Dalam sebuah kelas Perancis saya tahun lalu, kami membahas tentang kata-kata yang secara politik tepat. Ada beberapa kata yang dibahas dan harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang tepat, salah satunya femme de ménage. Terjadi perdebatan yang untungnya gak sengit di dalam kelas ketika saya menjelaskan terjemahan yang tepat. Saat itu banyak yang memilih menggunakan pembantu rumah tangga dan saya ngotot bahwa mereka adalah pekerja rumah tangga.
Dalam Bahasa Indonesia, pembantu rumah tangga dipahami sebagai orang yang membantu, menolong, atau orang upahan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sementara asisten sendiri merupakan orang yang bertugas membantu dalam tugas profesional. Kedua kata ini menekankan pada kegiatan membantu, sementara menggunakan kata pekerja rumah tangga (PRT) menekankan bahwa mereka adalah pekerja yang tentunya berhak mendapatkan perlakuan seperti pekerja.

Foto: Liputan 6
Seperti saya pernah bahas di tulisan edisi bahasa Inggris di sini, PRT di Indonesia itu seringkali nggak dianggap sebagai pekerja, malah kalau saya mau lebay sedikit, mereka seringkali cenderung dianggap seperti budak modern. Saya punya alasan dan argumen sendiri, di antaranya:
- Pekerja Rumah Tangga di Indonesia gak punya jam kerja
Coba, siapa di antara kita yang mau kerja non-stop dari pagi sampai malam, dari Senin sampai Senin lagi, tanpa henti. Emang sih PRT ini diberikan kesempatan untuk tidur siang, nonton sinetron (for the sake of our future generation, jangan racuni mereka dengan sinetron deh) tapi coba hitung berapa jam seminggu mereka kerja, lebih dari 40 jam? Nah kalau melebihi jam kerja, sudahkah mereka mendapatkan lembur?
- Pekerja Rumah Tangga gak punya libur
Merujuk (duile bahasa saya) pada hal di atas, PRT di Indonesia itu kebanyakan nggak punya libur. Mau tanggal merah, Sabtu dan Minggu, sebagian besar dari mereka pasti nggak libur. Kalau hari Sabtu mereka mau pergi ke suatu tempat, apalagi mau pacaran pasti minta ijin dulu. Terus, kalau tiap Sabtu dan Minggu ijin melulu, dijamin tuannya sang pemberi kerjanya ngomel-ngomel.
- Gaji tak layak
Alasan orang selalu sama: PRTnya kan live in, kamar disediakan makan juga disediakan. Otomatis gaji dipotong untuk dua hal tersebut. Motongnya gak tanggung-tanggung, bisa 50 hingga 75% dari UMR. Emang nggak bisa dipungkiri bahwa pekerja rumah tangga itu kebanyakan nggak punya skill & nggak berpengalaman (gimana nggak berpengalaman kalau banyak dari mereka masih anak-anak, masih usia sekolah dan di bawah 18 tahun?). Tapi apakah itu semua jadi alasan untuk memberikan mereka upah tak layak?
Ngomong-ngomong soal makanan, kalau gaji mereka dipotong buat makanan, siapa yang bisa kontrol kalau makanan bagi mereka adalah makanan yang layak telan? Saya yakin masih ada majikan pemberi kerja yang ngasih mereka makanan sisa dari tiga hari lalu, yang kira-kira kita udah nggak tega nelennya lagi. Udah rasanya amburadul, gizinya pun ilang semua.
Di Jaman modern ini saya malah pernah dengar seorang tetangga memberikan ikan kepada PRTnya. Saking baiknya, ikan yang diberikan mengandung gizi tambahan, belatung. PRTnya tak mungkin menelan makanan tersebut dan ceritanya pun menyebar ke seluruh perumahan. Soal kamar tinggal nggak usah dibahas lah ya. Kalau mereka beruntung dapat pemberi kerja yang baik dan berada, kamarnya bisa cukup layak. Tapi kalau nggak beruntung ya kamarnya selonjoran aja susah, kasurnya gak layak diduduki lagi (apalagi ditiduri), belum lagi pengap dan kondisi lain yang suka bikin prihatin.
Mungkin banyak yang nanya, kenapa saya ngulang tulisan ini lagi dan dalam bahasa Indonesia? Saya ingin benar-benar menekankan penggunaan kata pekerja bagi mereka yang sudah sangat berdedikasi dalam hidup kita semua. Supaya kita yang gajinya puluhan, belasan bahkan ratusan juga belajar berhenti untuk menyepelekan tenaga manusia lain. Kalau nggak bisa ngasih mereka gaji UMR, setidaknya berikan mereka jam kerja yang layak, hari libur dan waktu istirahat. Saya juga ingin kita jadi lebih baik terhadap pekerja rumah tanggal. Supaya kita gak bawel lagi kalau mereka sibuk telpon sama pacarnya atau keluarganya, seakan mereka manusia yang tak berhak atas waktu pribadi untuk berkomunikasi.
Kalaupun emang belum bisa memenuhi hak mereka dengan baik, tapi saya yakin kalau ngasih libur aja kita bisa ngasih, at least kasih mereka title yang bener. Jangan ketawa, apalagi setengah menghina kalau ada orang bilang mereka ini PEKERJA. Penekanan kata pekerja itu sangat perlu supaya persepsi kita semua berubah, supaya kita nggak melihat mereka sebagai orang yang bisa disuruh jalan ke supermarket jam berapapun. Supaya mereka bisa mendapatkan hak yang sama dengan kita. Masak sih kita nggak mau jadi negara maju yang menghormati, memenuhi dan melindungi kaum kecil. Dan tentunya supaya mereka nggak perlu jauh-jauh ke Arab Saudi, nyari kerja dengan gaji yang serupa UMR, 2,5 juta saja, dengan resiko yang tinggi.
UU PRT sudah ada di dalam daftar prioritas DPR sejak tahun lalu, tapi meskipun UU ini masuk program legislatif nasional, progressnya belum ada. Semoga saja anggota DPR yang sekarang tak sibuk dengan dana aspirasinya dan bisa lebih focus untuk memenuhi hak para Pekerja Rumah Tangga. Pahlawan dan tulang punggung sebagian masyarakat Indonesia.
Nah, kalau disuruh bayar mereka sesuai UMR, memberikan lembur, jam kerja dan cuti, mau nggak? Bukan soal sanggup ya, tapi mau?
Xx,
Tjetje
Ditulis di Jakarta pada 14 May 2014 tapi terlambat posting
Waaa, baru kmrn mo nulis kalo PRT di keluarga ku minta naik gaji Tje supaya sama dg temennya, masih dibawah UMR jg. Akunya langsung ngerasa bersalah krn Beliau yg minta duluan, bukan aku yg inisiatif naikin gaji. Btw, klo ART jg kurang tepat ya?
Oiya, di Indonesia mmng masih rawan perbudakan, antara SDMnya yg memang low skill jadi trimo pasrah dg nasib plus kadang mental ndoro yg merasa udh menggaji. Semoga aku bisa memperlakukan PRTku dg lebih layak, thanks udh diingetin Tje.
Menurut pendapatku sih ART itu sama saja dengan PRT (pembantu rumah tangga). Tone dari pembantu dan asisten itu relatif sama.
Semoga kita semua bisa menggaji mereka dengan layak ya.
Siipp, kalo digaji layak, insyaAllah kerja jg lebih nyaman kok.
Setidaknya ga semua majikan begitu juga, ada yg baik biarpun sedikit.. Semoga nasib prt ke depannya makin diperhatiin pemerintah ya mbak.. Omong2 mbak ai masih balesin komentar di postingan2 lama ga? Soalnya saya pernah komentar di “Thing Indonesians Like: Kerupuk” kayaknya blm dibales lagi.. 🙂
Benar ada pemberi kerja yang memberikan perlakuan layak. Komentar biasanya saya balas jika notifikasinya muncul. Seringkali balasan saya gak masuk jika menggunakan applikasi wordpress di HP, biasanya saya rajin baca2 tulisan lama untuk cek komentar. Saya barusan cek tak ada komentar yang muncul di cerita kerupuk itu, kemungkinan sih masuk di kotak spam.
Huaaaa baca ini jadi inget kalo tinggal itungan hari bakal ga punya PRT lagi…setelah hampir 5 tahun kerja dirumah akhirnya mba kami tercinta nikah sehabis lebaran ini dan ga kerja lagi. Kalau mau naikin gaji UMR sih keknya ga sanggup ya secara kerjaannya dia juga seringan tidurnya kok dan sudah dimaklumi. Pagi masak nyuci nyapu udah langsung naik ke singgasananya. Turun buat makan dan ngepel trus naik lagi sampe sore baru turun. Ntar malem juga gitu. Kalo soal makan, ga ada yg dibedain makan apa yg ada di meja makan. Bahkan sampo odol and sabun kita sama. Buatku yg penting ada yg bantu2 plus orangnya jujur ga neko2. Dan kalo soal UMR bahkan helper diskolah kami jauh dibawah UMR gajinya padahal tamat SMA dan sejenisnya loh. Jadi sebelum naikin gaji PRT ke UMR mesti ditinjau juga gaji guru2 dan pekerja lainnya. Hihi..just my opinion
Wah berarti sekolahnya gak bener tuh Joyce, bisa dituntut ke Depnaker kalau gaji mereka tak sesuai UMR. Tapi lagi-lagi orang-orang yang underpaid ini gak berdaya untuk melapor, takut kehilangan pekerjaan.
Betul Ai kami juga udah bicara ke HRD untuk kasihtau ttg hak mereka ini. Makanya kasihan deh sebenernya karena mereka takut juga ga kerja kan.
Kalau ketahuan bisa dituntut tuh. Kena sanksi depnaker pulak.
Pekerja Rumah Tangga. Saya baru dengar istilah ini. Memang masih banyak kekurangan di Indonesia untuk PRT ini. Sedih rasanya.
Banyak yang beralasan juga kalau pekerjaan mereka kan gak mengharuskan mereka bekerja terus menerus. Mereka dapat makan, tempat tinggal, bisa tidur siang dan lainnya.
Saya sendiri tidak menggunakan jasa PRT di rumah sih.
Salam kenal ya Mbak.
Halo salam kenal Ryan. Iya banyak yang beralasan bahwa mereka nggak harus kerja terus menerus, tapi tidak ada kejelasan dari jam berapa mereka harus kerja dan selesai, sehingga mereka bisa mengatur waktu pribadinya. Aku melihat, PRT itu banyak yang harus stand by, kalau2 pemberi kerja memanggil. Macam dokter di UGD.
Kalau jauh dari Indonesia gini PRT terkadang dikangenin, apalagi kalo setrikaan banyak. Apa2 dikerjain berdua suami disini. Tapi enak gitu kayaknya, jadi terlatih 🙂
Bapak Ibu dulu pakai PRT. Makanan dan fasilitas lainnya sama dengan anggota keluarga, tidak dibedakan. Cuman memang seingatku gaji ga terlalu besar. Thanks Ail dah bikin tulisan ini. Berguna sebagai pengingat.
Sebenarnya banyak yang gak bisa gaji mereka dengan layak, tapi maksa karena ‘kebutuhan’. Banyak yang memenuhi ‘kebutuhan’ ini dengan merenggut hak PRT dan keluarganya untuk hidup layak. Senang tulisanku bisa jadi pengingat Den, semoga PRT kehidupannya semakin layak.
waktu itu pernah nyoba make prt eh malah jadi riweh. yang biasa makan seadanya jadi mesti ngada-ngadain karena ada orang. yang di rumah biasa ga jajan jadi mesti ngasih karena takut iri sama si mbak yang dikasih uang jajan harian. kalo kerjaan kurang rapih juga ga enak mau negur. padahal orangnya udah dewasa dan menikah. akhirnya ga sampai sebulan ya dipulangin. *malah curhat*
Ribet ya kalau ada live-in PRT, tapi banyak juga yang lebih suka live-in, biar bisa dipanggil setiap saat.
Duluuuu banget nih, aku punya PRT cewek remaja. Umurnya nggak jauh2lah paling beda 4-5 taun, merasa seneng punya temen aku pinjemin novel2 buat dia baca, eh diomelin Mami katanya gara2 bukunya, jadi males dia baca buku mlulu. Kasian kan dia jg jarang keluar rumah krn pemalu anaknya. Cuma kerja sebentar sih, dia ini PRT terakhir yg tinggal di rumah… taun depannya aku udah kelas 2/3 SMP ya lupa, jadi udah bisa dipercaya jaga rumah, gak pake PRT lagi deh. Dipikir2 kasian banget mrk, kerja gak pake hari libur.
Banget, semoga setelah ada UU mereka hidupnya lebih baik.
Yang sedih itu prt mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Sudah gaji kecil mendapat kekerasan fisik, prihatin.
Nah lebih sedih lagi kalau mereka gak di negeri sendiri, makin jauh cari pertolongannya.
beneran ituu… gaji ngga layak, jam kerja ngga jelas dan ngga punya libur.
ada tambahan lagi : Kalau si nyonyah lagi berakhir pekan, si nyonyah nggak ninggalin bahan lauk buat si PRT. iya kalau ada telor di kulkas. kalau ngga terpaksa nyari sendiri. Bulan puasa kerja mulai dr jam 2 atau setengah 3 pagi… THR cuma gopek…
itu curhatan mba-nya bos ku…
Aku biasanya nyebut PRT si Mba aja…
Nah itu THR seiklas bos, libur lebaran gak boleh lebih dari 2 minggu, kalau lama-lama sudah disuruh cari kerja di tempat lain aja. Padahal dalam setahun itu mereka setidaknya berhak libur 104 hari, pada Sabtu dan Minggu, ditambah cuti tahunan 12 hari. Nah lho…..
libur seminggu aja gaji dipotong…. apalagi libur 2 minggu, gaji cuma setengahnya… weww
Tahun2 terakhir gw di Indonesia gw lebih prefer PRT yg bantu2 tp hanya 3-4 jam an, datang pagi – bersih2 – laundry dan pulang. Setiap hari kayak gitu, malah lumayan menyenangkan dan jauh dari drama…gak ada yg masakkin, no worries, banyak catering dgn harga reasonable.
One day balik ke Indonesia for good, keknya gw akan prefer dgn sistem seperti lagi..
Lebih ada privacynya ya Fe, tapi satu hal yang sering sekali terjadi dengan mereka yang gak live in adalah pencurian.
Gw biasanya tahu dimana rumah si mbak nya ini Ai, emang sih ya kejujuran itu susah bgt nyarinya 😐
Naaah Mbak Tjetje. Saya mau loh kalo ada regulasi yang mengatur itu. Beneran deh. Kemaren gaji yang saya kasih saya samakan standar yang ditetapkan pemerintah untuk pekerja rumah tangga (saya ikut pakai karena make sense your point tapi bukan berarti saya degrading mereka dengan sebut pembantu atau asisten ya mbak).
Untuk jam kerja saya pribadi batasi memang sampai jam 9 malam, tapi saya sudah clearly state kalau dia bisa bebas menggunakan waktu selama kami di kantor. Jadi sebenarnya total waktu kami di rumah tidak sampai mengambil waktu 3 jam dan ditambah mengerjakan pekerjaan lain pun harusnya ya tidak lebih dari 8 jam kerja. Berkali-kali kami bilang ini ke asisten kami. Worked well for the firs two, tapi gatot aama yang terakhir.
Kalo makanan saya sendiri bisa bilang saya maksa dia makan duluan makanan yang dia masak untuk kami juga karena gak mau dia nunggu kami pulang untuk makan. We eat the very same food. Astaga banget kalo sampe ada yang kasih makanan sisa 3 hari sebelumnya. Itu mah kejam. Jadi kalo pertanyaannya mau atau tidak kami mau banget. Si Ibu yang terakhir malah cuti satu sampai dua hari tiap bulan Mbak buat pulang ke rumah dan kami kasih ongkos kalo misalkan dia mau jalan keluar bareng temennya. Huehehehe. Andaikan ada aturan yang lebih firm tentang pekerja rumah tangga ini. 😀
Oiya Mbak. Kalo Sabtu Minggu sudah ditawarin mau pulang apa nggak buat libur, tapi gak mau. 😀
Nah, kalau misalkan ada aturan/UU, kamu bisa tuntut pekerja rumah tanggamu kemaren Dan, karena gak perform tapi minta dibayar. Pakai hutang pulak.
Btw, penggunaan kata pekerja rumah tangga emang belum familiar. Aku malah melihat gerakan perubahan perilaku yang lebih menghormati mereka dengan shifting kata dari pembantu ke asisten. Nah sekarang perubahan ini tinggal disempurnakan aja.
Jadi sudah dapat PRT baru?
Belom Mbak Tjetje. Masih capek hati karena kemaren. Hihihi. Jadi yasudah dikerjain sendiri aja dulu. Masakan saya lebih enak kok rasanya daripada yang terakhir kemaren. 😀
Miris ya kalau ada pemberi kerja yang “jahat” begitu.
Dan memang ide yang baik jika ada UU atau aturan resmi yang mengatur PRT ini. Jika dibuat dan dikelola dengan benar, menurutku aturan ini berguna untuk melindungi kedua belah pihak, baik dari pemberi kerja maupun pekerja. Cuma yaa, apakah orang-orang akan pada patuh pada aturan ini? Lain cerita sepertinya, haha 😆
Kalau UUnya sudah ada, aku ragu akan ada PRT di bawah UMR karena kompetisi. Disini demand lebih tinggi daripada supply.
Tapi aku yakin akan ada yang dibayar di bahwa UMR karena para PRT ini banyak yang tidak tahu dan takut protes. Mesti ada sistem pengawasan yang baik untuk hal ini. *ngawasin 240 juta orang?*
Aku ga pernah rasain pake PRT semenjak nikah Mba, apa bikin aplikasi panggil PRT aja gitu ya? Semacam Gojek haha jadi dibayar per hari 😀
Service serupa sudah ada tapi belum ada aplikasinya Puji. Seru juga tuh kalau dibikinkan app, terus disambungkan dengan Gojek, biar praktis.
Iya yang versi pake apps gitu 😀
Di sini saya tidak pakai PRT jadi saya tidak begitu mengerti bagaimana seluk-beluk dunia pekerja rumah tangga (maklum, ngekos :hehe).
Tapi bagaimanapun, sebenarnya upah minimum untuk pekerja rumah tangga adalah mestinya sama dengan UMR, soalnya meskipun belum diatur dalam UU tersendiri, sebenarnya pengaturan itu sudah ada di KUHPerdata, di Buku Ketiga pokoknya bagian yang hubungan pekerja (di sana disebut buruh kan yak) dan majikan itu Mbak, kalau saya tidak salah sekitar Pasal 1601 atau Pasal 1602. Nah, kalau ada yang upahnya di bawah UMR, bisa dituntut di pengadilan dan perjanjian perikatan kerja si pekerja itu dianggap batal, si pekerja bisa menuntut kembali semua hak-haknya di muka pengadilan. Berani si pemberi kerja menganiaya, bisa masuk ke pidana penganiayaan :hehe.
Intinya kalau tidak mampu dan tidak mau memperlakukan pekerja rumah tangga sebagaimana mestinya dan sesuai dengan hukum yang sudah ada, baiknya tidak usah pakai pekerja dulu, deh :hehe :peace.
Nah tapi seringkali mereka tidak diberikan kontrak kerja Gara, jadi mereka gak tahu hak dan kewajibannya. Kalau ada kontrak kerja, dua belah pihak akan sama-sama terlindungi. Harusnya UU ketenagakerjaan itu bisa mencakup hal ini ya, jadi gak perlu bikin UU khusus tentang pekerja rumah tangga.
Btw, di kostku ada pekerja rumah tangganya. Mereka punya jam kerja dan hari libur. Sayangnya gajinya masih belum layak.
Iya Mbak, kesadaran membuat kontrak tertulis ini memang harus banget ditanamkan di semua pekerja jadi hak dan kewajiban mereka lebih jelas, terus jika suatu hari nanti ada masalah juga bisa diselesaikan dengan pasti :)).
Kemaren saya share link ini di fb, mbak (share dulu baru ijin, haha). Ada kawan yang komen: emang kalo dikasi gaji UMR mau dipotong untuk penginapan, makan, gas, listrik? Saya kebetulan pernah bekerja di tempat yang memberikan kamar, makan, dan transportasi; TAPI nggak motong gaji. Itu murni fasilitas dari pemberi kerja karena sifat pekerjaan yang harus menetap di site. Miris, kenapa mesti membedakan PRT dengan pekerja di sektor lain? Kenapa semacam ada budaya bahwa PRT ‘harus’ nggak nyaman 😦
Ah kalau orang kayak gitu mah tinggal di balik aja, kalau UU sudah keluar emang mampu bayar sesuai UMR? Kalau orang mampu dan mau ga akan keberatan kok. Yang rempong kan yang ga mau (dan nggak mampu tapi ngotot bikin kebutuhan). Gpp dibagi, emang tombol sharing sengaja dipasang untuk kebutuhan itu.
mbaaa pernah denger istilah “ditinggal pacar gak semiris ditinggal pulang PRT” gak? kalau di rumah mama sekarang uda pakai PRT yang harian. dateng pagi- nyuci- bersih bersih- pulang deh. trus denger cerita si mbak nya katanya sehari bisa kerja di 4 tempat. lumayan katanya, daripada jadi TKI harus ninggalin laki dan anaknya
Hahaha baru denger istilah itu. Yang cabutan gitu lebih banyak incomenya, apalagi kalau di apartemen ya. Tarif mereka untuk di apartemen lebih mahal.
Dirumah kita cuman kerja 3 kali seminggu Ai 🙂
Udah 3 kali seminggu PRT yang sebelumnya pun sering bolos padahal kerjanya cuman 2-3 jam sekali datang.
Cuman aku ngerasa gak enak sih ama PRT yang kerjanya seharian gitu terutama yang tinggal bareng karena gak berhenti2 kerjaanya.
Kayanya dimana-mana sama deh yang masih membeda-bedakan PRT dan majikan. Disini juga banyak yang begitu, yang memperlakukan seolah-olah budak, tapi lucunya bukan expat malah sesama orang Fiji atau Indian-Fijian yang begitu.
Kalau gw terus terang risih liat para baby sitter yg dipakein seragam di Indonesia, ke mall atau kemanapun diseragamin, mungkin disisi lain mereka mau terlihat lbh profesional tp bukannya malah terlihat langsung ya bedanya? Kaya nunjukin ini loh baby sitter gw atau apa sih ga ngerti?
di Fb ada grup yang isinya posting PRT2 dan babysıtter bermasalah, byk jg kasus yang merugikan pemakai jasa mereka.
sempat dimintain tolong teman untuk cari PRT di kampung ibu saya, dan rata2 ga ada yang mau, walau kerjanya di rumah elite tapi gajinya dibawah UMR, mereka lbh milih jaga toko
Masalahnya banyak banget dan jarang banget mereka dikasusin. Harusnya sama-sama dilindungi, pemberi kerja dilindungi, pekerja RT juga.
PRT yang melakukan kriminal juga gak kurang2 ya.
Seorang PRT dipekerjakan tanpa ada jam kerja yang baku, dan tanpa ada hari libur. Memang gaji UMK sih, tapi coba bayangkan….apakah PRT tsb “damai”….?
PRT tsb juga manusia biasa, dia juga perlu waktu & kesempatan untuk melepas penat, jenuh, dan sumpek nya dlm bekerja, beliau pun butuh waktu bersama keluarganya,mengurusi kepentingan sendiri/keluarga, dan bahkan mungkin juga perlu bersosial di lingkungan nya tinggal. Hidup ini tak cukup hanya mencari uang, tapi juga perlu hal2 lain. Hal tsb menunjukkan bahwa banyak “oknum” majikan yg tak berperikemanusiaan. Bagaikan rentenir. Membantu namun mencekik.
Banyak banget ketidakadilan pada PRT, dari soal jam kerja, libur (sampai soal gak boleh keluar rumah) hingga jaminan kesehatan.