Saya mendefiniskan tukang palak sebagai orang-orang yang mengambil penghasilan, keuntungan atau bahkan kekayaak orang lain demi kepentingan pribadi dengan cara mengintimidasi dan model premanisme. Di Indonesia sendiri tukang palak banyak macamnya dan tersebar dimana-mana, dengan pola pemalakan yang serupa.
Tukang malakin temen
Sebelum membahas ke tukang palak professional, yang menggantungkan hidupnya dari kegiatan palak-memalak, ada tukang palak yang sebenarnya tersebar dalam jaringan pertemanan kita. Mereka ini biasanya yang nomor satu r, yang selalu menjadi kompor atau memprovokasi orang lain untuk minta traktir saat ada teman yang berulang tahun, naik gaji, mendapatkan promosi atau momen-momen lainnya. Bagi tukang palak yang model begini: urusan perut nomor satu. Tak hanya ditemukan di kantor, mereka juga ada di dalam keluarga, apalagi jika ada anggota keluarga yang berlebih.
Kuli Angkut Barang
Pernah menengok cara kerja kuli angkut barang, terutama di terminal-terminal atau di bandara? Biasanya mereka tak segan-segan untuk langsung mengerubuti bagasi taksi atau kendaraan dan memaksa mengangkut barang-barang tersebut tanpa permisi. Orang-orang yang galak macam saya sih biasanya langsung pasang muka kenceng dan menolak, tapi banyak sekali orang-orang yang sering pasrah dan polos.
Di bandara Soekarno-Hatta sendiri mereka bisa ditemukan di dekat parkiran dimana para pejalan yang baru kembali dari perjalanan menanti kendaraan pribadi yang menjemputnya. Tanpa aba-aba mereka mengangkut koper dan kardus ke dalam bagasi kendaraan.
Kedua tipe pekerjaan ini punya satu kesamaan: tak jelas tarifnya dan seringkali berakhir pada ‘perkelahian halus’ karena uang yang diberikan tak cukup atau tak sesuai. Sesuai dengan kemauan hati. Bandara Soekarno-Hatta sendiri sudah menerapkan tarif 50.000 untuk maksimal 3 trolley per kuli. Jadi jangan mau tertipu (seperti saya ya).
Tukang Parkir Liar
Bisnis perparkiran adalah bisnis yang menggiurkan, karena hanya bermodalkan tangan, peluit, suara yang kencang, kemampuan berlari serta ketahanan terhadap perubahan cuaca. Di satu sisi, tukang parkir membantu kelancaran dan kemudahan memarkir kendaraan. Idealnya tukang parkir ini memberikan tiket yang dikeluarkan oleh pemerintah kota atau kabupaten untuk setiap kendaraan yang terparkir. Tarif yang dikenakan pun harus sesuai dengan tarif yang dibuat pemerintah.
Tapi kenyataannya, tukang parkir tak hanya menghindari memberikan tiket, tapi juga memberikan harga yang mencekik leher. Terutama di area-area wisata pada musim liburan. Pertengkaran mulut seringkali terjadi karena tarif yang tak sesuai, tapi kebanyakan pengemudi kendaraan mejadi takut, karena takut kendaraannya dibaret. Ngotot minta karcis parkir pun juga sering berakhir dengan kekecewaan, karena tiket parkir yang diberikan palsu. Ah orang kecil pun berkorupsi kan.
Jasa makelar
Dalam hukum kebiasaan, makelar memang berhak mendapatkan 2,5% dari setiap transaksi yang terjadi, baik urusan pertanahan maupun urusan jual beli rumah. Tapi menurut saya, harus ada kesepakatan terlebih dulu siapa yang menjadi makelar dalam sebuah transaksi. Nggak yang ujug-ujug tiba-tiba merasa bisa mengklaim uang orang lain dan main intimidasi dalam mengklaimnya. Ah tapi begitulah repotnya urusan kebiasaan ini.
Pak Ogah
Pak Ogah adalah orang-orang yang berdiri di pertigaan atau perempatan sempit dan padat untuk membantu mengatur lalu lintas, supaya tidak terjadi kemacetan. Jasa Pak Ogah ini tak gratis, jika dulu pak Ogah diberi cepek (Seratus), jaman sekarang Pak Ogah ya bakalan ngamuk jika hanya diberi cepek. Masalahnya, Keberadaan Pak Ogah ini bisa membantu tapi di banyak kesempatan justru merepotkan dan membuat kemacetan bertambah parah. Yang makin mengesalkan jika pak Ogah ini bekerja rame-rame dan segera memberikan jalan jika ada kendaraan yang memberikan uang dalam jumlah besar. Di Jakarta, uang memang berbicara dengan keras.
Meter Angkot
Bagi saya, ini jawaranya tukang palak di Indonesia. Tukang meter angkutan, alias tukang malakin supir-supir angkut dan juga taksi yang mengangkut penumpang di sebuah daerah. Pendek kata si meter angkot ini adalah penguasa daerah tersebut dan merasa berhak mendapatkan uang dari penghasilan orang lain. Masalahnya, dari semua tukang palak di atas, tukang meter angkot ini tak punya kontribusi apa-apa. Tak memindahkan barang, tak membantu memarkir, tak membantu menghentikan kendaraan. Hanya diam tertegun dan sesekali berteriak. Kalau dipikir-pikir, meter angkot ini mirip dengan tukang malakin temen. Engga bisa lihat orang lain berhasil baik dan menghasilkan, bawaannya pengen minta aja.
Parahnya, mereka bisa ditemukan di mana saja di Indonesia, dari kota besar hingga kota kecil, apalagi jika kendaraan tersebut ngetem, alias berhenti selama beberapa waktu. Di Jakarta sendiri, taksi-taksi yang mengangkut penumpang di samping Sarinah juga sering dipalakin. Yang kasihan, jika penumpang tersebut ternyata hanya ke tujuan jarak dekat. Untungnya habis, atau bahkan minus untuk memberi si tukang palak.
Maraknya tukang palak di Indonesia, baik di jalanan atau bahkan di pasar (sengaja gak dibahas karena di pasar terlalu banyak pemalakan) adalah bukti kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja. Pemalakan dan premanisme yang dianggap sebagai sebuah kewajaran dan tak pernah diprotes ini tentunya tak akan pernah mati selama kita terus-menerus membiarkannya. Kalaupun diprotes, mungkin hanya sekedar bergerutu seperti saya ini, sambil kemudian mendinginkan kepala dan beralasan: “ah bantuin orang miskin, ngamal”. Gerutuan yang tentunya tak akan merubah keadaan.
Pernah ngalamin dipalak?
Xx,
Tjetje
Tukang menggerutu
*ngamal (bahasa Jawa) = beramal