Seorang teman bercerita bahwa dulu di Inggris terdapat insitusi keuangan yang mendatangi orang-orang yang sudah tua untuk membeli rumah mereka dengan sistem pembayaran sejumlah besar uang setiap tahunnya hingga kematian orang tersebut. Pada saat orang tersebut meninggal, hak atas rumah tersebut akan jatuh pada perusahaan yang membeli rumah tersebut. Sebuah perusahaan kemudian “sial” karena membeli rumah dari seorang nenek berusia 76 tahun yang usianya mencapai 106 tahun. Saking panjangnya hidup sang nenek, petugas sales yang membeli rumah tersebut meninggal sebelum sang nenek meninggal.
Perdagangan semacam ini konon sudah tak diperkenankan lagi di Inggris, karena banyaknya kasus yang berakhir di pengadilan. Anak-anak yang merasa punya hak waris banyak yang tak mengetahui rumah orang tuanya sudah dijual dan mereka, merasa punya hak atas rumah tersebut, sehingga menuntut. Terlebih lagi, mereka merasa orang tua mereka ditipu, karena mereka dalam keadaan rentan dan sendiri.
Perbincangan kami kemudian berlanjut pada masalah warisan, sebuah isu yang sangat sensitif di banyak tempat. Sama seperti di Indonesia, disini ada saja anak-anak yang memiliki rasa kepemilikan yang besar terhadap harta kekayaan orangtuanya. Perebutan harta dalam keluarga yang seringkali berakhir di pengadilan, biasanya terjadi antara anak yang belum kawin (dan masih tinggal dengan orang tua) dengan anak yang sudah kawin. Orangtua sering meninggalkan harta untuk si lajang, sementara yang kawin merasa tak terima dengan keputusan itu. Sudah ada surat waris sekalipun masih ada ribut-ribut soal warisan ini dan seringkali hubungan persaudaraan menjadi rusak. Dalam beberapa kasus yang kami diskusikan bahkan ada salah satu anggota keluarga yang merelakan membagi-bagi harta warisannya, sekalipun ia adalah ahli waris sah sesuai surat waris, karena ia menghindari perkelahian di pengadilan (yang bakalan mahal).
Menariknya, tak semua orang berpikiran seperti itu, saya masih banyak bertemu dengan anak-anak yang mengatakan bahwa orang tua itu tak perlu memberikan apa-apa kepada anaknya. Masing-masing individulah yang harus berjuang untuk bisa melanjutkan hidup. Modal pendidikan sendiri disini disedikan oleh pemerintah, dari mulai yang formal hingga kursus-kursus bagi mereka yang bergantung pada jaminan sosial.
Di Indonesia sendiri, “cakar-cakaran” banyak terjadi karena yang satu merasa memiliki hak yang lebih besar. Ada pula kasus dimana saudara laki-laki merasa punya hak atas kekayaan saudara prianya, sehingga sang paman harus berebut harta dengan keponakan-keponakan perempuannya. Tapi dari semua urusan perebutan ini, yang “paling seru” tentunya perebutan harta antara istri pertama dengan istri kedua. Istri pertama yang selama hidup merana karena sang suami membagi cintanya, biasanya memiliki posisi lebih kuat secara hukum, sementara istri kedua dan anak-anaknya seringkali kalah, karena lemah di mata hukum. Makanya jangan heran jika banyak istri kedua yang harus memastikan masa depannya terjamin, karena posisi mereka yang lemah. Seringkali mereka dituduh memeras pasangannya, padahal mereka hanya ingin memastikan keamanan keuangan anak-anaknya.
Ada pula kasus dimana semua pihak tak setuju terhadap apa yang akan dilakukan terhadap harta warisan. Yang satu ingin dijual, sementara yang satu masih menyimpan banyak kenangan dan tak mau menjual. Mencapai kesepakatan seperti ini tentunya tak mudah dan memerlukan kesabaran luar biasa. Kalau tidak sabar, bisa-bisa salah satu pihak berakhir di pemakaman, sementara pihak lainnya berakhir di hotel prodeo. Kemudian cerita perseteruan ini menghiasi koran-koran murah yang beredar di lampu merah. Herannya, tak ada parang, pistol ataupun santet-menyantet jika warisan yang ditinggalkan adalah warisan hutang.
Menariknya, jika di Indonesia warisan tidak dikenakan pajak khusus di Irlandia warisan dikenakan pajak. Ada pengeculian tentunya, untuk mereka yang mendapat warisan dari pasangannya yang meninggal dunia (disinilah posisi perkawinan setara menjadi penting). Pajak yang dikenakan pada harta warisan ini jumlahnya “kecil”, 33% saja saudara-saudara. Konon memang jauh lebih kecil daripada di negara lain, saking kecilnya ada orang Amerika yang melepaskan kewarganegaraannya dan menjadi orang Irlandia. Persentase tersebut memang terlihat kecil, tapi begitu dapat warisan rumah senilai 100 juta Euro, pusing aja nyiapin pajaknya yang gak karu-karuan gedenya. Alhasil, rumah-rumah hasil warisan ini seringkali terpaksa dijual untuk membayar pajaknya.
Saya melihat warisan sebagai sebuah pemberian, nah karena sistemnya pemberian maka tak selayaknya jika warisan dikejar-kejar, apalagi kalau ngejarnya bawa senjata tajam. Apalagi sampai memaksa orang tua menjual asetnya supaya anaknya bisa segera mendapatkan porsi yang dimaui. Lha yang kerja keras orang tuanya kok anaknya yang repot minta-minta.
Pernah dengar cerita keluarga yang berkelahi karena warisan?
Xx,
Tjetje