Nggak biasa-biasanya saya bawa-bawa Tuhan, tapi gara-gara kelamaan lockdown say jadi banyak refleksi, refleksi atas banyak hal. Katanya kita ini orang-orang yang relijius, menerima semua pemberian Tuhan dan bersyukur dengan semua yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Katanya sih gitu, tapi realitanya tentu saja berbeda, masyarakat kita seringkali tak terima ketika melihat hal-hal yang tak sesuai standar kecantikan kolektif.
Kulit-kulit kebanyakan orang Indonesia itu tak putih cemerlang seperti Yoda si anjing saya ini. Kulit kita itu kebanyakan coklat, mengandung melanin yang berfungsi untuk melawan kanker kulit. Kulit coklat ini juga berguna banget ketika kita harus banyak beraktivitas di luar dari mulai nanam padi di sawah sampai goler-goleran di Spanyol dengan alasan mencari vitamin D.
Tapi realitanya, kulit coklat ini dianggap sebagai kulit yang hina dan tak berkelas. Yang menghina-dina nampaknya belum pernah sampai ke Eropa di mana kulit coklat bisa dielus-elus oleh orang tak dikenal karena mereka takjub (dan tentunya menganggap kita horang kaya yang kerjaannya goler-goleran di negeri asing).
Parahnya, ketidaksukaan terhadap warna kulit yang gelap ini juga dengan nyata-nyata ditunjukan kepada orang lain, dari berbagai ras dan tentunya berbagai usia, termasuk anak-anak. Di usia saya yang masih piyik, dengan penuh tawa dari banyak anggota keluarga saya dipanggil burit rinjing, bahasa Banjar yang berarti pantat penggorengan. Kulit saya yang tak putih cemerlang seperti para bintang iklan itu menjadikan saya layak dijadikan bahan tertawaan. Untungnya, saya tumbuh besar tanpa terobsesi untuk memutihkan kulit.
Tak cuma kulit saja yang tak disyukuri bersama-sama oleh masyarakat kita, tapi hidung juga menjadi obsesi ketidakpuasan. Hidung yang mancung dianggap sebagai keindahan yang patut disyukuri, sementara hidung-hidung lain layak dianggap bahan olok-olokan dan tertawa. Dan olok-olokan ini dimulai sejak dari kecil juga; adik bayi yang baru lahir pun sering dikomentari hidungnya.
Hidung saya sendiri konon tergolong mancung. Suatu hari di sebuah RS di Jakarta, saya berbaring sebelum melakukan perawatan wajah. Si suster yang berdiri di belakang saya sambil membersihkan muka bertanya tentang keaslian hidung saya; mungkin dia pikir saya yang pendek, berkulit kelam dan berambut keriting ini tak layak punya hidung mancung. Pernyataan saya bawa hidung saya asli tak cukup buat di suster, pelan-pelan jarinya ditempelkan ke samping hidung saya dan hidung saya ditowel-towel. “Oh iya asli”, kata si suster.
Selain warna kulit dan hidung, rambut menjadi hal lain yang tak masuk dalam daftar standar kecantikan yang kemudian “tak patut disyukuri”. Rambut saya yang ikal dan keriting ini menjadi bahkan olok-olokan sedari dulu kala. Keriting seperti sapu ijuk katanya. Belum lagi komentar pedas yang menuduh saya tak merawat rambut hingga tekanan sosial untuk meluruskan rambut supaya terlihat cantik. Tekanan ini dialami oleh banyak perempuan berambut keriting, salah satu teman kuliah saya bahkan rela meluruskan rambutnya dengan setrika demi terlihat “cantik”.
Nah saya pikir dengan rambut yang sudah diluruskan saya akan sesuai dengan standard kecantikan Indonesia. Tentu saja saya salah, karena kemudian banyak bermunculan komentar-komentar pedas soal rambut yang tak asli karena diluruskan. Apalagi jika rambut-rambut keriting sudah mulai bermunculan. Tuduhan tak bersyukur pun meluncur. Ah ribetnya mulut orang.
Masih banyak sekali kerja kolektif masyarakat kita yang sering menertawakan anggota tubuh, memberikan tekanan pada orang lain karena warna kulit yang berbeda, hingga soal muka yang berjerawat. Belum lagi mereka yang kemudian memperbaiki anggota tubuh melalui operasi plastik juga dijadikan bahan tertawaan. Pendeknya, semua salah.
Mau rambut ikal, lurus, keriting, hidung mancung, bulat, pesek, sekalipun, kita semua makluk Tuhan yang paling indah!
xoxo,
Ailtje
Benar apa adanya seperti itu kak. Aku yg born with white skin karena faktor turunan suka dikomentari kurang berjemur, tapi giliran jadi tanned karena abis main panasan dibilang belum mandi atau gak bisa merawat diri. Rambutku juga keriting jenis 3b klo gak salah. Klo buat orang2 jaman dulu tergolong admirable, tapi semenjak trennya rambut ala to ming se, yaah mudah ditebak lah gimana. It’s always wrong to be a woman in our society, mau jadi alim, mau jadi nyentrik, mau jadi apapun semua salah dan yg sok2an nasehatin + sok ngatur2 itu yg paling annoying karena mereka claiming that they’re trying to be kind, care, blablabla, tapi tetap aja terkesan spt involving too much gitu dan mengganggu
Iya salah semua ya. Gak ada benernya emang.
Tapi yg aku amati so far hanya perempuan dan yg nampak lemah aja yg suka dikomen + dianggap gak pernah ada benarnya.. laki2 walau behave without sense of humanity tetap aja selalu dibenarkan. Sediih 😢
Kayaknya tetep ada judgment ke pria, tapi gak separah perempuan. Ejekan alay kalau gak salah kan awalnya cowok-cowok; yang rambutnya lurus dengan poni miring itu.
huhuhu baca ini jadi inget dulu sering disebut Black ghost (nama jenis ikan cupang cenah), blek kerupuk (kaleng kerupuk) apa aja pokoknya yang ada kata black nya.. terus orang2 terdekat juga sama aja, dari sejak balita sering banget dibahas “kamu mah pas lahir mirip sama mike tyson” Mike Tyson nggak kenapa2sih, tapi anak kecil perempuan mana yang mau disamain sama Mike Tyson, hahahaha.. kl mau mirip2in kulit gelap mah, sama beyonce kek gitu…
Ya ampun, jahat banget disamain sama ikan cupang. Kulit gelap itu padahal gak ada salahnya kali. 😦
Well said, Tje..👍 Makasih udah mewakili suara hatiku.. Menurut standar Indonesia, kulitku tidak termasuk “hitam”. Tapi ketika kulitku menggelap karena sinar matahari di Australia sangatlah brutal, nyaris semua orang yg aku kenal di Indonesia bilang aku jadi jelek.. Pulang kampung langsung “turun kasta” gara-gara kulit menggelap.. Terus setelah melahirkan badanku jadi overweight dan gak turun-turun sampai sekarang, siap-siap “turun kasta” lagi deh..
Udahlah kita pakai standard luar negeri aja, kulit coklat = orang kaya bisa sun holiday. Kibas rambut.
Ah berat badan ini aku pernah tahu salah satu orang terdekatnya jadi ada gangguan makan gara-gara ejekan dari kecil.
Setuju sekali dengan tulisan nya. My two children have two different skin tones and they are both beautiful 😉
I am sure they are!
Tulisanmu ini jadi melemparkan ingatanku pas jaman2 SD. Suka dikatain idung megar karena hidungku gede. Tapi seingatku, aku cuek saja. Entah dari dulu aku selalu cuek kalau dikatain hal2 yang berkaitan dengan fisik, padahal ya fisikku jauh dari standar paripurna iklan2 di TV. Tapi kalau dikatain ga pintar atau males belajar, nah baru itu mengusikku. Harga diri terhina😅padahal ya memang mungkin waktu itu aku lagi males belajar.
Aku gak terusik kalau dibilang malas belajar, karena aku memang gak yang semangat belajar, jadinya ya biasa-biasa aja. Mungkin kalau aku rajin belajar, sekarang jadi dokter. Eh…ngelunjak.
Hidung mancung di sekolah aku di panggil petruk dan karna namaku berawal dengan Gar dipanggil Gareng juga. Serba salah kan 🤷♀️😁 Petruk ato Gareng maunya? Yah sesukanya lah 😂
Perusahaan kosmetik juga banyak bikin imej kulit tertentu jadi jelek sih, kompor gitu, kalau gak salah sejak black live matter perusahaan kosmetik gede yg terkenal di luar mau berhenti kirim pesan glorifikasi pada kulit tertentu.
Oh utk tahu hidung asli atau nggak kalau dipegang ada bedanya ya 😅
Oh iya bener, perusahaan kecantikan punya andil besar juga. Good point.
Nah itu aku gak tau kalau hidung yang hasil operasi dipegang gimana. Tapi ini ya suster reseh, kalau pasiennya pernah kecelakanan hidungnya patah atau harus direkonstruksi segala, disenggol2 gitu jadi gimana.
saya tuh suka mengguman sendiri, di indonesia, hidung kyk mba ai jd idaman, mancung sampai banyak org rela operasi buat hidung mancung, nah di Turki beda lagi, ,iklan berseliweran untuk memangkas hidung kemancungan jadi mancung wajar, biasanya orang2 blacksea terkenal dgn hidung bangirnya malah kayak karakter pinguin yg di film batman gitu, lucu aja suka ketemu org abis operasi mendekin hidung, nun jauh disana kebalikannya. standar kecantikan indonesia ni selain andil pabrik ksmetik terutama yg whitening2 itu lah..skrg bergeser ke era glowing2
Iya ini juga case di kantorku, ada kolega yg hidungnya diperban, tak pikir kecelakaan. Jadi aku tanya kalau dia OK atau engga, ternyata abis pangkas hidung.
Manusia memang tak pernah puas.
Kalau boleh menilai fisik orang nih justru aku iri sama orang-orang yang hidungnya mancung, berleher jenjang, dan bahunya tegap gitu, kak 😆 Soalnya saya tau hidung saya bisa(-bisa aja) mancung sedikit, leher bisa jenjang, dan bahu bisa tegap kalo saya rajin olahraga dan diet 😆 Jadi hidung aku tuh tenggelam sama pipi yang gembul dan leher gak keliatan ya karena ketutupan lemak wkakaka.
Tapi terlepas dari itu semua emang gak etis mengomentari fisik orang, apalagi terang-terangan, bikin sakit hati yang denger. Kenapa lidah kita gabisa jadi penyejuk aja, sih? Daripada ngomongin bentuk fisik kan masih banyak topik lain yang bisa diobrolin.
Semuanya harus dimulai dengan mencintai diri sendiri, gak ada yang salah dengan hidung kita. Yang salah persepsi kita menilai hidung kita.
Let’s self-love!
Manusia itu memang tidak jauh dengan yang namanya sifat “TIDAK PUAS”, bukan berarti tidak mensyukuri tetapi lebih kepada berusaha mendapatkan kepuasan maksimal akan suatu hal yang di dambakan.
Orang melayu dengan mayoritas berkulit sawo matang pengen kulitnya seperti orang asia timur yang berkulit kuning langsat, atau orang barat yang berkulit bule… begitupun sebaliknya, orang bule menganggap kulit orang melayu itu indah dan eksotik.
Iya ini namanya the power of the opposite attraction.
Bener sekali tulisannya Mbak. Kulit saya standar cokelat orang Indonesia. Ada yg bilang dekil kumel lah, ga bisa merawat diri lah. Lain waktu ada yg bilang sok eksotis biar disukai bule. Padahal warna kulit saya segitu-segitu aja. Pakai krim pemutih/pencerah enggak, berjemur juga enggak. Saya jadi ga pernah pasang foto diri di sosmed. Males dikomentarin.
Aku sendiri punya kulit yang cokelat, sejak lahir. Nggak gelap banget sih awalnya, tapi karena aku nggak peduli sama penampilan suka main panas-panasan jadi semakin belang haha. Tapi dari dulu aku nggak banyak nerima hinaan atau bully tentang kulitku, kok. Yang aku inget cuman adikku sendiri yang malah hina aku. Ceritanya saat itu mamaku, adikku dan aku sedang pergi ke pasar Atom di Surbaya. Di pasar itu tuh banyak banget orang-orang turunan Tionghoa yang kulitnya pucet-pucet gitu. Kami lagi makan di food court, dan adik laki-lakiku berkata, “di sini kakak sendiri yang item.” Sontak aku lihat ke sekeliling kan. Dan yang dia katakan emang benar.
Meski demikian aku nggak terlalu ambil pusing omongan adikku, ya karena dia adikku. Lagian omongan dia ada benernya juga. Yang aku terima dengan senang hati adalah, saat kursus bahasa Inggris di EF, ada pengajar native speaker bernama Annie yang menulis deskripsi untuk mengingat muridnya di samping nama pada daftar absensi. Dan di samping namaku ditulis lah “good skin”.
Wow, aku tersanjung banget saat nggak sengaja bacanya. Hehehe.. Bangga banget gitu rasanya karena ada yang suka kulitku.
Setelah menikah dan pindah ke Bali aku makin gelap aja karena aktivitas outdoor macam berkebun, ke pantai, dll makin intens. Trus ada volunteer asing dari US di tempat kerjaku yang bilang bahwa kulitnya itu pucet banget. Dia ngomong ke aku gimana caranya supaya bisa punya tanned skin kayak aku selamanya. Karena dia udah bolak-balik sunbathing tapi nanti pasti bakalan balik pucet lagi kulitnya.
Waduh, maaf aku komen kepanjangan hampir kayak nulis satu posting blog, mbak. Hihihi….
Oh ya, Yoda itu kulitnya pasti warnanya pucet dan agak pinkish gitu, karena kulitnya keseringan ketutup sama rambutnya yang gondrong itu 😀
Bagus kali, ya, kalau manusia semuanya punya kulit warnanya transparan kayak udang? Hehehe… Biar nggak iri atau cela-celaan, gitu.
Duh emang serba salah kalau dengerin omongan orang ya, terutama di tengah budaya kita di Asia. Standar cantik relatif, tergantung dimana kita berada. Tanned skin di sini disukai, di Asia sebaliknya as you said. I dont give a d*mn about what other people said anymore. Pardon my language 😊. Hope you are well Ailtje!
Iya, the challenge of living in Asia. I hope you are well too Malikah. We are doing good here, ready for Christmas 🙂