Menghina Pekerjaan Orang



Pernah dengan tentang Nikmatul Rosidah Dobson? Mbak Nik ini salah satu Youtuber Indonesia yang tadinya bermukim di HK lalu pindah ke Canada. Akun Youtube Mbak Nik banyak bercerita tentang masakan dan juga keluarganya. Di Facebook, Mbak Nik sering bercerita tentang aneka perisakan yang ia terima, dari orang yang tak ia kenal. Ada banyak hinaan yang dia terima, dari soal rumah yang baru ia beli, dituduh berfantasilah, suaminya pun ikut dihina, bahkan yang terakhir latar belakang pekerjaan dia yang pernah bekerja di Hong Kong juga dihina. Soal hinaan terhadap pekerjaan Mbak Nik ini bagi saya sebuah hal yang sangat “menarik2”, karena orang tak malu-malu menunjukkan wajah aslinya demi kepuasan menghina orang lain.



Tanya kenapa?



Observasi saya, ketergantungan kita di Indonesia terhadap pekerja rumah tangga itu sangat tinggi. Tapi sayangnya ketergantungan ini tak dibarengi dengan penghormatan, malah dibarengi dengan diskirimasi dan hinaan terhadap pekerjaan mereka. Hinaan ini kemudian melebar tak hanya kepada pekerja rumah tangga tapi juga pada TKW, yang berbuntut perlakukan yang bebeda dan diskriminatif. Soal ini pernah saya bahas panjang lebar di postingan 5 tahun lalu di sini.

Masyarakat kita juga kemudian memunculkan hinaan “muka pembantu”, yang tak jelas maksud dan definisinya apa. Apalagi menjadi pekerja rumah tangga itu tak memerlukan fitur muka yang unik seperti ketika harus menjadi model. Bisik-bisik tetangga juga sering mengatakan “dia itu dulu bekas pembantu”. Seakan-akan menjadi pekerja rumah tangga adalah sebuah hal yang salah. Sudahlah gaji di bawah UMR, jam kerja gak jelas, masih juga dihina-dina.

Image by Pijon from Pixabay

Ketika saya tiba di Irlandia beberapa tahun lalu, pekerjaan pertama saya adalah tukang bersih-bersih media sosial, upahnya cukup rendah, hanya 25% lebih tinggi daripada upah minimum. Pekerjaan ini tidak untuk semua orang, karena bersih-bersih yang dilakukan terkait dengan konten yang aneh-aneh di media sosial dan bisa memicu trauma. Kala itu, pekerjaan tersebut cukup mudah didapatkan karena kemampuan bahasa Indonesia yang saya punyai. Jenis pekerjaan ini memang memerlukan kemampuan bahasa, kecepatan dalam menganalisis dan kebisaan untuk berhadapan dengan trauma.

Lalu, dalam sebuah acara, pertama kalinya dalam hidup saya, saya merasakan bagaimana rasanya dihina dan direndahkan karena pekerjaan dan perusahaan tempat saya bekerja. Di depan orang banyak tentunya.


Tadinya, saya berpikir menghina pekerjaan orang lain itu hanya pada pekerjaan dengan penghasilan rendah. Eh tapi tunggu dulu, dokter gigi yang sekolahnya susah pun tak lepas dari hinaan. Baru kenalan dengan orang, begitu tahu pekerjaan dokter gigi udah langsung menghina pekerjaan dokter gigi karena identik dengan rasa sakit (dan biaya yang tak murah), lalu malas dekat-dekat karena rasa takut dan insecurity karena pekerjaan orang lain.

Yang menyedihkan, kadang-kadang hinaan terhadap profesi ini bermula sejak dini, ketika anak-anak yang akan memilih minat profesinya memantapkan hati. “Ngapain sekolah jadi tukang mandiin anjing, gak ada uangnya”. Atau mereka yang ingin jadi pengacara, belum-belum sudah disumpahi kaki satu di neraka dan satu di surga. Situ dewa penjaga pintu neraka dan pintu surga?

Penutup

Adanya kultur yang mempermalukan dan menghina orang lain karena pekerjaan mereka itu membuat orang kemudian malu jika pekerjaan mereka diketahui orang lain. Menjadi pelayan di restauran misalnya, kemudian lihat seseorang yang dikenal, kabur dan sembunyi. Malu dan takut dihina.

Tak bisa dipungkiri, dipermalukan dan dihina orang lain itu pasti menyakitkan. Saya sendiri melihat hal seperti ini sebagai sebuah “kelucuan” yang memicu pertanyaan, mengapa orang lain mati-matian merendahkan pekerjaan orang lain (dan pada prosesnya meninggikan pekerjaan mereka sendiri, kadang ketinggian sampai lapisan langit gak cukup)?

Bagi saya, konfrontasi orang-orang seperti ini tuh buang-buang energi. Kalau kebetulan ketemu, sekalian aja dikompor-komporin, biar makin tinggi. Let them have the moment. Hitung-itung berbuat baik, bikin orang lain merasa lebih baik tentang dirinya sendiri, bisa membuat mereka merasa agak superior dan jadi menggelembung karena bangga banget dengan dirinya sendiri, persis seperti Giant di seri Doraemon. Mereka juga tentunya bisa lebih pede karena “lebih baik” daripada orang lain, walaupun hanya sementara. Kasihan lho, gak setiap saat mereka punya momen seperti ini.

Pada akhirnya, pekerjaan itu tidak mendefinisikan kita sebagai individu. Mau pekerjaan apa aja, kalau kelakuannya jelek, nyamuk juga males nemplok.


Pernah dihina karena pilihan pekerjaan dan atau profesi kalian?

Ailtje
Blogger, bukan CEO atau C-suite lainnya kayak anak-anak CH. #Eh

Advertisement

20 thoughts on “Menghina Pekerjaan Orang

  1. Saya pernah kopdar dgn mbak Nik di HK, orangnya ramah. Senang bisa bertemu dgn dia. Dia tidak pelit berbagi ilmu masak nya

  2. Jadi pengen share dikit tentang being lulusan Oxbridgenya Indonesia dgn jurusan yang dipandang sebelah mata oleh sebagian besar orang-orang kita. Mereka bisa dikatakan terkesima ketika kita menyebut bahwa kita lulusan Ivy Leaguenya Indonesia, tapi ketika kita menyebut bahwa kita bukan dari jurusan yg dianggap bonafid, orang-orang itu langsung merespon dgn gesture yg seolah-olah mengatakan, “ih, lo lulusan sastra aja blagu!”

    Padahal yaa mereka nanya, aku jawab secara genuine donk. Di mana sisi meninggikan diri sendirinya juga I can’t find it. Tapi akan lebih sombong lagi kalau aku gak jawab sambil memicingkan mata.

    Begitu juga ketika mereka tau aku struggling cari kerja, walau gak terucap, tp kebaca aja gitu kalau mereka itu merutuki. Apalagi aku lulusan sastra sekaligus seorang disabilitas. Nextnya mudah ditebak lah. Antara dikasihani, tp soudingnya kayak julid. Mau nyekak, juga bukti gak cukup kuat.

    Ketambahan sekarang, aku bergelut di dunia divinasi. Di satu sisi, orang-orang hampir 100% terbantu dgn service yg aku kasih, tp d saat yg sama adaa aja yg memandang sebelah mata, bahkan marah-marah sambil bawa-bawa nama Tuhan hanya karena aku divination enthusiast.

    Yaah, begitulah. Unfamiliarity is somehow treated as an enemy that needs to be pushed away ☹️

    • Jurusan-jurusan tertentu (non-eksakta biasanya) suka dianggap miring karena dianggap gak menghasilkan banyak uang. Goal kerja kita masih sering fokus ke uang saja, padahal ada uang, perkembangan karir, kebahagiaan kerja. Perlu proses panjang buat Indonesia 💪🏽

      • Betul banget kak untuk kesemuanya. Makanya kalau bukan kita, siapa lagi yg mau memajukan hal-hal yg dianggap minoritas di Indonesia?

        Selain terlalu fokus dgn uang, goal kerja kita adalah utk punya privilege. Karena privilege kalau di sini ibarat kondisioner utk segala urusan. Sisi psikologis sama sekali gak diperhatikan. Padahal utk bisa perform maksimal kan harus dimulai dari keadaan psikis yg sehat

    • Salam kenal mbak. Aku, sebagai lulusan dari PTN ternama tapi dari jurusan yang biasa-biasa aja, bisa relate banget dengan ini. Setelah lulus S1, kalo ada orang yang denger jurusan aku, pasti jawabnya “Kuliah jurusan itu, mau jadi apa? Jadi guru?”

      • Salam kenal kembali, mba Crystal 😊

        Iya, sebagai sesama alumni PTN dengan jurusan yg tergolong gak mentereng ini, kita bisa saling relate, apalagi kalau di jurusan yg gak mentereng ini riwayat prestasi akademik kita biasa-biasa aja atau mungkin di bawah rata-rata. Apa ya? Seakan makin pantas aja diinjak.

        Memang betul, lapangan kerja utk kita ini gak banyak dan 1xnya ada lowongan syaratnya seakan2 hanya memperbolehkan mereka2 yg cum laude aja yg boleh melamar. Tapi yaah, kita memang gak bisa nyetop orang julid sih… dan yang julid ini kebanyakan orang2 generasi boomers atau generasi milenial yg pikirannya sempit + pridenya gede karena merasa punya skill yg di society dianggap bonafid

  3. Nggak pernah sih mbak untungnya, tapi karena pekerjaan aku namanya Content Writer, jadi sering ada nada2 sumbang di luar sana terutama dalam kata “Content”. Tau kan, yang suka nyeletuk “Dikit-dikit content”. Jadi pekerjaan aku ini banyak dikira orang, asal nulis aja, “yang penting konten”. Aku lama-lama jadi bodo amat sih, selain karena hinaan itu gak pernah ditujukan aku secara personal, toh gajinya lumayan dan aku yang menikmati, bukan mereka :p

    Tapi suara-suara sumbang nanyain gaji, nanyain promosi sih, sering. Apalagi kalau lagi pulang kampung, ditanyain sama om dan tante yang ngobrol setahun sekali aja belum tentu. Oma dulu juga sering nanya-nanya seperti ini, bandingkan pekerjaan aku dengan anggota keluarga lain yang seumuran, tapi lama-lama aku tegur, ngga baik nanya2 seperti ini, akhirnya dia stop.

      • Menurut aku sih, ada hubungannya juga dengan budaya kerja di Indonesia, dan gimana cara mereka memandang uang. Orang disana kan kebanyakan kalau kerja kantoran ya buat naik tangga korporasi, makanya pertanyaan mengenai promosi jabatan dianggap lumrah. Kalo soal gaji, ya kita tau sendiri masih banyak dari kita yang mikir hidup tu kayak kompetisi, siapa yang gaji lebih besar, kerjaan lebih bagus, dll.

  4. Aku rasa karena pekerjaan adalah sebuah identitas di masyarakat kita, ngga kaya disini (ngga tau di Irlandia ya) yang pekerjaan adalah sebuah cara untuk menghasilkan uang untuk hidup atau menyalurkan passion, bukan melekat 24/7 sebagai identitas.

    Aku perhatiin di Indonesia, di luar rumah sakit pun orang berprofesi dokter tetep dipanggil pak dokter, bu dokter, padahal konteksnya kan udah ngga dalam lingkungan pekerjaannya dia (misalnya diundang di kondangan), dan obsesi masyarakat Indonesia untuk dapet kerjaan “kantoran” dibanding lapangan atau apalah. Yang bukan “kantoran” dianggep tidak menghasilkan uang yang kemudian menjadi status sosial seseorang (punya uang yang bisa beli rumah, mobil dst).

    Aku sendiri ngga pernah dihina karena profesi, tapi banyak banget ketemu orang Indonesia disini yang menghina orang Indonesia lain yang kerjanya misalnya tukang bersih2, padahal yang menghina juga ngga punya kerjaan (alias ga tau seberapa susahnya kerjaan bersih2 tersebut). Duh, masi di negara orang masih melihat segalanya dengan kacamata budaya Indonesia. Cape deh.

  5. Ada beberapa kolega kerja di Jakarta pas main ke Belanda (bahkan beberapa bosku) yang nada komennya hampir sama pas tahu aku awal2 di sini kerja di Panti Jompo : Den, dulu loe kan punya karir bagus banget. Kenapa di sini cuma kerja di Panti Jompo, loe kan bisa cari kerja yang lebih bagus dari ini. Ga kangen loe kerja kantoran ngejar ambisi jd wanita karier lagi?

    Dan pas jadi IRT, salah satu professor di kampus komen gini ke suamiku pas kami ketemuan di sini : Deny kalau mau balik lagi ke kampus masih diterima dengan tangan terbuka sbg dosen. Mungkin kangen kerja daripada jadi IRT di sini.

    Yah nada2 spt itu biasa banget kuterima membanding2kan dgn aku dulu di Indonesia. Justru yang “resah” lihat aku di sini itu ya orang2 itu. Padahal aku ya biasa2 saja. Prioritas orang sudah beda. Dan orang cuma melihat luarnya saja. Dilihat yang kulakukan skrn ga se wow pas di Indonesia. Padahal, aku justru lebih bahagia, hal yang sulit aku rasakan pas masih ngejar ambisi di sana.

  6. Aku dulu saat masuk jurusan psikologi, dikiranya bakal ngurusin orang sakit jiwa atau dikira bisa “baca” orang lewat muka dan garis tangan -___-“

  7. Aku tau mba nik krn ntn Diary Bahagia di Net TV, dan aku suka content2 masaknya krn keliatan enak banget masakan2nya, bahkan dr yg simple macam popcorn. Sungguh shallow org2 yg menghina mbak nik. Mungkin mrk ga bahagia dg hidupnya sendiri ya :((

  8. Pekerjaan apapun selagi tidak merugikan atau merusak atau orang lain itu mulia. Yang malu-maluin itu kalau korupsi atau mengambil hak orang lain misalnya. Sayangnya dalam budaya kita, orang dinilai dari profesinya saja…

Show me love, leave your thought here!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s