Salam dari Irlandia!
Setelah melalui berbagai rupa drama, akhirnya saya nyampai juga di kampung mas G, di Dublin. Kemarin, waktu pamitan sama teman-teman kantor kalau saya mau pergi, ada yang berkata: “Nggak pakai hilang lagi dan nggak pakai drama ya. Drama Queen!”. Niatnya sih nggak ada drama dalam perjalanan ini dan syukurnya juga gak ada drama TKI yang bikin sedih. Tapi niat tinggal niat, perjalanan ini tetep diwarnai drama.
Alkisah taksi pesanan saya belum juga tiba hingga puku 08.20 PM. Pengemudi mengaku masih di daerah Semanggi dan 10 menit lagi akan tiba, tapi GPS tak bohong, si mobil nggak bergerak juga, pasti kena macet. Jadinya saya melambai dan langsung dapat taksi kurang dari dua menit. Anyway, saya pikir cuma Indonesia aja yang canggih, pakai applikasi buat pesen taksi. Di Irlandia ternyata lebih canggih . Pesen taksi dengan nyalain GPS, nanti orangnya cari lokasi kita berdasar GPS itu.
Kemacetan Jakarta sebelum Imlek kemaren agak menjijikkan. Butuh 30 menit untuk keluar dari dari kost saya untuk keluar ke jalan besar Gatot Subroto. Padahal kalau jalan kaki cuma lima menit saja. Pengemudi taksi, Pak Tujoko, ini nggak sabaran banget. Pas di depan balai kartini, taksi sudah berada di lanjur nomer dua untuk putar balik, tiba-tiba supir taksi ambil lajur nomor tiga. Saya pun teriak dan langsung ngomel. Dan ternyata benar, dari lajur tiga gak bisa pindah ke lajur dua, karena ditutup oleh cone orange. Cone orange ini menutupi garis putih lurus, alias gak boleh nyalip. Jadilah kami berada jembatan menuju arah Cawang. Rasanya udah mau nangis dan pengen cekek ini supir Blue Bird karena nggak sabar.
Saya akhirnya memutuskan untuk merayu dua orang polisi, Pak Herman dan Pak R. Anton supaya mau bukain. Yang satu, Pak Herman, galak banget gak mau bukain dan ngomelin si supir. Tapi saya kekeuh minta dibukain karena waktunya udah mepet banget. Jangan dicontohlah ini, karena ini contoh melanggar aturan. Si Pak Herman bilang, penumpangnya turun aja naik taksi lain lagi. Kalau cuma bawa body mungkin opsi ini saya lakukan, lha tapi saya bawa dua koper, yang satu 27 kilo, yang satu lagi 7 kilo. Gimana ngangkatnya kan nggak ada porter? Akhirnya, dengan muka mengiba-ngiba hampir nangis, saya rayu habis-habisan itu polisi. Minta-minta tolong, karena sudah telat. Rayuan maut saya berhasil, Pak R. Anton membukakan cone orange (melanggar aturan sih) dan kami pun lolos; walaupun pengemudi diomelin habis-habisan oleh pak Polisi. Sudah dalam kondisi begitu, si Pengemudi mau ngasih pak Polisi ceban? Aduh, sudah nyuruh polisi ngelanggar aturan kok mau nyogok pula!! Herannya ini pengemudi juga gak minta maaf sama saya karena melanggar aturan.
Saya sampai bandara tepat waktu, pas masuk ruang tunggu langsung boarding. Huah…syukurlah. Btw, ini bukan pengalaman pertama saya deg-degan ke bandara, saya sudah sering melakukan hal serupa dan herannya gak juga belajar. Dulu pas di Aceh saya pernah jadi penumpang terakhir yang masuk pesawat, ditunggu satu pesawat, dan saya duduk di belakang. Telatnya gara-gara saya asik makan ayam tangkap dan asam udang. Hmmm…..
Pelajaran berharganya:
- Polisi di Indonesia ternyata belum disiplin dalam menegakkan aturan. Dikasih wajah memelas mau nangis aja saya diloloskan melanggar aturan. Saya cuma modal muka mau nangis aja doi sudah mau melanggarkan aturan, kalau modal uang segepok bagaimana?
- Dari dulu Jakarta itu selalu macet, jadi kalau mau jalan ke bandara itu sebaiknya beberapa jam sebelumnya. Mending bengong di bandara daripada bengong di dalam taksi tapi mules.
Siapa yang pernah terjebak macet Jakarta dan ketinggalan pesawat?
Ya jadi nanti diingat kalau pas di Eropa wajah memelas dan uang 50 ribu ( 3 euro? haha) mungkin nggak akan berhasil melegalkan pelanggaran peraturan. Indonesia ftw.
Aku pernah ketinggalan pesawat di Fukuoka. Untungnya bisa reschedule sih, tapi! Tapi cuma Fukuoka Hongkong yang ada 3 jam kemudian, Hong Kong – Jakarta baru ada 3 hari kemudian. Full semua. Terus beli sendiri deh Hongkong-Singapura-Jakarta. Huhuhu.
hihih emang cuma di Indonesia yang bisa “damai” dan menyelesaikan segala sesuatu dengan kekeluargaan.
Waduh, itu jadinya rugi bandar dong gara-gara ketinggalan pesawat.
Thank God blm pernah:)
Welcome in the winter wonderland btw
thank you mbak. Irlandianya hujan terus!
huaa udah di Irlandia 🙂 have fun ya darling.
Aku termasuk orang yang paling takut ketinggalan pesawat jadi pasti 4 jam sebelum berangkat udah pergi dari rumah haha
thank you Non!
aku paling parno sama yg namanya ketinggalan pesawat jd selalu awal bgt berangkat dari rumah atau hotel. tp pernah kejadian pas di Antalya di Turki, keasikan liat2 eh gatau nya kita penumpang terakhir yg udah di halo haloin hihi..maapphh! Tp kalo kemaren pak polisi nya se-streng di Eropa sini yg rugi kamu yaa hehehe :p
iya kalau polisinya sekejam Eropa mah udah nangis aja aku di pinggiran jalan. Kalau gak polisinya aku suruh bantu angkat koper, cari taksi lain.
Saking takutnya telat kalo terbang dari CGK biasanya berangkat 5 jam sebelumnya kalo penerbangan siang hari. Kalo penerbangan lokal subuh 3 jam sebelumnya. Aku takut ketinggalan dan pengalaman kalo check in lebih dulu ground staffnya masih ramah 😉 Berapa lama di Irlandia Tje? Have fun ya!
Busyet, well prepared banget sampai 5 jam seblum terbang berangkat.
Aku disini cuma dua minggu mbak. will definitely having fun, thank you!
Whoaaa udah nyampe ya, slmt bersenang2 dsana…
Pernah sekali nyaris ketinggalan pesawat di HK setelah episode Viva Macau Airlines yang tiba2 bangkrut n semua penerbangan dibatalkan. Lari2 dari fery buat cari taksi ke airport, lari2 lagi di airport HK dan jadi orang terakhir di antrian boarding. Drama bgt!
seru nih kalau ada yang bikin dokumenter orang2 yang ketinggalan pesawat.
ahh drama bangett Mba, tapi sekarang have fun dulu ajaaa 😀 Selamat liburan Mba 🙂
thank you!
CGK emang deh. Makanya nggak pernah demen masuk / terbang dari sono, biasa klo pulkam langsung SUB, berangkat nanti juga dari SUB. Klo ke Jakarta, naik lokal aja, kalo setidak2nya ketinggalan pesawat (ketok meja), juga masi hmampu beli tiket lagi >_>
hahaha ketok meja ^_^
Pingback: Pesawat Gagal Terbang | Ailtje Ni Dhiomasaigh