Sukses di mata kebanyakan orang itu adalah sekolah yang baik dan benar, punya gelar, kawin di usia yang masih muda (dan belum menginjak 30an). Lalu tentunya punya anak, pekerjaan atau usaha yang bagus, punya mobil serta rumah dan tentunya memiliki keluarga yang harmonis. Orangtua pasti tenang ketika semua ini tercapai dan tetangga tak berbisik-bisik mengusik orang tua.
Maka tak heran jika kemudian terjadi perceraian, seringkali, atau bahkan selalu ada bisik-bisik tak enak soal percerain ini. Masyarakat kita masih menganggap percerai sebagai sebuah bagian dari kegagalan, padahal ketika janur kuning didirikan, tak pernah ada jaminan bahwa perkawinan akan bebas dari bau kentut & selalu manis seperti drama-drama Korea.
Pengumuman Perceraian
Ketika sepasang insan memutuskan untuk kawin, dunia merasa harus tahu & harus terlibat dalam perayaan perkawinan. Tetangga dan teman banyak yang merasa tersinggung jika tak diundang ke pesta perkawinan. Merasa punya hak untuk diundang, padahal ya kenal-kenal banget juga engga.
Hal yang sama terjadi juga ketika terjadi perceraian, banyak yang tiba-tiba merasa memiliki hak untuk tahu. Tak hanya itu, seringkali ada rasa perlu untuk menerima penjelasan mengapa terjadi perceraian. Padahal aslinya kepo aja, pengen tahu hidup orang lain.
Ketika memilih mengumumkan
Bercerai itu meninggalkan luka, bagi pasangan tersebut dan tentunya bagi keluarganya. Ketika kemudian ada yang memilih untuk berkabar tentang perceraian ini, seringkali topik penyebab perceraian tak terelakkan. Pembicaraan yang membuka luka ini seringkali dibumbui dengan komentar dan penghakiman.
“Kenapa tak begini dan tak begitu? “
“Ah gitu aja kok harus cerai? “
“Masih bisa diselamatkan kan perkawinannya? “
Padahal bagi tiap individu itu, memiliki level toleransi terhadap pasangan yang berbeda? Keinginan dan kebisaan untuk berusaha menyelamatkan perkawinan juga berbeda-beda. Ada yang mati-matian mempertahankan pasangannya bahkan ketika sudah ketahuan berselingkuh seribu kali. Ada yang tak mau mempertahankan setelah tahu pasangannya berselingkuh secara emosi dengan orang lain. Banyak faktor dan semuanya bergantung pada individu masing-maing.
Seringkali, ketika perceraian belum ketok palu, apalagi di negara seperti Irlandia yang harus berpisah dulu selama dua tahun, ada teman-teman atau saudara yang mendadak menjadi konselor perkawinan atau bahkan mediator. Mau menyelamatkan perkawinan. Nggak ada deh ceritanya ngurusin urusan sendiri. Harus campur tangan.
Tabu
Sudah saatnya perceraian tidak dianggap sebagai sebuah hal yang tabu lagi. Tapi dianggap sebagai hal yang biasa terjadi. Namanya manusia itu bisa berubah ketika menjalani hidup dan menjauh. Growing apart. Ada pula yang bercerai karena kekerasan dalam rumah tangga. Atau karena hubungan perkawinan sudah tak sehat lagi. Jadi daripada makin tak bahagia karena perkawinan, lebih baik diakhiri.
Pada akhirnya tiap individu berhak atas cinta. Terutama cinta terhadap dirinya sendiri dan untuk memprioritaskan kebahagiaan dirinya sendiri. Jika perceraian adalah jalan yang harus ditempuh untuk kebahagiaan itu, maka kenapa kita sebagai masyarakat harus reseh?

Penutup
Bercerai itu seringkali membuat luka di hati. Prosesnya panjang dan seringkali tak murah. Di masyarakat kita, mereka yang bercerai itu juga banyak mengalami tekanan bahkan ketakutan. Dari takut salah membuat keputusan, hingga takut dihakimi. Tak elok rasanya kalau kemudian kita, sebagai bagian dari masyarakat masih menambah beban mereka yang bercerai.
Salah satu beban yang bisa dengan mudahnya kita ringankan adalah entitlement untuk tahu mengapa mereka bercerai. Mereka yang bercerai tak punya kewajiban untuk menjelaskan kepada kita mengapa mereka bercerai. Kewajiban ini cuma perlu mereka jelaskan pada pengacara dan hakim yang akan mengetuk palu perceraian.
Satu lagi yang sering saya lihat dan dengar. Ketika melihat orang bercerai, lalu pegang toa dan koar-koar kemana-mana mengumumkan berita perceraian. Seringkali berita perceraian itu ditambahi dengan spekulasi kenapa perceraian terjadi hingga soal pacar baru. Tentunya ditambah pula dengan penghakiman soal pacar baru ini. Macam mereka yang bercerai tak berhak menemukan kebahagiaan.
Ah wait, mungkin mereka yang sinis melihat orang punya pacar baru ini, saat muda dulu tak pernah ngerasain gemasnya punya pacar baru? 🤔
xoxo,
Tjetje
Lebih-lebih lagi kalau cerai dari bule. Omongan-omongan gak pantas yg mengandung konotasi seksual dan body shaming pasti bakal seliweran terus. Terlebih lagi kalau dulu nikahnya dgn bule itu, ortu gak setuju. Akan dicap kena azab anak durhaka 🤢
Katanya ketidaktahuan orang2 terhadap masalah internal orang lain harus dimaklumi, sehingga kita dituntut utk menormalisasi bising-bising tetangga itu, tapi di saat yg sama, we really feel how hurt those unfortunate people are. Ibarat piring yg udah retak dipaksa utk jadi tempat ngulek cabe setan ðŸ˜
I feel really sorry kepada mereka yg belum beruntung dalam bebas mengambil keputusan 😕
Deskripsimu bikin ketawa: Ibarat piring yg udah retak dipaksa utk jadi tempat ngulek cabe setan.
Good point soal azab anak durhaka, aku denger ini beberapa kali dari mereka yang perkawinanya gak disetujui. Udah hancur karena cerai, makin disalahin karena gak menjalani hidup sesuai kemauan orang tua.
Makanya i feel sorry for them mba. Mereka bisa aja nekad kawin lari karena ortunya yg abusive, kita gak pernah tau. Orang tua citranya memang selalu baik pada orang2 luar, tp terhadap orang dalam, banyak juga yg abusivenya aujubilah 🤢
Itu terjadi dimanapun kecuali di lingkungan yg sdh sgt individualis….yah biasa manusia memang gitu….
Iya dimana-mana. Di Irlandia pun juga diomongin, tapi nadanya berbeda.
Nobody is getting married to get divorced in the end, makanya jadi pengen nabok yang mulutnya pedes klo liat orang bercerai, that must be because they see no other way in the end than they need to part.
Yang lebih gemes adalah liat orang yang tetep “mempertahankan” pernikahan yang abusive hanya gara2 ga mau diomongin tetangga.
Nah kalau yang mempertahankan, it is not that simple. Ada anxiety yang melibatkan banyak elemen. Human’s brain is so complex.