Sekilas Tentang Seks Bebas

Beberapa waktu lalu Stephanie dan juga Astrid mempublikasikan tulisan di blog mereka yang berkaitan dengan seks bebas. Stephanie menerima pertanyaan tak sopan dari temannya tentang budaya seks bebas di luar, sementara Astrid mendapatkan pertanyaan tak senonoh tentang hubungannya dengan pasangannya. Benang merah yang saya tangkap dari kedua postingan tersebut ada pada bagaimana persepsi dan keponya sebagian orang Indonesia terhadap seks bebas di dunia barat.

Sebagian orang Indonesia suka sekali mengatakan bahwa bule merupakan penganut seks bebas tanpa mau melihat ke dalam negeri sendiri dan memahami fenomena seks bebas yang juga terjadi di Indonesia. Sebagian orang Indonesia juga suka menganggap bahwa seks adalah pembicaraan yang tabu jika dilakukan oleh orang Indonesia, tetapi hal ini tak menjadi tabu ketika urusannya dengan mereka yang memiliki pasangan bule.

Sebelum bicara lebih lanjut tentang hal ini, mari kita lihat dulu apa sih sebenarnya definisi seks bebas. Dari berbagai definisi yang muncul saya menyimpulkan bahwa seks bebas adalah:  “Kegiatan senggama (coitus) yang dilakukan di luar ikatan perkawinan dan bertentangan dengan norma agama ataupun norma sosial”.

Tak bisa diingkari di negara barat, hubungan seksual di luar perkawinan adalah hubungan yang wajar terjadi, apalagi jika dua orang dewasa sama-sama suka. Tak ada pelanggaran norma disini, karena norma di barat dan di Indonesia jauh berbeda. Tetapi berbeda dengan pemikiran banyak orang Indonesia, ini bukan berarti orang barat itu langsung nyosor dan suka kegatelan jika melihat lawan jenis kemudian langsung grepe-grepe macam kasus di Jerman pada saat tahun baru kemarin. Satu kata kunci yang penting dari hubungan di luar perkawinan ini adalah dua-dua individu sebagai pemilik tubuh sama-sama setuju dan sama-sama cukup usia. Masyarakat barat cenderung tak peduli dengan urusan ranjang orang lain, karena mereka tak ikut memiliki tubuh orang lain apalagi ranjang orang lain. Bagi mereka bukan tugas mereka untuk meluruskan moral orang lain. Apalagi orang lain yang sudah dewasa.

Walaupun begitu, perlu dicatat bahwa tidak semua orang di barat seperti ini. Masih ada komunitas dan kelompok yang mempertahankan keperawanan dan keperjakaan. Biasanya, mereka yang mempertahankan keperawanan dan keperjakan adalah kelompok-kelompok relijius.

Hal ini tentunya berbeda dengan di Indonesia dimana hubungan seks tidak hanya menjadi urusan dua individu yang memiliki alat kelamin, tapi menjadi bahan konsumsi seluruh masyarakat dan juga pemerintah yang ingin ikut ngurusi kelamin yang bukan milik mereka apalagi jika mereka dianggap melanggar norma-norma. Padahal lho ya mereka yang melakukan hubungan seks di luar perkawinan ini biasanya melakukan di balik pintu tertutup, jauh dari pandangan masyarakat. Tapi kegiatan ini kemudian berubah menjadi kegiatan terbuka karena pintu yang terkunci ini didobrak oleh masyarakat.

Seperti saya sebut di atas, bule dan bangsa barat kemudian dianggap sebagai bangsa yang tak bermoral karena melakukan hubungan seks bebas, sementara Indonesia dianggap sebagai bangsa bermoral yang menghindari hubungan seks bebas. Satu hal yang perlu diketahui, orang-orang yang dianggap tak bermoral ini jauh lebih cerdas dalam urusan ranjang karena mereka sudah dibekali dengan informasi mengenai penyakit menular seksual, cara pencegahannya serta tentang kontrasepsi dan pencegahan kehamilan. Jika kemudian anak-anak muda ini memutuskan untuk melakukan hubungan di luar perkawinan setidaknya mereka sudah tahu resiko -resiko yang akan dihadapi.

Lagi-lagi hal ini berbeda dengan di Indonesia, dimana pendidikan seks menjadi hal yang tabu, bertentangan dengan norma dan tak layak diajarkan. Kok pendidikan seks, ngajarin masang kondom seperti foto saya di bawah ini saja dianggap sebagai sebuah hal yang berdosa karena dianggap mempopulerkan hubungan seks di luar perkawinan. Tabunya pendidikan seks ini secara tak langsung berkontribusi pada tingginya penularan penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS yang di Indonesia pertumbuhan tertingginya ada pada pasangan heteroseksual, bukan pada pasangan homoseksual. Nah kalau sudah begini, silahkan tanyakan pada diri sendiri mengapa ibu-ibu rumah tangga banyak yang terkena HIV/AIDS di Indonesia. Karena bapak-bapak yang suka jajan ke Mangga Dua, Kalijodo, Alexis dan aneka surga dunia lainnya itu tak pernah tahu cara masang kondom yang benar dan tak punya kesadaran untuk mengenakan kondom. Bahkan mungkin mereka tak tahu resiko yang mereka hadapi ketika jajan. Mungkin juga mereka memasrahkan diri, kalau waktunya kena STI (sexually transmitted disease) ya waktunya. 

Di negeri barat, perempuan-perempuan yang memutuskan untuk melakukan hubungan seks tidak kemudian dianggap sebagai perempuan murahan karena sudah tak perawan lagi. Jauh berbeda dengan perempuan-perempuan di Indonesia yang langsung dicap murahan karena pernah melakukan hubungan seks di luar perkawinan. Sebaliknya, sang pria tak pernah dicap murahan, malah mereka dianggap sukses merenggut keperawanan anak orang. Konon di Indonesia perempuan dianggap lebih berharga ketimbang pria, sehingga perempuan harus bisa menghargai dirinya dengan mempertahankan keperawanannya. Tidakkah ini kemudian sebuah diskriminasi kepada pria-pria karena mereka dianggap tak lebih berharga ketimbang perempuan sehingga mereka bisa mengumbar keperjakaannya?

Bicara tentang hal ini ini saya jadi teringat pada seorang mbak-mbak gaul di Malang yang baru bercinta dengan pacarnya yang juga anak gaul Malang. Keesokan harinya, sang pria yang merasa jawara karena sudah berhasil menggauli perempuan ini bertutur kemana-mana menceritakan kehebatannya di atas ranjang dan detail panasnya percintaan mereka di atas ranjang. Sementara sang perempuan lebih tertutup untuk urusan percintaan. Ya konstruksi sosial kita memang membolehkan pria kehilangan keperjakaannya, malah sering dianggap hebat karena bisa menaklukkan anak gadis.

Pemahaman sebagian orang Indonesia tentang seks bebas di luar negeri seringkali salah. Sebagian dari mereka beranggapan bahwa di negeri barat itu, berhubungan seks bisa dilakukan semudah para aktor dan aktris di televisi mendapatkan pasangan untuk tidur bersama seperti di film-film seri yang ditayangkan di TV. Pria-pria Indonesia yang haus dengan seks kemudian juga sering menggoogle bagaimana caranya mendapatkan pasangan perempuan bule supaya mereka bisa dapat seks dengan mudahnya. Di blog saya ini pria-pria bule hunter makin banyak dan kata kuncinya selalu nyerempet ke urusan ranjang. Terlihat sekali kalau ada kelompok-kelompok kecil yang berambisi menjadi seperti Barney di How I Met Your Mother yang maunya meniduri perempuan untuk kesenangan belaka. Padahal, gak semua orang di barat seperti Barney dan tentunya tak semudah itu meniduri perempuan. Salah menangkap sinyal dari perempuan bisa berakhir di penjara karena percobaan pemerkosaan.

Pada akhirnya, sebelum kita menghujat moral bangsa barat karena keputusan sebagian dari mereka untuk melakukan hubungan seks sebelum perkawinan, ada baiknya kita melihat ke dalam negeri dahulu. Melihat pergeseran nilai di masyarakat kita dimana banyak anak-anak muda tak perjaka dan tak perawan lagi. Seks bebas bukan ekslusif punya orang asing saja, tapi juga menjadi fenomena gunung es di Indonesia. Fenomena yang tabu dibicarakan dan didiskusikan. Tanyakan pada diri sendiri, solusi apa yang bisa ditawarkan pada mereka? Yang jelas, melarang penjualan kondom seperti yang dilakukan Satpol PP di Makasar pada saat Valentine lalu tak akan menyelesaikan masalah, karena seks tanpa kondom jauh lebih beresiko.

Pernah ngobrol dengan remaja jaman sekarang tentang seks bebas?

Xx,
Tjetje