Merendahkan Pekerja Rumah Tangga

 

Halo selamat siang warga Indonesia. Apa kabar kalian semua? Gimana sudah mulai deg-degan karena si Mbak sudah mulai beberes tasnya dan siap-siap mau mudik selama beberapa minggu? Apakah kepala sudah pusing karena panic harus mengurus rumah sendiri? Saya yakin sebagian dari kalian juga ikutan packing kan? Ikutan mudik ke kampung dan tentunya sebagian dari kalian mudik ke hotel karena ditinggal Mbak.

Disaat seperti ini, sebagian warga (terutama warga Jakarta ya) memang dilanda kepanikan karena tak ada si Mbak. Peran para pekerja rumah tangga yang bertanggung jawab atas manajemen rumah tangga ini memang sangat vital. Nah pertanyaan besar yang selalu saya tanyakan: “Jika manajemen rumah tangga begitu pentingnya, mengapa kemudian pekerjaan ini dianggap sebagai pekerjaan rendahan. Parahnya, kenapa pekerja rumah tangga dianggap sebagai pekerja rendahan dan dianggap tak setara dengan kita. Di jaman yang sudah tak mengenal kasta lagi, mereka masih dianggap sebagai orang-orang dengan kasta rendahan. Padahal manusia itu sama-sama sederajat dan setara. Pekerjaan tak mendefinisikan derajat kita.”

Pertanyaan saya ini membawa saya pada beberapa kesimpulan:

  • Pekerjaan rumah tangga dianggap tak memerlukan keterampilan

Seperti pernah saya tulis sebelumnya, ada anggapan dalam masyarakat kita yang melihat pekerjaan rumah tangga ini tak memerlukan keterampilan apalagi kemampuan intelektual. Yang diperlukan hanya kemampuan fisik.Padahal kalau kita mau sedikit lebih cerdas melihatnya, diperlukan kemampuan manajemen yang luar biasa untuk mengatur rumah tangga. Dari mulai skala prioritas, menentukan pekerjaan apa yang harus dilakukan terlebih dahulu, hingga manajemen stok supaya tak ada kepanikan akibat beras ataupun telur habis. Prinsip manajemen FIFO, first in first out pun juga harus diterapkan supaya makanan yang dibeli tak membusuk di dalam kulkas.

Tak hanya itu harus ada kemampuan negosiasi yang baik, apalagi jika anggaran rumah tangga terbatas, sementara inflasi (apalagi menjelang lebaran ini) meroket gila-gilaan. Saya yakin para ibu-ibu juga banyak yang frustasi ketika berhadapan dengan pekerja rumah tangga yang baru datang dari kampung kan dan harus ngajarin kan? Nah kalau sudah gitu masih mau ngenyek pekerja rumah tangga sebagai pekerja rendahan dan yang tak memerlukan otak sama sekali?

  • Pendidikan Pekerja Rumah Tangga yang rendah

Tak bisa dipungkiri, sebagian pekerja rumah tangga memiliki pendidikan yang kurang tinggi. Kondisi ekonomi menjadi salah satu alasan mengapa mereka tak bisa meraih pendidikan yang layak. Teorinya memang pendidikan di Indonesia sudah gratis, tapi faktanya, masih banyak sekolah yang tak segan minta biaya tambahan ini itu. Nah jangan salahkan pekerja rumah tangga jika mereka tak punya pendidikan yang cukup. Salahkan pemerintah yang gagal memberikan pendidikan layak pada semua orang serta memberantas kemiskinan dan mensejahterakan seluru masyarakatnya.

Pada saat yang sama, rendahnya pendidikan tak membuat pekerjaan itu menjadi pekerjaan rendahan. Jika pola pikir kita dalam melihat pekerjaan rumah tangga itu sebagai pekerjaan rendahan, ya jangan heran kalau kemudian perempuan yang bersekolah tinggi kemudian terkenal komentar negatif macam:

“Sayang kan sudah sekolah tinggi-tinggi kok kerjanya di dapur aja”

Sebuah pemikiran yang norak yang tak bersahabat dengan kemajuan perempuan dan sayangnya masih banyak terjadi di lingkungan kita. Dan parahnya sebagian lingkungan sosial kita mendikte perempuan tak perlu bersekolah tinggi-tinggi karena akhirnya pasti akan ke dapur juga.

  • Perbudakan Modern

Pekerja rumah tangga serta pekerjaan rumah tangga kemudian semakin identik dengan pekerjaan rendahan karena pekerjaan ini tak ubahnya perbudakan modern. Dan sejujurnya, mbak-mbak yang ada di rumah kalian itu mungkin lebih memilih bekerja di toko ketimbang terkurung di dalam rumah, rumah mewah dengan mobil 15 biji dan kolam renang sebesar lapangan sepakbola sekalipun.

Pertama, bekerja di rumah memberikan mereka gaji yang jauh di bawah UMR. Pendidikan mereka yang rendah serta akomodasi dan makanan yang disediakan menjadi alasan  untuk memberikan mereka upah yang kadang-kadang hanya sepertiga dari UMR.

Seperti saya telah tulis berulang kali, tidak ada jam kerja yang jelas bagi mereka. Pada bulan Ramadan seperti ini, para pekerja rumah tangga biasanya bekerja lebih keras. Mereka harus bangun lebih pagi untuk memastikan sahur disajikan sebelum waktu imsak, sementara pada saat jam buka puasa mereka harus membuat menu tambahan seperti kolak, es buah, ataupun penganan kecil lainnya (nulisnya sambil miris karena membayangkan indahnya penganan berbuka di nusantara). Sementara, pekerjaan rumah lainnya tetap berjalan dengan normal. Tambahan waktu bangun pagi ini tak pernah dianggap sebagai over time dan dihargai lebih. Lagi-lagi alasannya karena tugas mereka kan ringan, santai, mereka bisa tidur di tengah hari dan seabrek lainnya. Tapi coba balik kondisi ini pada diri kita sendiri, pasti kita sudah berteriak-teriak menuntut hak yang lebih banyak.

Para pekerja rumah tangga juga sering terkurung di dalam rumah. Saat malam minggu hanya boleh nonton TV, tak boleh jalan-jalan dengan abang tukang gado-gado, ataupun tukang bangunan yang sedang mengerjakan proyek rumah sebelah. Sang pemberi rumah tangga biasanya takut jika si mbak jadi cepat-cepat minta kawin ataupun hamil di luar perkawinan. Padahal si Mbak pengen cepet-cepet kawin supaya tak terus menerus diperbudak.

Pekerja rumah tangga yang akan mudik ini juga diberi cuti yang tak jelas. Pulang kampung selama 2 minggu saja omelan sang pemberi kerja sudah panjang. Maunya sepuluh hari atau bahkan seminggu saja. Padahal, kebijakan negeri ini mengatur cuti 12 hari. Selain cuti mereka juga berhak atas hari libur pada akhir pekan. Nah jumlahkan saja akhir pekan yang mereka tak diperkenankan keluar rumah, ada 104 hari. 52 hari Minggu dan 52 hari Sabtu yang terampas dari hidup mereka, tanpa uang lembur.

Nah karena mereka diperlakukan seperti budak inilah mereka dilihat sebagai pekerja rendahan. Padahal sebagai manusia-manusia yang ngakunya intelektual dan berpendidikan tinggi (dan punya Tuhan juga), kita tak selayaknya memperlakukan mereka seperti ini.

Seperti saya tulis di atas, kegagalan kita dalam menghargai para pekerja rumah tangga dan pekerjaan mereka secara tak langsung juga berimbas pada ibu-ibu rumah tangga  yang sering dipandang sebelah mata karena pilihannya untuk bekerja di rumah. Para Ibu rumah tangga dan para pekerja rumah tangga ini dianggap sebagai pekerja rendahan.Tak ada yang salah dari pekerjaan rumah tangga dan pekerja rumah tangga. Yang salah itu cara pikir kita yang terlalu mengkasta-kastakan pekerjaan orang lain. Ini yang mestinya dirubah.

Kamu, pernahkah menganggap pekerjaan rumah tangga dan pekerja rumah tangga sebagai hal rendahan?

Xx,
Tjetje
Pekerja Rumah Tangga paruh waktu yang tak mampu bayar pekerja rumah tangga karena disini mereka sangat dihargai dan biaya memperkerjakan mereka sangat mahal. 

Advertisement

44 thoughts on “Merendahkan Pekerja Rumah Tangga

  1. Kabar baik dari Jakarta Mbak, sedang menunggu hari dimana jalanan ibukota jadi lengang nih.:D
    Mbak apa kabar disana?
    Mama aku sudah lama tidak menggunakan jasa pekerja rumah tangga, tetapi sejak dulu sih ga pernah pusing kalau ditinggal pekerja rumah tangga mudik. Karena tugas mereka memang membantu saja soalnya mama memang mengerjakan hampir semua tugas sendiri. Jadi kalau lagi ditinggal mudik ga pusing, dan kami sebagai anak-anak pun membantu hanya sekedar menyapu, mengepel atau mencuci piring. Semua dikerjakan bersama jadi terasa ringan Mbak.:D
    Aku pribadi sih ga pernah menganggap pekerjaan rumah tangga atau pekerja rumah tangga sebagai hal rendahan. Sesungguhnya dibalik label yang diberikan tugas mereka itu butuh keterampilan lebih menurut ku Mbak.
    Dan aku setuju dengan kalimat Mbak, “Yang salah itu cara pikir kita yang terlalu mengkasta-kastakan pekerjaan orang lain. Ini yang mestinya dirubah”. Semoga suatu saat pekerjaan rumah tangga dan para pekerjanya lebih dihargai ya Mbak.:)

  2. Memang di Indonesia banyak stigma terhadap pekerjaan2 tertentu yang dianggap rendahan, padahal kalau mereka nggak ada, kita juga kelimpungan. Sayangnya sistem “kasta” itu kok ya masih berlaku di Indonesia walaupun nggak sejelas di India contohnya, padahal seperti kamu bilang tadi, pekerjaan itu nggak mendefinisikan diri kita, cuman cara u/ cari duit buat hidup.

    Mungkin juga karena di Indonesia pekerjaan itu menyita begitu banyak waktu dari hidup jadi sudah jadi identitas, sementara disini kalau bisa pekerjaan itu banyak liburnya, banyak waktu dengan keluarga, seminimal mungkin lah pokoknya. Prioritasnya beda

    • Kalau dulu pengkastaan karena keturunan, sekarang pengkotak2an karena kekuatan ekonomi. Yang tak mampu secara ekonomi dilihat sebelah mata. Beda banget dengan disini, domestic workerspun dihargai. Gapnya gak terlalu kelihatan. Indeed, aku setuju soal beda prioritas. Hidup kan gak cuma untuk kerja tapi juga untuk hura-hura.

  3. Saya tinggal di Indonesia tapi bukan di jakarta tapi tidak menggunakan jasa asisten rumah tangga. 😀 Semua dikerjakan sendiri full time. Jadi saya tahu betul bagaimana menghargai pekerjaan asisten rumah tangga. Tapi berhubung susah nyarinya, semua asisten maunya kerja di jakarta jadi ya akhirnya dikerjakan sendiri. Tapi ya dinikmati saja, paling nyetrika yang agak menyebalkan. 🙂

  4. Pas habis baca ini aku ketawa ngakak karena sarkasmenya kena banget, ngerasa miris sekaligus jleb. Tulisannya baguus sekaligus bisa jadi media untuk berkaca diri 🙂

  5. Dari kecil, kami di rumah sudah pakai jasa PRT karena mama kerja seharian (papa-mama cerai sejak aq masih batita). Tapi sejak kelas 3-4 SD mama selalu suruh kami beresin kamar + cuci baju daleman sendiri, padahal ada pembantu. Dan kami anak2 juga nggak boleh ngomong kasar / bentak2 si “Mbak”.
    Memang kebanyakan PRT punya pendidikan yang rendah. Kerjaan PRT juga nggak memerlukan skill yang tinggi.
    Tapi, menurut mamaku (dan setelah dewasa saya juga ngerasain hal yg sama) cari PRT yg baik itu susah, sama susahnya dgn cari jodoh… bisa cocok bisa nggak. Kalau udah cocok, sebaiknya kita harus baik2 sama PRT tsb supaya dia betah kerja sm kita.
    intinya, kalau kami sekeluarga sih nggak menganggap kerjaan PRT itu kerjaan rendah. Selama pekerjaan itu halal, pekerjaan PRT itu lebih mulia daripada cewek yg doyan morotin bule (a.k.a bule hunter) atau pejabat yg korupsi.

      • klo aq sih nggak terlalu mendiskriminasi PSK mba, karena banyak dr mereka yg terpaksa melakukan itu
        Tp klo para Bule Hunter yg terang2an morotin bule demi gaya hidup mewah, aq rasa itu baru pekerjaan rendah…

  6. Kalau udah ngomongin ART, aku pasti selalu ingat ART (mantan) bos, dia kerja oke luar biasa, tapi bos juga sangat luar bi(n)asa. Tiap sabtu minggu atau tanggal merah, si bos suka keluar… si mba ngga disediain bahan makanan di kulkas buat makan. Pun rinso sabun shampo kudu beli sendiri, ngga dikasih nyonyaah

  7. Poin yang terakhir itu ada benarnya tetapi sepertinya masih tergantung “tuan”-nya (lah ini mengapa pakai kata “tuan”? 😛 ). Setahuku ada yang memilih menjadi pekerja rumah tangga karena walaupun gaji di bawah UMR, tetapi biaya makan, tempat tinggal, dsb mereka nggak perlu membayar sendiri. Apalagi kalau “tuan”-nya baik dan pengertian.

    Tapi memang permasalahannya, seberapa banyak yang begini ya? Hahaha…

    Btw, untung di sini sewa apartemenku termasuk upah pekerja rumah tangga yang bersih-bersih rumah sebulan sekali. Lumayaaan lah, hahahahaha 😆

    • Mungkin bisa pakai kata bosnya. Nah itu aku sebel sekali kalau mereka dikasih gaji rendah dengan alasan akomodasi dan makanan. Karena mereka gak punya suara menentukan menu dan menentukan kualitas akomodasi. Tahu sendiri kamar PRT dibelakang banget

  8. Mbak Ailsa, ada banyak cerita tentang ART dari berbagai sisi. Ada yang majikannya baik tapi ART nya alamak kelakuannya nyebelin dan si majikan hanya bisa “pasrah” karena mereka butuh ART. ada juga yg sebaliknya.. ART baik & rajin tapi majikan nyebelin..kalo majikan yg jahat sih sy yakin ART langsung kabur aja.. Kebetulan dulu sy kerja di salah satu embassy di Jakarta dan secara tidak langsung sy kadang2 berinteraksi dengan ART di kediaman para diplomat yg bertugas di Jakarta. Sebagian dari ART itu adalah ART yg udah mempunyai “jam terbang” yg cukup banyak. Bahkan mereka juga ada loh yg merekomen kerabat dekat & kawan baiknya untuk sama sama bekerja di rumah diplomat – tentunya ini melalui seleksi juga dr bagian Kerumahtanggaan. Nah, ART yg udah kawakan ini udah cukup terkenal masakan & kue kuenya.. Kalo ada acara tertentu di kantor atau di rumah diplomat tsb, nanti ada disebut bahwa menu ini & itu dibuat oleh ibu XX..
    Oh yes, mereka beneran sejahtera. Gaji ada, asuransi ada, medical ada, dan bahkan… Ada beberapa yg punya anak di kampungnya biaya sekolah di biayai oleh salah satu diplomat / jadi seperti membiayai anak asuh tapi ini dari itikad pribadi si diplomat tsb..
    Well,, nasib nasiban juga ya semuanya..
    Ada yg beruntung bernasib baik & yg belum bernasib baik masih harus berjuang untuk merubah nasib 😃

      • Iya emang gitu mbak mereka suka mengingatkan kepada ART bahwa pendidikan itu penting makanya mereka sampe ada yg bersedia membantu. Jadi menurut cerita yg sy dengar itu di biayain sampe kuliah, pokoknya tiap smester harus setor laporan nilai/progres belajar. Nanti kalo si diplomat itu balik ke negaranya ya si ART di rotasi ke diplomat yg lain atau ada masa tunggu (cuti tambahan lah ya..) sampe kemudian ada diplomat yg baru datang jadi mereka juga gak kuatir cari kerjaan lagi..

  9. Saya paling risih kalau ada keluarga yang gak menghargai orang yg membantu di rumah mereka, apalagi yang sering bentak2 ga sopan. Duh rasanya miris banget, tau ga sih kalau mereka ninggalin lo, yang ada lo juga bakalan kelabakan. Kalau di rmh, mama memang ada yg bantuin tp kami gak pernah anggap dia sebagai pembantu, malah kami anggap sebagai kluarga sendiri. Dengan kayak gt, mereka jadi lebih seneng kerja dan hubungan kami jd kekeluargaan. Saya lbh senang yg kayak gini. Tulisan yang bagus mbak!

  10. Tjetje,
    terimakasih ya sudah menulis artikel yg jujur dan lugas spt ini.
    Your sarcasm is much appreciated 🙂

    Saya lihat memang hirarki/kasta di Indonesia itu sesuatu yg tak terlihat secara resmi tp well-practiced di segala bidang & kehidupan sehari-hari. Saya juga kesal sekali setiap kali melihat orang2 yang kasar thdp waitress atau office boy ataupun service staff di hotel, dll. I’ve been meaning to write more about this issue, I’ll let you know when I publish it 🙂

  11. Sebenarnya aku ga masalah kerjaan rm tangga aku yg kerjain smua, dan emang dr dulu pny pembantu yg cuma pulang hari, bantu aku u setrika dan pel.. krn jujur aja mbak.. aku ada scholiosis, tiap abis strika atau angkat yg berat2 aku sesak nafas, dan pernah jd insomnia selama 10 hari krn sesak scholiosisku, jd aku butuh bgt ART, sekedar bantu strika dan pel aja.. ini dah bikin aku kurang sesak nafasku hehhee.. jujur aku sedikit tergantung sm ART jadinya.. dan sedih aja knp aku jd lemah gini..

  12. Aku bersyukur punya asisten RT yg setia.. Tp gak full tgl di rumah krn dy sudah nikah & punya anak.. Saking setianya, walau udah dibilang gak perlu dtg ke rumah krn gak ada org di rumah, ttp aja dateng untuk beres2 halaman.. Dan nanti pas mudik pun,, asisten & anaknya ikut mudik juga, jd lebih nyaman mudiknya.. 😀
    Krn udh begitu setia, udah jd spt keluarga sendiri.. Anaknya pun sering dikira cucu mamaku.. Hehe…

  13. Di Apartemen, Diana ada mba ART harian, datang pagi (sekitar 7.30) dan pulang sore (sekitar 5.30). Lebaran ini mba sudah info, mau pulang kampung mulai tanggal 1 dan balik lagi kalau ongkos balik jakarta sudah murah. Artinya bisa pulang sekitar 1 bulan. Selama 1 bulan itu, semua kerjaan rumah, Diana yang handle. Tentu saja kerjasama dengan suami dan mertua. Yang paling berat itu nyetrika, tapi positif thinking aja, fitness gratis (semoga) bikin timbangan turun. 😀

  14. aku dari nikah gak pake ART mba.. jadi semua dikerjakan berdua suami 😀

    duluuuu… ibuku pake ART sampe aku kira2 SD kls 4. semua ART yang pernah kerja sama ibuku, rata2 senang. soalnya mereka gak pernah dibatasi mau apa aja. mau jalan2 waktu malam hari, monggo. pokoknya pekerjaan rumah udah beres. sampe kadang, masak pagi, ibuku yg bikin. trus ARTnya disuruh sarapan duluan, baru ngerjakan pekerjaan rumah tangga, itu juga gak dilepas sama sekali sama ibu. masih dibantu2 😀

  15. Di rumah sampai aku hampir lulus kuliah, pakai jasa ART, dari yang mbak-mbak sampai yang mbok-mbok. Dari kacamataku sih, orang tua udah baik. Ada yang dikasih les njahit juga. Tapi karena susah dapet ART kayak si Mbak yang dikasih les jahit itu, beberapa cuma tahan paling lama 1 tahunan. Sekarang cuma ada Mbak yang datang 1 minggu 1 kali buat bebersih dan setrika. Aku nggak sanggup deh Mbak Ai kalo suruh bebersih rumah. Bebersih kamar aja nunggu si Mbak dateng. Bangun – mandi – kerja – pulang – leyeh2 – tidur, gimana bisaaaa XD Life saver banget deh Mbak ART itu.

      • Ada dua yang cuma setahunan, yang pertama dilepasin soalnya kangen anaknya jadi minta pulang. Yang kedua karena ortu ada yang pensiun, jadi kita harus lebih hemat haha. Ini Mbak juga hobi ngomong ke tetangga (atau sekedar mas-mas yang catet meteran air) kalo kita punya kucing baru, harganya sekian, makannya ini. Gimana-gimana kita horor juga.
        Tapi karena akhirnya kerepotan, sekian tahun kemudian jadinya ambil Mbak yang dateng pagi pulang jam 1 siang gitu seminggu sekali.

  16. Pingback: Menghina Pekerjaan Orang | Ailtje

Show me love, leave your thought here!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s