Game of Thrones dan Irlandia Utara

Jika Irlandia terkenal dengan romantisme dan keindahan à la P.S I Love you (Braveheart, Star Wars dan sederet film lainnya) Irlandia Utara lebih dikenal sebagai rumahnya Game of Thrones. Kendati tak menggemari Game of Thrones (karena banyaknya kekerasan di dalam seri ini) kami nekat mengikuti tur khusus Game of Thrones karena tak bisa menolak iming-iming mengunjungi sudut-sudut cantik di Irlandia Utara. Seperti dark hedges ini:

IMG_7934

Deretan pohon-pohon beech ini ditanam oleh keluarga Stuart pada abad ke 18. Pada saat itu, pohon-pohon ini ditujukan untuk memukai para tamu yang akan melewati pintu masuk mansion mereka yang bergaya Georgia. Mansion ini sendiri diberi nama Gracehill House yang sayangnya tidak kami kunjungi. Sudut yang pernah dipakai shooting ini menjadi tempat favorit para turis, akibatnya jalanan ini dipenuhi turis-turis yang selfie di tengah jalan, sementara kendaraan yang akan lewat harus merayap. Coba saja kalau tempat ini ada di Indonesia, dipastikan diujung-ujung jalan ada anak-anak muda membawa tempat sampah, meminta uang kontribusi serelanya. Sementara disini: GRATIS.

Kenekatan kami dan juga Aling (celeb twitter yang dipopulerkan oleh ceritaeka.com dengan hashtag #JodohUntukAling)  mengakibatkan kami tak nyambung dengan tempat-tempat yang kami kunjungi. Tapi ya bodo amat, yang penting lokasi-lokasi yang kami kunjungi cantik walaupun agak muram durja, karena cuaca yang kurang bagus. Saking muramnya, perhentian pertama tempat Ned Stark mengeksekusi entah siapa yang dieksekusi, terpaksa dilewati karena kabut yang terlalu tebal.

Tur seharian yang dipatok seharga lebih dari 50 Euro ini dipandu oleh salah satu pemain figuran Game of Thrones yang sedang libur shooting. Kendati libur shooting, ia tetap memanjangkan janggutnya, karena janggut ini adalah aset yang berharga. Menariknya, di salah satu tempat kami bertemu dengan pemain figuran lain yang juga berjanggut panjang. Saya menduga-duga, semua pria berjanggut di Irlandia Utara adalah figuran Game of Thrones.

IMG_7941 Andrew, guide kami menunjukkan scene dimana dia jadi pemain figuran

Selain dibawa mengunjungi dark hedges, kami juga dibawa mengunjungi rope bridge. Bagi orang yang takut ketinggian seperti saya, jembatan ini jadi satu tantangan tersendiri, apalagi cuaca yang tak jelas dan berangin, rasanya badan seperti akan tersapu angin. Ternyata jembatannya tak terlalu mengerikan, yang mengerikan justru turun dari tangga menuju jembatan tersebut.

Ada batasan maksimal 8 orang yang diperkenankan untuk menyeberang bersamaan, dan tentunya tak boleh ambil selfie di jembatan ini. Nekat selfie bisa kena semprit petugas, tapi sayangnya petugas hanya nyemprit aja. Akibatnya banyak orang yang masih tetap ambil selfie dan menghambat puluhan orang lain yang akan menyeberang. Btw, di bawah jembatan ini juga dikenal sebagai kuburan kamera dan hp. Banyak orang yang kameranya jatuh dan tak terselamatkan lagi.

Belfast -1

Karena ikut tur, waktu kami untuk keliling tak begitu banyak. Jalan pun harus cepat-cepat dan tentunya tak bisa mengambil 1000 selfie #BuatApaCoba.  Saat keluar dari area ini, dua orang dari rombongan kami, termasuk satu orang Indonesia terpaksa ditinggal ke pub lokal untuk makan siang, karena mereka terlambat muncul kembali. Mereka tentu saja dijemput kembali.

Belfast -4

Makan siang tak termasuk dalam harga tur, masih harus rogoh kocek sekitar 8 – 10 pounds untuk pub food. Pub food itu makanan-makanan seperti fish and chips, guinness stew atau chicken goujon. Harga yang ditawarkan sendiri harga normal, tak ada pemalakan seperti di Indonesia. Seusai makan siang, kami dibawa kembali ke area rope bridge, tapi ke sisi yang berlawanan. Rupanya, ada tiga titik yang digunakan untuk shooting GoT. Salah satunya Larrybane yang menjadi lokasi camp King Renly Baratheon’s camp. Lokasi ini sendiri sekarang menjadi lapangan parkir kendaraan-kendaraan turis yang ke rope bridge.

Belfast -3

Dari sini, kami dibawa ke Ballintoy Harbour. Serunya, kami semua diperkenankan untuk menggunakan kostum-kostum sambil terus dijelaskan cerita-cerita dibalik pembuatan GoT dan dipertontonkan cuplikan-cuplikan GoT yang diambil di tempat tersebut. Sayangnya tak semua orang kebagian kostum, apalagi mereka-mereka yang bertubuh besar.

Kendati tempat ini sudah terkenal sebagai tempat shooting GoT, bahkan oleh pemerintah lokal diberi banyak papan-papan yang menjelaskan adegan yang diambil, jalan-jalan di wilayah ini dengan kostum tetap membuat kami jadi bahan tontonan. #KibasRambutBerasaArtis

Nah kalau ini lokasi tempat pembabtisan Theon. Cakep ya?

Belfast

Selain mengunjungi tempat di atas, kami juga diajak menuju Dunluce castle. Sayangnya kami hanya dibawa melihat dari jauh sambil dijelaskan bagaiaman CGI merubah Dunluce Castle. Bonus tambahan di tour ini adalah jalan-jalan ke Giant Causeway, yang di dalam bahasa Irish dikenal sebagai Clochán an Aifir or Clochán na bhFomhórach. Aduh jangan tanya bagaimana melafalkan kata tersebut. Giant Causeway sendiri merupakan area dengan 40 ribu basalt columns. Bebatuan dengan bentuk hexagon yang terbentuk dari proses pendinginan lava basaltik.

Dengan kondisi yang dingin, berangin serta gerimis, area ini jadi sangat licin. Beberapa petugas berjaga untuk mengamankan orang-orang yang nekat naik ke bagian atas. Seperti biasa, peluit jadi modal untuk mengingatkan mereka. Tapi tak selamanya sistem ini berhasil, banyak juga yang masih nekat naik-naik ke atas.

Saya kemudian ngobrol dengan petugas, menanyakan berapa orang yang jatuh dan mati di Giant Causeway. Tak ada angka yang disebutkan petugas. Tapi yang jelas, banyak kejadian jatuh terpleset atau tersapu ombak karena KEBODOHAN. Obsesi selfie nampaknya menjadi salah satu alasan mereka mengalami kecelakaan. Kalau sudah begitu, pencarian harus dilakukan dengan mengerahkan helikopter serta kapal. Menariknya, menurut sang petugas fotografer atau penghobi foto menjadi salah satu kelompok yang paling susah diberitahu dan paling nekat.

Di akhir perjalanan, saya naik bis kembali ke tempat parkir, disini bis dipatok dengan harga 1 pounds. Untuk yang tak mau naik bis bisa jalan mendaki.

Selamat berakhir pekan kawan-kawan. Apa rencana kalian akhir pekan ini?

Ketika Matahari Menyapu Irlandia

Akhir-akhir ini saya memang tak begitu rajin menulis lagi. Selain disibukkan dengan pekerjaan, dari pekerjaan rumah tangga sampai pekerjaan lainnya saya juga sibuk menikmati matahari. Sedikit sapuan matahari di Irlandia saja sudah membuat saya geret-geret kursi ke halaman belakang untuk berjemur. Matahari 18 derajat saya rasanya sudah berkah indah, dan kalau saja ada mbah dukun di negeri  ini, sudah saya kirim jampi-jampi supaya sang surya mau lengket dengan Irlandia. Saya tak sendirian, ribuan atau bahkan jutaan orang Irlandia kalau lihat matahari memang bawaannya pengen berjemur dan berjemur bisa dilakukan dimana-mana, dari di taman hingga di luar pub, seperti yang dilakukan para pubgoers ini.

Kendati matahari hanya menyapa Irlandia sesaat saja, teras-teras restauran dan pub bisa dipastikan dipenuhi orang-orang yang nongkrong untuk menikmati makanan dan minuman. Saking hausnya dengan matahari, akhir pekan kemarin saya melihat beberapa orang yang berjemur di sebuah parkiran di County Wicklow. Tak tanggung-tanggung, salah seorang di antara mereka bahkan buka baju, di parkiran. Jadi kalau kemudian kalian melihat turis-turis asing piknik di lapangan bola di Ubud sana, jangan heran. Mereka memang bawaannya pengen gelar tikar dan selonjoran kalau lihat matahari dan rumput.

Dan bagian kanal ini pun siap diisi air supaya kapal bisa berpindah ke sisi yang lebih tinggi (tak terlihat, karena ada di balik pintu yang belum dibuka)

Bagi orang tropis seperti saya, matahari panjang ini, matahari terbit pada pukul 5 pagi dan tenggelam pada pukul 9.30 malam, memberikan energi luar biasa. Saya bawaannya pengen jalan terus dan tak bisa tinggal di rumah. Maka tak heran jika saya pun terlalu sibuk menjelajahi Irlandia. Beberapa minggu lalu, saya dibawa ke sebuah perjalanan kejutan menaiki barge, kapal kecil, menyusuri canal di Sallins, County Kildare. Yang menarik, kami merasakan bagaimana pintu kanal dibuka dan dibanjiri air, hingga kemudian kapal kami bisa naik ke bagian kanal yang lebih tinggi. Dalam perjalanan pulang, kami melewati pintu yang sama, tetapi kali ini kapal kami harus diam selama kurang dari lima menit, menunggu air surut, sehingga kapal kami bisa turun ke bagian kanal yang lebih rendah. Gak kebayang? Mungkin gambar ini bisa memberikan bayangan.

Pemandangan di sekitar kanal itu sangat cantik, bisa ditengok di instagram saya @binibule dengan hashtag #JelajahIrlandia.

https://www.instagram.com/p/BFb8x62Qxsi/?taken-by=binibule

Kapal kecil yang kami naiki membuat bebek liar terbang ketakutan.

Masih berhubungan dengan air, kami juga menyempatkan diri untuk mengunjungi Danau Blessington di County Wicklow. Danau buatan cantik ini menjadi bagian tak terpisahkan dari film PS I Love You. Beberapa adegan dari film Braveheart juga di ambil di wilayah ini. Danau yang aslinya bernama Poulaphouca ini  “terlihat biasa-biasa” saja dengan latar belakang pegunungan Wicklow, tapi konon jika air sedang rendah, kita bisa melihat bagian atas sebuah gereja yang terendam di bawah danau ini. Danau ini sendiri dibuat, dengan cara merendam sebuah desa, pada sekitar 1930-an untuk menampung air dan menyediakan listrik bagi Dublin.

Tak hanya menikmati air, saya juga menikmati hutan kecil di Irlandia. Baru-baru ini kami menelusuri hutan kecil di rumah terpanjang dan tercantik di Irlandia yang bernama Russborough House. Sekali lagi gara-gara matahari, saya lebih tertarik untuk duduk-duduk berjemur di bawah matahari bersama para sapi dan domba ketimbang masuk ke bagian dalam rumah. Tapi saya janji akan kembali, membawa mama saya melihat bagian dalam rumah ini dan tentunya mencoba menyusuri labirin di bagian belakang rumah ini. (Ssst..bagian ini pasti dibaca mama saya dan pasti ditagih).

Oh btw, di dalam hutan saya menemukan pintu-pintu dari rumah para peri, fairy doors, begitu orang Irlandia menyebutnya. Imajinasi anak-anak di Irlandia memang ditumbuhkan dengan kebohongan-kebohongan indah, salah satunya ya dengan peri ini. Rumah-rumah yang memiliki anak biasanya dihiasi dengan pintu peri ini yang diletakkan di bawah tangga. Di hutan di dekat Russborough House ini, pintu-pintu indah ini diletakkan di berbagai bagian pohon. Anak-anak kecil pun bisa membeli peta seharga 3 Euro dan mencari pintu-pintu yang tersebar. Sebuah aktivitas yang lebih menyenangkan ketimbang berkutat di depan gawai menonton youtube. Saya pun tak kalah senangnya dan mencoba menggedor sebuah pintu untuk minta nomor lotere. Sayangnya, saya terlalu pendek sehingga tak bisa meraih pintu tersebut.

Dear peri-peri Irlandia, bagi nomor lotere dong

Perjalanan menjelajah Irlandia masih belum usia, masih banyak sudut-sudut negeri cantik nan mungil ini yang akan saya lihat. Akhir pekan besok misalnya, saya sudah berencana akan ke Virginia. Bukan Virginia di Amerika sana, tapi Virginia versi Irlandia. Tunggu foto-fotonya di Instagram dengan hashtag #JelajahIrlandia ya.

Jadi apa kabar matahari di tempat kalian tinggal, masih menyengat?

xx,
Tjetje

Makan Pagi di St. George Market Belfast

Seperti pernah saya tulis di postingan ini, Irlandia dibagi menjadi dua. Bagian Utara merupakan bagian Inggris, sementara bagian Selatan, yang lebih lazim disebut sebagai Republik, merupakan negara independen. Jika Republik Irlandia beribukota di Dublin dengan penduduk lebih dari 700ribu jiwa, Belfast, ibukota Irlandia Utara, relatif lebih kecil, hanya berpenduduk 350ribu jiwa. Kecil, kalau menurut standar Indonesia. Perjalanan saya ke Belfast ini sebenarnya dalam rangka membawa turis Indonesia yang ngetop di jagat twitter, dengan hestek #JodohUntukAling. Hestek yang dipopulerkan salah satu travel blogger Indonesia Cerita Eka.

IMG_7636

Belfast sebenarnya tak jauh, hanya 2 jam saja dari Dublin, atau 2.5 jika salah mengambil bis non-express Tak ada perbatasan antara Irlandia Utara dan Selatan, akibatnya saya tak tahu kapan saya sudah masuk di bagian Utara. Satu-satunya informasi yang saya dapat dari telepon genggam yang tiba-tiba berteriak-teriak roaming…roaming…. Internet di dalam bus pun tiba-tiba ngadat. Mungkin ikutan roaming. Cara lain untuk mengetahui saya sudah berada di Utara adalah mencari tahu penggunakan satuan imperial seperti miles, karena di Irlandia menggunakan satuan metrik, seperti kilometer. Sayangnya, saya tak bisa menemukan papan-papan penunjuk ini.

Ada beberapa tempat turistik yang perlu dikunjungi di Belfast, dari mulai museum Titanic, City Hall, Museum Science, lokasi-lokasi pengambilan gambar Film Game of Thrones hingga pasar. George’s Market, pasar akhir pekan yang menawarkan interaksi dengan para seniman lokal dengan karya-karyanya, juga wisata kuliner. Pasar bergaya Victoria ini   ini tak hanya bisa ditemukan di Belfast, tapi juga di Cork, sebuah kota ‘besar’ di Irlandia.

Begini suasana George’s Market di Sabtu pagi itu:

IMG_7628

Dari atas terlihat sangat sibuk, terutama stand makanan. Tak hanya stand makanan, pedagang ikan, lilin, dan aneka rupa pernak-pernik pun juga sibuk menjajakan dagangannya. Bagi orang Indonesia, pasar ini mungkin terlihat tak terlalu sibuk, karena tak terlalu padat tak bisa senggol-senggolan, tapi bagi orang Irlandia pasar ini sudah cukup sibuk.

IMG_7630

Pasar ini sendiri dibangun pada tiga tahap, di antara tahun 1890 hingga 1896. Kendati berusia lebih dari seratus, bangunannya masih kokoh dan megah. Adapun nama bangunan, diambil dari nama sebuah gereja yang terletak tak jauh dari pasar ini.  Pada saat perang dunia kedua, pasar ini juga dipakai untuk menampung jenasah, saat itu tercatat 255 korban dibawa ke pasar ini untuk diidentifikasi. Wah kalau saja pasar ini ada di Indonesia, pasti sudah ada yang menawarkan tur gaib.

IMG_7606

Matahari sedang cantik, langit pun membiru

Tak seperti pasar-pasar di Indonesia, disini menggesek kartu ketika berbelanja sangat dimungkinkan, bahkan tanpa biaya tambahan 3%. Cocok untuk orang Indonesia yang hobi membeli oleh-oleh untuk encing, babah di kampung. Setelah berbelanja oleh-oleh saya sangat merekomendasikan untuk makan di pasar. Kami sendiri memutuskan untuk memesan menu sarapan, walaupun waktu menunjukkan saat makan siang.

Seperti saya tulis di postingan ini, menu sarapan di Utara tidaklah sama dengan di Selatan. Dan karena saya sudah terlalu terbiasa dengan sarapan Selatan, saya tak menyukai sarapan Irlandia Utara. Roti Kentang yang menjadi bagian dari sarapan ini bagi saya bikin tenggorokan sakit, karena kandungan minyak yang rasanya cukup tinggi. Tak hanya membandingkan roti, tapi juga membandingkan rasa sosis. Ya jelasnya rasanya tak akan sama wong yang masak pun tak sama. Kendati sarapannya tak sesuai dengan lidah saya, ada satu hal yang bagi saya jawara, minumannya yang bernama Black Velvet, percampuran prosecco dan Guinness. Rasanya enak dan menyegarkan, sayang porsinya kurang banyak. Eh tapi kalau banyak-banyak nanti dimarahin Uni karena pagi-pagi sudah minum alkohol.

IMG_1839

Sarapan saya yang terdiri dari sosis, pudding, roti kentang, bacon, serta telur setengah matang dan juga black velvet, perpaduan Guinness dan prosecco.

Yang perlu diketahui tentang St. George’s Market:

  • Hari Jumat pasar ini buka pada pukul 6 pagi hingga 2 siang. Fokusnya aneka rupa ikan dari Atlantik. Ada juga barang-barang antik serta  buah.
  • Hari Sabtu, yang saya datangi, pasar buka pada pukul 9 pagi hingga pukul 3, fokusnya makanan dari berbagai belahan dunia, serta kerajinan tangan.
  • Hari Minggu, pasar buka pada pukul 10 – 4, masih menjual kerajinan, makanan dan juga barang-barang antik.
  • Ada bis gratis setiap 20 menit dari pusat kota. Bis berangkat jam 8 pagi  pada hari Jumat dan pada pukul 9 di hari Minggu.

Jadi sarapan apa tadi pagi?

xx,
Tjetje

Cerita dari Paris

Di Jakarta saya sering dipanggil Princess, karena kelakuan saya yang seperti Princess. Jarak selemparan batu dari Senopati ke Plaza Senayan untuk makan siang saja saya naik taksi atau Uber, muter-muter dulu lewat Al-Azhar dan menghabiskan setidaknya 30 menit di dalam taksi. Ongkosnya sih tak seberapa, tapi saat makan siang seringkali orang kelaparan dan tak mau menunggu di dalam taksi. Alasan saya beraneka rupa, dari panas, malas berkeringat, penguatan ekonomi bagi pengemudi taksi dan Uber, serta karena Jakarta tak didesain jadi kota pejalan kaki. Tapi sesungguhnya saya bisa dan mau berjalan kaki ketika trotoar tak bikin dengkul capek karena naik turun dan saat hawa tak panas.

Akhir pekan panjang ini (di Irlandia hari Senin kemarin libur) kami melatih kekuatan kaki di Paris, berjalan keliling kota hingga gempor. Dari satu arrondisement ke arrondisement lainnya untuk melihat gedung-gedung indah, menikmati pohon-pohon yang daunnya menguning dan berguguran. Sungguh sebuah kemewahan luar biasa yang sayangnya tak bisa ditutup dengan pijatan mbok-mbok pijit. Anyway, dari keliling-keliling kota ini saya menikmati sekejap denyut Paris, berinteraksi dengan banyak hal dan merekam cerita yang bagi saya menarik.

 

Interaksi Pinggir Sungai

Di pinggir Sungai Seine ini kami disambut dengan Photoquai 2015, pameran foto dari aneka rupa sisi dunia. Dari tranjender di Amerika Latin, budaya selfie di Korea, kehidupan pasangan gay di Vietnam hingga joki kuda anak-anak di Nusa Tenggara. Beruntungya mereka yang tingga di Paris bisa mengakses seni seperti ini secara gratis. Pameran foto tersebut bukanlah satu-satunya acara yang mengundang orang untuk tiba ke ruang publik, ada pameran foto lain serta ada kegiatan ruangan terbuka tak jauh dari sana. Balok-balok kayu dan kontainer dilengkapi tempat duduk yang disiapkan supaya orang bisa duduk untuk menikmati pemandangan, sementara beberapa permainan disiapkan. Dari mulai permainan di atas meja seperti catur hingga mainan monyet-monyetan yang ditarik untuk jatuh *aduh saya lupa namanya*.

Romi Perbawa dengan joki anak-anak NTT

Permainan yang menguras energi seperti pingpong, pukul bola, hingga engklek (atau yang dikenal juga dengan sunda manda, atau la marelle dalam bahasa Perancis). Ruang terbuka untuk parcours, hingga papan super besar untuk menulis dan menggambar juga tersedia.

ruang publik di pinggir sungai

Masalah sosial

Vandalism di Versailles

Kendati penuh dengan seni, kota Paris tidaklah bersih. Vandalisme bisa ditemukan dimana saja, dari mulai di dalam Metro hingga karya seni di Versailles (yang terletak di luar Paris). Paris  juga tak terlepas dari masalah gelandangan. Para gelandangan ini menjadi beberapa subyek foto menarik yang dipamerkan di sudut lain sungai Seine.

pasar malam

Satu malam saya mendapati beberapa Polisi menggeledah gelandangan, tapi   mereka tetap diperbolehkan tidur di depan butik-butik mewah. Sungguh pemandangan yang menyedihkan. Gelandangan juga bisa ditemukan dengan mudah di dekat stasiun Metro, meminta uang kecil kembalian pembelian tiket. Saya, sukses diomelin karena menolak memberi. Sak karepmu.

pameran foto

Mesin tiket Metro juga diwarnai dengan pria-pria berdandan rapi, yang menawarkan informasi. Jangan terlena dengan kerapian mereka, karena bantuan dan informasi tersebut konon berharga mahal, semahal dompet dan isinya. Beberapa tempat juga diwarnai dengan anak-anak yang membawa kertas permintaan sumbangan untuk para penyandang disabilitas. Mungkin menipu.

Bahasa Inggris

Orang-orang Perancis yang terkenal tak mau berbahasa Inggris, ternyata sudah banyak yang berbahasa Inggris, di Restaurant dan di Hotel tentunya. Di jalan, bantuan jika nyasar akan diberikan jika kita berbahasa Perancis. Kendati tak seramah Dubliner (yang suka membantu orang nyasar dan bikin tambah nyasar), saya masih menemukan orang tua yang menyapa kami ketika kami kebingungan mencari jalan. Menyenangkan.

pasar kaget di Dupleix, stasiun Metro

Mahal?

Banyak yang mengeluhkan Paris sebagai kota yang mahal. Benar, jika dikonversi dari rupiah harga makanan di Perancis tidaklah murah, apalagi jika dibandingkan dengan warteg ini itu. Tapi sebenarnya harga di Paris hanya sedikit lebih mahal dari di Jakarta. Bagi saya, yang lebih mencengangkan bukan harga makanan tapi harga air putih luar. Kami yang terbiasa tak membayar air putih di restaurant pun tercengang ketika harus membayar 5 Euro untuk sebotol air. Agaknya, ketika di Perancis memang kita harus minum wine sebanyak mungkin, karena harga wine seringkali hampir sama, atau bahkan lebih murah daripada harga air. Dan wine apapun yang kami pilih, tak pernah mengecewakan. Semahal-mahalnya Paris, kami tetap terkejut ketika tahu kantong plastik di Paris diberikan secara cuma-cuma dan ongkos Metro jauh lebih murah dari Dublin. Tak hanya lebih murah, Metro di Paris juga jauh lebih cepat.

Jauh cinta dengan beberapa stasiun metro

Ah Paris, aku ingin kembali bukan untuk antri tiga atau empat jam di bawah Eiffel Tower seperti ribuan turis lain, tapi untuk sudut-sudut jalananmu yang menyimpan banyak kecantikan dan juga kekumuhan khas kota metropolitan.

Kalian suka jalan kaki di kota yang tak kalian tinggali?

Bisous,
Tjetje

Alih Fungsi Gereja

Setelah beberapa kali gagal, kami akhirnya bisa menengok The Church, sebuah bar dan restaurant yang mengambil tempat di bekas gereja. Gereja ini tadinya bernama St. Mary’s Church of Ireland dan didirkan pada abad ke 18. Lokasinya tepat di tengah kota, tak jauh dari Spire of Dublin, menara tinggi yang tak jelas fungsinya. Pada tahun 1964, gereja ini ditutup dan saya duga karena kehilangan jemaatnya. Singkat cerita, gereja ini kemudian dibeli dan direnovasi, lalu pada tahun 2005 dibuka menjadi bar yang bernama John M. Keating’s Bar, sesuai nama pemiliknya. Di Irlandia, punya bar dengan nama sendiri itu konon merupakan mimpi pria-pria. Baru pada tahun 2007 bar ini berganti kepemilikan dan mulai menjadi The Church Bar & Restaurant.

IMG_0482

The Church, tampak luar

Ada banyak nama-nama penting yang diasosiasikan dengan bar ini, termasuk Arthur Guiness, si pembuat bir hitam Irlandia yang punya 21 orang anak (dari satu istri ya, dari satu istri) yang perkawinannya diberkati di gereja ini. Patung dadanya bisa ditemukan di lantai dasar bar ini. Selain Arthur Guiness ada Jonathan Swift, penulis buku ‘Gulliver’s Travels’. Seperti kebanyakan gereja, di lantai gereja ini juga terdapat beberapa orang yang dimakamkan seperti Mary Mercer, pendiri Rumah Sakit Mercer dan juga Lord Norbury, hakim yang memerintahkan eksekusi Robert Emmett di tahun 1803. Nah proses eksekusi Robert Emmet ini boleh dibilang super kejam. Ceritanya bisa dibaca di sini. Di belakang The Church, juga bisa ditemukan sebuah lapangan yang tadinya merupakan kuburan. Masih kuburan sih karena tulang belulang itu katanya tak pernah dipindahkan.

IMG_0480

The Church sendiri terdiri dari Bar, Bar Garden, Restaurant serta Club. Kami nongkrong di lantai dua, di restaurantnya. Sayangnya ketika itu sudah terlalu sore untuk melakukan self-guided tur keliling, tapi kapan-kapan bisa balik lagi. Selain restaurant, ada juga bar yang terletak di lantai dasar dan juga di luar, sembari berjemur menikmati matahari yang malu-malu. Satu hal yang perlu dicatat, ada dress code untuk masuk the Church, casual. Tapi syukurnya ini tempat gak mewajibkan hak tinggi seperti di Jakarta. Aturan aneh yang saya tak paham karena tak seharusnya nightclub mengatur what to wear. Lagian, siapa sih yang mau lihat sepatu orang kalau lagi makan ataupun minum?

Jika dilihat sekilas, ada beberapa hal yang masih dipertahankan di restaurant ini seperti organ yang konon dibuat oleh Renatus Harris (salah satu tukang organ terkenal pada masanya), kaca-kaca dan dinding-dinding dengan tombstonenya. Bilik pengakuan dosa, kursi-kursi, apalagi altar sudah tak ada lagi. Padahal kursi-kursi yang menyerupai kursi di gereja sering kali digunakan sebagai kursi di bar Irlandia. Tempat altar berada sekarang berubah jadi tempat pertunjukan musik yang dilangsungkan pukul tujuh malam pada malam-malam tertentu.

IMG_0449

Bagi orang, beralihnya fungsi rumah ibadah mungkin merupakan skandal. Tetapi bangunan ini bukan satu-satunya gereja di Dublin yang berubah fungsi. Gereja St Andrew yang juga terletak di tengah kota, dibeli oleh pemerintah kota Dublin pada tahun 1994 dan dua tahun kemudian dibuka menjadi Dublin Tourism Center. Bangunan unik ini terletak di Suffolk street, persis di mana patung Molly Malone yang terkenal sekarang ditempatkan. Jika sedang berada di Dublin, tak ada salahnya masuk ke bangunan ini untuk sekedar duduk-duduk atau mencari informasi tentang pariwisata.

Saya yakin dua bangunan di atas hanya sedikit dari gereja yang beralihfungsi. Perubahan ini pun tak hanya terjadi di Dublin. Skotlandia dan Amerika merupakan negara lain yang menjadi tuan rumah dari gereja yang berubah fungsi. Di Indonesia sendiri saya yakin hal seperti ini akan sangat ditentang oleh masyarakat. Kalau kalian sendiri, setujukah jika salah satu bangunan rumah ibadah kalian dirubah fungsinya menjadi restaurant atau bahkan bar?

xx,
Tjetje

Dibangunkan Jerit Tangis Anak-anak Badui

Tidur saya yang nyenyak, walaupun hanya beralaskan sleeping bag di atas lantai bamboo yang berisik, dikoyak oleh sahut-sahutan tangisan anak-anak Badui dalam, termasuk anak Ibu Pemilik Rumah yang berteriak-teriak ‘Ambu…Ambu….’. Di kejauhan ayam berkokok dengan nyaring dan kisah pertemuan alu dan lesung dengan bantuan lengan kokoh para perempuan Badui pun dimulai.

Badan saya super remuk, kaki saya sekeras batu, kaku dan susah dilipat. Tapi dengan kondisi seperti itu saya memaksakan diri untuk ke sungai, melihat kehidupan Badui di pagi. Para ibu-ibu ternyata sudah sibuk menumbuk padi, beberapa melakukannya sambil menggendong bayi di punggungnya. Beberapa perempuan yang bertelanjang dada di sungai langsung menaikkan kembennya ketika melihat kami berjalan ke arah sungai, nampaknya mereka malu. Suasana di sungai saat pagi ternyata sangatlah ramai tak hanya dengan orang dewasa tapi juga dengan adik bayi yang belum genap satu tahun. Seorang anak kecil yang baru bisa berdiri, mungkin baru berumur setahun juga sudah dimasukkan ke dalam sungai. Bikin saya yang anak kota ini deg-degan, takut kalau ia terpleset dan terguling masuk ke dalam sungai. Sambil melihat anak-anak kecil itu saya bertanya dalam hati, apakah anak-anak ini mengenal vaksin? Gak usah repot dijawab, jawabannya sudah jelas gak kenal. Huruf aja gak kenal kok vaksin.

soaking wet

Little Red Riding Hood basah kuyup dari atas kepala sampai ujung kaki. Kamera pun mengalami kelembaban luar biasa, makanya tak bisa ambil foto banyak-banyak. (foto courtesy of Ms. A.R. Amalia)

Little Red Riding Hood basah kuyup di Badui. Kamera pun ikutan mandi, makanya foto cuma seiprit.

Menu sarapan pagi kami adalah nasi dan mie instant yang kami bawa dari kota, saya tetap konsisten dengan puasa tidak makan mie instan dan hanya memakan nasi putih dan abon ayam. Pagi itu Ajak, porter saya juga sudah muncul di tempat kami tinggal dan bergabung untuk sarapan mie instant. Perut orang Badui dalam pun sudah teracuni mie instant. Yang menyedihkan, tuan rumah meminta kami meninggalkan botol plastik yang akan kami bawa pulang. Nampaknya botol ini diminati oleh beliau supaya bisa digunakan lagi untuk mengisi air. Ah padahal bambu tempat air mereka lebih baik ketimbang plastik-plastik itu.

Pagi itu kami melewati rute yang berbeda dan sempat melewati kuburan serta  lumbung padi milik masyarakat Badui. Lumbung itu nampaknya menjadi incaran tikus, kami bahkan bertemu bayi-bayi tikus yang masih merah di areal lumbung. *teringat Ibu saya yang anti tikus dan pernah menyiram bayi tikus merah itu dengan air mendidih* Saya sudah sangat berharap tidak ada tanjakan yang mengerikan lagi, ataupun turunan yang mengerikan. Harapan saya pupus, kali ini turunan yang luar biasa curam dan licin. Awalnya saya sukses tak jatuh sama sekali, hingga akhirnya saya jatuh sebanyak 5 kali, padahal saya tak membawa beban apa-apa di pundak, apalagi di punggung. Bandingkan dengan pedagang bakso pikulan yang kami temui di sebuah tanjakan, ia sedang menuju Badui Dalam dan tentunya berusaha untuk tidak jatuh sama sekali.

Kami juga sempat terpisah dari rombongan pertama dan nyasar. Untung saja kami bertemu dengan rombongan kedua, jika tidak, mungkin kami berakhir satu malam di tengah hutan. Hikmah dibalik nyasar itu kami berpapasan dengan makluk terganteng se-Badui Dalam (versi saya), kulitnya bersih seperti porselen, dengan muka mirip-mirip orang Jepang atau Korea. Saya sebenarnya penyuka pria eksotis dengan kulit coklat, tapi untuk mas Badui Dalam ini saya membuat pengecualian karena ia ganteng banget. Sayangnya si Mas tak bisa diajak selfie karena kami ada di dalam Badui Dalam. Aaaaarhg!!!!

Ketika kami mulai masuk ke dalam Badui Luar, ada satu hal yang membuat saya bersorak kegirangan: kamar mandi. Kamar mandi yang tanpa lampu ini terasa sebagai modernisasi yang indah. Tak hanya menemukan kamar mandi, kami juga menemukan pedangan aneka rupa minuman botol. Ajak, sang porter saya dari Badui Dalam yang setia mengangkut tas saya selama dua hari ini memilih SPRITE untuk menghilangkan dahaga. Owalah sarapan mie instan, siang minum soft drink ya. 

Badui Blog 1

Tukang bakso vs Mbak-mbak takut ketinggian. Jembatan segitu aja bikin saya keder. Btw, teman-teman saya ada yang berpapasan dengan anak Badui yang lagi bermain, bikin jembatan!!!! Photo courtesy of Ms. A.R. Amalia

Perjalanan kami diakhiri dengan istirahat di rumah guide kami, Lamri, seorang anak Badui Luar. Tak banyak foto yang bisa diambil dari perjalanan ini karena hujan yang senantiasa menemani. Tapi yang paling banyak kami rekam adalah pelajaran hidup. Dalam perbicangangan kami dengan Lamri, sempat timbul pertanyaan, mengapa orang Badui tidak mau sekolah, rupanya  bagi mereka sekolah itu membuat pintar, sementara kepintara itu membuat kita membodohi orang. Sebuah sindiran halus bagi kita semua untuk selalu merunduk, seperti padi yang menjadi salah satu tanaman andalan orang Badui.

Saya juga belajar dari Ajak tentang hidup. Ketika melihat tanjakan 45 derajat ia meyakinkan saya untuk tidak memikirkan tantangannya, “Jangan dipikir, kalau dipikir susah”. Hidup ini memang jangan memikirkan apa yang akan kita hadapi, susah ataukah mudah, tetapi yang paling penting diri kita harus selalu siap dan bersemangat untuk menghadapi keduanya.

Kepulangan kami tak berkesan dan tak memiliki cerita menarik, karena kereta yang lebih mahal dua kali lipat panas, bau, pesing dan kursinya terbatas. Tak apa yang penting kami berhasil meracuni satu gerbong dengan bau Ciboleger. Ini istilah yang diberikan pedagang asongan di atas kereta.

Biaya mengunjungi Badui sangatlah murah, tetapi diperlukan tenaga dan kaki yang kuat. Kalau kakinya tak biasa jalan mendaki seperti saya bakalan sengsara. Bagi kalian yang masih muda, saya sarankan untuk pergi ke Badui. It worth every pain and every fall.

Selamat hari Senin, mari bekerja keras seperti orang Badui!

Xx,
Tjetje

Semalam di Desa Cibeo Badui Dalam

Warning: postingan ini super panjang!

Saya yang takut ketinggian ini sempat menyesal karena nekat pergi ke Badui demi melihat desa yang menolak teknologi, apalagi ketika harus naik sebuah bukit dengan kemiringan lebih dari 45 derajat. Tapi penyesalan terbayar setelah saya tiba di puncak pelataran, disambut indahnya gunung berkalung awan dan bukit-bukit nan hijau. Sayangnya kami sudah berada di Badui Dalam sehingga tidak boleh mengambil foto.

Setelah berjalan 5,5 jam, bermandikan hujan dan berbalut lumpur ( dibeberapa sudut desa saya harus meluncur, perosotan karena licin) rombongan kami tiba di desa Cibeo dan disambut anak-anak berpakain tradisional yang kecantikannya mengalahkan Manohara. Anak-anak perempuan mengenakan perhiasan layaknya perempuan Dayak, sementara anak laki-laki bersenjatakan golok di pinggangnya. Seorang  perempuan paruh baya berjilbab tampak duduk tak jauh, menjual jajanan khas kota berbungkus plastik. *WHAT?????!!!!*

Di depan rumah Badui yang dibangun tanpa paku, terletak sebuah penggorengan untuk menampung air hujan dari atap. Mulanya saya agak bingung, mengapa mereka meletakkan penggorengan di tanah, hingga seorang anak berdiri di dalam penggorengan itu, mencuci kakinya. Rumah orang Badui Dalam, atau urang Kanekes, tempat kami menginap terdiri dari satu satu kamar saja, di dalam kamar tersebut terdapat tungku untuk memasak. Selebihnya tak ada sekat.

Masyarakat Cibeo membagi sungai menjadi dua, untuk pria dan perempuan. Untuk perempuan lokasinya di dekat tempat menumbuk padi, dekat dengan jembatan bambu yang merupakan gerbang kampung Cibeo. Mereka yang berkunjung ke desa Cibeo pasti disambut dengan pemandangan perempuan segala usia yang sedang sibuk melakukan aktivitas buang air, mencuci peralatan memasak, mencuci pakaian, mandi, bahkan mengambil air untuk memasak. Tak hanya manusia yang melakukan aktivitasnya disini, anjing pun minum dari air ini.

Sungai untuk pria berada agak jauh dari aktivitas para perempuan. Para pria mewarisi air yang mengalir dari lokasi perempuan. Makanya mereka sudah biasa melihat kotoran manusia, hadiah dari perempuan Badui, mengalir ketika mereka sedang beraktivitas. Persis yang dialami seorang rekan dalam rombongan kami.

Pakaian perempuan Cibeo berupa kain panjang untuk menutup bagian bawah dan kemben untuk bagian atas. Jika mereka hendak buang air, maka mereka tinggal mengangkat kain panjangnya dan jongkok memasukkan pantatnya ke air. Pengamatan saya, tidak ada kegiatan cebok karena arus air langsung membersihkan ketika mereka jongkok. Konon para pria di Badui Dalam juga tidak mengenal celana dalam, pakaiannya hanya berupa sarung pendek.

Ajak Badui

Fotonya sengaja dipotong supaya yang berdiri disampingnya tak ikutan nongol di blog

Fakta menarik lain yang kami temukan, ternyata, hanya perempuan yang mengambil air dari sungai, laki-laki tidak melakukan hal tersebut. Padahal bambu untuk mengangkut air itu beratnya ketika penuh air luar biasa. Bambu mirip kentongan itu panjangnya sekitar 60-70 cm dengan dua lubang kecil di sisi atas, dekat pegangannya untuk mengeluarkan air dan diletakkan berjajar di  depan rumah mereka. Saya sendiri tidak sanggup mengangkutnya, kalah dengan anak kecil di Badui.

Kami mengobrol dan mengajukan banyak pertanyaan kepada Tuan Rumah, dari mulai upacara kematian, warisan, perkawinan hingga program KB. Tak ada listrik di Cibeo, karena mereka menolak modernisasi, untungnya mereka tidak menolak senter, sehingga saya dapat menyalakan senter untuk menjadi penerang di rumah seluas 6 x 7 meter tersebut.

Mereka yang meninggal dikuburkan di makam yang terletak di seberang sungai. Jenazah dibungkus kain dan ditali pada bagian atas kepala, leher dan kaki, serta tak lupa dimandikan terlebih dahulu. Tidak di sungai tersebut, tetapi ada tempat pemandian khusus. Setelah dikuburkan, selesailah urusan antara yang hidup dan yang mati, tidak ada acara ziarah seperti kita yang tinggal di kota, walaupun ada selamatan kematian pada hari 1, 3 dan 7.

Menurut tuan rumah kami, warisan dibagi rata, tidak ada perbedaan antara laki dan perempuan. Warisannya berupa tanah untuk bercocok tanam. Jika mereka hendak membuka lahan baru untuk bercocok tanam, maka Pu’un-lah (kepala suku) yang berhak memberikan izin, apakah mereka diperkenankan atau tidak.

Perjodohan merupakan hal yang lazim dilaksanakan di Cibeo, kualitas yang dicari bukan kecantikan ataupun kekayaan, tetapi kemampuan bertanam. Proses lamarannya bisa memakan waktu hingga 1 tahun dan “mas kawin” yang disiapkan berupa kain dari pihak pria untuk pihak perempuan dan dari pihak perempuan untuk pihak pria. Salah satu bagian dari upacaranya adalah perempuan mencuci kaki pria.

penenun badui

Perempuan Badui Luar sedang menenun di depan rumahnya

Kendati snack modern masuk mengincar anak kecil, KB tak masuk di Cibeo. Tak heran desa ini dipenuhi oleh anak kecil. Anak-anak perempuan berusia 5 tahun pun sudah sibuk menggendong adiknya yang masih bayi. Masyarakat Badui juga tidak mengenal perceraian karena mereka monogami. Di Cibeo juga tidak ada kasus kehamilan di luar perkawinan. Komentar seorang teman, “Ya bagaimana ada kasus kehamilan di luar perkawinan jika mereka dikawinkan ketika libido mereka belum muncul”. Satu pertanyaan yang tak pernah saya tanyakan tentang dimana mereka membuat bayi, karena rumah mereka tanpa sekat yang berlantai bambu, berisik jika diinjak.

Urang Kanekes tidak diperkenankan kawin dengan Badui Luar, jika melanggar, mereka harus keluar dari Badui Dalam. Begitu juga dengan Badui Luar,  mereka tak diperkenakan kawin dengan orang non-Badui. Hukuman keluar juga dilakukan jika mereka melakukan kesalahan seperti naik kendaraan. Sebelum keluar mereka akan dipaksa bekerja, tanpa dibayar, kemudian dipindahkan ke sebuah wilayah khusus untuk “mereka yang bersalah”. Setelah mereka membayar kesalahan, barulah mereka dikeluarkan.

Rupiah dan perdagangan sudah mulai dikenal di Cibeo. Ketika kami datang, langsung ada  yang datang membawa tenunan, cincin dan gelang. Model tenunannya sederhana dengan warna yang cerah. Orang Badui Dalam kadang juga bekerja menjadi porter, mengangkut barang bagi anak kota yang manja seperti saya. Selain itu, mereka juga berjualan madu hutan, ini yang seringkali dibawa ke Jakarta. Berjalan kaki tanpa alas tentunya.

Di wilayah Cibeo terdapat satu area terlarang yang tidak boleh dimasuki pendatang seperti kami, yaitu daerah “Alun-alun”, dimana Pu’un bertempat tinggal. Kami tidak sempat bertemu Pu’un, apalagi minta jampi-jampi, karena saat itu sedang musim upacara. Ah sudah bisa masuk Badui saja kami bersyukur, apalagi karena kami membawa seorang teman yang bermata sipit. Konon mereka menolak orang Indonesia keturunan China, walaupun mereka berhati merah putih.

xx,
Tjetje

Melihat Gili Dari Kacamata Sosial

Lima tahun lalu di Gili Trawangan saya bersumpah jika kembali lagi tak akan mau naik Cidomo. Ketika itu, kuda kecil yang disewa oleh penyelenggara jalan-jalan, harus mengangkut beberapa orang melintasi beberapa sudut pulau yang tertutup pasir. Jalan di atas pasir itu susah, apalagi menarik manusia. Cidomo sangat populer tak hanya di Lombok, tapi juga di Gili Air, Meno dan Trawangan yang tak punya kendaraan umum. Pengunjung Gili, yang kebanyakan turis asing, biasanya berkeliling pulau dengan berjalan kaki atau naik sepeda. Hanya orang Indonesia yang rajin keliling naik Cidomo, mungkin malas jalan. Sementara orang lokal menggunakan sepeda listrik sebagai alat transportasi.

image

Akhir tahun kemarin, saya kembali ke Gili, kali ini Gili Air. Statistik menunjukkan Gili Air memiliki kepadatan penduduk lebih tinggi ketimbang Gili Trawangan, tapi faktanya, Gili Air jauh lebih tenang dari Gili Trawangan. Seperti Gili Trawangan, Gili Air juga memiliki masalah dengan listrik dan air bersih. Listrik di pulau ini rajin mati. Jalanannya pun masih banyak yang gelap tak tersentuh lampu, tak heran banyak turis berjalan-jalan dengan lampu di kepalanya. Di siang hari sumber listrik dari daerah ini berasal pembangkit tenaga surya sedangkan di malam hari dipasok dari Lombok.

Berbicara tentang air, air di kamar mandi dan di kolam renang hotel yang saya tempati rasanya asin. Bahkan, air kolam renang yang asin ini dicampur dengan kaporit, alhasil kalau kena mata bikin ngumpat-ngumpat. Menurut staff hotel yang saya tempati, air tawar di pulau ini harus didatangkan dari Lombok melalui pipa bawah laut. Untungnya pulau ini hanya enam menit saja dari pelabuhan Bangsal di Lombok, jadi pipa dalam lautnya gak panjang-panjang banget.

Bawah laut Gili tidak menawarkan karang-karang indah. Bahkan menurut saya, koral di Pulau Tunda dan pulau Seribu (serius ini) jauh lebih cakep dari di daerah Gili. Karang-karang keras di area ini sudah hancur berantakan dan hanya menyisakan karang lunak. Ikannya sih cantik-cantik, tapi tak banyak karena koralnya rusak. Menurut tukang kapal, kehancuran bawah laut ini disebabkan nelayan yang rajin memasang bom untuk mencari ikan. Walaupun hancur, bawah laut Gili masih bisa menawarkan berenang di bawah laut dengan penyu. Saya beruntung bisa menghabiskan waktu dengan penyu hijau, chelonia mydas, yang umurnya saya prediksi ratusan tahun.

image

Positive thinking: itu jarum suntikan buat nyuntik tinta printer atau buat nyuntik kuda.

Kendati tinggal di Gili Air, saya justru lebih banyak mendapatkan cerita tentang Gili Trawangan dari seorang juru masak sebuah grup resort di Lombok. Tak seperti di tempat lain, di Gili magic mushroom dan obat-obatan terlarang bisa didapatkan dengan mudah. Selama tak dikonsumsi di dalam pulau, obat-obatan ini bisa bebas digunakan. Kemana para aparat penegak aturan? Lagi party kali.

Saya pun mencari cerita tentang obat-obatan ini di Google. Alih-alih menemukan cerita obat-obatan, ternyata lebih mudah menemukan cerita cocktail bercampur dengan methanol ketimbang cerita tentang obat terlarang dengan harga murah. Methanol tak hanya menyebabkan kebutaan tapi juga bisa menyebabkan kematian. Seorang remaja Australia dua tahun lalu meninggal di Gili Trawangan. Yang menyedihkan, tak ada yang ditangkap dalam kasus ini. Di Gili, alcohol memang lebih mudah ditemukan dan surprisingly harganya tidak terlalu mahal. Tapi perlu dicatat bahwa di Gili tak ada RS, mereka hanya punya dokter. Jadi kalau mau ‘terbang’ mendingan di tempat lain aja yang dekat RS, biar bisa cepet-cepet diselamatkan kalau terbangnya kebebasan.

Bagi yang pernah lihat foto maling diarak keliling Gili, saya kemaren menanyakan kebenarannya. Ternyata, maling di Gili tak hanya  diarak, mereka juga diserahkan ke pihak berwenang dan dilarang masuk kembali ke Gili. Konon dulu para maling juga dipukul ramai-ramai dan kepalanya dimasukkan ke dalam air pantai. Mengerikan.

Banyak hal yang menyenangkan dari Gili termasuk kesetaraan antara semua manusia. Di Pulau kecil ini, pegawai kantoran, pelajar dan bahkan pengangguran bisa berpesta bersama kusir cidomo. Tak ada satpam yang akan mengusir tamu hanya karena kita berdandan gembel dan mengenakan sandal jepit  . Viva sandal jepit! Tapi dibalik keindahannya, Gili menyimpan banyak masalah, dari kesenjangan sosial, masalah obat-obatan yang tak saya jelaskan secara gamblang disini (gak enak sama mafianya). Menariknya, tak seperti daerah wisata pada umumnya, prostitusi bukanlah maslaah di pulau ini.

Selamat Tahun Baru rekan-rekan semua, semoga tahun 2015 ini membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kita semua.

 

Xx,
Tjetje

[Ireland] Akhir Pekan di Galway

Cincin ini adalah cincin khas Irlandia, namanya Claddagh. Cincin ini melambangkan cinta, kesetiaan dan pertemanan yang disimbolkan dengan hati, mahkota serta dua tangan. Biasanya, hanya perempuan yang menggunakan cincin ini, tapi pria pun bisa menggunakan. Jika hatinya mengarah ke pengguna, artinya dia sudah ada yang punya, jika hatinya mengarah keluar berarti si pengguna masih single. Saking terkenalnya ini cincin, di Galway, sebuah kota kecil di Irlandia, juga terdapat museum Claddagh ring. Lokasinya nyempil di antara bar-bar dan biaya masuknya gratis.

Selain nama cincin, Claddagh juga merupakan nama wilayah yang terletak di pinggiran kota Galway, sebuah kota kecil di Irlandia. Komunitas Claddagh, berbeda dari orang-orang Gaelic, bekerja sebagai nelayan, dan perempuannya, yang menggunakan syal khas untuk menutup diri, menjual ikan di dekat desa mereka. Sayangnya, rumah-rumah orang Claddagh sudah hancur karena TBC di jaman tahun 1900an. Jaman itu, ada kepercayaan bahwa virus TBC menempel pada dinding rumah, makanya rumah mereka dihancurkan.

Old Claddagh Dress

Perempuan Claddagh dan syalnya yang terkenal. Foto was taken from http://www.claddaghns.ie/

Kota Galway, yang selalu saya kunjungi setiap kali saya ke Irlandia, juga menyimpan hal lain yang unik, bahkan mungkin satu-satunya di dunia, Fishery Tower. Tower berwarna kuning ini baru saja dibuka menjadi museum beberapa bulan lalu. Pada jamannya, sekitar tahun 1850-an, bangunan berlantai tiga ini berfungsi untuk memonitor ikan dan merupakan bangunan pribadi. Jaman itu, sungai termasuk bisa dimiliki individu.

image

Ada dua hal menarik yang saya temukan di bangunan kecil ini, yaitu ketiadaan toilet di dalam gedung dan sebuah jaring menarik untuk menangkap belut. Menurut guide yang bertugas, toilet terletak di belakang gedung. Bentuknya tak seperti toilet lagi, tapi sudah menjadi reruntuhan toilet. Kalau soal jaring belut, jaman dahulu mereka sengaja membuat jaring berlapis-lapis karena menangkap belut tidak mudah. Belut (dan juga salmon) yang populasinya sudah termasuk hewan yang dilindungi. Diperlukan ijin khusus jika ingin menangkap mereka.

image

Tak cuma Malang yang punya alun-alun, Galway juga punya Eyre Square, atau biasa disebut juga JFK park. JFK rupanya penerima Freedom of the City, alias masyarakat kehormatan. Di alun-alun, yang kalau menjelang Natal berubah jadi pasar malam, ini terdapat penandannya *apa sih namanya batu yang ditahta untuk penanda, tapi bukan batu nisan, plakat?*. Patung Pádraic Ó Conaire, penulis Irlandia terkenal juga pernah diletakkan di alun-alun ini. Di tahun 1999 kepala patung ini kemudian dipenggal oleh orang tak bertanggung jawab, alhasil demi keselamatannya, pada tahun 2004, si patung pun dipindahkan ke museum Galway.

image

Galway juga terkenal dengan pub-pubnya yang lively, bahkan pada jam-jam tertentu di beberapa pub terdapat live musik Irlandia. Tak perlu bayar, cukup beli segelas minum saja. Selain mengunjungi pub, makan oyster di Galway juga wajib hukumnya. Saya yang mamamoon pun menawarkan mama untuk makan oyster. Si mama ngakunya doyan, tapi begitu oysternya muncul langsung ogah makan karena oysternya mentah. Huh, padahal oyster di Galway itu terkenal, saking terkenalnya mereka sampai punya Festival Oyster Galway.

Tips buat yang pengen ke Galway

  • Jika naik kereta, Galway berjarak 2.5 jam saja dari Dublin (stasiun Heuston).
  • Kalau nggak suka kereta, bisa naik bis. Kalau mau Patas, bisa naik citylink sementara kalau gak keberatan dengan bis yang lebih murah (tapi sumpah bisnya gak jelek) bisa naik bus Eireann.
  • Galway bisa dikelilingi dengan kaki, tapi kalau males jalan kaki (Indonesia banget seh), naik bis hop-on hop-off saja dari Eyre Square. Biayanya cuma 10 Euro.

 

Selamat berakhir pekan, kemana akhir pekanmu?

Keliling Harlem dengan Jukung

Begitu keluar dari Jayapura, kami langsung paham kenapa sang pengemudi meminta biaya 800ribu rupiah untuk mengantar kami ke dermaga di Distrik Depapre. Perjalanan yang harusnya dua jam pun molor jadi tiga jam karena jalan berlubang serta jembatang ambruk. Sungguhlah, Kabupaten Jayapura masih perlu perbaikan infrastruktur.

Kapal untuk mengantarkan ke Harlem dapat dengan mudah ditemukan di Dermaga Depapre. Kami dikenakan biaya 350ribu rupiah untuk antar jemput. Kali ini, kami tak mau menawar lagi.  Kapal yang mengantarkan kami kapal berbahan viber, bermesin 40 pk, dan tak dilengkapi dengan safety vest. Selama menuju pantai saya komat-kami berdoa supaya nggak nyemplung ; ini gara-gara beberapa hari sebelum kami ke Harlem rombongan polisi yang lagi mancing di Sulawesi kapalnya terbalik dan mereka terkatung-katung selama beberapa jam.

Jarak tempuh menuju pantai cantik ini ternyata hanya 15 menit saja. Dari kejauhan saya sudah bisa melihat pasir super putih. Garis pantainya pun tak panjang dan bisa disusuri dalam jangka waktu beberapa menit saja. Soal kebersihan, pantai ini masih relatif bersih, walaupun di beberapa sudut sudah ditemukan sampah. 

Harlem

Sayangnya, baju renang ketinggalan, begitu juga dengan celana pendek. Sebagai orang Indonesia asli saya pun cuek aja masuk air dengan pakaian lengkap. Hari itu, di sisi pantai yang lain ada rombongan yang snorkeling ber-banana boat. Entah dari mana datangnya banana boat tersebut.

Miyeki dan teman-temannya

Lagi ngelamun di pinggir pantai, tiba-tiba dari kejauhan muncul dua jukung yang dikemudikan *apa sih kata kerjanya yang tepat?* anak-anak kecil, termasuk seorang anak TK. Mereka kemudian menepi dan bermain di pantai Harlem. Kesempatan bergaul dengan masyarakat lokal tak disia-siakan dan teman saya (yang tak mau basah karena lupa peralatan renang) sukses merayu Miyeki, seorang murid kelas empat SD yang baru pulang sekolah untuk mengantar kami berkeliling pantai dengan jukungnya.

Kata Miyeki, boleh saja berkeliling, tapi bayar. Ketika ditanya berapa, ia menjawab seratus ribu. Kami pun mengiyakan saja, walaupun ini namanya mempekerjakan anak di bawah umur. Ah setidaknya dia sudah pulang sekolah. Btw, pengemudi kami ngomel-ngomel karena kami ‘merusak harga pasar’. Keputusan kami untuk merusak harga pasar ternyata sangat tepat dan membuat kami terenyuh;  si bocah berkata: Uangnya untuk Bapa’. Sang Bapa’ bekerja sebagai nelayan.

Dibawalah kami mengelilingi Harlem naik jukung yang super kecil, tapi ternyata pas untuk pantat saya (I am not that big eh?). Miyeki juga menunjukkan kampungnya, serta memperkenalkan saya pada seekor anjing yang bisa berenang di laut. Dia juga berceloteh tentang ular besar yang ditemuinya di dalam laut. Ular ini yang bikin dia minggir ke pantai, karena dia ketakutan. Terimakasih ular!

Bahasa menjadi kendala buat saya, kami sama-sama berbicara bahasa Indonesia, bahkan saya  mencoba berbica Indonesia lurus, tanpa aksen dan dengan pemilihan kata yang resmi.  Bahkan saya mencoba keras untuk berdiskusi tentang bola, walaupun saya gak tahu apa-apa tentang bola. Hasilnya, tetap komunikasi kami nggak nyambung. Ternyata tak mudah berkomunikasi dengan Miyeki.

Miyeki

Di tengah laut si Miyeki berkata kalau dia sudah loyo. Dengan instruksi Miyeki pun saya dan teman pun bergantian mendayung. Bukannya ke tengah, kami malah semakin ke pinggir. Dududududu….anak kota kompetensinya beda dengan anak laut. Perjalanan kami memang jadi lebih menarik karena interaksi kami dengan Miyeki dan teman-temannya, walaupun mereka malu-malu dan bahasa kami sering nggak nyambung.

Ailsa in Jayapura

Memori harlem beach kemudian disempunakan dengan teriak nenek-nenek minta uang, bukan kepada kami sih, tapi kepada orang lain. Fenomena ini emang terjadi dimana-mana di Papua; tapi ya harap dipahami saja, mereka meminta karena mereka tak kebagian gula-gula pembangunan. Sementara harga pinang juga tak murah. Sebelum meninggalkan pulau itu, kami memberikan uang buat si nenek itu. Nggak wajib sih, tapi begitulah adatnya disana. Tak lupa saya bawa kembali sampahnya karena saya tak ingin pantai cantik ini dikotori sampah.

20140524_130030

 

Selamat berakhir pekan kawan, semoga weekend kalian seindah pantai ini!