Di Indonesia itu semua orang adalah teman. Tak heran jika kemudian di media sosial teman-teman yang dipunyai bisa mencapai ribuan orang. Padahal ya mungkin hanya bertemu sekali dua kali saja dan tak bisa dibilang sebagai teman. Di tahun 2010 dulu, di Jakarta, di sebuah cafe, ada seorang teman yang menjelaskan lingkar pertemanan, lengkap dengan levelnya, lingkaran pertama diisi oleh teman-teman terdekat, lingkaran kedua tak terlalu dekat, begitu seterusnya hingga lingkaran terluar.
Pembagian kelompok teman itu bukanlah sebuah hal yang aneh, ini proses alami. Namanya manusia itu berkembang, hari ini cocok, besok tak cocok karena banyak hal, atau hari ini tak kenal, esok jadi sayang karena kenal lebih dalam. Pepatah bahasa Inggris sendiri mengatakan Birds of feathers flock together, orang-orang dengan karakter, kerpribadian dan selera yang sama ya akan berkelompok tersendiri. Wajar dan normal.
Persahabatan
Kelompok pertama dalam pertemanan bagi saya adalah sahabat, mereka ini adalah teman terdekat yang sudah kenal luar dan dalam. Biasanya persahabatan sudah terjalin selama bertahun-tahun. Ada kepercayaan yang tumbuh, kita juga bisa jadi vulnerable, gak jaim, sangat jujur dan tahu secara dekat. Beda pendapat juga wajar dalam hubungan ini, biasanya karena sudah sangat dekat, kalau beda pendapat bisa heboh, tapi setelah itu ya balik lagi kayak normal. No hard feeling.
Perlu dicatat, kenal dari sedekade lalu bagi saya bukan berarti otomatis sahabat ya, karena ada intensitas persahabatan yang membuat kenal luar dan dalam.
Karena intensitas persahabatan yang cukup kuat, tolong-menolong di kelompok ini bagi saya juga cukup kuat. Kalau ada yang perlu pertolongan gak pakai mikir-mikir lagi. Dalam daftar hari-hari special, orang-orang ini ada dalam urutan teratas. Bahkan dalam doa pun para sahabat ini namanya disebut.
Persahabatan juga biasanya teruji oleh waktu, kadang-kadang intensitas ngobrol akan berkurang karena kesibukan dalam hidup, tapi ketika ngobrol lagi ya langsung nyambung. Pendek kata, dalam lingkaran pertemanan, persahabatan ini seperti berjodoh. Ketemu jodoh yang tepat, makanya jumlahnya biasanya sangat-sangat sedikit.
Pertemanan
Selain persahabatan, kemudian ada pertemanan. Intensitas antara sahabat dan teman bagi saya tak seintens persahabatan. Tapi masih ngobrol-ngobrol, masih ketemu sekali-sekali, dan kita tahu tentang sedikit banyak tentang orang tersebut. Ada hubungan emosional, tapi tak sedalam persahabatan. Hubungan ini terbentuk dari obrolan-obrolan yang terjalin karena nyambung dan berada dalam frekuensi yang sama.

Dari obrolan-obrolan tersebut, jika kemudian kita disuruh menuliskan hidup teman ini, makan kita bisa menulis beberapa baris kalimat atau bahkan beberapa paragraf (sementara sahabat bisa menulis biografi kita, lengkap dengan cerita konyol dan memalukan).
Tolong-menolong sendiri juga terjadi di kelompok ini. Analoginya, dalam persahabatan kita rela mati, dalam pertemanan gak rela. Tapi akan bikin upacara penguburan yang sangat indah.
Kolega
Dalam area perkantoran tradisional, teman kantor adalah orang-orang di sekitaran kita yang menghabiskan waktu selama masa kerja. Hubungan biasanya sebatas profesional saja karena berada dalam kantor yang sama. Kadang-kadang bisa disertai makan siang, sarapan bareng, ngopi bareng, pulang atau berangkat bareng, atau untuk yang merokok, biasanya ngudut bareng.
Di era kerja dari rumah ini, teman kantor terbentuk dari minum kopi bareng secara virtual dan ngobrol virtual. Aneh dan tak biasa, tapi ya harus dilakukan demi kesehatan.
Dari hubungan kolega biasanya terbentuk pertemanan juga yang berlanjut di luar kantor. Apalagi jika punya ketertarikan pada hal-hal yang sama. Saya sendiri beruntung, ada beberapa kolega yang kemudian menjadi teman yang saling mendukung untuk urusan karir ataupun di luar karir ❤️.
Satu hal yang patut hati-hati dengan pertemanan di kantor adalah urusan membuat keputusan. Penting untuk tidak bias dan hanya menguntungkan teman sendiri ketika membuat keputusan.

Kenalan
Kelompok ini masuk dalam kelompok orang-orang yang baru dikenal, bertemu sekali saja dalam hidup, atau bertemu beberapa kali, biasanya bisa dihitung dengan jari, jari tangan kiri pula. Ngobrol dengan orang-orang di kelompok ini juga hanya sekilas saja dengan topik yang sangat lebar, tapi tak pernah ngobrol dalam apalagi curhat-curhatan.
Kalau analogi saya, kenalan itu seperti turis yang mengunjungi tempat-tempat wisata. Lihat-lihat, foto-foto bareng, unggah di media sosial, tapi gak kenal luar dalam sejarah dari tempat wisata tersebut. Beda dengan orang-orang lokal atau profesor yang melakukan riset mendalam. Jadi ya kalau mereka disuruh menulis tentang kita, turis-turis ini biasanya tak tahu, karena hanya bertemu sekilas.
Di kelompok ini saya sering sekali mendengar istilah “kita kan teman”, padahal butuh banyak elemen, dari obrolan yang nyambung, hubungan emosi, dan kedekatan dari kelompok ini untuk bisa berpindah menjadi teman.
Kelompok ini juga paling banyak jumlahnya dan bukan tak mungkin dari kenalan bisa berpindah menjadi teman atau sahabat. Atau bahkan berdiam di kenalan saja, karena situasi yang tak memungkinkan.
Temen Media Sosial
Ini masuk dalam kategori yang gak kenal. Dulu mungkin pernah satu sekolah tapi tak pernah ngobrol sama sekali karena baru ketemu di grup alumni sekolah. Ngobrol juga kemudian gak pernah lagi, nggak nyambung pula, tapi ada di dalam daftar pertemanan media sosial.
Ada juga yang berkenalan dari komunitas, ngobrol sekilas lepas aja, terus berteman di media sosial. Interaksi di sini pun bermacam-macam, tapi biasanya lebih banyak sunyi senyap tanpa suara. Kalau orang-orang ini hilang pun kita tak akan pernah ngeh dan gak tak ada rasa kehilangan karena hubungan emosi yang tak ada sama sekali.
Jika menuruti aturan dalam bermedia sosial sendiri, orang-orang ini tak seharusnya ada dalam daftar pertemanan, karena resiko keselamatan. Path, media sosial yang sudah gulung tikar sendiri dulu punya strategi hanya memperbolehkan sedikit orang untuk berada dalam lingkar pertemanan. Dasarnya ilmiah, karena manusia itu tak mungkin bisa berteman dengan 5000 orang. Bener juga memang.
Penutup
Hubungan pertemanan itu seperti air, fluid, dan bisa berubah-ubah. Pertemanan adalah hubungan yang perlu dipupuk secara terus-menerus, makanya nyambung dalam pertemanan itu penting. Pada saat yang sama, teman-teman juga harus punya banyak pengaruh positif pada hidup kita, karena persahabatan itu bagaikan kepompong, mesti saling mendorong untuk jadi kupu-kupu yang indah. Tolong-menolong juga seperti gajah yang dinyanyikan Tulus, salah satu penyanyi favorit saya.
Teruntuk semua teman dan sahabat saya, dalam suka dan duka, I am forever grateful.
xoxo,
Ailtje
Aku bersyukur, punya lingkar persahabatan yang sudah teruji waktu, jarak, dan emosi (setidaknya sampai saat ini). Kami berempat, sudah 22 tahun bersama. Dalam segala suasana meskipun beda benua, beda waktu. Segala hal naik turun sudah dilalui. Segala emosi dan gelak tawa pun sudah teruji. Jadi bersyukur banget kami masih bersama sampai saat ini, diberikan sehat dan teknologi mempermudah komunikasi kami lewat video call, whatsapp. Asli kangen sama mereka, ketemu terakhir 2014 akhir sebelum aku pindah ke sini. Ini persahabatan sudah dilevel kamu ga ngomong pun kami2 sudah tau apa yg ada di pikiran dan hatimu *level cenayang hahaha.
Btw, pembedaan Kolega, teman, dan kenalan, aku belajar sejak pindah ke sini. Dulu kan kusebut semua teman : teman kantor, teman baru kenal, teman media sosial. Pokok semua teman. Pas kerja di sini, jadi tahu memilah2 sebutan.
Sehat2 terus Ail kamu dan para sahabat juga teman
Aku suka cara kamu deskripsi pertemanan level cenayang. Kita orang-orang yang beruntung punya teman sudah puluhan tahun ya Den.
Kalau mengkotak-kotakkan kolega, kenalan, aku udah dari jaman di Jakarta. Soalnya suka kesel kalau ada yang ngaku-ngaku kamu kan temenku, temen kok gitu, geret-geret teman, padahal ya boro-boro nama lengkap aja kagak tahu. LOL
Kalo kata mbak Deny itu “pertemanan level cenayang”, persahabatan aku dan temen2 di Indonesia tuh macam kaktus. Gak perlu diurusin dan dikasih air tiap hari, tetep aja hidup. Tiap kali aku main ke Indonesia pasti selalu menyempatkan bertemu, bahkan seringkali beberapa dari mereka lebih sering ketemu daripada kunjungan keluarga, hehehe. Grup Whatsapp juga begitu, jarang banget ngobrol tapi sekalinya ada yang memantik percakapan langsung rame.
Aku juga udah mengkotak2an kolega sejak masih di Jakarta. Soalnya berasa ngga cocok dan sejak dulu udah ada pemikiran “Gw kan ketemu lu 40 jam dalam seminggu, ga usah lah ditambah2in lagi ketemu after work atau saat weekend”. Tapi baru mulai “berani” mengkotak2an kenalan dan teman biasa tuh pas udah pindah ke Belanda.
Aku di Jakarta dulu pernah koreksi orang. Kita bukan teman, kita kolega. Ini penting banget buat aku, karena teman itu dalam.
Bener itu kaktus. Ah seneng deh banyak cara menggambarkan pertemanan.
Jujur, aku sekarang keknya hampir gada waktu untuk ketemu dengan orang2, apalagi di saat corona begini, jadi sungguh meng-appreciate teman yang ga ngambek ga konek sekian lama, dan bisa langsung nyambung kalau diajak ngobrol. Semakin kita tua, semakin sibuk kita dengan banyak hal, jadi kudu punya teman yang model begini, yang ngga harus jalan tiap bulan atau ngobrol tiap bulan supaya tetep akrab.
Setuju. Dan teman kayak gini itu berharga banget.
Aku pun suka membedakan lingkar pertemanan ini, karena berhubungan sama hal-hal pribadi yang dishare ke tiap kelompoknya. Temen-temen di level pertama atau persahabatan biasanya ga perlu dibrief panjang lebar kalau ada masalah dan bisa bersikap jauh lebih terbuka dibanding level pertemanan yang lain dan tentu dihubungi pertama kai setiap ada kejadian spesial dalam hidup. Sama kayak Mbak Tjetje, biasanya persahabatannya udah diuji berbagai masalah dan badai, sehingga kalau sekarang cuma ga terus-terusan menghubungi ga berarti renggang dan biasanya begitu ngumpul atau ngobrol akan langsung nyambung.
Paling kesel memang kalo cuma kenal dan menyapa sekali dua kali tapi dianggepnya temenan dan jadi baper kalo kita ga nyapa atau cuek -__-“.
Itu ngaku-ngaku teman. Macem baru temenan ngaku pacar. 🤣
=))) aku pun merasa begitu Mbak Tjetje
Terima kasih sharingnya mbak Ail. Sebagai blogger kadang juga suka lupa bedakan detail apakah yang di mention di cerita kolega, sahabat atau kenalan. Supaya gampang sebutnya teman aja 😅 padahal bagus kalau menperkenalkan definisi berdasarkan kedekatan seperti ini. Resikonya hanya satu kalau ada yg baca, merasa ikrib tapi tersungging karena levelnya dianggap baru teman/kenalan🤣
Iya memang bahasa Indonesia berpengaruh banget, lebih universal pakai teman. Lha kalau yg tersinggung gitu sih, 🤐
Sebenarnya stratifikasi level pertemanan ini menurutku memang selalu natural terjadi ya, hanya memang dari segi linguistik aja dimana kata “teman” umumnya dipakai untuk mencakup hampir keseluruhan spektrumnya. Yang mana ini jadi rancu karena “teman” mengimplikasikan kedekatan hubungan, padahal mungkin yang dimaksud “teman kantor” ya sebenarnya kolega doang, hahaha. Tapi pada prakteknya pertemanan ini toh mengikuti proses seleksi alam juga kan, tetap terjalin kokoh dengan yang dekat/cocok, lama-lama aus juga dengan yang jauh/tidak cocok.
Bener banget Ko. Proses eliminasi alami. ❤️