Semalam di Palu membuat saya belajar banyak hal dari kota yang terkenal dengan kayu besi dan bawang gorengnya ini. Yang paling utama, saya belajar sabar karena semua hal di kota ini lambat banget. Kelambatan pertama terjadi ketika Hotel tempat kami menginap sukses jemput setelah kami check in di hotel. Untungnya, saya gak jadi panggil manager, karena diingatkan kalau kami lagi di Palu, bukan Genewa.
Nggak cuma hotel yang menguji kesabaran, tapi taksi di Palu juga cukup menguji saya karena laju kendaraan yang maksimal 40 km per jam. Rasanya udah pengen injek gas aja, padahal saya gak bisa nyetir. Tapi kemudian saya jadi berpikir, apakah kerja di Jakarta bikin saya pengen selalu cepet-cepet dan gak bisa menikmati kelambanan?
Masih soal taksi, taksi di Palu bisa dipesan lewat telepon genggam dan jika taksi yang kita order tak muncul, pengemudi akan mencarikan pengemudi lainnya. House music dengan volume keras nampaknya menjadi favorit dari para pengemudi taksi, sambutan tak hanya music tapi juga hiasan aneh-aneh di dalam taksi. Salah satu taksi yang kami tumpangi dipenuhi dengan lampu yang bikin taksi kelihatan seperti tempat disko ketimbang taksi. Taksi lainnya berhiaskan karpet bulu-bulu warna putih di dashboardnya. Tak lupa sebagai pemanis, ditambahkan miniatur kapal pinisi dari kayu besi. Soal argo jangan tanya deh, kuda banget.
Kelambanan juga terasa di dalam toko oleh-oleh bawang goreng. Pegawai toko ada dua, tapi ketika satu pegawai bekerja, pekerja satunya sibuk menonton rekannya bekerja. Padahal di saat yang sama dia bisa membungkus belanjaan kami atau menghitung belanjaan orang lain. Mesin EDC mandiri juga saya perhatikan ada dimana-mana, termasuk di toko oleh-oleh tersebut, tapi mbak pegawainya takut make itu mesin. Jadi pas giliran bayar, mereka cuma pandang-pandangan penuh ketakutan. Saya pun berinisiatif menawarkan diri menggesekkan kartu, padahal sumpah seumur hidup saya belum pernah pakai mesin EDC. Saya pun nekat gesek kartu sendiri, ngeluarin slip sampai tiga lembar dan mengatur mana lembar yang untuk toko dan mana yang untuk kami simpan. Setelah memproses itu semua saya jadi berpikir, gimana kalau yang datang gak jujur dan memasukkan angka yang lebih rendah?
Menariknya, pria-pria yang saya temui disini, dari pengemudi taksi, hingga pegawai hotel semuanya pernah merantau ke berbagai sudut Indonesia. Resepsionis hotel bahkan pernah tinggal di Jayapura, sekolah di Kebayoran Lama dan bisa berbahasa Arab. Beruntungnya, kami jadi dapat kursus kilat tentang Jayapura. Cerita tentang Jayapura akan saya susulkan dalam postingan selanjutnya.
Makan apa di Palu?
Hasil google merekomendasikan RM. Putri Heni Kaili. RM yang pertama berada di pinggir laut ini lagi-lagi full music super kencang (d’oh!). Menu yang disajikan aneka rupa seafood serta makanan Kaili. Pas nanya apakah ada seafood, si Mbak menjawab tak ada. Begitu tanya ada ikan, cumi langsung dijawab ada. Nampaknya si Mbak tak tak tahu kalau seafood itu termasuk ikan dan cumi. Sayangnya hari itu ikan-ikan yang disajikan tak terlalu segar, mata para ikan sedang sendu seperti diputuskan pacarnya.
Perlu dicatat porsi makanan di RM ini besar-besar, nasi setengah porsi hampir sama lebih banyak dari satu porsi nasi di Jakarta. Kelapa mudanya pun tak kalah jumbo, tak heran kalau kemudian diberi judul kelapa romantis, karena memang bisa dihabiskan berdua. Soal harga tak terlalu mahal untuk ukuran kantong Jakarta. Karena saya tak makan hewan berkaki empat (kecuali babi), saya tak mencoba Kaledo (Kaki Lembu Donggala) yang merupakan makanan khas Palu.
Tempat makan kedua yang saya jajal adalah warung makan yang menyajikan makanan khas Kaili. Kaili ini adalah suku bangsa yang mendiami Sulawesi Tengah. Perlu dicatat kalau di Sulteng ada juga orang Bugis, Gorontalo, Pamona (kata wikipedia ini orang Poso) dan Mori.
Kembali ke makanan orang Kaili, makanan yang direkomendasikan adalah daun kelor yang dimasak dengan pisang, singkong dan santan encer. Perpaduan ini jadi seperti kolak minus gula ditaburi sayur-sayuran kecil. Konon yang punya susuk tak dianjurkan makan sayur ini, karena kelor melunturkan susuk. Jangankan makan, nyenggol daun ini aja nggak diperkenankan.
Untuk teman sayur, saya memilih nasi jagung, mangga muda yang dibumbui kacang, serta ikan garam (ikan asin) bermandikan sambal, juga ikan kecil-kecil yang saya tak tahu namanya. Perlu dicatat bahwa makanan di warung ini dimasak dengan kayu, tak heran rasanya enak. Oh ya, warung sederhana ini mempekerjakan seorang transjender. Kuddos for that!
Satu hal dari Palu yang mengusik saya adalah reklamasi yang terjadi di teluk Palu. Mungkin itu sebabnya jika siang lautan yang saya pandang dari jendela kamar hotel warnanya coklat semua. Duh, tidakkah mereka tahu bahwa reklamasi menghancurkan biota laut dan pendapatan para nelayan?
Mangga muda yang dibumbui kacang??? wuih sepertinya enak 🙂 .
Enak, seger tapi ga terlalu berat kayak pecel.
Oh iyaa…bukan malah seperti rujak ya mbak? Kalau pecel kan sayur yang jadi komponennya.
Kacangnya nggak begitu pekat, jadi masih kesisa segarnya.
Thanks for sharing your knowledge about semalam di palu
thanks
Hihihi, kelambanan ini gue rasain pas gue ke Indo karena terbiasa sama servis cepet di eropa kali ya. Mana lah suami gue komentar terus ke gue ttg para pegawai yg lelet (bukan protes tp lebih ke ide – ide dan saran – saran gitu hahaha) Wah brarti gue ga boleh nyenggol daun kelor dong susuk gue bisa ga manjur lg…ada ada ajaaa!LOL. Tp kayaknya enak ya slow phase gitu lebih meresapi kehidupan kayaknya walopun klo terlalu lama kali gue bisa gila hihi.
kayu besi apaan ya mba..?
lantas makanan Kaili itu nama daerah atau jenis makanan> tapi foto pemandanga di luar hotel kece walau pelayanannya kurang
🙂
Konon kayunya mirip kayu ulin Kalimantan.
Jadi Kaili itu nama suku bangsa, terus makanannya juga disebut makanan khas Khaili.
Indeed, pemandangan dari hotel cakep, tapi airnya kalau siang jadi coklat banget. Mungkin karena reklamasi.
Jadi di Palu selow ya kecuali argonya haha..
OOT.. kapan hari ke Batu, trus liat mas2 pake kaos “hard rock cafe DUBLIN”
Dalam hati… “pasti sodaranya Ai” hahahahaha
Hahahahaha….baru aja kemaren ada yang nanya soal Hard Rock Cafe Dublin, aku gak ngeh kalau di Dublin ada Hard Rock 🙂
Cerita taksinya ngingetin sama angkot di kota Bandarlampung. Astaga, musiknya bikin pekak telinga. Dan kebanyakan angkot disana kayak gitu
Makanan di samping nasi jagungnya itu apa? Kok mirip kuaci direndem santan? hehehe
Itu dia daun kelornya. Dicampur pisang sama singkong
wahh unik banget tampilannya, semoga rasanya nggak aneh hehehe…
Halo mbak salam kenal….kebetulan saya pernah sekali ke Palu. Mengenai air kecoklatan di teluk Palu menurut penduduk stempat itu juga disebabkan air limbah kota Palu yg mengalir ke sungai terus ke teluk….selain akibat reklamasi pantai…btw kesan saya kota Palu unik krn berada di teluk yg cantik dikelilingi perbukitan dan msh alami…masih bungas ujar urang Banjar …: )
Iya, Palu cantik sekali dengan pemandangan laut dan bukit2nya. Sayang sekali ya kalau lautnya penuh polusi 😦