Makan-Makan Inklusif


Setelah hampir sepuluh purnama, saya yang males ngeblog kembali untuk sesaat. Kali ini karena tergelitik ingin membahas, lagi-lagi soal makan-makan. Jika sebelumnya saya banyak membahas soal tata krama, dari soal berkunjung ke rumah orang, hingga obrolan di atas meja makan, topik hari ini soal inklusivitas dalam makan-makan.

Sebuah hal yang mungkin, di Indonesia jarang muncul, karena tak banyak alergi atau toleransi. Jarang muncul bukan berarti tak ada. Sejauh observasi saya (silahkan dikoreksi), biasanya berkait dengan halal atau non-halal. Kalaupun intoleran, tak jauh-jauh dari pedas atau tidak pedas.

Makan-makan inklusif saya definisikan sebagai upaya untuk memahami pola-pola makanan yang berbeda karena alasan agama, kesehatan (misalnya: alergi, intoleran), atau karena preferensi gaya hidup serta upaya untuk menyediakan variasi makanan yang bisa mengakomodasi pola-pola tersebut. Intinya: memastikan kalau makan-makan, semua orang bisa makan tanpa mengakibatkan sakit atau bahkan kematian.



Upaya menjaga dietary requirement

Salah satu contoh upaya menjaga dietary requirement yang sering saya lihat di acara makan-makan orang Indonesia, adalah menjaga kehalalan makanan mereka yang muslim. Ini gak cuma dengan mengingatkan kalau ada makanan berpotensi haram. Tapi si empunya hajatan makan-makan, kalau mengundang tamu muslim, akan beli daging ke tukang daging halal. Halal butcher.

Tak seperti di Indonesia, daging halal biasanya hanya dijual di tukang daging tertentu yang lokasinya hanya ada di tempat-tempat tertentu, terkadang jauh dari tempat tinggal. Buat saya, ini upaya yang inklusif dan indah banget.

Gak cuma menjaga kehalalan aja. Pola makan khusus dan gaya hidup yang berbeda juga sering kali diakomodasi . Sebagai orang yang tak makan sapi misalnya, sering banget di lingkungan saya kalau ada kumpul-kumpul ngebakso. Khusus buat saya, baksonya dibuat dengan daging lain, tanpa sapi. Bahkan ada tuan rumah yang rajin bikin bakso khusus tersendiri untuk saya, sementara tetamu lain makan bakso sapi. Sumpah ini upaya super inklusif dan effort si tuan rumah luar biasa banget untuk memastikan semua orang bisa makan. Terenyuh.

Kenapa ini penting?

Dalam pergaulan yang lebih luas, non-Indonesia, dietary requirement ini akan menjadi lebih kompleks, dari mulai soal pedas dan tak pedas, hingga diet yang terkait agama, seperti halal, kosher. Ada pula pola hidup seperti vegan, vegetarian, vegetarian tapi makan telur dan susu, hingga pescatarian. Sementara kalau alergi, harus ditanya satu-satu karena panjang, dari soal celiac, alergi shellfilsh, alergi susu hingga alergi kacang.

Resiko ketika tak memperhatian dietary requirement ini bisa fatal, terutama untuk alergi. Saya salah satu orang yang saya kenal pernah ngalami, beli peyek teri ternyata peyek tersebut dicampur kacang. Yang makan alergi kacang. Untungnya tak sampai fatal. Alergi kacang sendiri di sini sangat serius, bahkan bisa berakibat fatal, seperti kematian [PS: di Dublin ada satu kasus kematian akibat kacang yang tak tertolong, Emma Sloan].

Pergulatan dengan kecemasan dan ketakutan itu jadi makanan sehari-hari ketika ada dietary requirement. Takut kalau makanan terkontaminasi. Belum lagi rasa terintimidasi dan gak enak sendiri, karena bikin repot dan jadi beban kalau kumpul-kumpul. Abis itu jadi males kumpul-kumpul dan buntutnya jadi terisolasi.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Sederhana banget: TANYA. Tanya bagaimana bisa mengakomodasi diet mereka dan tentunya belajar untuk bisa mengakomodasi diet yang berbeda-beda. Jadi, semua orang bisa makan. Mudah bukan?

Advertisement

Catatan WNI Tak Bisa Pemilu di Irlandia

Selamat pagi Indonesia!

Hari ini menjadi hari penting bagi banyak WNI di Indonesia, karena hari ini menjadi pesta demokrasi. Pestanya orang-orang Indonesia untuk memilih wakil rakyatnya. Bagi kami, para WNI yang berada di luar negeri sendiri, pemilihan umum ini sudah dilaksanakan pada akhir pekan lalu.

Pemilu kali ini menjadi pemilihan umum Indonesia pertama saya di luar negeri. Di Irlandia sendiri, saya juga memiliki hak untuk memilih, tapi hanya pemilihan lokal saja. Karena ini pemilihan pertama saya, otomatis saya harus mendaftarkan diri terlebih dahulu dan menyetirlah saya dari rumah saya dari kampung ke tempat sosialisasi PPLN (Panitia Pemilihan Umum Luar Negeri) yang bertempat di rumah salah satu orang Indonesia yang merelakan rumahnya digunakan untuk sosialisasi. Hari itu, saya menyetir sejauh lebih dari 150 km demi partisipasi untuk pesta demokrasi.

Proses Pendaftaran

Pendaftaran diri sendiri dilakukan dengan mengisi formulir kertas (manual!) yang harus dilengkapi dengan data. Saya tak akan lupa hari itu, karena hanya ada dua bolpen. Salah satunya milik suami saya, otomatis kami bergantian menggunakan bolpen tersebut. Informasi tentang bolpen ini penting, untuk menggambarkan kesiapan panitia.

Hari itu saya mendaftarkan diri dan seorang teman. Selain menyerahkan formulir dengan data diri kami, kami juga harus menyerahkan kopi paspor melalui email gmail kepada panita Kedua email ini dibalas oleh panitia yang menyatakan data kami diterima. Yes, beres! 

Poster di negara tetangga

Proses Pemilihan

Menjelang pemilihan, dokumen berisi nama pemilih yang berhasil dicatatkan untuk memilih melalui pos diedarkan oleh salah satu rekan di komunitas warga dan diaspora Indonesia di Irlandia. Nama saya, kendati mengandung sebuah kesalah kecil, tercatat di DPT tersebut. Typo nama ini saya maafkan, karena tak mudah menginput ratusan, atau bahkan ribuan nama warga ke dalam sistem. Mungkin mata dan jari sudah lelah ketika melihat nama-nama tersebut. Aman.

Sosial media memberikan kesempatan bagi kami yang berada di luar negeri untuk pamer ketika surat suara sudah tiba. Pamer-pamer ini ternyata banyak gunanya, karena kami yang belum mendapatkan surat suara kemudian detak jantungnya mulai berdebar-debar, semangat menunggu surat suara. Mungkin karena rumah saya di luar Dublin, surat suara saya agak terlambat.

Tunggu punya tunggu, surat suara saya tak sampai. Dan pesan-pesan kepada petugas PPLN pun mulai saya layangkan. Saya tak sendiri, WNI lainnya pun mulai ribut mempertanyakan surat suaranya.

Dan kekacauan pun mulai terlihat….

Sampai kemudian salah satu diaspora Indonesia berinisiatif mendata warga yang belum menerima surat suara ini. Tercatat lebih dari dua puluh orang belum/ tidak menerima surat suara. Yang kemudian ditindaklanjuti dengan permintaan untuk mengirim email ke PPLN lengkap dengan nomor passport serta alamat.

Tidak ada Alamat

Dalam kasus saya, petugas berdalih surat suara saya tak dikirimkan karena tak ada alamat. Entah dimana formulir yang saya berikan kepada petugas pada saat hari sosialisasi. Perjalanan panjang 150 km tersebut berakhir dengan sia-sia karena petugas yang tidak kompeten dalam menginput informasi dan data.

Tapi alamat bukan alasan lagi, karena minggu kemaren, detail alamat sudah saya berikan. Tapi tak ada balasan apa-apa lagi dari PPLN. Mendadak semunya sunyi dan senyap.

Soal Perangko

Beberapa orang yang tak menerima surat suara, ternyata surat suaranya kembali ke alamat pengirim (PPLN) karena isu sederhana: perangko yang tak mencukupi untuk mengirim surat suara ke luar negeri. Perlu dicatat PPLN ini lokasinya di London, sementara kami di Republik Irlandia.

Kekonyolan soal perangko tak hanya di surat-surat yang kembali, tapi juga di amplop untuk pengiriman surat suara kembali ke London. Rupanya, sebagian pemilih di Irlandia diberi amplop yang berisikan perangko Inggris, bukan perangko Irlandia. Sesungguhnya para panitia ini perlu diberi pelajaran sejarah, bahwa Republik Irlandia bukanlah jajahan Inggris.

Beruntung beberapa warga ada yang ditegur petugas pos atau pasangannya memperhatikan perangko ketika mengirim. Sementara mereka yang tak memperhatikan, saya yakin suaranya akan hangus. Yang menyebalkan, masalah perangko ini masalah klasik, pernah terjadi saat pemilu di tahun 2014 yang lalu.

Jangan tanya bagaimana sedihnya saya sebagai warga negara yang dirampas hak pilihnya karena KETIDAKKOMPETENAN panitia dalam menjalankan tugasnya. Mengatur data ratusan, atau mungkin ribuan orang memanglah tidaklah mudah, tapi ketika data sudah dikumpulkan dari perjalanan ke Irlandia, layaklah jika kami mempertanyakan kompetensi mereka. Kalau kata orang Irlandia: Gobshite!

Bagi kalian yang hari ini memutuskan untuk nyoblos, selamat berpesta demokrasi. Semoga kiranya siapapun pilihan kalian, membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Dan tentunya, jangan sampai pertemanan rusak cuma gara-gara beda pilihan.

xx,
Tjetje

Nostalgia Kereta Ekonomi

Bulan Januari empat tahun yang lalu, saya dan teman-teman yang tergabung dalam Couchsurfing memutuskan jalan-jalan ke Badui. Kami mengambil kereta api kelas ekonomi jurusan ke Rangkasbitung yang biayanya 2000 rupiah saja. Saat itu, saya melanggar “sumpah” untuk tidak naik kereta api ekonomi tanpa AC lagi. “Sumpah” itu sendiri timbul setelah saya dan teman-teman naik kereta api murah meriah ke Bogor dan terpaksa mandi sauna diiringi suara teriakan pedagang minuman yang mendorong trolleynya di tengah kepadatan penumpang kereta. Konon, kalau pedagang minuman ini masih bisa mendorong trolley minumannya, maka kereta belum penuh.

Stasiun Kereta Api Rangkas Bitung

Anak kecil bersepeda di dekat rel kereta api di Rangkasbitung

Kembali lagi ke cerita kereta menuju Rangkasbitung, kereta ini tenyata berbeda dengan kereta lainnya. Keretanya sih sama-sama bau, panas tanpa AC, tapi orang-orang di dalamnnya membuat suasana kereta ini menjadi berbeda. Belum sampai lima menit saya masuk ke kereta, sudah ada mas-mas yang menawarkan tempat duduknya kepada saya dan seorang teman. *iya serius nggak boong!!*. Tak sampai lima belas menit menikmati duduk di kereta yang panas, diiringi musik dangdut super kencang, saya berdiri memberikan tempat duduk saya untuk seorang kakek. Malu hati. Tapi kurang dari 30 menit kemudian, saya mendapatkan kursi lagi, kali ini dari seorang perempuan. Si Mbak ngotot ingin memberikan kursinya dan hendak berdiri, karena kepanasan dan ingin berdiri, menikmati semilir angin dari jendela kereta. Oh indahnya kebersamaan dalam kereta, seandainya penumpang TransJakarta bis seperti mereka, Jakarta akan berbeda. *boro-boro kursi, tiang untuk pegangan saja terkadang dikuasai sendiri, kalau sudah begitu saya rasanya ingin teriak memaki: bekas penari yang nari-nari di tiang ya Mbak? Tiang aja dimonopoli sendiri*

Dua orang pengamen anak-anak, yang seorang perempuan berusia sekitar 7-8 tahun, duduk manis, dengan speaker di pangkuannya, sedangkan sang adik yang berusia sekitar 5 tahun duduk di sampingnya. Sepanjang perjalanan, jika tidak sedang menyanyi, si adik kecil ini mengunyah tahu, salak atau meminum minuman yang dijajakan pedagang asongan. Mereka duduk dengan manisnya  dan terus menerus menerima uang tanpa perlu berjalan-jalan. Setelah satu lagu diputar, digantilah kasetnya dengan kaset lainnya. Tangan kirinya memegang microphone sembari menyanyi, sedangkan tangan kanannya sibuk memegang tutup bolpen dan memutar pita kaset. Perempuan kecil itu menyanyi, bergantian dengan adiknya, terkadang beberapa pria juga ikut menyanyi.

Seorang pria yang duduk di samping adik kecil, tampak sibuk mengigiti bagian bawah sebuah kantong plastik, lalu menuangkan minuman berwarna merah tua tersebut ke dalam sebuah gelas plastik. Setelah itu, diberikannya gelas plastik tersebut kepada segerombolan pria yang sibuk bermain kartu domino. Tak lama, gelas tersebut dikembalikan lagi pada pria dengan plastik itu, diisi kembali, lalu diedarkan untuk dihabiskan. Rupanya, aktivitas yang sedang saya lihat adalah perdagangan anggur merah di atas kereta api, tentunya bukan Red Wine Australia, South Africa apalagi Bordeaux. Jangan bayangkan ada banyak gelas, hanya ada satu gelas yang berpindah dari satu bibir ke bibir yang lain. Dari pengamatan saya, anggur tersebut dijual seharga dua ribu rupiah, tidak per gelas, tapi untuk 1/6 bagian. Sang pedagang anggur ini cukup ‘dermawan’, ia membagi sebagian uangnya untuk adik kecil pengamen.

Konsumen dari perdagangan anggur ini adalah segerombolan pria muda yang sibuk bermain kartu domino. Kegiatan ini melibatkan tak hanya uang sebagai taruhannya, tetapi juga topi di kepala dan pakaian yang melekat di badan. Gerombolan tersebut bukan satu-satunya, di sisi yang lain, juga terdapat sekelompok pria yang lebih berumur dan sibuk bermain domino. Kertas koran menjadi alas permainan agar kartu-kartu tersebut tidak tercecer. Tetapi tidak ada uang yang menjadi taruhannya, apalagi pakaian, ataupun topi. Mungkin juga uangnya tak terlihat.

Di tengah padatnya kereta, pedagang tahu sibuk berteriak-teriak menjual dagangannya, bersaing dengan pedagang salak. Semakin mendekati tujuan kami, harga yang ditawarkan tidak berubah, masih sama, tapi kuantitas yang diberikan semakin tinggi. Hingga mencapi 5000 rupiah untuk 40 buah tahu. Begitu juga dengan buah salak. Bahkan seorang pedagang alpukat bersedia menjual seluruh dagangan sisanya yang berjumlah sekitar 7 buah seharga 5000 rupiah saja. Oh, kereta api, sungguh murah meriah dan dipenuhi dengan aneka rupa perilaku manusia!

Tulisan yang pernah saya muat di Multiply saya empat tahun lalu tentunya tidak relevan untuk menggambarkan kondisi perkeretapian kita hari ini, yang katanya jauh lebih baik. Tetapi, pengalaman ini punya ruang khusus di hati saya, mungkin karena saat itu saya bisa memuaskan mata melihat aneka rupa perilaku manusia. Pada saat yang sama saya juga sedih melihat orang kecil berjudi, pedagang alkohol berjualan di depan anak kecil dan tentunya lebih sedih lagi melihat dua anak kecil berjuang menghadapi hidup anak-anak jalanan, tanpa orang tua yang melindungi mereka. Kendati ekonomis, penumpang kereta itu hatinya tak ekonomis. Mereka yang lelah, tetap mau berbagi duduk, baik kepada perempuan maupun maupun lawan jenis. Sungguh pemandangan yang jauh berbeda dari gerbong komuter khusus perempuan, yang konon sangat kejam, tanpa hati. Semoga kita, terutama para perempuan-perempuan yang kerap dituduh lebih kejam (kalau urusan kursi di kereta), bisa belajar untuk lebih baik dari para penumpang ekonomi dua ribuan itu.

xx,
Tjetje

Menyalahkan Korban

Beberapa waktu yang lalu saya menulis dua hal aneh yang saya dengar di dalam satu minggu, di postingan itu saya menuliskan tentang perempuan asing yang dilecehkan ketika sedang menikmati sebuah pantai di Timur Indonesia Indonesia. Cerita selengkapnya bisa dibaca disini. Kebiasaan saya ketika menulis adalah menyebarkan tulisan saya ke sosial media i.e facebook dan twitter. Komentar-komentar yang saya dapatkan di facebook kadang lebih seru daripada komentar di blog; entah kenapa.

VictimBlaming1_printsize-1

Salah seorang kenalan saya berkomentar bagaimana perempuan tersebut tidak menghormati aturan setempat, untuk tidak berbikini. Benarkah ada aturan untuk tidak boleh berbikini di sebuah pulau kecil yang jauh di Ambon? Cottagenya pribadi, pulaunya secluded, masak iya dilarang berbikini? Sayangnya setelah saya tanyakan kebeberapa orang, informasi ini tidak bisa diverifikasi. Jikalaupun ada aturan yang melarang orang berbikini, apakah kemudian perempuan ini berhak dilecehkan hanya karena mengenakan bikini di pantai?

Sebagai perempuan, ketika mendengar perempuan lainnya dilecehkan, saya tak hanya bersimpati tapi juga berempati. Perempuan manapun, tak hanya perempuan, manusia manapun, termasuk pria maupun transjender, saya yakin tak mau menjadi korban pelecehan.

Dalam ilmu psikologi memang ada sebuah gejala menyalahkan korban. Baik itu korban kemiskinan, korban pemerkosaan, pelecehan maupun korban kriminal lainnya. Perilaku menyalahkan korban ini, buat saya tidak menyelesaikan masalah dan tidak memberikan solusi, karena selalu dimulai dengan kata ‘Jika’. Jika hari itu perempuan itu mengenakan karung beras sekalipun, tidak akan bisa dijamin bahwa dia tidak akan dilecehkan. Mereka akan tetep datang, tetep minta foto, tetep nyolek-nyolek dan tetep menembakkan senjata ke udara. My point, pelecehan perempuan itu tidak bergantung pada apa yang dikenakannya, tapi terletak pada niatan dari para pelaku pelecehannya.

Dari hasil baca-baca sekilas, orang-orang yang menyalahkan korban itu merasa dirinya tidak sama dengan korban dan merasa hal itu tidak akan pernah bisa terjadi kepadanya.  Kalau bahasa kerennya sih, bad things happen to bad people, while good things happen to good people. Parahnya, perilaku menyalahkan korban membuat korban malas mengaku atau melaporkan tindakan kriminal pada pihak berwajib. Kalau sudah begini, kriminal akan tetap berlangsung karena pelakunya melenggang bebas tanpa ada yang melaporkan.

Apa yang harus kita lakukan jika berhadapan dengan orang yang menyalahkan korban? Lawan dan jelaskan. Orang-orang yang menyalahkan korban itu tak tahu bahwa perilakunya salah dan punya dampak yang tidak baik. Jika kebetulan mereka menyalahkan korban di depan si korban, jelaskan juga pada korban bahwa kejadian tersebut bukan karena kesalahan korban.

Punya tips lain untuk tidak menyalahkan korban?

Hukuman Mati

Tahun 2008 yang lalu saya pernah menulis tentang hukuman mati di blog multiply. Ketika itu, Sumiarsih dan Sugeng, pelaku pembunuhan satu keluarga di Surabaya dieksekusi mati. Sumiarsih serta anaknya, Sugeng, melakukan pembuhan karena urusan hutang piutang yang hanya puluhan juta; mereka menghabisi sebuah keluaga, termasuk bayi di dalam kandungan, kecuali seorang anak yang kebetulan sedang mengikuti pendidikan militer. Tak hanya melibatkan anaknya, Sumiarsih juga melibatkan suami serta mantunya; saya nggak habis pikir gimana sebuah keluarga bisa merencakana pembunuhan? gimana ngobrolnya? Di Malang, kasus ini menjadi terkenal karena korban pembunuhan dibuang di Songgoriti, sebuah area di daerah Batu; jaman itu Batu masih merupakan bagian dari Malang. Setiap kali melewati belokan tempat pembuangan jenasah, mobil-mobil selalu membunyikan klakson dua kali. Makanya kasus ini lengket banget di kepala saya.

Balik lagi ke postingan saya, Ketika itu saya menuliskan ketidaksetujuan terhadap hukuman mati; apapun bentuknya, baik yang dianggap hukuman mati ‘terbaik’ hingga hukuman mati terburuk. Ada banyak bentuk hukuman mati yang masih dipertahkan diberbagai belahan dunia, dari ditembak, disuntik dipancung hingga dilempar batu. Mungkin hukuman mati yang dijalankan di jaman sekarang dianggap ‘lebih baik’ karena tak ada lagi metode hukuman mati diinjak gajah, metode kursi kejam Spanyol atau metode Inggris hang, drawn and quartered.

Apapun caranya, menurut saya, hukuman mati tak ada yang friendly dan tak ada yang terbaik, semuanya kejam. Karena kekejaman itulah dan pastinya karena penghormatan pada hak asasi manusia yang tercatat pada UN Declaration of Human Rights, terutama atas hak hidup dan hak untuk tidak disiksa, kebanyakan negara-negara maju di Eropa telah menghapus hukuman mati. Sayangnya, Amerika, Asia serta daerah negara-negara Arab masih menerapkan hukuman mati.  Menurut riset saya (baca: googling) Asia justru tercatat sebagai negara yang banyak menjalankan hukuman mati; Indonesia, Cina, Bangkok, Jepang, Malaysia adalah beberapa negara di Asia yang menerapkan hukuman mati.

Kebanyakan orang menganggap hukuman mati menjadi layak ketika pelakunya saat itu terbukti melakukan dosa besar seperti pembunuhan maupun mengedarkan narkoba; di negeri ini korupsi belum atau tidak dikategorikan sebagai dosa besar. Bagi sebagian orang, serta bagi hukum di negeri ini, pelaku kejahatan tersebut layak dihukum mati karena sistem keadilan tak dapat mengampuni mereka (atau karena Presidennya tak mau mengampuni mereka). Berbeda dengan mereka, saya memiliki cara lain melihat hukuman mati. Bagi saya negara sebagai penyedia sistem keadilan tidak berhak menghukum mati, apapun alasannya.

against-death-penalty

Selain itu, hukuman mati adalah siksaan kejam karena orang disiksa secara psikologis untuk menunggu kematian. Dari hari diputuskan bersalah dan dihukum mati hingga hari eksekusi pelaku kejahatan sudah tersiksa dengan ketakutan eksekusi. Kekejaman ini masih ditambah dengan cara eksekusi yang kadang-kadang salah. Silahkan digoogle cerita suntikan mati yang gagal membunuh dengan cepat seorang terpidana hukuman mati di Amerika.

Pengedar narkoba memang kejam begitu juga dengan pembunuh 42 orang, tapi apakah negara perlu berlaku sama kejamnya dengan mereka? Ketimbang menghukum mati, negara harusnya memberikan kesempatan bagi orang-orang yang melakukan kejahatan untuk berubah dan bertobat. Bukankah manusia layak mendapatkan kesempatan kedua? Kalau mau dilihat secara lebih rumit lagi, pengedar narkoba, misalnya, adalah korban dari kegagalan negara untuk menyediakan pekerjaan dan pendidikan yang layak. Banyak Ada kurir narkoba yang mau menjadi pembawa narkoba karena tidak tahu (karena bodoh) dan juga karena miskin. Kemiskinan, menurut saya adalah dosa negara.

Kelemahan lain dari hukuman mati adalah hukuman mati tak bisa ditarik kembali jika ada novum atau bukti baru. Apa jadinya jika seseorang yang sudah dieksekusi di kemudian hari terbukti tidak bersalah karena ada teknologi baru yang bisa membuktikan? Negara tentunya tak akan mungkin membangunkan orang yang sudah dieksekusi dari dalam tanah kubur. Ini pernah kejadian lho.

Hukuman mati selalu dilihat sebagai bagian dari konsep ‘an eye for an eye’, orang yang mengambil nyawa orang lain pantas dicabut nyawanya. Tapi bagi saya, ketika seseorang terbukti melakukan ‘dosa besar’, tidak selayaknya negara melakukan dosa yang sama, hanya demi ‘keadilan’. Gandhi pernah berkata an eye for an eye will make the whole world blind; saya setuju dengan Gandhi. Kamu setujukah dengan Gandhi?

 

Xx

Tjetje

Cerita Hujan

Dulu jaman sekolah kita diajarkan bahwa hujan akan mengguyur Indonesia di bulan-bulan yang berakhiran “Ber” seperti September, Oktober, November dan Desember. Itu dulu, sekarang, hujan di Indonesia tak bisa diprediksi. Bulan November dan Desember diwarnai sedikit atau bahkan tanpa hujan, sementara bulan January dan February selalu diguyur hujan deras.

Hujan bagi sebagaian orang yang berprofesi sebagai petani adalah berkah. Petani bukan satu-satunya orang yang bersyukur jika hujan tiba, adik-adik penjaja jasa sewa payung, atau yang biasa kita sebut ojek payung juga dengan riang gembira menyambut hujan. Sementara, di sudut Jakarta lainnya pemilik gerobak bersorak gembira ketika hujan semakin lebat dan air mulai menggenang, atau bahkan banjir. Hujan membawa rejeki bagi mereka.

Sebaliknya, mereka yang tinggal di daerah rawan banjir menganggap hujan sebagai musibah. Ancaman air bah bisa datang kapan saja untuk menyapu harta benda mereka. Banjir juga datang dengan aneka rupa penyakit, termasuk leptospirosis. Pegawai kantoran di Jakarta, seperti saya, juga melihat hujan sebagai sumber masalah. Tak hanya membuat rencana makan siang gagal, akibat hujan yang rajin datang menjelang makan siang, hujan juga menyebabkan kemacetan luar biasa. Sebenarnya, hujan tak menyebabkan kemacetan, hanya menyebabkan genangan air di beberapa titik. Genangan inilah yang bikin kendaraan berjalan lebih pelan dan menyebabkan kemacetan. Area kemacetan tak hanya berada di sekitaran genangan air tapi juga di bawah jembatan, karena jembatan dipenuhi oleh pengendara sepeda motor yang berteduh. Tak hanya mereka yang naik sepeda motor yang sengsara, pengguna taksi macam saya juga kesulitan mencari taksi. Antrian taksi bisa mencapai ratusan lebih jika Jakarta diguyur gerimis sekitar jam lima sore.

jakarta

Cantiknya Jakarta kalau kering

Profesi-profesi unik yang berkaitan dengan hujan tak hanya ojek payung dan gerobak banjir saja, tapi ada jasa menghentikan hujan, alias pawang hujan. Beberapa tahun lalu, ketika mengadakan acara di kawasa Nusa Dua Bali, saya menggunakan jasa pawang hujan agar acara berlangsung lancar. Menariknya, pawang hujan yang saya pesan melalui hotel memberikan garansi uang kembali jika hujan turun. Di kasawan Nusa Dua, jasa pawang hujan boleh ditawarkan, tak seperti daerah suburb Australia Kuta yang melarang penggunaan pawang hujan.

Menurut pegawai hotel di Nusa Dua, ada dua cara menghentikan hujan, tradisional dan modern. Cara tradisional dilakukan dengan upacara kecil dan  memberikan sesajian, sementara cara modern dilakukan dengan menembakkan laser ke awan untuk memecah awan. Dampaknya memang tak ada hujan di wilayah acara, tapi mungkin hujannya bergeser ke arah lain.

Naifnya, saya berpikir bahwa jasa penghentian hujan ini bisa dipesan dimana saja. Makanya ketika menyiapkan pesta di Irlandia, saya minta jasa penghentian hujan supaya kami masih bisa melakukan acara di luar hotel. Bukannya dapat pawang hujan, saya malah diketawain oleh pegawai hotel.

Selain menggunakan jasa pawang hujan, konon kita bisa menghentikan hujan sendiri bermodalkan celana dalam. Konon celana dalam ini cukup di lempar di atas genteng dan hujan akan berhenti. Ada juga teknik lain yang lebih murah karena hanya memerlukan bawang merah, cabe serta sapu lidi. Sapu lidi dibalik menghadap ke atas, lalu cabe dan bawangnya diletakkan di atas sapu lidi. Teknik ini pernah saya coba ketika ada acara di rumah dan berhasil. Tapi apakah keberhasilan itu dikarenakan si sapu lidi? Kemungkinan besarnya sih tidak, karena saya tak sesakti itu.

Have a nice week everyone and please stay dry!

xx,

Tjetje

Belanja di Lotte Duty Free Jakarta

Terminal Internasional Bandara Soekarno-Hatta tak punya banyak toko bebas pajak, atau lazim disebut Duty Free, seperti di Dubai. Walaupun tokonya sedikit tak banyak dari kita yang benar-benar bisa belanja dengan puas karena kita (atau jangan-jangan cuma saya) selalu berkejaran dengan waktu. Waktu yang seharusnya bisa dihabiskan untuk berbelanja à la Syahrini terpaksa habis untuk menembus macetnya Jakarta. Tak hanya habis di jalanan, waktu juga banyak terbuang untuk menunggu antrian pada saat check-in maupun pemeriksaan imigrasi. Jadi jangan heran kalau toko-toko bebas pajak di bandara relatif sepi ketimbang di negara lain.

Mungkin ini sebabnya Lotte Avenue, sebuah mall milik konglomerat Korea Selatan yang terletak di Mega Kuningan, menawarkan Duty Free di tengah kota. Tak perlu berkejar-kejaran dengan waktu dan bisa bebas belanja apapun selama kantong dan tangan kuat. Kantong kuat membayar dan tangan kuat mengangkat belanjaan.

Lotte

Bagi warna negara Indonesia, jika ingin belanja di Lotte tak perlu membawa uang sepeserpun, cukup berbekal passport dan copy ticket (atau tiket elektronik). Kita juga gak perlu repot-repot dandan cantik dan menyasak rambut sampai setinggi langit supaya bisa dilayani dengan baik dan ramah. Pengalaman pribadi membuktikan pegawai Lotte Duty Free tetap melayani dengan baik bahkan melempar senyum kendati saya masuk toko ini mengenakan sandal gunung dengan rambut setengah basah sambil memanggul tas gym yang super besar. Coba masuk mall lain, alamat gak bakal dilirik.

WNI tak bisa langsung berbelanja di Lotte Duty Free dan hanya bisa melakukan pemesanan. Semua barang yang dipesan baru bisa diambil dan dibayar di terminal 2E bandara Soekarno-Hatta; layanan pengambilan barang hanya ada di terminal 2E dan tak tersedia di terminal 3.

Standar harga di Lotte Duty Free adalah dollar, tapi tapi untuk pembayaran bisa dengan rupiah, sesuai nilai tukar mereka di hari pembayaran. Barang-barang di Lotte tak selamanya lebih murah daripada di mall Jakarta, kadang bisa lebih mahal, tergantung nilai tukar rupiah. Tetapi ada juga barang yang sekuat-kuatnya nilai tukar rupiah, akan tetap lebih mahal. Lipstick MAC contohnya; harga di Lotte Duty Free selalu lebih mahal daripada harga di counter Plaza Senayan (PS).  Tapi, MAC di di Lotte menawarkan warna-warna lipstick yang tak ada di counter PS. Kalau MAC Indonesia gak pernah memberikan diskon, MAC Lotte Avenue pernah mendiskon sebagian kecil produknya hingga 50%.

Selain menawarkan kosmetik, Lotte Duty Free juga punya barang fashion, termasuk merek-merek Korea. Pilihan merek fashionnya nggak sebanyak komestik dan koleksinya agak ketinggalan. Koleksi yang ketinggalan trend ini sayangnya tak dibarengi dengan harga yang bersahabat. Jatuhnya suka lebih mahal daripada sista-sista online yang jualan barang ori dari Amerika. Hanya ketika diskon gila-gilaan, 50-70%,  Duty Free ini berasa seperti Duty Free pakai banget.

Perlu dicatat, kita selambat-lambatnya hanya bisa belanja tiga sampai empat jam sebelum jadwal penerbangan karena barang pesanan selalu diantar dari Mega Kuningan ke Bandara. Dipikir-pikir gak efisien juga, mereka kan punya toko di Bandara, kenapa gak ambil stok dari bandara aja ya? Lha kalau ada yang order lipstick sebatang, untungnya bakalan abis untuk bayar biaya antar ke bandara dong ya?

Bagi yang suka plin-plan, proses membatalkan barang bisa dengan mudah dilakukan, tinggal bilang batal atau barangnya gak usah dibayar. Tapi, kalau pengen membatalkan satu barang di dalam struk yang berisi beberapa pesanan nggak bakalan bisa. Either batalin semua, atau bayar semua. Jadi kalau ragu-ragu, sebaiknya pesanan dibagi-bagi menjadi beberapa struk. Biar mudah kalau pengen membatalkan.

Gimana, berminat belanja disini?

Tjetje

Nggak lagi buzzing lotte avenue

Melihat Gili Dari Kacamata Sosial

Lima tahun lalu di Gili Trawangan saya bersumpah jika kembali lagi tak akan mau naik Cidomo. Ketika itu, kuda kecil yang disewa oleh penyelenggara jalan-jalan, harus mengangkut beberapa orang melintasi beberapa sudut pulau yang tertutup pasir. Jalan di atas pasir itu susah, apalagi menarik manusia. Cidomo sangat populer tak hanya di Lombok, tapi juga di Gili Air, Meno dan Trawangan yang tak punya kendaraan umum. Pengunjung Gili, yang kebanyakan turis asing, biasanya berkeliling pulau dengan berjalan kaki atau naik sepeda. Hanya orang Indonesia yang rajin keliling naik Cidomo, mungkin malas jalan. Sementara orang lokal menggunakan sepeda listrik sebagai alat transportasi.

image

Akhir tahun kemarin, saya kembali ke Gili, kali ini Gili Air. Statistik menunjukkan Gili Air memiliki kepadatan penduduk lebih tinggi ketimbang Gili Trawangan, tapi faktanya, Gili Air jauh lebih tenang dari Gili Trawangan. Seperti Gili Trawangan, Gili Air juga memiliki masalah dengan listrik dan air bersih. Listrik di pulau ini rajin mati. Jalanannya pun masih banyak yang gelap tak tersentuh lampu, tak heran banyak turis berjalan-jalan dengan lampu di kepalanya. Di siang hari sumber listrik dari daerah ini berasal pembangkit tenaga surya sedangkan di malam hari dipasok dari Lombok.

Berbicara tentang air, air di kamar mandi dan di kolam renang hotel yang saya tempati rasanya asin. Bahkan, air kolam renang yang asin ini dicampur dengan kaporit, alhasil kalau kena mata bikin ngumpat-ngumpat. Menurut staff hotel yang saya tempati, air tawar di pulau ini harus didatangkan dari Lombok melalui pipa bawah laut. Untungnya pulau ini hanya enam menit saja dari pelabuhan Bangsal di Lombok, jadi pipa dalam lautnya gak panjang-panjang banget.

Bawah laut Gili tidak menawarkan karang-karang indah. Bahkan menurut saya, koral di Pulau Tunda dan pulau Seribu (serius ini) jauh lebih cakep dari di daerah Gili. Karang-karang keras di area ini sudah hancur berantakan dan hanya menyisakan karang lunak. Ikannya sih cantik-cantik, tapi tak banyak karena koralnya rusak. Menurut tukang kapal, kehancuran bawah laut ini disebabkan nelayan yang rajin memasang bom untuk mencari ikan. Walaupun hancur, bawah laut Gili masih bisa menawarkan berenang di bawah laut dengan penyu. Saya beruntung bisa menghabiskan waktu dengan penyu hijau, chelonia mydas, yang umurnya saya prediksi ratusan tahun.

image

Positive thinking: itu jarum suntikan buat nyuntik tinta printer atau buat nyuntik kuda.

Kendati tinggal di Gili Air, saya justru lebih banyak mendapatkan cerita tentang Gili Trawangan dari seorang juru masak sebuah grup resort di Lombok. Tak seperti di tempat lain, di Gili magic mushroom dan obat-obatan terlarang bisa didapatkan dengan mudah. Selama tak dikonsumsi di dalam pulau, obat-obatan ini bisa bebas digunakan. Kemana para aparat penegak aturan? Lagi party kali.

Saya pun mencari cerita tentang obat-obatan ini di Google. Alih-alih menemukan cerita obat-obatan, ternyata lebih mudah menemukan cerita cocktail bercampur dengan methanol ketimbang cerita tentang obat terlarang dengan harga murah. Methanol tak hanya menyebabkan kebutaan tapi juga bisa menyebabkan kematian. Seorang remaja Australia dua tahun lalu meninggal di Gili Trawangan. Yang menyedihkan, tak ada yang ditangkap dalam kasus ini. Di Gili, alcohol memang lebih mudah ditemukan dan surprisingly harganya tidak terlalu mahal. Tapi perlu dicatat bahwa di Gili tak ada RS, mereka hanya punya dokter. Jadi kalau mau ‘terbang’ mendingan di tempat lain aja yang dekat RS, biar bisa cepet-cepet diselamatkan kalau terbangnya kebebasan.

Bagi yang pernah lihat foto maling diarak keliling Gili, saya kemaren menanyakan kebenarannya. Ternyata, maling di Gili tak hanya  diarak, mereka juga diserahkan ke pihak berwenang dan dilarang masuk kembali ke Gili. Konon dulu para maling juga dipukul ramai-ramai dan kepalanya dimasukkan ke dalam air pantai. Mengerikan.

Banyak hal yang menyenangkan dari Gili termasuk kesetaraan antara semua manusia. Di Pulau kecil ini, pegawai kantoran, pelajar dan bahkan pengangguran bisa berpesta bersama kusir cidomo. Tak ada satpam yang akan mengusir tamu hanya karena kita berdandan gembel dan mengenakan sandal jepit  . Viva sandal jepit! Tapi dibalik keindahannya, Gili menyimpan banyak masalah, dari kesenjangan sosial, masalah obat-obatan yang tak saya jelaskan secara gamblang disini (gak enak sama mafianya). Menariknya, tak seperti daerah wisata pada umumnya, prostitusi bukanlah maslaah di pulau ini.

Selamat Tahun Baru rekan-rekan semua, semoga tahun 2015 ini membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kita semua.

 

Xx,
Tjetje

Galeri Komunitas Borobudur

Harusnya saya posting tentang gallery ini minggu lalu, tapi karena kesibukan ditambah sakit (akibat makan tahu gejrot dipinggir jalan; udah tahu perutnya priyayi masih suka nyoba-nyoba) akhirnya tulisan ini terbengkalai.

20141205_132919

Borobudur dari kejauhan

Beberapa minggu yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi galeri komunitas Borobudur yang terletak di desa Karanganyar. Ini galeri terletak di antara rumah penduduk serta hamparan sawah di sekitaran Borobudur. Kalau menurut saya sih letaknya tak jauh dari Borobudur, tapi mungkin ini karena kami sukses nyasar kemana-mana. Pengemudi kami tak hanya nyasar, tapi juga kesulitan memberi tahu pengemudi lain. Tahu sendiri di daerah, patokan yang digunakan balai desa, perempatan, lapangan kosong. Untung masih ada timur, barat, selatan dan utara, jadi arahnya lebih jelas.

Saya sempat bertanya mengapa galeri ini diletakkan jauh dari Borobudur. Nampaknya ini salah satu strategi supaya terjadi pemerataan pendapatan. Bahkan ada peta lucu yang sudah dibuat untuk pemetaan potensi desa-desa di sekitar Borobudur. Niat baik ini nampaknya harus disempurnakan dengan pemasangan penunjuk arah supaya banyak yang tahu eksistensi Galeri ini. Promosi besar-besaran juga perlu dilakukan. Mungkin pihak manajemen galeri bisa ngundang blogger lokal ataupun bikin kuis berhadiah di Twitter.

Apa yang ditawarkan oleh galeri ini?

Keramik cantik yang didesain oleh Jenggala dengan tema Borobudur. Keramik ini cuma ada di Galeri ini dan harganya tak semahal Jenggala. Desain-desain keramik ini tak hanya bertema Borobudur tapi meurut saya  agak kejepang-jepangan. Produknya dari tatakan sumpit, wadah sake, magnet, tempat garam dan merica, cangkir espresso, gelas, tempat kartu nama, hingga mangkok-mangkok wadah nasi yang mirip stupa di Borobudur. Harganya sendiri dari belasan hingga puluhan ribu, tak sampai ratusan ribu rupiah, kecuali kalau borong. Buat saya sih murah, tapi saya nggak berani bilang murah, nanti kena marah. Di atas kereta Pramek saya pernah berujar bahwa ongkos dari Yogya ke Solo itu murah banget, hanya 6000. Mbak-mbak sebelah negur dong, katanya buat orang Yogya dan Solo itu mahal. Indikator biaya di Solo, Yogya dan Jakarta memang berbeda, jadi definisi murahnya pun berbeda.

20141205_130036

Bikin keramik (camera: samsung galaxy camera)

Selain keramik, mereka juga memproduksi selai. Resep dari selai ini diambil dibeli dari sebuah toko selai yang terkenal di Monkey Forest Ubud sana. Sayang saya nggak sempat wawancara nanya-nanya rasa selai yang ditawarkan, apalagi nanya harganya.  Magelang hari itu lembab banget, jadi otak dan mood saya udah ikutan lembab, alhasil gak banyak tanya. Setahu saya, daerah sekitar Borobudur itu kaya dengah buah local seperti papaya serta buah naga Semoga saja buah-buahan yang digunakan untuk selainya merupakan buah-buahan yang diproduksi oleh petani lokal di daerah itu dan bukan buah import dari Cina.

20141205_125307

Harganya OK kan? Btw itu wadah kartu nama ada di kiri.

Selain menawarkan suvenir, galeri ini juga menawarkan kursus kilat membuat keramik, ongkosnya hanya 25 ribu rupiah termasuk keramik buatan sendiri. Tapi keramiknya tak bisa langsung jadi karena harus dibakar. Tak hanya itu, bagi yang kepanasan dan kelaparan, mereka juga menawarkan makan siang untuk rombongan yang tentunya harus pesan terlebih dahulu. Menu saya hari itu tempe goreng dan aneka rupa jamur, dari sate jamur, oseng jamur serta sayur asem. Rasanya lebih enak dari restoran jamur terkenal itu dan yang paling penting, habis makan saya nggak pusing-pusing karena overdosis MSG. Makan siang di galeri ini tak kalah dengan makan siang di Amanjiwo lho, sama-sama bisa melihat Borobudur dari kejauhan.  Nikmat bener deh makan di pinggir sawah sambil mendengarkan alunan musik Jawa.

Map borobodur

Peta potensi di sekitar Borobudur

Saya membawa sedikit oleh-oleh dari galeri ini, tempat kartu nama berbentuk stupa Borobudur yang akan saya berikan kepada salah satu orang yang beruntung. Fotonya ada di atas ya. Perlu dinyatakan dulu, oleh-oleh ini dari saya, bukan hasil sponsor dari Galeri. Berhubung keramik ini rentan pecah, maka saya hanya akan mengirim ke alamat yang ada di Indonesia aja. Caranya sih gampang, tinggal jawab aja pertanyaan di bawah ini dan perlu dicatat gak ada jawaban salah atau benar, karena saya cuma penasaran apakah orang mau ke galeri ini walaupun lokasinya jauh. Saya tunggu sampai tanggal 2 Januari 2015 ya.

Galeri ini agak jauh dari Borobudur, tapi kalau ke Borobudur kalian bakalan meluangkan waktu ke galeri ini nggak? Kenapa?

Xx,

Tjetje

PS: Petanya boleh didownload disini.

Taksi Pujaan Hati: Blue Bird

[Bukan postingan berbayar]

Selain Kopaja, moda transportasi andalan saya di Jakarta adalah taksi. Taksi di Jakarta, tak seperti di belahan lain di bumi ini, relatif ‘murah’ dan mudah didapatkan. Nggak selamanya mudah sih, kalau Jakarta abis diguyur hujan, buruh pulang demo ataupun menjelang libur, alamat cari taksi di Jakarta bakalan susah.

Demi kenyamanan hati, saya cenderung memilih taksi burung biru atau kalau lagi kepepet (dan punya duit) naik taksi burung perak. Naik taksi perak itu nyaman, tapi suka sakit hati. Bukan argonya (sok nyombong), tapi beberapa pengemudinya suka komentar: “Ibu ini taksi argonya dimulai dari dua belas ribu ya, ga papa ya Bu?”. “Ibu, ini taksi minimalnya enam puluh ribu, yakin gak papa?”. Mungkin maksud pengemudinya sih baik supaya saya yang rambutnya gak disasak dan suka pakai sandal jepit ini nggak terjebak bayar mahal, tapi kok jadi kayak ngenyek sih.

Sebagai pengguna setia taksi Jakarta, saya mencoba membandingkan keunggulan taksi burung biru ketimbang taksi-taksi lain di Jakarta. Selain kenyamanan dan keamanan (konon tak selamanya aman lho ya), burung biru juga terkenal mau mendengarkan protes penumpang. Menariknya, protes soal layanan oleh manajemen burung biru benar-benar ditanggapi jika disampaikan lewat telepon atau email. Kalau lewat social media, lupakan aja. Cuma hal-hal baik yang diretweet, sementara hal kurang baik dicuekin.

Ahok_bluebird

Taksi Blue bird khusus difabel, bisa didapat di RSPP atau Siloam Jakarta. Cuma ada 5 armada dan tarifnya bukan tarif premium. Foto punya berita77.com

Di tengah hutan beton Jakarta ini, burung biru menawarkan jasa yang jarang ditemukan di tempat lain: mengembalikan barang ketinggalan. Dengan catatan barang kita nggak diambil penumpang selanjutnya. Kasus barang ketinggalan paling unik menurut saya adalah kasus air dalam kemasan yang sudah diminum. Oleh pengemudi botol tersebut dibuang. Siapa sih yang mau nyari botol bekas? Tak diduga, botol ini dicari oleh sang empunya. Rupanya air dalam kemasan itu merupakan air dari Mbah Dukun. Penumpang merana karena harus balik ke dukun lagi, sementara pengemudia merana poinnya harus dipotong.

Tak seperti taksi lain, pengemudi burung biru jarang ‘nyolot’ kalau kita hanya bepergian jarak dekat. Coba di taksi sebelah, jarak dekat atau menuju lokasi yang macet pasti sukses dipelototi atau disuruh turun. Menurut aturan, taksi burung biru dilarang menolak penumpang jika sudah berhenti. Pengemudi juga tidak boleh menanyakan tujuan sampai penumpang masuk ke dalam taksi. Jika pengemudi bertanya tujuan sebelum kita masuk dan menolak mengantar, maka penumpang berhak protes. Pihak manajemen biasanya akan melakukan pemotongan poin.

Beberapa tahun lalu, ketika sedang hujan, saya bersama teman-teman masuk ke dalam taksi, tapi kemudian pengemudi tak mau mengantar kami karena harus berputar dari satu tujuan ke tujuan lainnya. Saya pun komplain dan beberapa hari kemudian saya diberi kabar bahwa pengemudinya dipecat. Kaget setengah mati, karena komplain gitu aja bikin pengemudi dipecat. Ternyata sang pengemudi sudah berulang kali melakukan hal tersebut, tak heran poinnya habis dan pengemudi harus dipecat. Konon kalau poinnya habis, pengemudi bisa masuk kembali setelah beberapa bulan. Sejak itu saya kapok komplain.

Bagi saya, taksi burung biru terkesan ‘dipaksa’ untuk memasang tarif atas, sementara taksi lain yang jenis kendaraannya sama memasang tarif bawah. Herannya tarif atas dan tarif bawah ini ditentukan oleh Pemerintah (kesepakatan bersama dengan pengusaha taksi sih), padahal tujuh tahun lalu (kalau memori tidak salah merekam), tak ada perbedaan. Konon, taksi lain tak bisa bersaing dengan burung biru karena layanan mereka yang lebih unggul. Lha herannya, bukannya kualitas ditingkatkan supaya bisa bersaing kok malah kualitas dibiarkan asal-asalan, tapi harga diturunkan. Ya hukum pasar sih, tapi saya gemes aja. Anyway, tanggal 15 besok tarif taksi biru akan dinaikkan, sementara tarif taksi lain sudha pada naik duluan. Ada yang bilang tarif buka pintu akan 7500, ada yang bilang 8500. Berapapun naiknya, ongkos taksi ini akan jauh lebih murah dibandingkan ongkos taksi di negeri lain. Jadi jangan protes yah.

Sembari menunggu tarif naik, saya akan melanjutkan hobi ngobrol dengan pengemudi untuk nanya-nanya cerita lucu. Dari soal tamu dari negara tertentu yang jujur (jujur karena bayarnya sesuai argo, gak lebih gak kurang), sampai soal hantu anak UI yang hobinya naik taksi burung biru.

Punya pengalaman menarik dengan taksi?

 xx,
Tjetje