Gara-gara tulisan Puji, saya jadi tergerak menulis masalah turis-turis Indonesia ketika berada di Irlandia.
Duitnya Kegedean dan Kebanyakan
Selama bolak-balik liburan ke sini, hingga kemudian bermukim, saya tak pernah melihat mata uang Euro yang lebih besar dari pecahan 50 Euro. Semua traksaksi saya lakukan lewat kartu, karena kebanyakan transaksi di sini sudah cashless. Orang-orang di sini juga pada anti dengan pecahan besar, karena resiko uang palsu. Uang ini biasanya ya diraba-raba dulu, setelah diraba diletakkan di bawah sebuah mesin untuk melihat keasliannya. Nggak cukup, abis itu dicoret-coret dengan bolpen khusus.
Begitu pindah ke sini dan bertemu dengan turis-turis Indonesia, masalah mereka selalu sama. Uang Euro yang mereka bawa selalu dalam pecahan besar. Bahkan ada yang pernah bawa uang terkecil 50 Euro dengan jumlahnya terbatas, jumlah pecahan 100, 200 dan 500 jauh lebih banyak. Gara-gara membwa uang dalam pecahan besar ini, seorang turis yang hendak memborong oleh-oleh (dan sudah menghabiskan waktu keliling, mencari oleh-oleh yang disukai) ditolak belanja karena pecahan 500 Euro.
Sekali waktu, saya pernah berinisiatif membantu dengan memasukkan uang tersebut ke rekening saya, kemudian ditarik lagi dalam pecahan kecil. Dengan metode ini tak ada potongan biaya seperti yang dialami Puji ketika menukar di tempat penukaran uang. Tapi jeleknya, ada keterbatasan jumlah uang yang bisa ditarik, alhasil tiap hari saya harus bolak-balik ambil uang karena melewati limit. Ya gitu deh, orang Indonesia kalau jalan-jalan duitnya muntah-muntah.
Kerepotan Beli Oleh-oleh dan Open PO
Definisi jalan-jalan saya mungkin tak sama dengan kebanyakan orang. Jalan-jalan buat saya ya menikmati pemandangan, duduk-duduk di cafe sambil baca, nulis, menikmati secangkir teh dan people watching. Nah, turis Indonesia kebanyakan sibuk dengan belanja oleh-oleh dan buka orderan online.
Waktu yang dihabiskan untuk duduk dan belanja oleh-oleh ini luar biasa lamanya, satu toko bisa dikelilingi lalu keluar dengan beberapa tas berisikan gantungan kunci, magnet atau oleh-oleh lain yang harganya gak murah. Gantungan kunci seharga 7 Euro untuk rekan satu tim, magnet seharga 10 Euro untuk para anggota grup rumpi, snowball dan coklat.
Oh jangan lupa juga barang-barang bermerek titipan para teman-teman sosialita. Wah kalau soal titipan ini jangan tanya deh betapa pusingnya. Minta tolong nitip baju yang mereknya ada di Indonesia, terus nitipnnya gambar, disuruh cari sendiri. Tradisi ndoro, maunya tau beres. Ada pula yang udah nekat nitip dengan semena-mena dibatalkan, atau minta ganti warna ketika yang membeli sudah meninggalkan tempat belanja. Tapi ada juga turis Indonesia yang rela balik dan rela berburu belajaan demi bukan PO dan untung beberapa ratus, atau juta rupiah.
Soal belanjaan barang bermerek ini, bagi beberapa orang buka PO tas-tas mahal itu menyenangkan. Semakin mahal tas yang dibeli semakin bagus, karena adanya pengembalian pajak. Gak heran juga kalau orang berjuang keras biar modal jalan-jalan bisa balik dari open PO ini. Sampai bandara nangis, karena harus bayar pajak.
Nah kalau sudah kebanyakan belanja gini, akibatnya koper meledak karena kepenuhan belanjaan. Makanya jangan kaget kalau lihat barang bawaan yang dibawa ke kabin bisa banyak banget. Tukang jalan-jalan, eh maaf, penjual yang pinter sih biasanya beli ekstra bagasi, tapi yang gak, alamat bakalan ngemis-ngemis bagasi orang lain di bandara. Apalagi kalau sesama orang Indonesia. #PernahJadiKorban
Kecapekan jalan kaki
Beneran orang Indonesia itu malas jalan kaki? Iya kalau diajakin jalan-jalan keliling kota dan melihat pemandangan biasanya orang Indonesia itu suka teler duluan. Kelelahan karena emang badan gak terbiasa jalan kaki. Di kampung halaman, biasanya mereka punya kendaraan pribadi dan tak pernah jalan kaki kemana-mana. Makanya kalau diajak keliling kota dua sampai tiga jam aja udah pasti teler.
Eits…tapi jangan salah, orang Indonesia ternyata kalau di luar negeri bisa jalan jarak jauh lho. Bukan keliling lihat pemandangan, tapi jalan-jalan keliling pusat perbelanjaan, keliling toko suvenir sampai gempor (dan ini bisa berjam-jam). Bahkan kalau ikut tur, mereka bisa muncul terlambat atau bahkan ditinggal bis karena kelamaan belanja.
Masalah toilet
“Aduh ini gimana, kamar mandinya gak ada airnya? Coba beliin air (biasanya nama merek) botol dong”
“Duh air dalam kemasan mahal, sebotol satu Euro. Lima belas ribu masak buat cebok?”
“Punya baby wipes gak?”
No comment kalau yang ini.
Kesusahan cari nasi dan sambal
Selera nusantara gak bisa bohong, kalau liburan mesti makan nasi dengan rendang, kering tempe, abon dan tentunya SAMBAL. Dan soal lidah ini gak mengenal status ekonomi, dari yang terbang ekonomi sampai terbang naik bisnis, seleranya serupa. Saya bahkan pernah menemukan penumpang yang naik bisnis class, dengan makanan cantik-cantik, lalu mengeluarkan cabe segar untuk menemani makanan cantik itu. Cabe segar saudara-saudara.
Soal nasi sendiri sekarang mudah diatasi, tinggal bawa rice cooker. Persoalan perut ini mudah sih mengatasinnya, tapi resikonya juga besar, kalau ketangkap membawa makanan yang tak diperbolehkan oleh negara tujuan bakalan nangis-nangis di depan TV deh.
Tapi kalau lolos, orang-orang seperti saya bakalan girang, girang karena biasanya menerima limpahan makanan yang tak perlu dibawa kembali. Lumayan, bisa dapat mie instan dengan micin yang sensasional.
Jadi, apalagi masalah turis Indonesia kalau jalan-jalan ke luar negeri?
xx,
Tjetje