Suasana lebaran masih terasa, jadi walaupun telat, saya ingin mengucapakan selamat Idul Fitri dan mohon maaf lahir batin. Mohon maaf juga saya sedikit menerlantarkan blog, karena beberapa waktu ini jalan-jalan & missions terus. Sampai September ini saya bakalan super sibuk, jadi postingan akan semakin jarang.
Anyway, saya baru kembali dari Cambodia & untuk pertama kalinya dalam sejarah jalan-jalan, saya jatuh cinta dengan sebuah negara, negara yang ‘hancur’ dan kembali ke titik nol karena Pol Pot. Cambodia, atau dalam bahasa Indonesia kita disebut sebagai Kamboja, adalah negara yang termasuk dalam kategori LDC, atau Least Developped Country. Tak seperti tetangganya, Thailand dan Vietnam, pembangunan dan ekonomi di Kamboja belumlah bersinar. Seperti biasa, saya yang suka mengamati orang dan mengobrol sebanyak-banyaknya dengan orang lokal untuk dapat cerita yang berbeda.
Terdapat dua buah mata uang di Kamboja, USD serta Cambodia Riel. Satu USD setara dengan 4000 Riel. Konon, UN-lah yang bikin mereka pakai USD, ditambah lagi mereka tak percaya terhadap kestabilan mata uangnya sendiri. Dari beberapa obrolan & membaca, UN juga dipercaya membawa HIV/AIDS ke Kamboja. Akibat pakai dollar ini, segala hal jadi ‘mahal’ karena harga termurah satu dollar. Air botolan, camilan pinggir jalan (gorengan), bahkan ular goreng pun satu dollar. Penggunaan dollar ini jadi agak ribet ketika harus bayar 0.5 dollar karena tak ada koin. Kalau lagi beruntung kita dikasih 2000 Riel tapi kalau lagi apes, dikasih permen sugus tiga biji. Jadi dihitung-hitung satu buah permen sugus itu 2000 rupiah saja. Sadis!
Moda transportasi tergampang adalah tuk-tuk. Bayarnya gak 1 dollar, tapi minimal 2 dollar. Mereka juga nanya berapa orang yang akan naik di dalam tuk-tuk itu, nampaknya semakin banyak semakin mahal. Beruntungnya kita di Jakarta yang cuma perlu bayar taksi 7000 kalau jaraknya dekat. Sama seperti di Bangkok, setiap kali kita jalan atau keluar dari restaurant tukang tuktuk akan menyerbu untuk menawarkan jasanya. Bedanya, tuktuk di Cambodia nggak akan bawa kita mampir-mampir ke toko souvenir, toko gems atau tukang jahit. Yang menarik, tukang tuktuk selalu menyangka saya orang Filipina. Ketika saya tanya mengapa mereka menyangka saya Pinoy, jawabannya dua: karena saya pendek & karena hidung saya tak pesek. Kocak!
Saya tak menemukan modus tipu-menipu tuktuk, apalagi dihentikan ditengah jalan untuk minta tambahan. Harga tuktuk relatif standard untuk berbagai tujuan, ke Angkor sehari 15 dollar, sementara ke Banteay Srei 23 dollar. Tukang tuktuk kami di Siem Reap sukses menghilang di hari ketiga, karena sudah dibayar di hari kedua. Kami bertanya-tanya mengapa ia menghilang, tak butuh uangkah dia? Mungkin, mungkin ya, dia sudah merasa cukup dengan 45 dollar yang didapat dari dua hari kerja. Konon, penghasilan di Siem Reap itu berkisar 80 dollar saja per bulan, sementara untuk hidup layak diperlukan 150 dollar. Ajaran agama Budha, Theravada, juga membawa pengaruh besar terhadap karakteristik masyarakatnya yang nampak tak doyan menipu karena kerakusan untuk mendapatkan uang lebih. Bagi mereka uang identik dengan napsu. Seperti biasa, kalimat ini tidak berlaku untuk pemerintah.
Bukan berarti Kamboja bebas ‘penipuan’ atau pemerasan turis, masih ada kok. Yang paling sering saya lihat di Angkor orang-orang memberikan dupa untuk good luck, abis itu tetep disuruh bayar. Jatuhnya jadi bad luck lah yah, bukan good luck lagi. Museum National Pnom Penh yang cantik pun tak lepas dari modus ini, bukan dupa, tapi rangkaian bunga melati. Bagaimana bisa pihak museum membiarkan hal itu terjadi di setiap sudut museum? Entahlah. Anak-anak juga saya lihat banyak berkeliaran menjajakan kartu pos, suling dan souvenir lainnya. Kebanyakan dari mereka adalah anak laki-laki; konon mereka tak bersekolah karena lebih mudah mendapatkan uang dengan berdagang.
Makanan lokal Kamboja ragamnya terbatas dan kebanyakan diadopsi dari Vietnam, Cina, ataupun Thailand. Makanan yang terkenal Amok, ikan yang dimasak dengan kuah santan. Kamboja juga surganya extreme food, ada jangkrik, ular goreng, kodok goreng kecil-kecil, serta ostrich & buaya. Ada juga sejenis kaki seribu, tapi jauh lebih gendut. Saya perhatikan, tak ada orang Cambodia yang gemuk, semuanya kurus dan cuma turis yang gendut.
Saya masih punya banyak cerita lain lagi dari Kamboja, termasuk tentang kemiskinan, disabilitas, ketidakadaan listrik, ketidaksukaan pada Vietnam hingga soal Turis Cina Daratan yang bikin saya emosi jiwa. Pelan-pelan akan saya sempatkan untuk menulis ya.
Have a nice Sunday,
Tjetje
Nggak berani makan gorengan ular itu, lihatnya saja sudah merinding apalagi makannya hihihi … Kalau lihat negara vietnam dan kamboja jadi inget perang dunia 2 🙂 dan kesadisan pol pot gilaaaa sereem bangeet 😦
Iya ya, sadis banget si Pol Pot. Tapi aku jadi pengen baca biografi dia.
Gila pake USD mahal atuh yaaa 😦
Iya jatuhnya jadi lebih mahal dari Jakarta. Tapi cantik.
Oke, ditunggu cerita lebih lengkapnya mba ai. Btw aku udah follow di IG juga sih, sangat takut pas liat yg melengkung di goreng sama pajangan binatang yg berdiri 😦
Id IGmu apakah biar aku follow balik. Duh soal buaya itu menyedihkan, nanti gue bahas juga ya.
Id ku s_fauziah, oke mba ditunggu kisah selama di cambodia, terutama kisah si buaya
aaawwwww kaki seribu? kenyal dan geli kali ya hehehe
kira-kira begitu, konon buat stamina pria.
Seru banget, ada makanan exstrim yang dicoba tje?
Aku ga berani makannya, kemaren temenku coba bbq buaya.
Bbq buaya, kedengarannya seperti awal dari puisi anak-anak. Randomn.Seperti apa katanya?
Wewww ular goreng :O . Itu jenis ular apa, mbak? Oh iya, mampir ke “the killing fieldls” juga gak mbak?
Kemaren pas di angkor kami mau foto tiba2 ada ular ijo yang bikin kami sukses teriak. Tapi orang2 bukannya pada lari malah dicari ularnya, jadi kuduga ini ular ijo.
Aku pernah lihat liputan di tv5, kalau di pasar cambodia bisa milih ular jenis apa aja.
Ketinggalan: iya ke Killing Field, nggak begitu depresif karena sibuk mendengarkan audio, begitu di Tuol Sleng langsung stress sendiri.
Itu tuk2nya ditarik sepeda motor kak? Kirain sama kaya tuk2 di bangkok depannya model bajai..
Semangat nulisnya kak, aku suka baca2 cerita negara lain.. Tambah2 referensi travelling hehe..
Ditunggu postingannya ttg kemiskinan n disabilitas di kamboja, sepertinya menarik 🙂
Oh iya bener, kalau disana ditarik motor, kalau di Bangkok model bajaj. Beda dikit. Aku baru ngeh.
Benar-benar extreme food, ngelihat gambar sate ular goreng aja udah geli, gak bisa ngebayangin proses masaknya 🙂
Makanya ngeri banget apalagi kalau sampai digigit. Huhuhuhu
Ok fine berarti kamu pendek yaaa hahaha, btw knp UN di tuduh bawa HIV/AIDS yaaa ???
Hahaha perlu penekanan ya kalau aku pendek, tapi kan sexy dan awesome. Karena orang asing diasosiakan dengan HIV/AIDS, sama kayak Papua.
Unik juga ya negara yang ngga perang, udah punya mata uang sendiri tapi malah pake USD. Dan nyaman untuk turis tanpa ada paksaan mampir kesini situ kalo naik kendaraan umum.
Cerita ke Siem Reap don Tje. Itu besar kan ya situsnya?
masih tetep apa2 satu dollar yaa? aku juga dulu mikrinya koq semuanya 1 dollar yaa sampe nanas2 juga haha
Jadi pengen ke kamboja…
Semoga segera ke Kamboja ya mas, biar bisa motret yang ciamik
Iya sprtnya bnyk objek human interest menarik di sana
Itu ularnya horor amat ya. Tapi mungkin enak kalo ga nyata2 bentuk ular gt alias kalo udah di potongin. Kayak kodok gitu deh, kalo di goreng sebadan utuh kan hoek ya tapi kalo di goreng udah kakinya doang sih doyan 😆
Wah anak kecil jualannya maksa sih di Bali juga banyak. Gue sering liat di daerah kintamani, seminyak. Bule2 sih pada kesian, makanya tu anak2 kaga pernah nawarin turis lokal 😀
Anak2 ini rupanya nggak mau sekolah dan memilih jualan 😦
Iya, alesannya dengan jualan mereka bisa dapet uang kalo sekolah kan mereka justru harus ngeluarin uang. Klise tapi banyak kejadian 🙂
Waah akhirnya kesampaian juga ang ke Kamboja ya haha 😀
Sori kepencet tombol enter padahal belum selesai komen. Abaikan”ang” di atas ya mbak. Salah ketik. Mbak nyobain yang ular itu?
Aku picky banget urusan makanan, jadi nggak berani makan ular.
Iya, akhirnya keturutan ke Kamboja. Semoga tahun ini bisa ke Solo dan Myanmar.
Wah tertarik kenapa ngak suka sama vietnam ya mbak…?
Wah mehong juga ya kalau apa – apa dolar ehmmmm, jadi mbak ai bawa banyak uang dolar dung…?
kalau soal kulinernya keliatanya ngak ah, seereeem.
Vietnam, menurutku murah tapi orangnya, ga semua, rude
Wow mahal juga ya boook karena dollarnya.
Btw betismu putih juga, Sa. Itu dirimu bukan sih yang dipoto dari belakang pas ditawari postcard?
hahaha itu bukan betisku, itu betisnya temenku. Betisku mah coklat dan seksi 🙂