Warning: postingan ini super panjang!
Saya yang takut ketinggian ini sempat menyesal karena nekat pergi ke Badui demi melihat desa yang menolak teknologi, apalagi ketika harus naik sebuah bukit dengan kemiringan lebih dari 45 derajat. Tapi penyesalan terbayar setelah saya tiba di puncak pelataran, disambut indahnya gunung berkalung awan dan bukit-bukit nan hijau. Sayangnya kami sudah berada di Badui Dalam sehingga tidak boleh mengambil foto.
Setelah berjalan 5,5 jam, bermandikan hujan dan berbalut lumpur ( dibeberapa sudut desa saya harus meluncur, perosotan karena licin) rombongan kami tiba di desa Cibeo dan disambut anak-anak berpakain tradisional yang kecantikannya mengalahkan Manohara. Anak-anak perempuan mengenakan perhiasan layaknya perempuan Dayak, sementara anak laki-laki bersenjatakan golok di pinggangnya. Seorang perempuan paruh baya berjilbab tampak duduk tak jauh, menjual jajanan khas kota berbungkus plastik. *WHAT?????!!!!*
Di depan rumah Badui yang dibangun tanpa paku, terletak sebuah penggorengan untuk menampung air hujan dari atap. Mulanya saya agak bingung, mengapa mereka meletakkan penggorengan di tanah, hingga seorang anak berdiri di dalam penggorengan itu, mencuci kakinya. Rumah orang Badui Dalam, atau urang Kanekes, tempat kami menginap terdiri dari satu satu kamar saja, di dalam kamar tersebut terdapat tungku untuk memasak. Selebihnya tak ada sekat.
Masyarakat Cibeo membagi sungai menjadi dua, untuk pria dan perempuan. Untuk perempuan lokasinya di dekat tempat menumbuk padi, dekat dengan jembatan bambu yang merupakan gerbang kampung Cibeo. Mereka yang berkunjung ke desa Cibeo pasti disambut dengan pemandangan perempuan segala usia yang sedang sibuk melakukan aktivitas buang air, mencuci peralatan memasak, mencuci pakaian, mandi, bahkan mengambil air untuk memasak. Tak hanya manusia yang melakukan aktivitasnya disini, anjing pun minum dari air ini.
Sungai untuk pria berada agak jauh dari aktivitas para perempuan. Para pria mewarisi air yang mengalir dari lokasi perempuan. Makanya mereka sudah biasa melihat kotoran manusia, hadiah dari perempuan Badui, mengalir ketika mereka sedang beraktivitas. Persis yang dialami seorang rekan dalam rombongan kami.
Pakaian perempuan Cibeo berupa kain panjang untuk menutup bagian bawah dan kemben untuk bagian atas. Jika mereka hendak buang air, maka mereka tinggal mengangkat kain panjangnya dan jongkok memasukkan pantatnya ke air. Pengamatan saya, tidak ada kegiatan cebok karena arus air langsung membersihkan ketika mereka jongkok. Konon para pria di Badui Dalam juga tidak mengenal celana dalam, pakaiannya hanya berupa sarung pendek.

Fotonya sengaja dipotong supaya yang berdiri disampingnya tak ikutan nongol di blog
Fakta menarik lain yang kami temukan, ternyata, hanya perempuan yang mengambil air dari sungai, laki-laki tidak melakukan hal tersebut. Padahal bambu untuk mengangkut air itu beratnya ketika penuh air luar biasa. Bambu mirip kentongan itu panjangnya sekitar 60-70 cm dengan dua lubang kecil di sisi atas, dekat pegangannya untuk mengeluarkan air dan diletakkan berjajar di depan rumah mereka. Saya sendiri tidak sanggup mengangkutnya, kalah dengan anak kecil di Badui.
Kami mengobrol dan mengajukan banyak pertanyaan kepada Tuan Rumah, dari mulai upacara kematian, warisan, perkawinan hingga program KB. Tak ada listrik di Cibeo, karena mereka menolak modernisasi, untungnya mereka tidak menolak senter, sehingga saya dapat menyalakan senter untuk menjadi penerang di rumah seluas 6 x 7 meter tersebut.
Mereka yang meninggal dikuburkan di makam yang terletak di seberang sungai. Jenazah dibungkus kain dan ditali pada bagian atas kepala, leher dan kaki, serta tak lupa dimandikan terlebih dahulu. Tidak di sungai tersebut, tetapi ada tempat pemandian khusus. Setelah dikuburkan, selesailah urusan antara yang hidup dan yang mati, tidak ada acara ziarah seperti kita yang tinggal di kota, walaupun ada selamatan kematian pada hari 1, 3 dan 7.
Menurut tuan rumah kami, warisan dibagi rata, tidak ada perbedaan antara laki dan perempuan. Warisannya berupa tanah untuk bercocok tanam. Jika mereka hendak membuka lahan baru untuk bercocok tanam, maka Pu’un-lah (kepala suku) yang berhak memberikan izin, apakah mereka diperkenankan atau tidak.
Perjodohan merupakan hal yang lazim dilaksanakan di Cibeo, kualitas yang dicari bukan kecantikan ataupun kekayaan, tetapi kemampuan bertanam. Proses lamarannya bisa memakan waktu hingga 1 tahun dan “mas kawin” yang disiapkan berupa kain dari pihak pria untuk pihak perempuan dan dari pihak perempuan untuk pihak pria. Salah satu bagian dari upacaranya adalah perempuan mencuci kaki pria.

Perempuan Badui Luar sedang menenun di depan rumahnya
Kendati snack modern masuk mengincar anak kecil, KB tak masuk di Cibeo. Tak heran desa ini dipenuhi oleh anak kecil. Anak-anak perempuan berusia 5 tahun pun sudah sibuk menggendong adiknya yang masih bayi. Masyarakat Badui juga tidak mengenal perceraian karena mereka monogami. Di Cibeo juga tidak ada kasus kehamilan di luar perkawinan. Komentar seorang teman, “Ya bagaimana ada kasus kehamilan di luar perkawinan jika mereka dikawinkan ketika libido mereka belum muncul”. Satu pertanyaan yang tak pernah saya tanyakan tentang dimana mereka membuat bayi, karena rumah mereka tanpa sekat yang berlantai bambu, berisik jika diinjak.
Urang Kanekes tidak diperkenankan kawin dengan Badui Luar, jika melanggar, mereka harus keluar dari Badui Dalam. Begitu juga dengan Badui Luar, mereka tak diperkenakan kawin dengan orang non-Badui. Hukuman keluar juga dilakukan jika mereka melakukan kesalahan seperti naik kendaraan. Sebelum keluar mereka akan dipaksa bekerja, tanpa dibayar, kemudian dipindahkan ke sebuah wilayah khusus untuk “mereka yang bersalah”. Setelah mereka membayar kesalahan, barulah mereka dikeluarkan.
Rupiah dan perdagangan sudah mulai dikenal di Cibeo. Ketika kami datang, langsung ada yang datang membawa tenunan, cincin dan gelang. Model tenunannya sederhana dengan warna yang cerah. Orang Badui Dalam kadang juga bekerja menjadi porter, mengangkut barang bagi anak kota yang manja seperti saya. Selain itu, mereka juga berjualan madu hutan, ini yang seringkali dibawa ke Jakarta. Berjalan kaki tanpa alas tentunya.
Di wilayah Cibeo terdapat satu area terlarang yang tidak boleh dimasuki pendatang seperti kami, yaitu daerah “Alun-alun”, dimana Pu’un bertempat tinggal. Kami tidak sempat bertemu Pu’un, apalagi minta jampi-jampi, karena saat itu sedang musim upacara. Ah sudah bisa masuk Badui saja kami bersyukur, apalagi karena kami membawa seorang teman yang bermata sipit. Konon mereka menolak orang Indonesia keturunan China, walaupun mereka berhati merah putih.