Makan-Makan Inklusif


Setelah hampir sepuluh purnama, saya yang males ngeblog kembali untuk sesaat. Kali ini karena tergelitik ingin membahas, lagi-lagi soal makan-makan. Jika sebelumnya saya banyak membahas soal tata krama, dari soal berkunjung ke rumah orang, hingga obrolan di atas meja makan, topik hari ini soal inklusivitas dalam makan-makan.

Sebuah hal yang mungkin, di Indonesia jarang muncul, karena tak banyak alergi atau toleransi. Jarang muncul bukan berarti tak ada. Sejauh observasi saya (silahkan dikoreksi), biasanya berkait dengan halal atau non-halal. Kalaupun intoleran, tak jauh-jauh dari pedas atau tidak pedas.

Makan-makan inklusif saya definisikan sebagai upaya untuk memahami pola-pola makanan yang berbeda karena alasan agama, kesehatan (misalnya: alergi, intoleran), atau karena preferensi gaya hidup serta upaya untuk menyediakan variasi makanan yang bisa mengakomodasi pola-pola tersebut. Intinya: memastikan kalau makan-makan, semua orang bisa makan tanpa mengakibatkan sakit atau bahkan kematian.



Upaya menjaga dietary requirement

Salah satu contoh upaya menjaga dietary requirement yang sering saya lihat di acara makan-makan orang Indonesia, adalah menjaga kehalalan makanan mereka yang muslim. Ini gak cuma dengan mengingatkan kalau ada makanan berpotensi haram. Tapi si empunya hajatan makan-makan, kalau mengundang tamu muslim, akan beli daging ke tukang daging halal. Halal butcher.

Tak seperti di Indonesia, daging halal biasanya hanya dijual di tukang daging tertentu yang lokasinya hanya ada di tempat-tempat tertentu, terkadang jauh dari tempat tinggal. Buat saya, ini upaya yang inklusif dan indah banget.

Gak cuma menjaga kehalalan aja. Pola makan khusus dan gaya hidup yang berbeda juga sering kali diakomodasi . Sebagai orang yang tak makan sapi misalnya, sering banget di lingkungan saya kalau ada kumpul-kumpul ngebakso. Khusus buat saya, baksonya dibuat dengan daging lain, tanpa sapi. Bahkan ada tuan rumah yang rajin bikin bakso khusus tersendiri untuk saya, sementara tetamu lain makan bakso sapi. Sumpah ini upaya super inklusif dan effort si tuan rumah luar biasa banget untuk memastikan semua orang bisa makan. Terenyuh.

Kenapa ini penting?

Dalam pergaulan yang lebih luas, non-Indonesia, dietary requirement ini akan menjadi lebih kompleks, dari mulai soal pedas dan tak pedas, hingga diet yang terkait agama, seperti halal, kosher. Ada pula pola hidup seperti vegan, vegetarian, vegetarian tapi makan telur dan susu, hingga pescatarian. Sementara kalau alergi, harus ditanya satu-satu karena panjang, dari soal celiac, alergi shellfilsh, alergi susu hingga alergi kacang.

Resiko ketika tak memperhatian dietary requirement ini bisa fatal, terutama untuk alergi. Saya salah satu orang yang saya kenal pernah ngalami, beli peyek teri ternyata peyek tersebut dicampur kacang. Yang makan alergi kacang. Untungnya tak sampai fatal. Alergi kacang sendiri di sini sangat serius, bahkan bisa berakibat fatal, seperti kematian [PS: di Dublin ada satu kasus kematian akibat kacang yang tak tertolong, Emma Sloan].

Pergulatan dengan kecemasan dan ketakutan itu jadi makanan sehari-hari ketika ada dietary requirement. Takut kalau makanan terkontaminasi. Belum lagi rasa terintimidasi dan gak enak sendiri, karena bikin repot dan jadi beban kalau kumpul-kumpul. Abis itu jadi males kumpul-kumpul dan buntutnya jadi terisolasi.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Sederhana banget: TANYA. Tanya bagaimana bisa mengakomodasi diet mereka dan tentunya belajar untuk bisa mengakomodasi diet yang berbeda-beda. Jadi, semua orang bisa makan. Mudah bukan?

Advertisement

8 thoughts on “Makan-Makan Inklusif

  1. Jadi inget stand up comedynya Ronny Chieng tentang kawinannya dia di Amerika vs. di Malaysia. Klo di Amerika banyak banget dietary requirement yang kudu dipenuhi sementara di Malaysia, ya udah klo ga meninggal udah bersyukur haha.

  2. Sejujurnya aku ngga pernah bayangin bahwa aku akan jadi pescetarian dan lacto ovo vegetarian. Pokoknya dagingnya aja yang aku gak makan. Sejauh ini tiap diajak atau ngajak teman yang pemakan segala sih ngga ada kesulitan ya. Kalo mereka ga nanya, aku yang bilang preferensi makananku.

    Yang bikin ribet tuh kalau pergi ke Indonesia. Pernah nih aku dan suami diundang makan ke rumah orangtuaku. Sebelumnya tentu aku bilang ke nyokap soal preferensi makanan kami (suami juga sama kayak aku soalnya, ngga makan daging). Nyokap sih langsung ngangguk ga pake nanya-nanya, bokap dong yang komentar “Udah lah… Cheat day aja”. Dikira preferensi makanan tu kayak kalo lagi diet kali ya, ada cheat day segala…

    Bukannya ngga mau cheat day makan daging, tapi aku biasa menyiapkan diri makan daging tuh untuk hari2 spesial aja. Misalnya kalau liburan ke Bali, masa ngga makan babi guling :p Soalnya kalau aku ngga mindful dan makan daging secara asal, perutku bisa sakit dan eneg berhari-hari.

    • cheat day! LOL

      Kami ngga makan perburungan, untungnya ga terlalu susah di Indonesia dibandingkan dengan yang vegan atau apalah. Keluarga juga gampang mengakomodasi. Soal lactose intolerant ini aneh ya, klo aku ke trigger klo minum susu segar di sini (Denmark) aja. Klo di Indonesia minum susu2 kemasan gitu baik2 aja. Mungkin karena kadar lactosenya udah rendah?

  3. Bener mb. klo mau acara kumpul2 undang orang makan baik nya di tanya ya, jgn sampai fatal.
    Kasihan. Tapi di Indonesia ga pernah sih di tanya detail. Krn masakan nya ndak jauh2 ala Padang, ala Jawa, ala Chinese, ala Bali, semua daerah di sini. Tinggal kita aja lihat dan pikir2 mana yang aman buat kita n suami. Tq mb buat sharing nya.

Show me love, leave your thought here!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s