“Tadi sore ada kernet dibunuh Mbak, di Taman Mataram”
“Hah? Terus Bapak nonton kernetnya dibunuh?”
“Iya Mbak, saya nonton dari jauh. Kernetnya dikeroyok ramai-ramai.”
“Nggak ada yang nelpon Polisi Pak?”
“Polisinya datang terlambat Mbak, jadi ya sudah meninggal. Perutnya keluar semua.”
Itulah sepenggal obrolan saya dengan supir Uber yang mengantarkan saya pulang dari kantor. Cerita pembunuhan dengan kejam selalu mengejutkan semua orang, tapi mendengar orang menceritakan pembunuhan yang ditontonnya secara langsung, bukan di televisi sangatlah mengejutkan. Lebih mengejutkan lagi cara menceritakannya yang sangat santai, seakan-akan pencabutan nyawa manusia dengan cara kejam itu adalah bagian dari sinetron di TV. Ketika saya mengkonfirmasi bahwa pembunuhan tersebut terjadi di depan istri sang kernet, si pengemudi dengan polosnya menjawab “Oooo…berarti perempuan yang teriak-teriak minta tolong tadi istrinya”.
Disini, semua hal layak ditonton; dari kecelakaan ringan hingga kejadian luar biasa. Sayangnya kebanyakan hal-hal yang ditonton adalah kemalangan orang lain. Ketika ada kecelakaan kecil, bisa dijamin daerah sekitar akan macet karena kendaraan memperlambat lajunya untuk melihat sejenak. Sementara saat kejadian kebakaran besar pemadam kebakaran akan susah masuk ke dalam lokasi karena terhambat warga yang menonton, bukan warga yang membantu.
Kejadian tersebut bertolak belakang dengan pengalaman saya di Irlandia. Baik kecelakaan maupun perkelahian tak ada yang menonton. Satu ketika, saya melewati beberapa anak muda-muda di Irlandia yang bersiap-siap berkelahi. Orang-orang yang lewat di area tersebut berjalan cepat meninggalkan lokasi tersebut. Sementara saya yang Indonesia banget refleks menoleh & berjalan lebih lambat. Saya tentunya gagal melihat perkelahian itu karena pasangan memastikan kami meninggalkan lokasi secepat mungkin. Menonton hal-hal seperti ini memang sebaiknya dihindari untuk mencegah diri terluka dan tentunya supaya tidak jadi saksi di pengadilan.
Penasaran selalu menjadi alasan kuat untuk menonton sebuah kejadian. Di jaman yang serba kompetitif ini rasanya manusia tak puas dengan melihat sebuah kejadian dari sebuah tivi ataupun membaca dari koran. Sebagian kecil dari kita ingin menjadi bagian dari kejadian tersebut. Sayangnya, kejadian tersebut seringkali kejadian buruk, bukan baik. Mungkinkah keinginan ini merupakan bagian dari keinginan untuk selalu eksis?
Sungguh disayangkan penasaran ini datang di saat yang kurang tepat dan tak diwarnai dengan reaksi cepat untuk menghubungi pihak keamanan. Tak perlu disalahkan, toh dari kecil – baik di sekolah maupun di rumah — kita memang tak pernah diajarkan untuk memiliki nomor telpon polisi di tombol speed dial. Kok speed dial, tahu nomor telpon polisi, 110 saja menurut saya sudah bagus.
Ada banyak pertanyaan yang menggelayut di kepala saya. Saya tak paham mengapa sebagian dari kita menyukai menonton kekerasan dan juga kemalangan? Apakah ada kepuasan tersendiri ketika melihat orang lain ditimpa kemalangan? Adakah kebahagiaan dan juga kesenangan tersendiri ketika melihat hal tersebut, dari jauh sekalipun? Tidakkah mereka takut ketika mereka harus menjadi saksi? Tidakkah dia dihantui trauma karena melihat kekerasan? Segitu kurangnya kah hiburan kita?
Jenasah kernet tersebut dibawa dengan Kopaja dan diletakkan di bagian belakang Kopaja. Malangnya, seseorang yang saya kenal sedang berada di atas sepeda motornya bersebelahan dengan Kopaja tersebut, menunggu lampu merah menjadi hijau. Ia tak sengaja melihat mayat si kernet bermandikan darah di bagian belakang Kopaja. Oh tidak adakah ambulans untuk membawa sang jenasah?
Kali ini saya tak mencari tahu jawabannya karena saya terlalu terpana. Oh sungguh apa yang salah dengan sekitar kita?
cuma bayangin aja udah ngeri, apalagi kalo ngeliat langsung. udah gitu banyak juga yang malah sibuk ngrekam pake hp. inget tentang begal yang dibakar hidup2, apa yg bakar dan yang nonton ga ada rasa kasihan sama sekali? apa masyarakat kita udah hilang rasa kemanusiaannya, ya? 😦
Iya nih dalam waktu berdekatan aku denger cerita aneh-aneh terus. Ada yang salah dengan kita dan kekerasan.
Jadi ingat cerpen Kebo nya Linda Chriatianty, ditulis satu Dekade lalu tapi masih relevan dengan kejadian sekarang. 😢
Mungkin masih banyak yang belum mau belajar dan melihat keadaan sebenarnya ya mba.
Serem 😓
Cerpennya bercerita tentang apa Azmi?
Begitulah Mbak. Semua jadi tontonan seru. Gak peduli sama keselamatan korban ataupun diri sendiri.
Betul sekali Ryan. Curiousity kills the cat.
Miris ya, Mbak. Malu rasanya saya membaca ini, soalnya saya juga pernah sih hanya sekadar menonton kecelakaan atau kebakaran, tapi tidak membantu, malah menuh-menuhin jalan :hehe :peace. Terima kasih ya Mbak, ini jadi semacam sarana buat kontemplasi :hehe. Mudah-mudahan besok-besok bisa bertindak lebih tepat apabila menjumpai kejadian-kejadian sedemikian :)).
Besok kalau ada kejadian, apalagi kebakaran, kabur aja Gara. Nanti kalau meledak kan bahaya.
Baik, Mbak :)).
saya pernah liat orang lagi berantem disini trus reflek dong orang indonesia biasanya penasaran pengen liat *kepo* eh sama pak suami saya di tarik untuk jalan menjauh dari situ, alasanya sih memang biar gak terlibat,orang2 sekitar situ juga pada menjauh,gak ada yg nonton beda dgn di Indonesia ya.
btw masalah kernet yg di bunuh itu bikin miris ya,kasian,itu gak ada yang melerai ya?yang mau melerai juga takut kali ya nanti malah dia yg di keroyok juga,serba salah 🙂
Takut ikut campur kalau grupnya besar gitu. Kejadiannya persis sama pengalaman saya. Naluri orang Indonesia memang beda.
Miris.
Kalau pengalaman saya dulu pas eruksi merapi kita semua pada pergi mengungsi eeh malah banyak pelancong yg mendekat ingin lihat parah.
Cerita yang miris kanapa kita takut untuk melapor sebuah kejadian karena tidak ingin berurusan dng polisi.
Namun ada juga kejadian nyata saat rumah aku kemalingan banyak orang yg membantu namun saat di mintai tolong untuk menjadi saksi di pengadilan dia pura pura ngak bisa. jelas dia tahu n ikut menghajar maling itu.
kusasa mungkin dia tidak ingin terbebani atau takut entahlah dan akhirnya kita mendapatkan beberapa orang yg sudi membantu.
Itulah kadang orang tidak ingin ikut campur n berurusan dengan polisi.
Kalau urusan dengan Polisi aku juga malas Ria. Malas kalau lapor kehilangan ini itu mesti bayar seiklasnya. Serupiahpun aku tak iklas, begimane 😦
Untung saya gak suka nonton drama yang sedih-sedih, gelap, dan bikin suntuk perasaan. Jadinya gak suka juga melihat atau nonton kemalangan orang lain. Soalnya kalau melihat penderitaan orang saya tak cukup cuma jadi penonton, malah tanpa disuruh jadi membayangkan, gimana rasanya kalau kemalangan itu menimpa saya 🙂
Nggak hanya drama Evi, tapi berita di koran juga bikin suntuk.
Pertanyaan yang lebih besar adalah Kenapa? Kenapa orang ngeroyok dan bunuh orang semudah itu? Kegilaan masa yang sepertinya dibenarkan oleh penonton. Klo disini berdiam saja saat melihat seseorang dibunuh adalah accomplish, alias pembunuh secara tidak langsung membantu.
Konon hanya urusan uang lima ribu rupiah Mbak. Di Indonesia sebenarnya menonton pembunuhan bisa dihukum karena pembiaran.
Astaga Tuhanku. Oh Tje this makes me cry. How horrible.
Sungguh hidup orang tak bernilai ya 😦
Miris 😦
banget.
di Indonesia tuh ada hotline kayak 911 gak sih tje sebenernya?
Adanya 110, tapi belum pernah nelpon. Tapi gak berharap banyak deh; guwe aja kemaren nelpon Polsek nanya tentang dangdutan di kampung sebelah yang sampe midnight malah berakhir dimarah2in Polisi.
Mungkin krn gak ada fasilitasnya jg buat hotline orang2 jd bingung jg kali yah kalo mau ngelapor2 gt, ujung2nya malah jd nontonin 😦
Kalo saya berada dalam kondisi itu mungkin bisa jadi trauma 😦 Gak kebayang…
Akupun begitu Nadia.
ambulan susah kadang2 Ai 😦 belon macetnya gak nyampe2 huhu
Terus ambulans harus bayar mahal ya Non.
Beberapa hari lalu, waktu baca berita kernet yang dibunuh di depan istrinya itu miris banget mbak, eh di postingan ini malah ada saksi matanya ya mbak, pasti ngerii banget kalau saya jadi saksi matanya.. 😦
Wah sempet baca beritanya ya. Saya kalau gak dikasih tahu pengemudi Uber gak bakalan tahu deh.
Menurut saya memang ada gap yg jelas bgt antara si kaya dan si miskin. Si kaya pasti elegan, berpendidikan, santun. Sementara mayoritas yg level menengah hingga bawah cenderung bar-bar karena kurang pendidikan dan lepas kontrol. Sedih banget emang, itu yg harus diperbaiki di generasi mendatang.
Menengah ke atas belum tentu juga elegan lho, tengoklah tuan putri Instagram itu 🙂
Tapi kalau emosi kayaknya gak kenal kelas sosial deh, asal ngamuk ya ngamuk aja.
Mungkin memang ada yang salah dengan sekitar kita.. mungkin masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap hukum sehingga memilih mengadili sendiri. Saya setuju sama mba ryyuutan, mungkin masyarakat juga sudah kehilangan rasa kemanusiaan
Ini yang ngebunuh rame-rame lupa kalau hukum masih berlaku.
Ya ampuuuun aku lemes bacanya. Empati dimanakah? Dan yang bercerita bisa enteng menceritakan lagi itu juga bikin ngelus dada sih. Huuft
Iya Anggi, ajaib bener dia bisa cerita seakan-akan abis nonton ketoprak. Jangan-jangan buat sang pengemudi, kekerasan seperti itu adalah hal biasa yang tak perlu dibesar-besarkan.
Ah ini aku punya pertanyaan yg sama,segitu kurang hiburankah kita? Atau jangan jangan orang kita suka mendapatkan penghiburan dari penderitaan orang lain? Ngebayanginnya miris Tje 😦
Melihat penderitaan orang lain sama menghitung berkah yang dipunya. Mungkin begitu Christa.
Masih ada kebiasaan lainnya (barusan liat di FB), memposting foto saudara sendiri yang baru habis kecelakaan. Jadi wajah si saudara memelas gitu, difoto plus luka-lukanya. Walau dikasi caption get well soon, tapi aku kok rasanya miris, nyesek gimana gitu ya…
Foto yang sakit dan foto yang meninggal. Kasihan orang-orang helpless itu gak bisa protes fotonya dipajang di sosial media.
Saya kalo ada kejadian kayak gitu langsung menghindar, takut terlibat dan jadi saksi.
Baca berita online yang ada pembunuhan, sadisme, kdrt dll saya hindari. Saya pengen yang damai aja.
Saya jadi gak tahu tentang kejadian-kejadian di dunia karena males baca koran, berita di koran bad news semua.
Aku paling takut denger atau baca berita yang begitu, Mbak.. Rasanya ngga nyaman.. Ngga sampai hati, apalagi kalok nengok secara langsung.. Selalu membayangkan jika kita ada posisi korban, kok kayaknya ngga punya simpati maupun empati 😦
Ada artikel menarik tentang Jakarta. Kita dianggap sebagai orang yang sopan, tapi karena padatnya populasi dan tingginya persaingan jadi liar seperti hewan, tanpa simpati dan empati tentunya.