Suka Duka Bertubuh Pendek

Saya mendeskripsikan tinggi tubuh saya sebagai “imut-imut” karena hanya berkisar di angka 1,5 meter saja. Dengan ketinggian (atau lebih tepatnya “kependekan”) tersebut saya tak pernah mengalami kesusahan ataupun berkeluh kesah.

Paling-paling saya sedikit tak nyaman, hanya tak nyaman, ketika berada di kolam renang yang kedalaman terpendeknya 1,5 meter. Di dalam kolam seperti itu saya harus berjinjit dan tak bisa nongkrong cantik sambil ngobrol. Ya tapi fungsi kolam renang kan untuk berolahraga, bukan nongkrong. #NyindirOrangJakartaYangLiburanKeBali

Selain urusan kolam renang, saya juga sedikit kurang nyaman dengan meja kerja yang tak bisa disesuaikan. Meja kerja saya di Jakarta memang tak secanggih meja kerja saya sekarang, bisa naik turun sesuai tinggi badan dan sesuai kemauan, mau duduk atau berdiri. Untuk mengakali meja yang tak sesuai dengan tubuh, sekardus kertas saya letakkan di bawah meja sebagai ganjalan supaya kaki bisa diselonjorkan. Aman, bisa kerja sambil selonjoran.

Di Irlandia, saya merasakan betapa susahnya menjadi orang yang tak terlalu tinggi. Padahal orang-orang di negeri ini tak setinggi orang Belanda atau orang Jerman. Tantangan pertama dihadapi di dapur sendiri. Lemari-lemari di dapur didesain untuk orang yang setidaknya memiliki tinggi tubuh 160 atau 165 cm. Akibatnya jika ingin mengambil barang di lemari yang lebih tinggi, saya harus naik ke kursi kecil  yang sengaja disediakan khusus untuk naik-naik. Bagi kalian yang tinggi, urusan naik turun ini mungkin remeh, tapi bagi saya sedikit mengesalkan. Mau ambil piring di ujung kiri harus jalan dulu ke ujung dapur yang lain untuk ambil dingklik. Padahal dapur disini itu mungil, masih juga ngomel. Eh tapi saya juga merasa beruntung lho, beruntung karena toilet di rumah sesuai dengan tubuh, tak seperti di rumah mama mertua yang agak tinggi. Dengan toilet yang tak terlalu tinggi ini, kaki saya tak perlu menggantung.

Mau ngetuk gak sampai deh

Ketidaknyamanan karena lokasi yang tinggi ini juga sering saya alami di beberapa supermarket atau toko baju. Dalam kondisi seperti itu saya bisa dipastikan loncat-loncat seperti bajing karena seringkali tak ada orang yang bisa dimintai tolong. Tapi tak setiap saat saya “sengsara”. Di Supermaket, susu yang diletakkan di rak tinggi biasanya diletakkan di atas rangka plastik. Jika susu yang di bagian depan habis, rangka ini bisa ditarik dan susu yang ada di bagian belakang otomatis akan maju ke depan. Penemuan sederhana tapi sangat berguna untuk orang seperti saya.

Selain harus loncat untuk ambil baju, saya juga harus memotong pakaian, terutama celana. Di Indonesia, potong celana atau lengan baju hanya 20-30 ribu saja, bahkan kadang hanya 5000 rupiah. Disini, jasa memotong celana itu lebih mahal ketimbang harga celana nya sendiri, bisa 25 – 30€. Mungkin ini bisa jadi alasan untuk beli celana yang lebih mahal dari ongkos potong, atau beralih ke rok saja.

Angkutan umum juga menjadi “mimpi buruk”. Luas (tram di Irlandia) dan bis yang menjadi andalan transportasi saya, didesain untuk orang-orang yang lebih tinggi dari 1.5 meter. Otomatis setiap pagi dan sore, kaki terpaksa menggantung. Rasanya tak nyaman sekali. Kadang jika angkutan umum sepi (yang mana ini jarang terjadi), saya  menaikkan kaki ke kursi. Buka sepatu dulu tentunya karena tak enak menaikkan kaki dengan sepatu. Pesawat udara juga tak nyaman bagi saya, kecuali ketika saya terbang di kelas bisnis yang disediakan ganjalan kaki. Berhubung #BukanSyahrini, frekuensi naik kelas ekonomi tentunya jauh lebih tinggi dari kelas binis.  Akibatnya, perjalanan dekat, ataupun jauh, apalagi kalau mudik yang seringkali hingga 24 jam, bisa dipastikan membuat kaki saya cenut-cenut karena kaki terlalu lama “digantung”. Biasanya, ketidaknyamanan ini saya “akali” dengan meletakkan tas di lantai untuk ganjalan kaki. Sebagus apapun tas saya, sudah bisa dipastikan pernah menjadi ganjalan kaki. Serba salah ya, bertubuh pendek kaki digantung, bertubuh tinggi kaki terbentur kursi di depannya.

Tempat bagasi yang tinggi. Menyiksa, menyiksa.


Nah Baru-baru ini ketika ke Virginia (Virginia di Irlandia, bukan di USA), saya mengalami pengalaman lucu yang sedikit menggemaskan. Bis tingkat ini ternyata bagasinya berada di bagian tengah bus. Saya bisa dengan mudah memasukkan koper ke dalamnya, cukup angkat koper hingga setinggi kepala, persis seperti perempuan Bali, lalu didorong. Masalahnya muncul ketika harus mengeluarkan koper, karena biar jinjit sekalipun tangan saya tak sepanjang jangkauan para pramugari. Eh ternyata saya tak sendiri, seorang ibu yang lebih tinggi dari saya pun tak bisa mengeluarkan kopernya hingga harus minta bantuan pengemudi. Ah ini pasti yang mendesain bis tingginya dua meter, kalau ngedesain gak mikirin orang-orang seperti saya.

Bagaimana dengan kalian, sering menghadapi tantangan karena tinggi badan?

Xx,
Tjetje

Advertisement