Ngobrolin Ekspatriat


Sebelum ngebahas beberapa hal tentang ekspatriat, definisi soal ekspatriat itu mesti diluruskan dulu. Banyak orang soalnya secara terang-terangan menolak dirinya atau pasangannya disebut sebagai imigran dan mengaku-aku sebagai ekspatriat. Biasanya yang salah ini suka ngotot tak karuan. Selain ketidaktahuan, atau bahkan ketidakmautahuan juga mungkin karena konotasi ekspatriat yang dianggap lebih baik ketimbang imigran.

Jadi apa itu ekspatriat? Ekspatriat itu orang yang tinggal di negara selain negara aslinya, biasanya karena pekerjaan dan bersifat sementara. Sementara imigran itu berpindah berpindah dari negara aslinya ke negara lain secara permanen. Perbedaan besar di antara dua kata ini ada di niatan untuk menetap atau hanya sementara. Udah itu aja bedanya.

Tipe pekerjaan sendiri juga tak membedakan bisa disebut ekspat atau imigran. Ekspatriat tak melulu harus eksekutif. Para pekerja rumah tangga yang kerja di Timur Tengah itu ya ekspatriat, karena mereka hanya sementara di sana. Sementara para pekerja teknis dari Indonesia yang pindah ke Eropa untuk bekerja secara permanen dan menetap di negara tersebut secara teori ya namanya migran.

Photo by cottonbro

Kompensasi Ekspatriat

Di Indonesia, ekspatriat (selanjutnya saya sebut ekspat ) itu diidentikkan dengan dapat banyak fasilitas, dari rumah dengan kolam renang di kawasan mewah, mobil, pengemudi, pekerja rumah tangga, biaya sekolah anak hingga ongkos pulang kampung naik kelas bisnis. Yang dilihat orang kebanyakan yang di atas semua. Padahal, realitasnya tak semewah apa yang dibayangkan.

Tak jarang ekspat dalam posisi eksekutif hanya mendapat subsidi rumah. Subsidinya beraneka ragam, dari ribuan hingga puluhan ribu. Jika rumah disubsidi, gaji pengemudi dan pekerja rumah tangga seringkali harus merogoh kocek sendiri, apalagi ongkos membayar pekerja ini bisa dibilang “murah”. Biaya sekolah anak sendiri tak melulu dibayar 100%, apalagi yang anaknya banyak. Ada yang disubsidi, ada yang hanya diberi hingga angka tertentu. Tergantung pemberi kerja.

Sawang-sinawang

Yang tak dapat apa-apa & hanya dapat gaji juga banyak. Dari gaji yang cukup untuk bayar kos aja, hingga bisa bayar apartement sendiri. Asuransi kesehatan bayar sendiri, pekerja rumah tangga cuma mampu bayar seminggu sekali. Kemana-mana mesti naik transportasi umum karena tak sanggup beli mobil, apalagi bayar pengemudi bulanan. Pulang kampung juga mesti nabung & nunggu tiket murah. Yang model gini buanyaaaak & mereka cukup senang dengan paket yang mereka dapatkan. Walaupun pada akhir bulan rekening mereka juga tak jarang teriak-teriak karena “pas-pasan“.

Soal visa juga banyak orang nganggep semua diurusin, tinggal duduk manis dan kipas-kipas. Eh ya jangan salah, yang kipas-kipas kelamaan nongkrong di imigrasi nungguin visa juga banyak. Ada banyak yang mesti rogoh kocek sendiri untuk bayar biaya visa & kebingungan karena tak mendapatkan dukungan penerjemah. Yang wira-wiri Jakarta – Singapura untuk ngurusin visa kerja yang usianya cuma sepanjang usia kontrak juga banyak. Tiket ke Singapura PP? Bayar sendirilah. Belum lagi ada yang diusir dari KBRI karena kakinya kepanasan dan nekat pakai sepatu sandal waktu antri di KBRI Singapura. Demi bisa dapat visa mereka pun harus meminjam sepatu dari salah satu Pekerja Migran Indonesia (bless you mbak!). Mbok pikir ekspat itu ceritanya wah semua…

Ketika jadi ekspat

Asosiasi ekspat dengan kemewahan ini menancap keras di kepala banyak orang. Begitu dapat kesempatan jadi ekspat di luar, anak bangsa mana yang tak langsung girang. Apalagi gaji yang ditawarkan dalam mata uang asing terlihat sangat besar ketika dirupiahkan. Gaji yang belum diterima pun langsung dibelanjakan di dalam angan-angan untuk membeli sawah, buka kontrakan, bayar KPR, beli krypto, emas batangan dan aneka rupa belanja imaginatif. Pendek kata, belum gajian, gaji udah abis diangan-angan.

Sampai kemudian realita menghempaskan angan-angan & diri tertampar realita.

Gaji besar itu ternyata tak beda jauh dengan gaji orang lokal & pajak yang dibayarkan ternyata begitu tinggi. Tamparan ini makin keras ketika tahu biaya hidup di luar negeri begitu tinggi. Akomodasi harus cari sendiri dan harga kontrakan mewah dengan kolam renang yang ada dimimpi tak terjangkau. Belum lagi visa harus antri, urusan dan bayar sendiri. Tak ada calo, visa gratisan, apalagi kesempatan duduk-duduk manis sambil kipas-kipas seperti tuan besar. Kekagetan ini masih ditambah dengan sekolah untuk anak bukan sekolah internasional, tapi sekolah biasa seperti kebanyakan anak orang lain.

Menjadi ekspat di luar juga tak selalu ada embak yang bisa disuruh-suruh biar seperti tuan dan nyonya besar. Tak selalu ada supir yang bisa disuruh lari ke supermarket beli teh botol. Atau satpam yang siap siaga jaga pagar rumah. Tiba-tiba diri tertampar keras ketika tahu bahwa menjadi ekspat di luar negeri itu tak selamanya sehijau rumput ekspat tetangga. Ditambah lagi, ketika rasa rindu akan kampung membuncah, harus pulang sendiri, naik tiket ekonomi promo dan tak ada korporasi yang membayari tiket bisnis.

Penutup

Terlalu sering saya mendengar keluh-kesah atau bisik-bisik mereka yang kaget tinggal di luar negeri sebagai ekspat. Ada banyak kekagetan ketika tahu ongkos hidup di luar negeri itu lebih besar dan ongkos kenyamanan seringkali tak terjangkau (i.e biaya pijit, biaya memperkerjakan pekerja rumah tangga). Adapula kecembururan ketika tahu paket ekspat yang mereka terima seindah paket orang lain, apalagi ketika dibandingkan dengan para eksekutif asing yang bekerja di Indonesia.

Saya sendiri tak kalah kaget lagi ketika tahu mereka tak bisa membaca kontrak dengan seksama dan memastikan fasilitas yang mereka terima sesuai harapan. Kaget ketika tahu harapan mereka begitu tinggi, tapi tak dibarengi dengan kemampuan untuk bernegosiasi sebelum kontrak ditandatangani. Dan saya makin kaget lagi ketika tahu mereka bukan eksekutif tapi berharap mendapatkan fasilitas menjulang sekelas Presiden atau CEO.

Situ yakin pengalamannya eksekutif?


xoxo,
Tjetje
Bukan ekspat

Disklaimer: paketan ekspat tak melulu jelek ya, yang berlimpah fasilitas mewah juga banyak.

Advertisement

16 thoughts on “Ngobrolin Ekspatriat

  1. Gak memungkiri juga, kita2 sebagai 4l4y (yg udah over age 🤣) di ibu kota ini kalau lagi main2 k 3 mall besar itu suka ketemu mas2 dan bapak2 londo yg nenteng belanjaan dari “katun nyala”, “HaDanEm” dll yg utk most of us here unaffordable to buy. Ditambah lagi mereka juga diantar-jemput supir pribadi. Jadi memang kesan pertama yg mengatakan kalau para pendatang itu auto sultan. Gak peduli latarbelakangnya gimana.

    Aku terus-terang, gak terpukau sih dgn mas2 dan bapak2 londo dgn “bawaan mewah”nya itu, cuma jadi ngebatin aja, “oh pantesan…” terhadap beberapa temenku yg ngebet punya lanang londo hanya karena apa yg temen2ku lihat itu hanya yg bagus2nya aja, tapi mereka gak mau tau realitanya. 😅

    • Agak OOT ya, tapi merek-merek kayak gitu itu di sini dianggap sebagai merek “bawah”, karena mereka fast fashion. Di Indonesia mereka re-branding jadi merek wah dan jadi sangat tidak terjangkau & penuh gengsi. Padahal made in Indonesia juga…

      • Hoo, jadi pola2nya mirip henfon cap apel kroak atau cap beri ireng d jamannya itu ya? Yg d mana d negara asalnya sering kita sebut “hp kuli” tp d sini jadi hp sultan 😆

      • Bener. Klo d sini apa2 yg nempel d ujung rambut sampe ujung kaki pasti disorot. Mau bilang orang yg suka melototin dari ujung ke ujung itu OCD, kan gak punya wewenang utk mendiagnosa juga 😆

  2. Mbak, aku jadi ingat sebuah postingan di grup imigran Indonesia di Belanda (mungkin mbak tahu grup yang mana). Ada member baru yang posting mau pindah ke Rotterdam dalam waktu dekat dan minta bantuan saran cari sekolah untuk anaknya kelas 4 SD. Dia minta mau international school atau islamic school. Aku baca komentarnya, banyak yang ngasih komentar bahwa sekolah internasional disini tuh mahal, sebaiknya disekolahkan di sekolah biasa aja, sama bagusnya kok dengan sekolah internasional. Lalu aku ngikik sendiri, kebayang mungkin mental si OP ini masih seperti mengkotak2an kali ya, seperti anaknya cuma mau disekolahkan di sekolah internasional atau sekolah Islam. Kan disini ngga kayak gitu, semua dipandang setara, imigran keturunan Timur Tengah aja pada dikirim sekolah ke sekolah biasa kok.

    Lalu dia juga cerita bahwa dia punya satu anak lebih besar yang baru lulus SMA di Indonesia dan langsung mau disekolahkan ke universitas level riset disini. Aku komentar, karena setahu aku ngga bisa langsung seperti itu. Setahu aku, ijasah dari Indonesia disini ngga setara dengan level Belanda dan banyak student Indo yang S1-nya dapet gelar dari universitas applied science atau hogeschool, lalu kalau mau S2 di universitas level riset, yang ada embel2 “Universiteit”. Lalu dia PM dan dia tanya2 banyak, intinya dia pengen nyekolahin anaknya langsung ke Universiteit, lalu aku bilang ngga bisa, hogeschool pun bagus dan banyak yang berbahasa Inggris disini. Pokoknya dia keukeuh, anaknya lepas SMA tu harus langsung kuliah, atau ikut program penyetaraan setahun (jika ada).

    Aku juga nangkep kayaknya dia mau nanya2 lebih banyak yang terlalu case by case (yang ujung2nya kayak aku harus tau semua), jadi aku kasih dia beberapa link dan suruh dia riset sendiri aja. Aku juga bilang, “Pak, kalau anaknya mau gap year dulu setahun disini juga ngga papa kok. Anak2 umur 18 tahun disini banyak yang lepas SMA ngga kuliah dulu, pada kerja atau traveling dulu.”

    • Aku udah off Facebook, jadi no drama. Beberapa tuh kadang mau masukin anaknya ke internasional school ketika balik ke negara asal karena kurikulum. Anak-anak ekspat ini biasanya pakai kurikulum tertentu dan pindah sekolah mesti ke yang kurikulum yang sama, kalau engga kaget nanti. Apalagi kalau lagi gap mau penugasan jadi ekspat lagi.

      • Dia sih ngga ngomong anaknya kelas 4 SD itu dari sekolah apa. Ibu2 di grup itu jadi pada nyoba kasih input bahwa sekolah internasional disini tuh mahal banget, ga dibayarin kantor pula. Banyak yang kasih contoh ekspat2 lain yang akhirnya masukin anaknya ke sekolah standar karena ngga sanggup bayar sekolah internasional.

  3. Memang banyak yang menolak disebut imigran, karena imigran konotasinya negatif, alias orang non-white, sementara ekspatriate herannya konotasinya biasanya orang dari negara barat. Aku sempet jadi ekspatriat ketika kerja di Oslo, Norway bbrp tahun lalu. Sewa rumah dan transport dan makan memang selalu dibayar kantor, jadi tidak perlu keluar uang sendiri, itu sebagai kompensasi karena “harus pergi” meninggalkan rumah (sementara sewa rumah di negara asal tentu harus tetap dibayar etc etc).

Show me love, leave your thought here!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s