Beberapa minggu lalu, Kompas, koran favorit saya memunculkan ulasan mengenai pasar tradisional di Malang. Pada artikel tersebut dibahas dua pasar, pasar Talun yang masih sangat tradisional serta pasar Oro-oro Dowo. Artikel tersebut membawa kenangan manis tentang pasar-pasar tradisional di Indonesia yang identik dengan bau tak enak, karena sampahnya sering (atau bahkan selalu) dicecerkan di lorong-lorong pasar. Bau tak enak ini masih ditambah dengan bau amis serta becek yang bersumber dari lapak-lapak pedagang ikan.
Pasar tradisional juga tak lepas dari aksi tipu-menipu, terutama penipuan timbangan dengan memainkan anak timbangan atau yang lazim disebut timbel. Anak timbangan tak pernah diturunkan semua, karena timbangan di pasar memang jarang yang berimbang. Saya sendiri pernah mengalami kesialan ketika pertama kali membeli daging sapi. Sebagai orang yang tak makan daging sapi, saya tak punya pengetahuan sama sekali tentang kualitas daging. Jadi tak heran kalau saya tertipu mentah-mentah, diberi daging kualitas buruk yang sudah tak segar lagi dan hampir membusuk.
Kendati diwarnai dengan penipuan dan kejorokan, pasar sebagai pusat ekonomi memiliki satu keunggulan yang tak ditawarkan oleh minimarket, supermarket, apalagi hypermarket. Pasar menawarkan interaksi antar manusia seperti tawar-menawar harga atau bahkan interaksi yang lebih intim. Interaksi intim ini seperti yang saya alami dengan bu haji daging. Saya tak tahu nama si ibu haji, sementara bu haji juga tak tahu nama saya. Tapi setiap berbelanja di lapaknya, ia akan sibuk “mengenalkan” saya pada para pedagang yang lain sembari membanggakan kesuksesan saya sebagai anak yang bapaknya meninggal menjadi orang. Apalagi ibu saya tak pernah kawin lagi. Ibu haji tersebut bukan satu-satunya, ada pedagang rawon dan pecel yang suka ikut-ikutan bangga karena pencapaian saya. Bagi mereka, ibu saya sungguhlah perempuan hebat karena membesarkan anak-anaknya sendiri. Saya sendiri tak pernah tahu bagaimana para pedagang di pasar ini tahu tentang cerita hidup saya.
Pasar tak hanya memunculkan keakraban antara saya sebagai pembeli dengan para pedagang, tapi juga dengan para abang becak yang mencari nafkah di depannya. Sebagai anak yang sangat manja, saya memang rajin naik becak dan malas jalan kaki (panas bow), dari ongkosnya masih murah hingga ongkosnya masih tetap murah. Anak salah satu pak becak tersebut rupanya adik kelas saya di sekolah, semenjak saya tahu buku-buku pelajaran saya selalu saya wariskan pada adik kelas saya.
Kota Malang sendiri memiliki pasar yang terpusat di tengah kota, namanya pasar Besar. Mayoritas pedagang dan tukang becak di pasar besar ini adalah pendatang dari Madura. Kesuksesan mereka sebagai pedagang biasanya ditunjukkan dengan ratusan gram perhiasan emas yang menempel di leher serta tangan-tangan mereka. Para pedagang dari Madura identik dengan label-label yang seringkali tak bagus, tapi eyang saya yang gemar berbelanja di pasar ini tak pernah tertipu, malah sukses membawa begitu banyak bonus, seperti kepala ikan yang besar-besar (dan selalu berakhir di perut kucing-kucing peliharaan saya). Sukses ini tentunya karena eyang saya bisa berbahasa Madura.
Pasar lain yang punya tempat di hati saya ada di Badung, di Denpasar. Entah mengapa saya begitu cinta dengan pasar ini. Selain menyukai nasi ketela (nasi sela) yang dijual di luar pasar tersebut (dan pedagangnya tak cuci tangan dan sibuk memegang makanan dan uang) saya juga menyukai perempuan-perempuan yang membantu mengangkut barang-barang bawaan di atas kepala. Perempuan-perempuan ini tanpa mengeluh berjalan mengikuti para nyonya-nyonya yang sedang berbelanja sayur, ikan, bahkan canang di dalam pasar.

Nasi ketela yang ditemani dengan loloh cemcem (jamu) . Pedagangnya abis nyolek-nyolek makanan, pegang duit.
Kendati banyak pasar-pasar modern yang mulai dikembangkan pemerintah, banyak pula pasar yang mulai tergusur karena kehadiran supermarket yang lebih modern. Di wilayah tempat saya besar, pasar tradisional malah digusur oleh sang walikota untuk dijadikan mall. Sungguh menyedihkan memang melihat perubahan ini, tapi nampaknya orang-orang modern lebih menyukai supermarket (dan mall) karena kebersihan, harga yang murah (dan tak perlu menawar), kualitas barang yang lebih terjaga serta waktu buka yang lebih panjang.
Sudah saatnya kita kembali ke pasar, kembali mendukung para pedagang yang berjuang keras dan bangun sejak pagi buta untuk mendukung ekonomi negeri kita. Saya sendiri jika pulang ingin pergi ke pasar, bukan untuk menengok ibu haji daging, tapi untuk membeli nasi jagung yang ditemani dengan sayur labu manis bersantan ringan, ikan asin dan rempeyek. Ah kalau sudah begini jadi pengen pulang.
Kalian punya cerita manis dengan pasar tradisional?
Xx,
Tjetje
Kenangan romantisku dulu sama pasar Wonokromo di Surabaya, karena masa kecilku ada di sana. Diajak alm. Mama, setelah muter2 belanja, berbecek2 dan mencium segala macam bau tak sedap (apalagi kalo pas ke kios daging sapi), aku pasti diajak ke tukang jual mainan dan aksesoris. Aku selalu beli mainan bongkar pasang (itu loh, yang orang2an dari kertas trus ada baju2nya dalam berbagai model), sama beli gelang plastik warna warni yang kalo digosok2 ke baju nanti gelangnya bisa wangi salak, hahaha sampai sekarang aku ga ngerti kenapa bisa kecium aroma wangi begitu.
Sweet! Bongkar pasang itu dulu seru banget ya. Murah meriah dan melatih kreativitas.
Ailsa, aku dulu pernah jualan di pasar lho. walau nggak lama. Itu para penjual di pasar biasanya jam 7 sore sdh hrs tidur krn jam 12 malam kita sdh hrs kolakan di pasar induk atau tempat supplyer membawa barang dagangan. baju jam 3 kami sdh hrs balik badan ke pasar kami jualan. wahh aku punya byk memory tentang ini Ailsa…aroma segar sayur mayur itu sungguh beda dgn yg 2 hari sdh dipetik lho
Wince, Irl
Oh btw, penjual nasi sela-nya ahzek banget ya nyomot2 makanan ga pake sendok 😀
Abis itu pegang duit dong. Cakep banget deh!
Cerita manis sih ngga ada mbk. Tp aku juga termasuk pecinta pasar tradisional. Selain lbh murah, yg dijual juga biasanya masi seger2. Baunya bisa ditahan asal jangan ke bagian daging uuuuuhh
Seger karena biasanya subuh-subuh baru datang dari petani.
iya mbk.. masih hejo2 warnanya 😀
Keingat pasar tradisional di Den Haag (Haagse Markt). Dari yg aku awalnya ke pasar hanya bisa pakai bahasa isyarat karena belum bisa bahasa Belanda, sampai sekarang punya beberapa langganan tetap beli cabe, sukun, kedondong, ceker ayam beliin buat teman dll. Pemilik stannya ada yg keturunan Suriname. Jadi kami kalo ngobrol campur2 antara bahasa Jawa dan bahasa Belanda. Seruu deh kalo ke pasar sampai punya langganan gitu. Awalnya yg dari tawar menawar, akhirnya kalau buat langganan sudah ada harganya sendiri. Kangen pasar Bringharjo, kalau ke Jogja pasti makan nasi pecel pincuk didepannya dengan segala lauk pauknya.
Ah pasar Bringharjo itu kalau abis makan aku pasti mules 😑😑😑
Seru banget bisa basa Jawaan di dalam pasar Den. Eh disana pakai nawar juga?
Iya Ail bisa nawar. Aku awalnya ga tau kalo bisa nawar. Trus pas mau beli cabe rawit merah sekilo, iseng2 nawar. Awalnya €10/kg. Trus iseng2 kutawar €8 untuk 2kg. Mereka mikir akhirnya dikasih. Lha kan lumayan banget jauhh harganya turun haha. Padahal ditoko oriental harga cabe rawit merah jenis sama €20/kg. Setelahnya aku suka iseng2 nawar juga ditempat lainnya dipasar. Makanya sampai punya langganan karena aku sudah dihafal sampai dikasih tambahan mpon2 😅.
Wah enake. Eh ndek kono ono kencur gak sih Den?
Onok Ail. Kencur €20/kg lek ga salah ditoko oriental. Kunci gawe jangan bayem yo onok. Bumbu2 lengkap. Di Den Haag ini kayak Indonesia versi kota karena segala bumbu2 lengkap tur jangkep. Lha sukun aja ada lho dipasar. Kedondong, daun kelor, klentang, kluwek, you name it ada semua. Aku sampek heran biyen, serasa dipasar Situbondo tapi versi bersih 😅
Itu yg jual nasi ketela, semuanya di pegang pake tangan langsung? itu yg bikin laku.. hahaha.. *bcanda
Aroma pasar tradisional memang selalu gak enak, terutama kalau udh memasuki daerah perikanan dan perdagingan.. tp jajanan di pasar enak2 dan banyak macemnya.. apalagi makanan buat sarapan.. hehe..
Iya dipegang tangan semua. Makanya jadi enaaaaaak. Jajanan pasar juga enak!
Hehe, duluu sewaktu kecil aku pernah beberapa kali diajak orangtua atau omaku ke pasar tradisional 🙂 . Betul, pedagangnya semuanya ramah-ramah (Eh ada sih satu atau dua yang jutek dan nyebelin. Tapi ya karena jutek kita nggak pernah beli di situ, ahahaha 😆 ). Kesan khususku adalah: aromanya yang berbeda-beda dari satu area ke area lain. Maksudku, di area ikan aromanya amis, di area daging (sapi/ayam) aromanya beda, di area yang jual bumbu dan sayuran juga aromanya sesuai dengan bumbunya, hehehe
Aku baru nyadar, anak cowok jarang ke pasar ya 😁
Barusan tulis kuliner Malang, mbak Ailsa nulis pasar di Malang. Hihihi. Sukakk secara daku gemar masuk pasar yang becek dan hobby berburu jajanan pasar.
Kalo pasar tradisional kesukaanku di Solo Raya masih Pasar Bekonang. Di mana pas hari pasaran Kliwon, pasar tersebut punya pasar hewan yang dipenuhi peternak dan pembeli. 😀
saya dlu ngak suka ke pasar kerena becek tapi makin kesini jiwa emak2 saya makin tertantang kalau pergi kepasar karena harganya lebih murah cyinnn.. hahha. dan sampe sekarang saya masih doyan sama kue cubit yg di jual di pasar daripada di toko2 😀
Harganya murah banget dan barangnya lebih segar ya.
Kalo saya jujur suka males ikut Mama ke pasar dan lebih suka supermarket, Mba Ailtje x) Suka nggak tahan sama becek, bau amis, sampah bertebaran, panas dan segala macamnya. Walau belom pernah melihat langsung, tapi saya pernah liat di TV atau baca di blog mana, ada salah satu pasar di Prancis yang bersih dan rapi sekali, enak sekali dilihatnya. Saya membayangkan pasar tradisional ini dimodernkan, dibuatkan tempat yang cantik, bersih, dan rapi untuk para pedagang. Pasti akan sangat menyenangkan.
Akhir bulan ini saya juga mau makan siang di pasar. Nanti saya kasih reportasenya ya.
Pasar Indonesia memang jorok, yang bersih cuma segelintir.
Wah, would love to read Mba! 🙂
Aku anak pasaran 😅 ayahku pedagang aksesoris di pasar suka ikut ayah hanya untuk nge-bakso dan minum es sirup yg warna merah tuh 😅 kalo pulkam pst nge bakso n nge es di tempat yg sama di pasar yg sama dr aku kecil sampe skrg pasarnya tetap ada cuma warung bakso n es nya berubah lbih besar lebih bagus tp pedagangnya masih sama… seneng bisa bernostalgia 😅
Es merah sirupnya pewarna gulanya bukan gula?
Ea pewarna gula itu biasanya kan pke gula pasir trus kan ada sirup pewangi dan berwarna merah…itu enak sekali 😅
Aku dulu tiga hari seminggu minum jamu tiap pagi di pasar tradisional Tje, terus beli jajan pasar; cenil, tiwul, klepon campur semuanya 😀
Wah rajin minum jamu mbak. Aku dulu gak mau minum jamu di pasar, karena gelasnya kurang bersih 😑
Mungkin juga ngga bersih tapi untungnya ngga pernah sakit perut, kebal mungkin jadinya 😉
Mbah saya rumahnya deket pasar. Dan punya warung juga di pasar, jadi dari kecil ya hobinya main di pasar hehehehe
Anak pasar berarti ya 😀
aku sampai sekarang masih ke pasar nemenin mama untuk beli santan cair dan paru sapi kalau ingin masak rendang paru mbak Tjetje 😀
Dosen perkembangan anak di sekolahku pun pernah bilang, sebenernya kalau mau stimulasi anak-anak mending dibawa ke pasar aja. Karena beragam jenis bau sampai warna semua ada di pasar
Kalau bawa anak di pasar disini sih enak, bisa pakai kereta dorong. Di Indonesia harus di gendong sementara ibunya mesti bawa belanjaan.
iya mbak Tjetje, ribetnya di sini kudu gendong sambil belanja.
Aku selalu suka ke pasar becek ini Ai, walau kalau musim ujan, alamak……..semua tanah2 itu naik ke kaki haha. Item2 dan bau tapi……..kalau diajak ke bagian ikan, daging, aku males banget. Gak tahan baunya.
Cerita aku dengan pasar tradisional ini tentulah dengan ayahku waktu masih kecil. Tiap minggu aku ikut dia belanja mingguan. Naik motor trus nanti dititipin di tukang parkir dan dia pergi belanja sendirian. Kalau bawa aku banyak yagn diminta hehee. Pulangnya biasanya dibeliin cenil sama jepitan rambut plus liat ayam kalkun hahaha.
Kalau di Medan namanya pajak ya. Aku suka pajak-pajak di Medan karena orang keturunan Cina, India dan Batak berbaur. Menurutku itu Indonesia banget.
Aku inget dulu ke pasar petak sembilan! Panjaaaang banget pasarnya dan dulu ingat juga waktu hujan habis celanaku belakangnya kotor item2. Inget kalau hari sabtu minggu selalu kesana untuk minum jamu dan susu kacang.
Waktu ke Indonesia dulu juga sempet ajak Bartosz ke pasar tradisional di deket rumah keluargaku. “wanginya” sih nggak terlalu jadi masalah, cuma aku nggak tahan liat ayam dipotong hidup2 di tempat. O_O
Wah pasar petak sembilan dan areanya penuh makanan enak. Aku pernah tur babi di daerah itu, tur keliling malam babi.
kayaknya aku tau ibu-ibu jual nasi itu di badung, tapi semenjak pasarnya kebakaran beberapa minggu yg lalu, jadi ga pernah kesana lagi, salah satu nya krn macet hihihi
Hah pasarnya kebakaran? Aduh dimana si ibu ini ya 😦
Aku suka banget mbak ke pasar tradisional. Suasana nya itu lho, ga bisa didapat di supermarket. Meski ya becek, kotor dan segala masalah seputarnya :))
Suasananya kalau diingat-ingat jadi romantis.
Aku nemu pasar yg tradisional banget mbak di sidoarjo sini. Uang 200rb udah bisa belanja lauk pauk dan sayur buat seminggu, plus jajan jajan. Suami nungguin sambil nongkrong di warkop.
Rencananya pasarnya bakal dibangun sama pak bupati. Semoga jadi lebih baik.
Di surabaya pernah main ke pasar modern di surabaya barat. Pasarnya bersiiih harganya juga agak mahal dikit.
Sebenernya di sidoarjo sendiri ada pasar besar namanya puspa agro itu bagus juga. Tp kayaknya pasarnya jalan ditempat soalnya tempatnya kurang strategis
Semoga makin banyak pasar-pasar di Indonesia yang jadi bersih ya Kha.
klo bicara pasar aku jadi keinget masa-masa kecil dulu, sering temenin ibu pergi belanja, haha…
pasar tradisional emng punya kenangan tersendiri deh..
salam kenal mba
Salam kenal juga dan terimakasih telah berkunjung.
belanja di pasar pastinya lebih friendly pedagangnya mba 🙂 dulu jaman kuliah sering kepasar karna buat hemat diakhir bulan harus masak, hihi kebetulan juga deket bgt dr kostan ke pasar.. jd biasanya habis subuh sambil jogging kita ke pasar 🙂 sampe kenal sama ibu2 pedagangnya karna udah langganan dan pas udah lulus sebelum balik ke jakarta sama ibu2 pedagang sayuran, buah ikan ayam dll kita saling pamit dan dibawain segala macem kaya kue-kue pasar buat bekel dijalan katanya mba hahahhaa…
have a good day mba ai. 🙂
Ah manis banget sampai pamitan segala. You have a nice day too!
Saya jadi mendadak kangen naik becak ke pasar, mba. Hehe. Saya suka kagum sendiri lihat wanita-wanita (yang sudah tak muda) membawa banyak barang di atas kepala mereka.
Makasih infonya bu . salam kenal nal
Makasih infonya
pasar tradisional favorit saya di bandung adalah PASAR CILAKI.. dulu pasar ini terhitung lumayan dekat dari rumah dan bisa dicapai dengan jalan kaki sekitar 15 menit… waktu kecil saya bisa aja bela-belain jalan kaki ke pasar ini demi beli 1-2 potong pindang tongkol doang 🙂 sayang sekarang saya udah pindah rumah, dan jadi jauh banget sama pasar ini.. padahal katanya pasar cilaki udah ‘direnov’ dan dibikin gak jorok seperti pasar tradisional pada umumnya…
Kenangan pasar yg paling membekas itu pasar wates di kulonprogo Jogja mbak, eyangku tinggal di wates kalau liburan kesana tiap pagi pasti diajak sama beliau ke pasar. Punya langganan tempat jual makanan namanya Mbak Mud, paling inget dulu suka banget beli tahu baso sama rolade. Kalau rolade biasanya sampai rumah dibikin sop. Terus kadang suka dibeliin jamu beras kencur juga di pasar. Sekarang eyangku uda gak ada jd ga pernah ke wates lagi. Kangen sih pengen main2 kesana kalau sempat..
Ah jamu beras kencur gelasnya dicuci di ember atau gimana?
Itu iyuknya punya lapak gt di pasar, jamu yg cair ada, yg bubuk2 gitu juga ada. Nyucinya ga tau deh hahhaha
Pasar itu malah udah kayak rumah bagi saya. Papa saya merantau ke Timika (yg saat itu masih bagian dari fak-fak), berjualan pakaian. Dimana dulunya tempat berjualan dan tinggal menjadi satu karena Timika dulu masih dominan dengan semak belukar. Pas udah gedean, saya kalo ditanya sama temen utk beli ini itu dimana, udah ngeh banget kudu lewat mana, ke tokonya siapa >< wkwk lihat pasar, inget ortu, inget masa kecil hingga gede heuheu