Bicara Keuangan

Konon katanya ngomongin uang itu sebuah hal yang sangat tabu, nggak pantes. Tapi dengan pasangan sendiri, baik ketika hubungan sudah mulai serius, ketika akan masuk jenjang perkawinan, hingga ketika sudah berada dalam perkawinan, berbicara keuangan itu mestinya sebuah hal yang tak boleh dianggap tabu.

Uang (dan ekspektasi keuangan) itu banyak membawa bencana dalam perkawinan ketika tak dibicarakan dengan baik. Dan tentu saja topik ini sudah berulang kali dibahas oleh para Twitterati, yang kali ini saya bahas dari sisi kawin campur dan tinggal di luar negeri.

Pasangan WNA, gaji dan liburan

Pacaran dengan orang asing itu, seringkali dianggap sebagai kunci kemenangan jackpot dan tiket untuk memperbaiki kondisi keuangan dan hidup. Bule-bule ini seringkali dianggap punya uang banyak, gajinya besar, bisa liburan kemana-mana (termasuk ke Indonesia) dan tak pelit. Apalagi ketika liburan tidurnya di hotel, bukan di hostel. Plus ketika ngekspat kemana-mana dianterin supir dan rumahnya gede di Jakarta Selatan. Biarpun kena banjir kalau musim ujan dan hasil ngontrak, yang penting gede.

Padahal, realitanya, kehidupan ketika jalan-jalan dan kehidupan ketika ngekspat itu engga sama. Ekspat itu banyak dapat fasilitas kantor, tapi ketika balik jadi staff lokal, seringkali hidup layaknya manusia kebanyakan. Plus, harus rajin menabung untuk jalan-jalan. Ini ditulis kebanyakan ya. Golongan 1% terkaya di dunia gak usah dihitung.

Nah, pas pacaran hal-hal seperti ini gak pernah dibicarakan.

Image by Pijon from Pixabay

Ongkos menghidupi keluarga

Seringkali sebelum kawin ada pengharapan uang yang dihasilkan oleh pasangan (biasanya suami), dianggap sebagai uang istri. Sementara jika istri bekerja dianggap sebagai uang istri saja. Konsep ini tak dipeluk oleh semua orang, apalagi ini setahu saya datangnya dari agama. Ketika akan diterapkan, apalagi dengan pasangan yang tak mengenal ajaran ini dan menganut konsep kesetaraan jender, ya mesti didiskusikan dulu. .

Kemudian, ada paksaan untuk memiliki akun bersama, ngotot harus punya akun bersama supaya bisa mengontrol keuangan. Atau malah akun sendiri-sendiri, dan gaji ditransfer penuh, sementara suami hanya diberi uang saku secukupnya.

Lalu, dengan kontrol atas keuangan terjadi penyalahgunakan. Ini bukan barang baru lagi. Tak ada diskusi dan uang hasil keringat dirikimkan ke kampung, supaya keluarga bisa beli sapi, beli tanah, membiayai sanak-saudara, mengirimkan hadiah, renovasi rumah keluarga, atau bahkan memodali usaha keluarga jauh. Ya kagetlah para bule-bule itu, karena mendadak mereka menjadi direktur charity dan tabungan menurun drastis.

Anggaran keuangan

Namanya orang menjalankan kehidupan, mau melajang, mau kawin itu selalu pakai anggaran. Nah, anggaran ini harus dibicarakan jauh-jauh hari sebelum janur kuning dilengkungkan. Siapa yang akan menanggung beban anggaran. Dalam hubungan tradisional memang laki-laki yang dianggap wajib. Tapi di dunia yang serba mahal ini, ada kalanya dua belah pihak harus bekerja. Atau malah, perempuan harus menanggung biaya rumah tangga karena pasangan sedang sekolah, tak bisa bekerja, atau memilih menjadi bapak rumah tangga.

Seringkali, ada ekspektasi dan asumsi anggaran cukup untuk belanja di lantai bawah Plaza Senayan (baca: supermarket premium), tapi realita hanya cukup untuk belanja di pasar becek. Lalu kecewa. Begitu juga soal rumah. Berharap beli rumah di kawasan Menteng, tapi anggaran hanya cukup untuk sewa di kawasan Lenteng. Lalu menyesal mengawini pasangan dan merasa tertipu.

Bicara anggaran juga tak bisa lepas dari topik sensitif: HUTANG. Hutang sebelum perkawinan tak pernah didiskusikan. Lalu kaget bukan kepalang ketika tahu pasangan memiliki hutang bertumpuk. Beberapa orang yang sangat polos bahkan merelakan namanya dipakai pasangannya mengambil hutang lagi, tanpa berpikir panjang soal resiko di masa depan. Modyaaar….

Penutup

Seusai resepsi perkawinan, saya menemukan uang dalam jumlah agak banyak di jaket suami. Dasar anak media sosial (jaman itu masih main Path hanya untuk orang-orang terdekat), langsung jadi status. Tante saya langsung memberi wejangan yang harus dipegang sangat teguh: jangan pernah mengambil uang suami sepeserpun.

Pesan yang menempel dan melekat di kepala saya. Sampai hari ini, uang yang saya temukan di kantong celana ataupun di sofa selalu masuk ke toples khusus. Jumlahnya tak pernah banyak, karena transaksi tunai di negeri ini sangatlah jarang. Tapi prinsipnya, kalau soal uang, harus terbuka dan jujur. Kalau engga, ya modyar.


Jadi, kamu diskusi soal keuangan gak dengan pasangan?

xoxo,
Tjetje

13 thoughts on “Bicara Keuangan

  1. Kalau buat aku, dari masih jadi gebetan wajib banget tau income source si calon dari mana aja dan musti tau lifestylenya seperti apa.. kalau gak berani terang2an nanya atau takut dianggap matre, selagi si calon punya sosmed aktif, itu bisa kita stalkingin dan nilai sih, walaupun sosmed gak 100% bisa dijadikan tolok ukur kalau orang itu will financially secure for a long term apa ngga..

    Tapi intinya, when it comes to keep fulfilling the basic needs, modal cinta aja gak cukup memang, yg dbutuhkan hanya willingness utk saling bekerja sama dan take action sama2.. real life has no sultan treats, unless you have a power.. jadi wedding party, traveling, aset2 mewah dibuang jauh2 deh dari wish list.. karena those things pajaknya gedong juga 😣

  2. Setelah dia melamar aku tapi ditolak sama Ibuk dan aku masih ngambang jawaban, kutanya dia punya hutang apa saja dan nanti seperti apa pembagian keuangan klo jadi nikah. Jawabannya dia akan mempengaruhiku memberikan jawaban lanjut apa ga nya. Mumpung masih belum cinta2 banget, jadi kalau dia punya utang, ga aku lanjutkan hubungan 😅*rodok tego, gpp. Untung wonge jujur. Apa yg diomongkan waktu itu, ya sama dgn kenyataan smp saat ini. Aku pernah nulis di blog tentang membicarakan keuangan sblm memutuskan kawin. Dan lagi, kami juga bikin prenup.

  3. Paragraf pertama di header “Ongkos menghidupi keluarga” bikin aku ngikik. Aku termasuk orang yang ngga setuju dengan anggapan “uang istri ya uang istri, uang suami jadi uang istri”. Menurutku, ini ngga equal banget. Enak bener istrinya dapet uang dobel, sementara suami ngga berhak atas seluruh uangnya (kalaupun berhak, palingan dikasih so-called “uang jajan” sama istri, padahal itu uang hasil keringat suaminya, aneh banget?). Bukan cuma istri, suami pun punya hobi atau hal-hal yang tentunya butuh uang.

    Kalo di rumah tangga aku, uang kami ya jadi milik masing-masing. Walaupun kami punya rekening bersama, tapi isinya cuma uang yang cukup untuk biaya monthly bill. Sisanya ya masuk rekening pribadi. Kecuali kalau ada pengeluaran besar (misalnya kami berdua mau beli console game), itu biasanya dibicarakan bersama dan keluar uang 50:50. Kalau aku mau beli alat elektronik pakai uangku sendiri, aku juga bicarakan dulu ama suami, perlu ganti/upgrade atau nggak, jadi ya ngga kaget kalo tiba2 ada TV segede gaban dikirim ke rumah.

  4. Kalau mau serius ya memang harus dibicarakan. Bahkan perlu juga sepakatan dana darurat, dana pensiun, dana pendidikan dsb. Kalau level belum nikah, poin keuangan itu masuk ke dalam pendidikan pra nikah (kebetulan kenalan bikin acara ini dulu buat anak2 muda). Yang dibahas bahkan sampai apakah respsi pernikahan, sampai foto pre wedding perlu jor-joran banget? Bisa survive dengan gaji yang ada sampai 6 bulan ke depan? Hasil acara begini kadang lucu. Ada yang batal nikah karena sadar nggak cocok, ada yang lanjut nikah tapi jelasin ke ortu supaya duit resepsi dipakai untuk survive di tahun2 pertama. Jadi sederhana saja resepsinya…

    Tapi ya yang dipakai basicnya memang bukan kesetaraan jender, lebih ke praktek umum, dimana asumsinya pria sebagai sumber penghasilan utama. Karena kalau mau pakai cara setara ya secara hitung2an susah, karena ada kasus dimana istri dalam kondisi fisik yang nggak setara kan (hamil, melahirkan, menyusui, dsb). Masa sudah kondisi repot begitu dibebani pakai fifty-fifty juga. Kecuali memang maunya childfree ya.

    • Hamil emang berhenti kerja ya? Di sini hamil masih kerja dan masih digaji. Kalau melahirkan juga dapat benefit dr pemerintah walau kecil. Nah kalau kondisi kayak gini ya mesti diobrolin.

      Gak cuma perempuan sih, laki2 pun bisa memilih jadi bapak rumah tangga atau mungkin tak bisa bekerja karena alasan kesehatan.

      • Betul tergantung kondisi masing2 org. Itu memang main aman, sesuai kondisi lapangan di negara ini, ya jadi bukan ideal, simulasi perhitungan keuangan untuk opsi itu hrs tetap ada. Kecuali mau serba dadakan..

        Hehe. Disini beda kultur mba. Beda sistem juga. Bukan mustahil, tapi berat tekanan sosial disini kalau laki2 jadi bpk rumah tangga. Paling WFH. Atau di kota besar yg tingkat individualismenya tinggi. Kalau di kampung2 konsep begitu, istri jadi sapi perah, sdh hrs kerja, suaminya kelayapan, anak ditelantarkan.

Leave a reply to Tjetje [binibule.com] Cancel reply