Selama bermukim di sini, hampir tiap tahun saya pulang kampung, untuk melepas rindu pada keluarga dan makanan Indonesia. Pulang kampung kali ini, sama seperti sebelumnya, saya mengalami reverse culture shock lagi. Dua hari pertama saya, rasanya pening melihat banyaknya hal-hal yang saya sudah tak terbiasa lagi. Belum lagi ketidakbiasaan ini ditambah dengan panas Jakarta yang membara, polusi dan kabut polusi yang menggantung di langit-langit Jakarta, serta kerinduan pada hujan yang saat itu tak kunjung datang. Emosi pun membara, saya jadi mudah bete. Mood saya pada dua hari pertama jadi sangat buruk. Soal kekagetan ini pernah saya tulis di sini dan di sini.
Kebetean ini ditambahkan pula dengan komentar tentang tubuh yang membuat saya semakin emosi jiwa. Jauh sebelum pulang ke Indonesia, saya sudah siap menerima komentar tentang berat badan saya yang bertambah. Toleransi terhadap komentar ini saya atur di level: GENDUT. Komentar apapun dengan embel-embel gendut tak akan membuat saya emosi. Manusia boleh berencana, ogoh-ogoh tapi punya rencana yang jauh lebih kejam. Pada acara perkawinan (yang menjadi tujuan utama saya pulang kampung), saya mendapatkan komentar tubuh saya GEMBROT. Saudara bukan, teman bukan, kenal juga hanya sekilas saya. Orang yang sama kemudian menyempurnakan komentarnya dengan memukul pantat saya sambil berkata, “kamu beneran gendutan deh”. Detik itu saya ingin berkata kejam, tapi saya menahan diri. Pelan-pelan, saya bunuh dia dari pikiran saya. To me, she is six feet under.
Tak hanya komentar soal tubuh, Jakarta juga membuat saya emosi jiwa dengan kesemrawutannya. Jangan ditanya betapa stressnya saya, rasanya pingin cepet-cepet kembali ke Irlandia, supaya bisa menghirup udara segar. Semacet-macetnya Irlandia, kendaraan masih berjalan lurus, tak seperti di Jakarta. Padahal kemana-mana saya disetirin, gak nyetir tapi ikut stress. Tapi apalah gunanya bermuram durja ketika kita hanya kembali pulang setahun sekali. Saya kemudian memutuskan untuk membalik reverse culture shock ini. Bagaimana caranya?
Saya berpasrah diri pada hal-hal yang tak bisa saya ubah. Realitasnya, Jakarta memang macet & polusi di mana-mana. Dan di tengah kesemrawutan ini, sepeda motor masih seenaknya sendiri, tanpa aturan. Klakson pun masih sangat meriah. Dan di tengah-tengah kesemrawutan itu, I counted my blessings. Dari mulai gak perlu ikutan nyetir, gak perlu kepanasan, duduk nyaman di dalam mobil hingga bisa ngobrol hantu dengan pengemudi kami.
Panas Jakarta yang membara juga membuat saya bersyukur, masih ada AC untuk mengademkan diri. Bisa ngadem di mall juga sambil minum kopi. Serunya lagi di Indonesia kopi yang ditawarkan selalu panas atau dingin. Di Irlandia, jangan harap dapat es kopi, apalagi di musim dingin ini. Para barista juga ramah-ramah tak terkira, padahal kerja mereka panjang dan sangat melelahkan.
Berada di Jakarta juga membuat saya bisa makan apa saja, di mana saja dengan mudahnya. Dari masakan Indonesia hingga masakan Jepang. Di Irlandia, tak ada masakan Jepang yang otentik, jadi pulang ke Indonesia bertemu aneka ramen rasanya surga banget. Soal pemesanan makanan juga mudah sekali, tinggal buka aplikasi dan pencet-pencet tombol Gojek. Selesai.
Saya juga bahagia banget masuk toilet di mal-mal di Indonesia. Baunya wangi, bersih, jangan dibandingkan dengan mal di Irlandia. Petugasnya pun juga ramah gak karuan. Biarpun dicuekin oleh lebih dari 90% pengguna toilet, mereka masih tetap mengucapkan terimakasih dengan senyum.
Keramahan khas Indonesia juga menjalar ketika memasuki toko-toko untuk berbelanja, atau sekadar mencoba. Dari Factory Outlet yang menjual produk-produk buatan Indonesia hingga toko-toko papan atas di mall. Bahkan para abang-abang yang menjaga makam pun tak terkira ramahnya. Mereka berlarian mencoba membantu saya menemukan makam-makam yang saya kunjungi.
Setelah puluhan purnama dan beberapa kali pulang, akhirnya saya belajar bagaimana membuat pulang kampung tak beracun, meminimalisasi energi negatif dan tentunya mengatur kekagetan dengan hal-hal yang kita tak biasa lagi. Apalah gunanya pulang kampung kalau cuma untuk ngomel-ngomel, apalagi kalau kemudian diabadikan di media sosial dan meracuni orang lain. Ah manusia itu memang berproses.
Ada yang punya tips lain biar gak kaget kalau pulang kampung?
Xx,
Tjetje
Yang sangat malas ngeblog
Eh ya ampun sampe ditepok bokongnya? :O
Hmmm tipsnya apa ya, Sa… Ketemuan gue, Aling ama Vennie udah paling bener. Hahaha.
Btw I miss your cruncy voice already!
Iya next time lebih lama ya. Miss you too birthday twin!
OMG our birthday is just right in fromt of the eyes! 😀
Yaas, counting down now.
Happy birthday Mbak!
Terimakasih 😉
Belum pernah pulang kampung sama sekali selama 5 tahun. Tapi aku sudah berniat, apapun yang terjadi nanti saat ada kesempatan mudik, aku akan nikmati setiap kejadian. Sudahlah ga pernah pulang, masa iya sekalinya pulang musti ngomel2. Yang namanya liburan (khususnya mudik) pasti ada aja kejadian ga enaknya. Sama kayak kamu, syukuri saja yang bisa kita nikmati di Indonesia yang tidak bisa kita dapatkan di negara kita tinggal sekarang. Mau ngomel2 pun ga merubah keadaan. Jadi nanti mantraku : nikmati saja, ga setiap hari menghadapi kayak gini. Kalau badanku yang dikomentari, ya kujawab : memang sengaja kubuat gendut, bosen berpuluh2 tahun singset mulu. Pengen sesekali ngerasin badan melar.
Hahahaha Den, okay punya tuh jawabannya. Wah nanti kalau pulang banget pasti rasanya nikmat bener Den.
Pengalaman saya pulang ke Jakarta sama seperti pengalaman Tjetje, dari mulai komentar “kamu makin gemuk ya” (padahal biasanya orang yang berkomentar begitu sebetulnya lebih gemuk dari saya 😄) sampai rasa ketidak nyamanan dengan hiruk pikuknya Jakarta berikut kemacetannya. Akhirnya saya ambil solusi bahwa saya harus pasrah dengan situasi dan nikmati saja. Kalau dalam kemacetannya, saya mengingatkan diri sendiri “at least I am not the one who is driving”, lalu bersyukur dan berterima kasih untuk jasa dan keramahan orang2 yang menyupiri saya.
God bless our country 🙏🏼 😊
God bless Indonesia!
Aiii, aku suka bgt kalimat terakhir. Pada akhirnya emang kita cuma bs nerima ya. Complain doang gak ada guna.
Btw yg ditepok bokong, kurang ajar bener. Arghhhhhh
Thank you Non. Ember, ngeselin bener ditepok2 segala.
Iya, let it go dan let it flow aja ya, menerima bahwa memang kehidupan di Indonesia begitu (dalam hal kultur, kesemrawutannya, dsb), dan memang tidak bisa kita ubah. Yaa, daripada malah jadi bete dan senewen sendiri kan, padahal seharusnya sedang “liburan”, hahaha…
Betul banget Ko, justru harusnya yang dicari yang semrawut.
Jahad benar yg komentar dan tepuk bokong ya. Resep reverse culture shock? Dulu plg cuma inget mati aja. Topik menarik mba. Salam…
Iya kejam, sampai kaget banget aku. Salam kenal juga jeta