kacang goreng dan harganya “murah itu”, penumpang di belakang tak disediakan sabuk pengaman. Murah kok minta aman?
Dalam kasus Dul, untungnya Dul menggunakan sabuk pengaman. Nggak hanya itu, dia juga dilindungi oleh airbag. Coba kalau nggak?
2) Pelindung Kepala
Di mobil, head rest merupakan elemen penting untuk melindungi tulang leher kita. Jadi kalau naik mobil nggak usah sok-sokan sombong gak mau pakai headrest dan melepasnya ya. In case ngerem mendadak, kepala tertarik ke belakang, leher bisa patah lho. Sukur kalau langsung mati, asuransi keluar dan nggak perlu ngerasain sakit. Nah kalau harus dirawat di rumah sakit sampai berbulan-bulan, hutang menumpuk, belum lagi harus terapi ini itu? Anyway, beberapa mobil juga tidak menyediakan headrest, apalagi untuk penumpang yang duduk di tengah bagiah belakang. Penumpang belakang-tengah ini nggak cuma beresiko patah leher tapi juga beresiko terlempar jauh ke menembus kaca depan mobil karena tak ada penghalang di depannya.
Pelindung lain yang tak kalah pentingnya adalah helm. Eh bukan berarti harus pakai helm di dalam mobil ya, tapi ini helm untuk pengendara sepeda motor (biar sekalian ngebahasnya). Di Bali, kalau pakai kamen (kain tradisional) dan udeng (ikat kepala) pengemudi motor bebas melenggang tanpa helm lho. Entah ini memang secara hukum dibenarkan atau hanya kebiasaan belaka. Yang jelas, kebiasaan tidak memakai helm tidak semestinya dibiarkan, kecuali kalau bisa beli kepala pengganti ketika pecah. Penyebab orang nggak pakai helm macam-macam, dari karena jarak yang dekat, demi merokok atau karena helm abang ojek yang baunya nggak enak. Saya juga ogah pakai helm abang ojek, tapi harga shampoo rambut jauh lebih murah dari harga kepala, jadi lebih baik pakai helm. Soal jarak dekat malas pakai helm sebaiknya juga tidak jadi justifikasi untuk meninggalkan helm, karena kecelakaan bisa datang kapan saja.
3) Handphone
Manusia yang ngotot bisa melakukan dual tasks dengan mudah itu adalah manusia yang bodoh, apalagi kalau ngotot bisa ngomong ditelepon sambil nyetir, atau bbm-an. Saya pernah melihat film dokumenter yang membahas hal tersebut dan melakukan dua hal itu tidaklah mudah. Mungkin sih, tapi pasti berantakan dan tidak sempurna. Apalagi nyetir mobil dalam kecepatan tinggi sambil konsentrasi jepret foto speedometer demi pasang foto dengan hastag #topspeed #TolJagorawi, ini nggak cool banget dan bodoh banget. Kontroversi tentang dugaan Dul sedang jepret foto nggak usah dibahas lah ya, udah kejadian, mau bener atau nggak, serahkan pada pihak yang berwajib.
4) SIM asli tapi palsu
Ada beberapa hal yang saya sayangkan dari kejadian kecelakaan si Dul. Selainnya sayangnya 6 nyawa itu melayang serta 11 orang luka-luka, saya juga menyayangkan Dul yang nggak punya SIM. Coba kalau dia punya SIM dengan usia 17 tahun, pastinya cerita ini akan menjadi pelajaran yang semakin berharga buat banyak orang & tentunya akan membuat insititusi Polisi berbenah diri. Bukan rahasia lagi kalau anak-anak di bawah umur bisa dapat SIM tanpa KTP. Nggak perlu jadi pejabat untuk dapat SIM ini, cukup siapkan uang ratusan ribu, atau at least sejutaan kalau gak jago nawar. Walaupun saya bukan orangtua, tapi alangkah baiknya kalau orang tua yang sehat jasmani dan rohani hanya memberikan SIM ketika anaknya berusia 17 tahun. Semuanya demi keamanan!
Penutup
Soal siapa yang salah dalam kejadian ini, apakah Ahmad Dhani, Maia atau Dul, bukanlah urusan kita. Hidup mereka dan para korban sudah berat banget, marilah kita nggak menambah beban mereka dengan hujatan yang nggak-nggak, apalagi menghujat kehidupan pribadi (dan ranjangnya). Pada akhirnya bukan firasat yang akan menolong kita mengurangi risiko kecelakaan. Tetapi kesadaran diri untuk mengamankan dirilah yang akan menolong kita. Kalau kemudian semua pengaman sudah dipasang dan masih terkena musibah, ya itu mah nasib. Btw, masalah pengaman nggak cuma di jalan lho, tapi juga di tempat tidur. Kalau penasaran dengan pengamanan di tempat tidur, pantengin #JumatKondom di twitter saya.